PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
 

PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Jakarta, 19 Agustus 2022 – Nuansa merdeka secara penuh dalam momentum dirgahayu kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-77 tak dirasakan lagi nelayan dan masyarakat pesisir yang tinggal di sepanjang pesisir Kampung Baru, Kota Manado. Merdeka bagi nelayan dan masyarakat pesisir adalah pemenuhan atas Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan, dan Petambak garam, yang menjadi mandat Pemerintah dalam memegang amanat Republik ini. Kehadiran perusahaan swasta yaitu PT. Tj Silfanus yang melakukan penimbunan Pantai Minanga-Malalayang telah mengabaikan hak konstitusional nelayan yang sekaligus mencabut dan menghancurkan kemerdekaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir.

Korporasi tersebut berencana melakukan penimbunan pantai (reklamasi lahan) di Pantai Minanga-Malalayang sepanjang ± 500 meter. Sejak awal rencana penimbunan pantai ini mulai muncul, berbagai penolakan telah dilontarkan nelayan dan masyarakat pesisir. Namun sejak 1 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus telah memulai aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Melihat adanya aktivitas penimbunan pantai, masyarakat pesisir di sekitar Pantai Minanga melakukan penghadangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan karena menolak keras penimbunan pantai tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa aktivitas penimbunan pantai yang tengah dan akan dilakukan di Pantai Minanga merupakan bentuk penghancuran wilayah pesisir beserta ekosistem yang hidup di dalamnya secara terencana. Penimbunan pantai bertolak belakang dengan semangat perlindungan wilayah pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang tengah dilakukan dan diperjuangkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Lebih jauh, Susan menyatakan, aktivitase penimbunan pantai tersebut telah merusak ekosistem alami terumbu karang yang ada di perairan Pantai Minanga. KELOLA (Kelompok Pengelola Sumber daya Alam) yang sebelumnya telah membuat studi terkait terumbu karang bersama Scientific Exploration Team, menemukan material-material penimbunan pantai berupa batu menimpa dan merusak ekosistem terumbu karang yang hidup di perairan Pantai Minanga. Temuan lainnya, adanya spesies karang berstatus dilindungi yaitu Kima Raksasa (Tridacna) yang terancam kehidupannya pada perairan yang ditimbun. Padahal di dalam kebijakan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur terhadap larangan merusak ekosistem terumbu karang.

Melanggar Peraturan Perundang-undangan Yang Ada

“Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 secara tegas menyebut bahwa setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan atau merusak ekosistem terumbu karang, juga dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” tegas Susan.

Susan melanjutkan, di dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 menerangkan tentang ketentuan pidana bagi yang melakukan pengrusakan terumbu karang. “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana dengan paling sedikit Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang sengaja mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35,” jelas Susan.

KIARA telah melihat di berbagai wilayah bahwa praktik penimbunan pantai selain merusak 3 (tiga) ekosistem di wilayah pesisir dan laut (:ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove), juga membatasi bahkan memutus hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 telah dijelaskan bahwa hak konstitusional nelayan antara lain: 1). hak untuk melintas dan mengakses laut; 2). hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3). hak untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut; serta 4). hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.

Susan menegaskan bahwa proyek penimbunan pantai telah berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di berbagai tempat yang telah terjadi. Hal penting lainnya adalah KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menindak PT. Tj Silfanus dan korporasi lainnya yang telah dan tengah melakukan penimbunan pantai yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, sehingga minumbulkan efek jera dan menunjukkan eksistensi dan standing position yang tegas dari negara dalam mewujudkan perlindungan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta ekosistem di dalamnya secara adil dan berkelanjutan.

 

Informasi Lebih Lanjut :

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Jakarta, 2 Agustus 2022 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap melanjutkan pembahasan tentang kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur akan diterapkan diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, wilayah perairan laut Indonesia dibagi dalam sebelas (11) WPP NRI. Sedangkan di dalam rancangan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut, WPP NRI akan kembali dibagi ke dalam tiga (3) zona, yaitu: 1). Zona berbasis kuota penangkapan ikan (fishing industry), yang terdiri dari tujuh (7) WPP NRI; 2). Zona non kuota penangkapan ikan, yang terdiri dari tiga (3) WPP NRI; dan, 3). Zona penangkapan terbatas (spawning & nursery ground), yang terdiri dari satu (1) WPP NRI.

KKP menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut akan menggunakan mekanisme kuota dan juga kontrak kepada korporasi dan investor asing. KKP juga menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur  menjadi salah satu cara untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan dan kelautan.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati  menyatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur yang tetap digagas oleh KKP bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan dan juga penyejahteraan nelayan tradisional dan/atau nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap yang berkelanjutan. “Kebijakan ini akan semakin menyulitkan nelayan tradisional karena akan berhadapan dan bersaingan dalam ruang yang sama tetapi dengan penggunaan alat produksi yang jauh berbeda. Nelayan tradisional masih menggunakan alat produksi yang menangkap ikan untuk mencukupi kebutuhan mendasar kehidupan mereka dan berkelanjutan, sedangkan nelayan modern dan/atau industri menggunakan alat produksi yang dapat menangkap sumber daya perikanan dan kelautan secara masif dan cenderung bersifat eksploitatif”, ungkap Susan.

Susan menambahkan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur harus dihentikan dan dievaluasi secara penuh. “Apakah kebijakan penangkapan ikan terukur ini sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional dan untuk menyejahterahkan mereka atau malah kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk memuluskan dan memastikan keberlanjutan usaha dari korporasi dan juga investor asing yang ingin mengeksploitasi sumber daya perikanan,” tambah Susan.

Penangkapan Ikan Terukur dengan Sistem Kontrak dan Kuota

KIARA memandang bahwa terdapat problematika yang mendasar dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, terutama dalam substansi tentang sistem kontrak dan kuota. Beberapa catatan KIARA tentang rancangan kebijakan penangkapan adalah sebagai berikut: Pertama, sumber daya perikanan merupakan barang publik yang seharusnya pengelolaannya diperlakukan sebagai barang publik bukan barang privat. Pengaturan kuota penangkapan ikan berdasar pada kontrak kerjasama merupakan hal yang inkonstitusional, di mana barang publik diperlakukan sebagai barang privat dan dalam prinsip kontrak para pihak harus tunduk pada apa yang diperjanjikan. Hal ini tentu saja mendegradasi peran negara karena menjadi setara/sejajar dengan pelaku usaha yang mendapat kontrak tersebut.

Kedua, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur akan meminggirkan nelayan tradisional atau nelayan lokal dan cenderung akan menguntungkan pemilik modal besar ataupun korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat serta asas keadilan.

Ketiga, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, yaitu asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

Keempat, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur tidak memiliki dasar tentang asal muasal penetapan kuota dan tidak ada kejelasan metode dalam menghitung potensi sumber daya ikan. Serta, kelima, bertentangan dengan mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yaitu perlindungan nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional, karena relita yang terjadi di berbagai perairan bahwa wilayah perairan tradisional nelayan sering didapati aktivitas nelayan skala besar/modern dengan alat tangkap tidak berkelanjutan bahkan alat tangkap cantrang masih dapat dijumpai di berbagai perairan di pulau-pulau kecil. Hal ini menandakan masih lemahnya pengawasan penggunaan alat tangkap. Jika rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur disahkan, maka akan semakin mengancam keberlanjutan nelayan tradisional di berbagai wilayah.

“KIARA meminta secara tegas kepada KKP untuk segera menghentikan pembahasan penangkapan ikan terukur dan segera berbenah untuk menggagas kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional sehingga kebijakan yang digagas oleh KKP dapat menjadi katalis untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan  perekonomian nelayan serta juga tetap menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan. Langkah KKP seharusnya fokus untuk menuntaskan terlebih dahulu permasalahan-permasalahan utama seperti melaksanakan mandat UU No. 7 Tahun 2016 dan melaksanakan mandat Putusan MK No. 3 Tahun 2010,” tegas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KERTAS POSISI – Bom Waktu Tambang dan Dumping Limbah Bagi Masa Depan Jawa Timur

KERTAS POSISI WALHI JAWA TIMUR & KIARA

Bom Waktu Tambang dan Dumping Limbah Bagi Masyarakat Pesisir

 

Kawasan laut di Jawa Timur tengah terancam keberadaannya pasca disahkannya PERDA RTRW Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023. Peraturan daerah hasil integrasi dengan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) telah membuka ruang untuk eksploitasi kawasan laut. 

Ada beberapa hal yang kami temukan dalam kajian kebijakan tata ruang dan lingkungan Provinsi Jawa Timur, yakni pertambangan dan limbah. Dalam konteks pertambangan, potensi kehancuran kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil cukup tinggi, karena PERDA baru tersebut semacam melakukan aktivasi pertambangan pasir laut yang tentunya mengancam biodiversitas laut. 

Selain pasir laut, ancaman lain dari pertambangan yakni semakin masifnya zonasi dan konsesi migas pada wilayah Pesisir Utara Jawa, memanjang dari ujung timur yang berdekatan dengan Provinsi Bali hingga ke arah ujung barat di sekitar wilayah Tuban yang berbatasan dengan Jawa Tengah.

Selain ancaman tambang di laut, tambang yang berada di daratan juga menjadi ancaman cukup besar bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, pasalnya kebijakan dalam rencana tata ruang serta kebijakan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur mengamini dumping limbah hasil aktivitas pertambangan yang secara teknis beberapa masuk dalam kategori berbahaya dan beracun (B3). 

Terkait dengan praktik dumping limbah ini belum ada informasi publik yang secara spesifik disampaikan ke khalayak luas, hanya ada beberapa laporan dari media online yang memberitakan hal tersebut. Salah satunya laporan media dari Maritimnews.co berjudul “Semen Indonesia Ajukan Ijin Buang Limbah di Lautdan Siagaindonesia.id berjudul “Dumping Laut Gresik-Tuban-Banyuwangi Berada di Zona Tangkap Ikan dan Jalur Lintas Penyu Hijau yang Dilindung.” Menyebutkan bahwa perusahaan tambang seperti PT. Semen Indonesia yang memproduksi semen dan PT. Bumi Suksesindo yang memproduksi emas tengah mengajukan izin dumping limbah di lautan.

Tambang Mengancam Laut Jawa Timur

Melihat situasi tersebut, kami menyampaikan beberapa hal yang penting untuk digarisbawahi, mengenai dengan pertambangan pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terutama untuk migas dan mineral non logam termasuk pasir laut difasilitasi oleh  pasal 59 tentang kawasan pertambangan dan energi, lalu diperjelas dalam pasal 65 yang menyebutkan bahwa pemerintah Provinsi Jawa Timur mengalokasikan sekitar 67.503 Ha untuk menjadi kawasan pesisir yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. 

Dalam pengaturan ruang tersebut, terdapat tiga zonasi dari kawasan tersebut yakni; 1). Zona Pertambangan Mineral dan Batubara di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura; 2). Zona Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura; dan 3) Zona Pengelolaan Energi di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura. Rencana ini sangat berhubungan dengan ambisi pemerintah pusat untuk melakukan eksploitasi migas secara besar-besaran pasca batubara bukan lagi menjadi pilihan utama. Mereka bahkan melabeli migas untuk jenis Liquid Natural Gas sebagai energi bersih. 

Alokasi ruang untuk Zona Pertambangan Minyak dan Gas dalam PERDA RTRW hasil integrasi mengalami kenaikan yang sangat signifikan sebesar ± 40.000 Ha. Mengacu pada PERDA RZWP3K Provinsi Jawa Timur No. 1 Tahun 2018, alokasi ruang untuk Zona Pertambangan Minyak Bumi hanya sebesar 9.003 Ha. Sedangkan alokasi ruang untuk Zona Pertambanyak Minyak dan Gas dalam PERDA RTRW hasil integrasi menjadi 49.062,88 Ha. Bertambahnya alokasi ruang untuk pertambangan minyak dan gas tersebut terdapat di Kabupaten Gresik, Kabupaten dan Kota Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo.

Sementara untuk pasir laut, sangat berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Lautyang menekankan pada pelegalan pertambangan pasir laut dan bisnis seperti biasa. Pertambangan pasir laut akan dijadikan komoditas ekspor guna menambah devisa dan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dari negara, selain digunakan untuk menjadi bahan baku dalam aneka pembangunan proyek infrastruktur nasional salah satunya reklamasi, sebagai contoh pembangunan Grass Root Refinery (GRR) Tuban.

 

Baca berita selengkapnya di : ( https://drive.google.com/file/d/1hnujZytfLp8fa3EcStfR6_Y93WduRc_P/view?usp=sharing )

Siaran Pers Bersama – Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO: Penghapusan Subsidi Perikanan di WTO Mengancam Keberlanjutan Hidup Nelayan Kecil dan Tradisional

Siaran Pers Bersama
Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO:
Penghapusan Subsidi Perikanan di WTO Mengancam Keberlanjutan Hidup
Nelayan Kecil dan Tradisional

Jakarta, 24 Februari 2024 – Pada tanggal 23 Februari 2024, kelompok nelayan kecil dan tradisional mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia terkait negosiasi perjanjian subsidi perikanan di WTO, yang akan melarang subsidi bagi nelayan kecil di negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam rancangan teks WTO yang sedang dibahas, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity dan Overfishing.

Diantara subsidi yang dilarang itu adalah bahan bakar minyak, asuransi, biaya pegawai, subsidi peningkatan kapal, teknologi pencarian ikan, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) mengungkapkan bahwa pembahasan subsidi perikanan di WTO sangat diskriminatif bagi negara berkembang-kurang berkembang. Di mana subsidi yang seharusnya dapat dipertahankan oleh negara berkembang termasuk Indonesia justru dibatasi bahkan dilarang. Sementara bagi negara maju dan industri perikanan skala besar tetap dapat mempertahankan subsidinya asalkan bisa menerapkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ini sangat diskriminatif dan tidak adil. Karena secara otomatis pengelolaan perikanan di negara maju lebih canggih dan lebih siap”, Ungkap Maulana.

“Kalau WTO mau mendorong perubahan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang, namun pada ujungnya negosiasi ini akan melarang pemberian subsidi bagi nelayan kecil. Maka itu artinya WTO melakukan intervensi terlalu jauh pada kebijakan nasional bahkan melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sudah semestinya kita tegas dengan menolak intervensi yang dilakukan WTO itu”, tegas Maulana.

Dalam naskah yang ada saat ini, tidak ada pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil di negara berkembang untuk tetap mendapatkan subsidi. Selain nelayan kecil harus dihadapkan pada potensi penghapusan subsidi di WTO, nelayan juga dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang hingga saat ini kesulitan dalam mengakses subsidi karena harga mahal dan birokratis.

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa “pelarangan subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO itu mengancam jutaan hidup nelayan serta masyarakat kecil yang bergantung di sektor perikanan”, Kata Dani.

“Ia juga menambahkan bahwa implementasi subsidi bahan bakar kepada nelayan selama ini masih tidak tepat sasaran bahkan mahal”. Berdasarkan studi KNTI 2021, menunjukan bahwa 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. Pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70% dari total biaya melaut. Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30-40% lebih mahal dari harga umum, Tambah Dani.

Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang mendominasi di Indonesia, bahkan jumlah nelayan kecil di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. “Kategori nelayan kecil di Indonesia juga sudah jelas bahwa yang disebut sebagai nelayan kecil adalah mereka yang menggunakan perahu maksimal 5 GT (merujuk UU Perikanan) dan 10 GT (merujuk UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Sedangkan jumlah perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas pra-produksi dan pasca produksi perikanan skala kecil mencapai 3,9 juta jiwa. Nelayan skala kecil juga menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan dan tidak eksploitatif,” jelas Fikerman.

“Saat ini kondisi nelayan di Indonesia sebanyak 6,3 juta nelayan tengah menghadapi ketidakpastian untuk bisa melaut dan mendapatkan ikan karena disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kompetisi ruang antara nelayan kecil dan industri perikanan, penimbunan pantai/reklamasi, pertambangan, hingga perubahan iklim. Ketidakpastian kondisi tersebut akan diperparah jika perundingan di KTM-13 WTO menghasilkan dihapuskannya subsidi perikanan untuk nelayan kecil,” tegas Fikerman.

Oleh karena itu Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencaharian dan kedaulatan para nelayan serta sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia.

Referensi:
Surat Nelayan kepada Pemerintah Indonesia: https://igj.or.id/2024/02/23/surat-terbukakelompok-nelayan-indonesia-terhadap-negosiasi-subsidi-perikanan-di-konferensi-tingkat-menteri-ke-13-wto/

Dampak Subsidi Perikanan WTO Bagi Nelayan Kecil: https://igj.or.id/2024/02/16/dampak-perjanjian-subsidi-perikanan-di-wto-bagi-nelayan-kecil/

Kontak lebih lanjut:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +6281210025135
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, +62 812-9671-744
Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, +62 823-6596-7999

 

================================================================================

English Version.

Joint Press Release
Ahead of the 13th WTO Ministerial Conference:
Prohibition of Fisheries Subsidies at the WTO Threatens the
Sustainability of Small and Traditional Fisherfolks

Jakarta, February 24, 2024 – On February 23, 2024, small and traditional fisherfolk groups sent an open letter to the Indonesian Government regarding negotiations on a fisheries subsidy agreement at the WTO, which will prohibit subsidies for small fisherfolks in developing countries including Indonesia. In the draft WTO text currently being discussed, there are eight types of fisheries subsidies that will be prohibited because they contribute to IUU Fishing, Overcapacity and Overfishing.

Among the prohibited subsidies are fuel oil, insurance, employee costs, ship improvement subsidies, fishing technology, subsidies to support activities at sea and subsidies that cover fishing losses or fishing-related activities.

Rahmat Maulana Sidik, Executive Director of Indonesia for Global Justice (IGJ) stated that the discussion of fisheries subsidies at the WTO is very discriminatory for developing and less developed countries. Where subsidies that should be maintained by developing countries, including Indonesia, are actually limited or even prohibited. Meanwhile, developed countries and large-scale fishing industries can still maintain their subsidies as long as they can implement sustainable fisheries management measures. This is very discriminatory and unfair. “Because automatically fisheries management in developed countries is more sophisticated and better prepared,” said
Maulana.

“If the WTO wants to encourage changes to fisheries subsidies that have been provided by developing countries, in the end these negotiations will prohibit the provision of subsidies for small fisherfolks. So that means the WTO intervenes in national policy and even violates the constitution and laws and regulations in
Indonesia. “We should be firm in rejecting the intervention carried out by the WTO,” said Maulana.

In the current text, there is no clear exception for small fisherfolks in developing countries to continue to receive subsidies. Apart from small fisherfolks having to face the potential elimination of subsidies at the WTO, fisherfolks are also faced with the reality on the ground that currently they have difficulty accessing subsidies because of expensive and bureaucratic process.

Dani Setiawan, General Chair of the Indonesian Traditional Fisherfolks Union (KNTI) said that “the ban on subsidies for small fisherfolks by the WTO threatens the lives of millions of fisherfolks and small communities who depend on the fisheries sector,” said Dani.

“He also added that the implementation of fuel subsidies for fishermen so far is still not on target and is even expensive.” Based on the 2021 KNTI study, it shows that 82% of small fisherfolks cannot access the subsidized fuel they should get. This is due to two things, namely the difficulty of processing letters of recommendation and the lack of subsidized fuel distribution infrastructure that can be accessed by small fisherfolks. The biggest expense for small fisherfolks is to buy fuel, which covers 60-70% of the total cost of fishing. Even small fishermen buy fuel at prices 30-40% more expensive than the general price, added Dani.

Fikerman Saragih, Deputy Head of Knowledge Management, The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) stated that small fisherfolks are the dominant fisherfolks in Indonesia, in fact the number of small fisherfolks in Indonesia has reached 2.4 million people. “The category of small fisherfolks in Indonesia is also clear that what is called small fisherfolks are those who use boats with a maximum size of 5 GT (referring to the Fisheries Law) and 10 GT (referring to the Law on the Protection and Empowerment of Fishers, Fish Farmers and Salt Farmers. Meanwhile, the number of fishers women “There are 3.9 million people involved in pre-production and post production activities in small-scale fisheries. Small-scale fisherfolks also catch to meet their daily needs and carry out fishing in a sustainable and non-exploitative manner,” explained Fikerman.

“Currently, the condition of fisherfolks in Indonesia, as many as 6.3 million fishers, is facing uncertainty about being able to go to sea and get fish because it is caused by various factors, including competition for space between small fisherfolks and the fishing industry, beach filling/reclamation, mining, and climate crisis. “This uncertain condition will be exacerbated if negotiations at KTM-13 of the WTO result in the elimination of fisheries subsidies for small fisherfolks,” stressed Fikerman.

We urge the Indonesian government not to approve the current fisheries subsidy text because it will endanger the livelihoods and sovereignty of fisherfolks as well as the fisheries sector as a whole. It is better to have no deal than a bad deal, which will harm the Indonesian people.

Further information, please contact:
Rahmat Maulana Sidik, Executive Director of IGJ, rahmat.maulana@igj.or.id
Dani Setiawan, General Chair of KNTI, danisetia@gmail.com
Fikerman Saragih, Head of Deputy of Knowledge Management KIARA,
fikerman.kiara@gmail.com

 

Civil Society Open Letter to Ministers on WTO Fisheries Subsidies Negotiations

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          February, 2024

Civil Society Open Letter to Ministers on WTO Fisheries Subsidies Negotiations

 

In February 2024 when World Trade Organization (WTO) Ministers meet there will be intense pressure and expectation for an outcome on the current negotiations on fisheries subsidies. The ministerial (MC13) comes after the Agreement on Fisheries Subsidies (AFS) was reached at the previous Ministerial, and while the WTO is eager for further agreement, the current text of negotiations fails to provide support to either fish stocks, marine conservation or development.

Research estimates that of the USD$35.4 billion of global fisheries subsidies provided in 2018, 19% went to the small-scale fishing sub-sector (SSF), including artisanal, and subsistence fisheries. While more than 80% went to the large-scale (industrial) fishing sub-sector (LSF), of which subsidies that were capacity-enhancing totalled USD 18.3 billion with fuel subsidies being the highest overall subsidy type (USD 7.2 billion)1.

Negotiations on fisheries subsidies in the WTO were renewed from the Sustainable Development Goal 14.6 mandate which aims to “prohibit certain forms of fisheries subsidies which contribute to overcapacity and overfishing, and eliminate subsidies that contribute to IUU fishing, and refrain from introducing new such subsidies, recognizing that appropriate and effective special and differential treatment (SDT) for developing and least developed countries should be an integral part of the WTO fisheries subsidies negotiation”.

The current Chair’s text for MC13 is failing to meet the SDG mandate because:

  • Those most responsible aren’t being held accountable – Under the current Chair’s text there is no recognition of historical responsibility for the state of global fish stocks and The text does not target large-scale or industrial-scale fishing. The decades of subsidisation from industrial fishing nations and fleets are not accounted for in the design of prohibitions resulting in a text that fails to target those responsible for sustained overfishing and who have built their fleet capacities, nor the wealth that has been accrued at the expense of fish stocks and developing country resource holders.
  • Small Scale Fishers caught up in the agreement – If a developing country catches more than 0.8% of global marine capture, the exemption allowed is for small-scale fishers who meet the criteria of being “low income, resource poor and/or livelihood fishing” within 12 or 24 (the and/or and 12/14nm is depending the negotiations) nautical miles of the coastline. This limited exemption is not allowed if they have just one fleet engaged in distant-water Both the definition and the geographical limit severely constrains the policy space available to these governments to support their small fishers. This is also extremely unfair given that small fishers are not the ones responsible for unsustainable fishing
  • Inadequate flexibilities Many developing country resource holders aspire to expand their domestic fleets to fish their own waters without having to rely on outside fleets. To do this, there may be a requirement for subsidisation, yet this agreement makes that harder. The division of developing countries around the percentage of global marine capture (below or above 0.8% under current Chair’s text) undermines the principles of special and differential treatment and doesn’t reflect the domestic capacity that members have to meet the obligations of the agreement. Crucially, the ability of developing countries to be able to access the provided flexibilities relies on them meeting the notification requirements set out, these go beyond the existing subsidy agreement
  • WTO to decide on fisheries management measures The proposed text allows for prohibited subsidies to continue provided that it is demonstrated the stocks being fished are being managed This is a lop-sided clause as it will benefit those with advanced monitoring mechanisms, namely the developed countries, to continue to subsidise their fleets. It also opens up a Members conservation measures to be challenged in the WTO, an enforceable body with no expertise in fisheries management, which again favours those members with the capacity to challenge another member.
  • Undermining the United Nations Convention on the Law of the Sea – The current Chair’s text impinges on the sovereign rights of countries to manage and exploit their fisheries resources by requiring them to report management measures to the WTO for possible contestation as well as restrict their ability to support the domestic fishing The WTO will undermine existing international ocean treaties and therefore weaken the capacities of developing countries to manage fish stocks and prevent distant-water fishing fleets from accessing fish stocks.
  • An Imbalanced Agreement that Rewards Capacity – The text as it currently stands will be of most use to those, mostly developed, countries that already have the existing capacity to subsidise their fleets and manage their fish stocks. The management and measurement of fisheries stocks is prohibitively expensive for many developing countries, making it harder for them to manage all their fish stocks as well as report to the WTO in order to access flexibilities in the Punishing those with the least capacity to manage, subsidise or notify does not address the dire state of global fish stocks but instead punishes those least responsible.
  • An undemocratic and divisive process – The outcome of MC12 was driven by the secretariat and only secured through all-night negotiations, something beyond the scope for many developing country We have not seen any attempt to involve small-fisher groups in these talks. In addition, it needs to give developing country and LDC members enough opportunity to participate and voice their opinions till the end, and the green room type of consultations conflict with the desired approach.

We are calling on Ministers to make sure that any outcome on overfishing and overcapacity subsidies negotiations targets those who have the greatest historical responsibility for overfishing and stock depletion, excludes all small-scale fishers from any subsidy prohibitions, prevents the WTO from ruling on the validity of conservation and management measures of members, and upholds the sovereign rights of countries under UNCLOS.

 

Endorsed by:

International:

  1. People’s Health Movement (PHM)
  2. Society for International Development (SID)
  3. The Campaign of Campaigns
  4. Third World Network
  5. Women’s Working Group on Financing for Development
  6. Worldwide Forum of Fish Harvesters and Fish Workers (WFF)

Regional:

  1. Asia Pacific Forum on Women, Law and Development
  2. Asia Pacific Network of Environmental Defenders
  3. Asia Pacific Research Network (APRN)
  4. Pacific Islands Association of Regional Non-Government Organisations (PIANGO)
  5. Pacific Network on Globalisation
  6. WIDE+ (Women In Development Europe+) Gender and Trade Working Group

National:

  1. All India Kisan Sabha
  2. Alliance for Sustainable and Holistic Agriculture, India
  3. Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA), Indonesia
  4. Aware Girls, New York, USA
  5. Bangladesh Krishok Federation
  6. Beyond Beijing Committee, Nepal
  7. Biswas Nepal
  8. COAST Foundation, Bangladesh
  9. Centre for Human Rights and Development (CHRD), Mongolia
  10. Consumers’ Association of Penang, Malaysia
  11. Culture Centre of the Deaf (CCD), Mongolia
  12. Diverse Voices and Action (DIVA) for Equality, Fiji
  13. Ecotour Enterprise, Cameroon
  14. Empower India
  15. Equidad de Género: Ciudadanía, Trabajo y Familia, Mexico
  16. Equitives Foundation, India
  17. Equity and Justice Working Group (EquityBD), Bangladesh
  18. Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN)
  19. Feminist Dalit Organisation (FEDO), India
  20. Feminist Dalit Organization (FEDO), Nepal
  21. Food Security Network- KHANI, Bangladesh
  22. Forum Masyarakat Adat Pesisir (FMAP), Indonesia
  23. Forum Peduli Pulau Pari, Indonesia
  24. Handelskampanjen, Norway
  25. ICENECDEV, Cameroon
  26. Indian Coordination Committee of Farmers’ Movement (ICCFM)
  27. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  28. Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), Indonesia
  29. Initiative for Right View (IRV), Bangladesh
  30. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia – KNTI
  31. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Indonesia
  32. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia
  33. Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Indonesia
  34. Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke, Indonesia
  35. Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Dadap, Indonesia
  36. Krityanand UNESCO Club, India
  37. Layar Nusantara, Indonesia
  38. Maleya Foundation, Bangladesh
  39. Pakistan Fisherfolk Forum
  40. Persatuan Pendidikan dan Kebajikan Jaringan Nelayan Pantai Malaysia (Malaysian Coastal Fishermen’s Welfare and Education Network)
  41. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  42. Psychological Responsiveness NGO,
  43. Public Advocacy Initiatives for Rights and Values in India
  44. Roots for Equity, Pakistan
  45. Rural Development Organization (RDO), Pakistan
  46. Sahabat Alam Malaysia (Friends of the Earth)
  47. Samyukta Kisan Morcha (NP), India
  48. SEATINI Uganda
  49. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
  50. South Indian Coordination Committee of Farmers’ Movement (SICCFM)
  51. Sunray Harvesters, India
  52. Sustainable Development Foundation, Pakistan
  53. The Institute for ECOSOC Rights, Indonesia
  54. TWN Trust India
  55. UBINIG, Bangladesh
  56. Women with disabilities Development foundation (WDDF), Bangladesh

Call for Expression of Interest : Research on Spatial Planning and Ocean Grabbing in Central Java Coastal Area

Call for Expression of Interest:

Research on Spatial Planning and Ocean Grabbing in Central Java Coastal Area

 

Tentang Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri sejak tahun 2002, melalui inisiasi oleh 9 lembaga atau organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus dan perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan. Sejak awal berdiri, KIARA berkomitmen untuk memperjuangkan dan memperkuat pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sebagai bentuk kedaulatan masyarakat yang tinggal secara turun temurun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh pengakuan, perlindungan dan kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah Republik Indonesia.

 

Lingkup Kerja

KIARA bermaksud mengundang lembaga/organisasi/tim peneliti mengirimkan Expression of Interest (EOI) untuk melakukan penelitian tentang bagaimana kebijakan tata ruang dan perampasan laut (ocean grabbing) yang berlangsung pada wilayah pesisir dan laut di Jawa Tengah serta situasi pada ruang kelola masyarakat pesisir di wilayah tersebut di tengah tekanan perubahan iklim. EOI juga menjelaskan tentang bagaimana kerja-kerja untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam kegiatan ini. Keluaran dari aktivitas ini akan berupa narrative report hasil study dan dokumen kertas posisi. Lebih detail lihat Annex I. ( klik link berikut : https://shorturl.at/tRY18 )

 

Tujuan

1. Menyediakan data dan informasi serta analisis yang tertuang dalam bentuk laporan hasil studi untuk KIARA dan mitra dalam FOCUS, serta para pemangku kepentingan mengenai situasi dan kondisi pada wilayah pesisir dan laut khususnya di Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Jepara dan umumnya di Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan dengan:

a) Dinamika kebijakan penataan ruang pada wilayah pesisir dan laut di wilayah tersebut;

b) Perampasan Laut (Ocean grabbing) pada ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir di tengah tekanan perubahan iklim dalam kebijakan tata ruang yang berlangsung.

2. Merumuskan position paper/kertas posisi tentang kebijakan tata ruang laut dan pesisir yang berpretensi menyebabkan terjadinya Perampasan Laut/Ocean Grabbing terhadap ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir di tengah tekanan perubahan iklim.

 

Kualifikasi

1. Memiliki pengalaman yang kuat dan rekam jejak yang terbukti dalam melakukan riset, termasuk penggunaan alat partisipatif sebagai sarana pengumpulan data.

2. Memiliki kapasitas penguasaan dan pengalaman yang baik terhadap isu-isu kunci (Ocean grabbing, Spatial Planning, Climate Change) yang menjadi pusat perhatian pada riset ini

3. Memiliki pengetahuan yang baik tentang isu lingkungan, perikanan dan kelautan, dinamika sosial masyarakat pesisir, dan Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI).

4. Memiliki keterampilan yang baik dalam komunikasi dan pelaporan, termasuk dalam menggunakan bahasa inggris.

 

Tenggat Waktu

Lembaga/Organisasi/Tim Riset yang berminat harap mengirimkan ke e-mail kiara@kiara.or.id dengan subjek e-mail: “KIARA Research” berupa dokumen-dokumen berikut ini :

1. Letter of Interest (Surat Minat), yang menjelaskan minat terhadap kegiatan yang ditawarkan beserta kualifikasinya

2. Mengirimkan Research Design yang terdiri dari :

  • Penjelasan metodologi yang digunakan dalam desain riset secara detail
  • Desain Riset dapat dikirim dalam bentuk PDF, Power Point ataupun Word Document
  • Rencana Kerja/Work Plan beserta timeline yang telah disusun
  • Budget yang diajukan
  • CV (CV dari masing-masing orang yang tergabung dalam team)
  • Profil Organisasi atau lembaga
  • Portofolio Riset yang pernah dikerjakan

3. Isi Research Design minimal 2 lembar dan maksimal 5 lembar

4. Deadline pengiriman Dokumen tanggal 18 Februari 2024

5. Hanya lembaga atau tim riset terpilih yang akan dihubungi lewat telepon dan/atau e-mail untuk mengikuti proses seleksi selanjutnya.

Open Recruitment KIARA 2024

Open Recruitment KIARA 2024

 

Tentang Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)  

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri di Yogyakarta pada tanggal 2 Oktober 2002. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh 9 lembaga atau organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus dan perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan. 

Sejak awal berdiri, KIARA berkomitmen untuk memperjuangkan dan memperkuat pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sebagai bentuk kedaulatan masyarakat yang tinggal secara turun temurun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh pengakuan, perlindungan dan kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah Republik Indonesia. 

Kami membuka kesempatan untuk bergabung sebagai :

Field Officer  

 

Tugas dan Tanggung Jawab: 

  • Berkoordinasi dengan Program Manajer, dan Project Officer untuk menjalankan program dan kegiatan yang akan dilakukan. 
  • Mengelola dan menjalankan kegiatan yang akan dilakukan pada target area di wilayah Jawa Tengah; 
  • Mendukung kegiatan pelatihan atau pertemuan; menghubungi komunitas, menyediakan perlengkapan teknis, dll. 
  • Memfasilitasi dan memastikan berjalannya aktivitas bersama pihak-pihak terkait 
  • Menyelesaikan penyampaian laporan mingguan dan bulanan. 
  • Memelihara basis data laporan internal melalui koordinasi dengan Program Manajer dalam hal penyerahan dokumen dan laporan secara tepat waktu dan lengkap termasuk Kerangka Acuan Kerja, Back to Office Report, Monitoring Tool, dan lain-lain. 
  • Menyusun rencana pemantauan dan secara berkala diperbaharui sesuai dengan jadwal kegiatan dan pelaksanaan program. 
  • Melakukan pengumpulan data secara teratur termasuk formulir pemantauan, formulir evaluasi, dan lain-lain, selama pertemuan internal atau kegiatan yang dilaksanakan oleh tim program untuk mengidentifikasi kemajuan kegiatan. 
  • Menjaga hubungan baik dengan mitra internal dan eksternal untuk mendapatkan keterlibatan mereka.  
  • Melakukan pemantauan setiap kegiatan, mengidentifikasi masalah selama pelaksanaan program dan memberikan saran serta tindakan perbaikan.  

 

Objektivitas  

  • Field Officer bertanggungjawab melakukan identifikasi, persiapan, dan pengelolaan aktivitas di lapangan sesuai dengan rencana kerja. Field Officer akan mengerjakan tugas-tugas teknis berupa implementasi di lapangan dan melaporkan kepada Project Manajer dan Project Officer. 
  • Field Officer berperan memfasilitasi, mengkoordinasi, dan berkolaborasi bersama masyarakat dan para pihak. 
  • Area cakupan kerja adalah Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal, Demak, dan Jepara.  

Kompetensi: 

  • Jenjang pendidikan S1 (ilmu sosial atau bidang terkait lainnya), atau memiliki kualifikasi yang setara. 
  • Memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat pesisir di wilayah Jawa Tengah, khususnya Kendal, Demak dan Jepara. 
  • Memiliki pengetahuan yang baik tentang isu lingkungan, perikanan kelautan serta dinamika sosial masyarakat pesisir. 
  • Memiliki kemampuan analitis, berpikir objektif dan kritis. 
  • Memiliki kemampuan manajemen waktu serta kemampuan komunikasi tertulis dan lisan yang baik. 
  • Memiliki kemampuan komputer yang baik, terutama MS Office, Excel, dan lainnya. 
  • Memiliki kemampuan interpersonal dan komunikasi yang baik serta mampu bekerja secara individu maupun tim. 
  • Pengalaman dan keterampilan sebelumnya dalam melakukan penelitian, dan/atau menggunakan program database untuk entri data, analisis, dan pelaporan merupakan keuntungan. 

 

Tenggat Waktu: 

  • Silakan kirimkan Resume dan Curriculum Vitae (CV) lengkap Anda dengan subjek “Field Officer KIARA” ke seknas@kiara.or.id
  • Batas pendaftaran hingga 24 Januari 2024 
  • Hanya kandidat terpilih yang akan dihubungi lewat telepon dan/atau e-mail untuk mengikuti proses seleksi selanjutnya. 

 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

Siaran Pers 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 

www.kiara.or.id 

Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KIARA: Menjadi Alat Perampas Tanah dan Mengorbankan Warga Pesisir!

 

Jakarta, 12 Januari 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Militerisme di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” pada Kamis, 11 Januari 2024 di Ke:Kini yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 45, Cikini, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diskusi publik tersebut menghadirkan Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Rizky Hakim selaku Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) dan juga 2 perwakilan warga Pulau Rempang. 

 

Menurut Rizky Hakim, agenda diskusi yang mengangkat tema militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi topik yang penting untuk diketahui publik. Dalam perkembangannya di Indonesia, militer sebagai salah satu lembaga negara yang menurut Harvey adalah bagian dari kekuatan koersif negara untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi, justru merupakan aktor akumulasi kapital dan menjadi entitas yang terpisah dengan peran negara sebagai pemberi legitimasi atas proses akumulasi kapital. Militer sebagai bagian dari negara, dengan sifat koersifnya digunakan untuk mengamankan atau melancarkan proses akumulasi kapital dalam konteks neo-liberal sebagai akumulasi melalui penjarahan (Accumulation by Dispossesion, AbD).  

 

“Keterlibatan sebagai aktor akumulasi merubah militer menjadi kelas kapitalis, yang dalam prosesnya mengintervensi sejumlah lembaga negara untuk legitimasi atas akumulasi kapital yang dilakukannya. Salah satu contohnya terjadi di pesisir pantai Urutsewu yang merupakan lahan yang digunakan dan kuasai oleh masyarakat secara turun-temurun untuk kegiatan pertanian. Masyarakat memiliki bukti awal kepemilikan tanah (data fisik dan data yuridis) seperti Latter C ataupun Buku Tanah. Hanya saja, sejak tahun 1998 TNI/AD mengklaim lahan tersebut dalam bentuk pemetaan lahan sepihak. Di samping TNI/AD berupaya untuk mendapatkan legitimasi penguasaan lahan di Pesisir pantai Urutsewu dari sejumlah lembaga negara, pada tahun 2008 TNI/AD menerima permintaan dari salah satu korporasi untuk memanfaatkan lahan Pesisir pantai Urutsewu untuk kegiatan bisnis tambang pasir besi,” ungkap Rizky. 

 

Wilayah lain yang menjadi contoh militerisme adalah Pulau Rempang. Aparat TNI-Polri memaksa dan berhasil masuk ke wilayah tempat tinggal warga Rempang. “Di Pasir Panjang, TNI dan Polisi menjadi aktor yang digunakan untuk pemematokan lahan dan rumah warga. Sedangkan di Sembulang TNI dan Polisi bertugas mendampingi dan mengamankan PT MEG dalam pematokan lahan warga. Selain untuk pematokan lahan, terjadi juga tindakan represif dari aparat ke warga yang menolak pematokan lahan tersebut, bahkan anak sekolah juga menjadi korban.

Masuknya aparat militer dan polisi tersebut setelah Rempang dijadikan sebagai Proyek strategis nasional untuk pembangunan industri Rempang Eco-City. Proyek itu mencoba merampas tanah-tanah kami dan meminta kami pindah dari tanah nenek moyang kami,” jelas perwakilan warga Rempang. 

 

Merespon hal tersebut, Susan Herawati menyebutkan bahwa masuknya militerisme di pesisir juga disertai dengan implikasi seperti penguasaan, hingga kekerasan untuk mengintervensi dan mengintimidasi masyarakat pesisir yang menolak perampasan dan pengalihfungsian tanah di wilayah mereka. “Militer sebagai alat pertahanan negara seharusnya tegak lurus dalam tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Akan tetapi militer acapkali keluar dari tugas pokok tersebut dan menginfiltrasi kehidupan masyarakat umum. Keluarnya militer dari barak digunakan sebagai alat untuk memuluskan penggusuran, relokasi, pengamanan di objek vital nasional, proyek strategis negara bahkan mengamankan masuknya perusahaan ke lahan-lahan masyarakat yang dijadikan sebagai lokasi tambang, pariwisata premium dan juga industri,” jelas Susan. 

 

KIARA mencatat bahwa salah satu kebijakan yang melegalisasi perampasan tanah untuk militerisme di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). “Sejak tahun 2017 hingga 2022, KIARA mencatat bahwa telah terdapat 28 RZWP-3-K yang telah disahkan, dan terdapat 14 provinsi yang melegitimasi alokasi ruang untuk berbagai aktivitas militerisme dengan total luasan 2.580.132,76 ha. Besarnya luasan tersebut sangat jauh berbeda dengan pengakuan ruang-ruang pengelolaan masyarakat, seperti pemukiman nelayan hanya 1.227,03 ha,” tegas Susan. 

 

Militerisme juga saat ini dapat kita saksikan merasuk di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Kementerian/Lembaga negara di Indonesia yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa posisi strategis di KKP saat ini diisi oleh personel TNI-Polri yang masih aktif. KIARA mencatat jabatan di KKP yang saat ini dipegang oleh personel TNI-Polri adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP diisi oleh anggota Polri, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) diisi oleh anggota Polri, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) diisi oleh anggota TNI AL Dari beberapa kasus kelautan dan perikanan yang ditangani KIARA, keberadaan para personel TNI-Polri ini tidak menghadirkan proses law enforcement yang jelas dan tegas untuk penyelamatan lingkungan pesisir dan laut dan keberpihakan pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi membantu memuluskan berbagai investasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan laut dan perairan.

 

KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah perlindungan masyarakat pesisir dan ruang mereka harus diakui karena mereka adalah right holders atas pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sudah saatnya pengakuan atas kedaulatan pengelolaan masyarakat atas ruangnya diakui oleh pemerintah, bukan menerapkan militerisme sebagai alat untuk merampas ruang-ruang masyarakat dipesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkasnya. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

Tahun Baru & Pemilu 2024, Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres & Cawapres

 

Jakarta, 4 Januari 2024 – Menjalani awal tahun 2024 menandai bahwa puncak kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 akan segera terlaksana di 14 Februari 2024. Terdapat 3 kandidat yang telah resmi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Pada Oktober 2023 ketiga kandidat tersebut telah mengeluarkan dokumen visi dan misi yang menjadi panduan mereka jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. 

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa KIARA telah melakukan review terhadap 3 dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. “KIARA melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru/blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Susan.

 

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan KIARA yaitu sebagai berikut: pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. “Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

 

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. “KIARA mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan. 

 

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempatnya masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. “Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya,” jelas Susan.

 

Berdasarkan hal tersebut, KIARA berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

 

Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010  di mana masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi. (*) 

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Menteri KKP Akan Kembali Buka Ekspor Benih Bening Lobster, KIARA: Ekologi Adalah Panglima Hanya Lip Service, KKP Makin Melangkah Mundur

 

Jakarta, 22 Desember 2023 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah membahas ulang aturan ekspor Benih Bening Lobster (BBL), sehingga aturan tersebut akan melegalkan praktik ekspor BBL. Saat ini pembahasan tersebut tengah dalam proses konsultasi publik dan direncanakan akan disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP). Dalam perjalanan tentang ekspor BBL, peraturan ini telah dilarang di era Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti, sedangkan di era Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo peraturan ini dihidupkan dan menjadi penyebab kasus korupsi Edhy Prabowo. Dibahasnya kembali ekspor BBL diduga merupakan permintaan dari negara Vietnam yang merupakan negara yang sangat bergantung dengan suplai BBL dari Indonesia.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa wacana ekspor BBL yang disampaikan oleh Sakti Wahyu Trenggono sangat tidak rasional dan menujukkan kegagapannya dalam perlindungan keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan serta membuktikan bahwa jargon “ekologi adalah panglima” hanya sekedar lip service. “Salah satu alasan KKP membahas ulang ekspor BBL ini adalah karena untuk mencegah BBLyang keluar dari Indonesia lewat jalur tidak resmi (ilegal), dan membuka jalan investasi masuk serta transfer teknologi dan pengetahuan budidaya lobster modern di Indonesia. Alasan ini sangat tidak rasional dan merupakan langkah yang semakin mundur dari KKP dalam melindungi BBL dari eksploitasi industri seperti yang terjadi di masa koruptor Edhy Prabowo,” jelas Susan.

 

KIARA menilai bahwa larangan ekspor BBLyang telah dijalankan sejak KKP era Susi Pudjiastuti dan era awal Sakti Wahyu Trenggono patut untuk diapresiasi karena berhasil menjaga keberlanjutan ekologi dari eksploitasi berlebih dan memberikan kepastian bahwa nelayan tradisional dan lokal dapat memanfaatkan BBL untuk keberlanjutan hidup mereka. “Langkah yang seharusnya diperkuat KKP adalah pengawasan dan penindakan pelaku eksportir BBL ilegal, bukan melegalkan ekspor BBL karena masifnya ekspor ilegal ke luar negeri. Langkah yang diambil oleh KKP memperlihatkan adanya kekeliruan berpikir (logical fallacy) di tubuh KKP itu sendiri,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa terdapat berbagai kerugian Indonesia jika dibukanya ekspor benih bening lobster, yaitu: pertama, eksploitasi komoditas lobster dan BBL akan semakin meningkat dan akan memperparah krisis ekologi dan sumber daya perikanan yang saat ini dihadapi Indonesia. Hal tersebut juga akan mengundang industri akan masuk kedalam bisnis ini, dan yang paling diuntungkan hanya entitas bisnis, bukan nelayan kecil/tradisional; kedua, meningkatkan eksploitasi sumber daya perikanan dan Ilegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di perairan Indonesia, karena permintaan ikan rucah sebagai pakan budidaya lobster akan meningkat; ketiga, aktor yang akan diuntungkan adalah negara tujuan ekspor seperti Vietnam, dan Indonesia hanya akan meningkatkan pendapatan Vietnam dari penjualan lobster dewasa, serta meningkatkan peran Vietnam dalam IUU Fishing di Indonesia; keempat, meningkatkan ekstensifikasi budidaya lobster yang akan mengalihfungsikan wilayah mangrove menjadi lahan-lahan budidaya lobster di pesisir dan perairannya; dan kelima, perairan dangkal yang menjadi habitat lobster akan menjadi ruang kompetisi antara nelayan kecil/tradisional dengan industri perikanan, karena terjadi privatisasi ruang beserta komoditas yang ada di dalamnya berhadapan dengan kenyataan bahwa perairan dangkal beserta lobster yang terdapat di dalamnya adalah common pool resources yang biasa diakses oleh nelayan kecil/tradisional.

 

Padahal langkah Pemerintah Indonesia yang telah menyelamatkan BBL mencapai 1,4 juta ekor, dan mengurangi kerugian negara mencapai 240 miliar rupiah sejak Januari hingga pertengahan Desember 2023 merupakan langkah yang perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan lagi. “Jika pengawasan pemanfaatan dan eksploitasi BBL oleh KKP semakin ditingkatkan dan dengan melibatkan nelayan sebagai right holders di lautnya, potensi kerugian negara secara ekologi dan ekonomi atas eksploitasi BBL dapat diminimalisir. Pelibatan peran nelayan lokal dapat memaksimalkan pengawasan karena nelayanlah yang tau tentang lokasi di wilayah mereka masing-masing,” jelas Susan.

 

Berdasarkan data kerugian ekologi dan ekonomi tersebut, KIARA mendesak Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meninggalkan legacy/warisan bahwa menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dan pengakuan hak pengelolaan masyarakat pesisir secara tradisional adalah peninggalan penting yang akan diwariskan. Salah satunya adalah dengan tetap melarang ekspor BBL serta melarang privatisasi ruang beserta sumber daya perikanan yang ada didalamnya. Dibukanya keran ekspor BBL tidak akan berdampak bagi keberlanjutan sumber daya perikanan, kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional, serta sekaligus tidak akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Sudah saatnya KKP berpihak kepada nelayan tradisional bukan tunduk terhadap investasi. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

(cr. picture : Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Komisi III DPR, Akademisi, dan Warga Pulau Wawonii Nyatakan Urgensi Perlindungan Pesisir dan Pulau Kecil dari Pertambangan, MK Harus Tolak Permohonan Pengujian Materiil PT GKP

Siaran Pers

Untuk segera diterbitkan

 

Komisi III DPR, Akademisi, dan Warga Pulau Wawonii Nyatakan Urgensi Perlindungan Pesisir dan Pulau Kecil dari Pertambangan, MK Harus Tolak Permohonan Pengujian Materiil PT GKP

 

Jakarta, 06 Desember 2023 – Perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana tidak memiliki legalitas pertambangan di pulau kecil Wawonii, Sulawesi Tenggara. Dalam sidang lanjutan Pengujian Materiil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau (5/12/2023), Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta pakar hukum tata negara menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau kecil harus dilindungi dari aktivitas ekstraktif pertambangan seperti yang ditetapkan di Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

 

PT GKP menggugat pasal 35 huruf k UU PWP3K agar dapat terus menambang nikel di Pulau Wawonii. Karena gugatan itu, Idris warga Pulau Wawonii dan advokat yang mendampingi warga Wawonii, salah satunya TAPaK (Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil) merasa terancam dengan gugatan tersebut. Sidang Pengujian Materiil itu membahas larangan aktivitas pertambangan mineral yang terkandung dalam Pasal 35 huruf K di UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

 

Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan, PT GKP tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi syarat kerugian dalam Pasal 51 ayat 1 dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

 

“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa. Terkait dengan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No. 27 Tahun 2007, perlu melihat norma pengaturan dalam UU a quo,” jelasnya. 

 

Senada dengan itu, Guru Besar Ilmu Sosial Pedesaan IPB Rilus A. Kinseng menyampaikan,  masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih menghadapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, marjinalisasi, penggusuran dan konflik sosial. Tidak jarang sumber penghidupan mereka terganggu akibat berbagai kegiatan pembangunan, termasuk kegiatan yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan. Oleh sebab itu, akses dan kontrol komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap SDA sangat perlu dijaga dan dilindungi.

 

“Contoh kegiatan pertambangan di pesisir ada di Balikpapan, Kalimantan Timur, Tumpang Pitu Banyuwangi Jawa Timur dan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Pembatalan kedua pasal (Pasal 23 dan Pasal 35 UU PWP3K) tersebut akan menciptakan praktik-praktik penggusuran dan penindasan warga komunitas lokal, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pasal 35 huruf k harus tetap dipertahankan, tidak boleh dibatalkan,” jelasnya. 

 

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura menyebutkan, pasal 23 dan pasal 35 UU PWP3K sudah tegas menyebutkan hal yang diprioritaskan dan kegiatan yang dilarang. Kedua hal itu harus dibaca sebagai satu kesatuan. 

 

“Harus tegas saja jika pertambangan mineral dilarang, sehingga kata ‘apabila’ (dalam Pasal 35 huruf K UU PWP3K) juga harus dihapuskan. Untuk pertambangan di pulau-pulau kecil tegas menyatakan itu harus dilarang. Mahkamah bisa mempertegas larangan pertambangan di undang-undang ini (UU No. 27 Tahun 2007).” 

 

Merespons hal tersebut, Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM sekaligus pengacara dari TAPaK menegaskan, “MK RI tidak boleh kehilangan akal sehat saat berhadapan dengan korporasi tambang Harita Group, termasuk dalam memutus perkara ini. MK RI harus bebas dari intervensi atau pesanan pihak manapun. Sebab, jika gugatan GKP tersebut dikabulkan oleh MK, Indonesia memasuki masa kebrutalan ekstraktivisme, menempatkan pulau kecil beserta seluruh kehidupan didalamnya sebagai wilayah penaklukan tambang ujungnya adalah penciptaan eco genosida masyarakat lokal dan adat Pulau kecil.”

 

Selain bertentangan dengan mandat konstitusi, gugatan PT GKP yang menginginkan adanya wilayah pertambangan di Pulau Kecil, khususnya Pulau Wawonii, juga bertentangan dengan seruan dunia internasional yang sedang bergerak menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim. Karena itu, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI menekankan bahwa pulau kecil, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya, merupakan wilayah dan kelompok rentan yang akan terdampak buruk krisis iklim. 

 

“Pertambangan di pulau-pulau kecil akan menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat yang hidup di pulau kecil terhadap krisis iklim. Pasalnya, pertambangan akan menghancurkan daya dukung dan daya tampung ekologi, menghancurkan kemampuan adaptasi, serta memaksa masyarakatnya menjadi pengungsi iklim pada masa yang akan datang,” tutur Parid.

 

Secara internasional hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan terbebas dari berbagai bentuk krisis telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), khususnya pasal 25 dan prinsip 1 Deklarasi Stockholm (1972).

 

Parid menambahkan, jika pertambangan di pulau kecil tidak dihentikan, maka Indonesia akan menjadi pasar bencana ekologis dan bencana iklim bahkan ribuan pulau di Indonesia akan hilang pada masa yang akan datang.

 

“Gugatan yang diajukan oleh PT GKP ini adalah upaya untuk melemahkan perlindungan lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan di pulau-pulau kecil. Untuk itu, persidangan ini harus kita kawal sampai gugatan PT GKP dikalahkan. Sebab, gugatan yang dilakukan oleh PT GKP ini akan menjadi ancaman bagi pulau kecil yang lain yang sedang mengalami hal serupa dengan Wawonii,” kata Parid.

 

Wildan Siregar, Pengampanye Trend Asia dan pengacara dari TAPaK mengatakan bahwa korporasi hanya datang untuk menghabisi ruang hidup masyarakat tanpa jeda. Setelah masyarakat menderita atas kerusakan lingkungan, korporasi pergi begitu saja dan mencari tempat lain untuk dieksploitasi. 

 

“Menjaga pulau untuk tetap utuh artinya menjaga masyarakat dan ekosistem di dalamnya. Hakim Mahkamah Konstitusi harus berorientasi pada penyelamatan Pulau-pulau kecil bukan malah membuka pintu untuk eksplorasi. Mahkamah Konstitusi harus melihat perlindungan masyarakat dan ekologi di pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan secara komprehensif,” tutur Wildan.

 

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pun menekankan bahwa MK harus memutus perkara ini seadil-adilnya untuk melindungi keberlanjutan masyarakat beserta ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil. Pertambangan di pulau-pulau kecil seperti di Pulau Wawonii hanya bermanfaat kepada segelintir orang dan kerusakan sosial ekologi yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. 

 

Pasalnya, lanjut Susan, akan ada 2,3 juta nelayan dan 3,9 juta perempuan nelayan yang akan dikorbankan akibat kehilangan akses ke ruang hidup (darat) dan ruang kelola (laut) mereka. Hal itu karena pertambangan di pulau kecil tidak hanya merusak daratnya saja, tetapi juga merusak laut. 

 

“TAPaK sebagai Pihak Terkait yang mewakili suara masyarakat Pulau Kecil Wawonii sangat mengharapkan kembalinya marwah MK sebagai Guardian of Constitution. MK harus menolak Pengujian Materiil Pasal 23 dan Pasal 35 untuk menjaga keberlanjutan 13.466 pulau kecil di Indonesia beserta masyarakat dan ekosistem yang ada didalamnya.”

 

Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK)

JATAM – WALHI – YLBHI – Trend Asia – KIARA – LBH Makassar

 

Narahubung TAPaK:

Muhammad Jamil, jatam@jatam.org 

Parid Ridwanuddin, parid.ridwanuddin@walhi.or.id 

Susan Herawati, seknas@kiara.or.id

Wildan Siregar, wildan.siregar@trendasia.org 

 

Dokumentasi dapat diakses di sini

 

Kapal VOX MAXIMA Kembali Beroperasi di Perairan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta, Koalisi NGO Desak Penegakan Hukum Lingkungan

Siaran Pers Bersama

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Seknas KIARA)
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas WALHI)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta (WALHI Jakarta)
Forum Peduli Pulau Pari (FPPP)

Kapal VOX MAXIMA Kembali Beroperasi di Perairan Pulau Tunda dan Teluk
Jakarta, Koalisi NGO Desak Penegakan Hukum Lingkungan


Jakarta, 22 November 2023 –
Pada 27 Oktober 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) menghentikan kegiatan operasi produksi kapal isap pasir laut bernama MV Vox Maxima yang beraktivitas di sekitar wilayah perairan Pulau Tunda, Kabupaten Serang, Banten. Berdasarkan Siaran Pers KKP Nomor SP.402/SJ.5/X/2023 disebutkan bahwa KKP menemukan barang bukti muatan 24.000 m³ pasir laut. MV Vox Maxima merupakan kapal Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD) milik Van Oord, sebuah perusahaan dari Belanda. KKP menyebutkan bahwa MV Vox Maxima dipekerjakan oleh PT. Hamparan Laut Sejahtera (PT HLS) untuk men-supply material pasir proyek reklamasi (penimbunan laut) PT Pelindo di Kalibaru, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Hal tersebut berdasarkan kesepakatan Menteri BUMN Erick Thohir bersama PT Pertamina untuk memindahkan lokasi Tangki Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang ke lahan yang akan direklamasi oleh PT Pelindo.

Merespon hal tersebut, Seknas KIARA, Eknas WALHI, WALHI Jakarta bersama Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) melakukan kajian cepat terkait dengan aktivitas MV Vox Maxima yang kembali beroperasi di wilayah perairan Pulau Tunda, Provinsi Banten. Nelayan tradisional Pulau Pari menginformasikan bahwa mereka melihat MV Vox Maxima telah melintasi dengan muatan di perairan Pulau Pari sejak 18 November 2023 hingga 22 November 2023. Diduga MV Vox Maxima telah menghisap pasir laut sebanyak kurang lebih 120.000 m³ dari Pulau Tunda sejak tanggal 18 November hingga 22 November 2023. Dugaan awal Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP), MV Vox Maxima selama 5 hari beroperasi, telah mengeruk kurang lebih 120.000 m³ dengan akumulasi pendapatan kotor sebesar Rp22.560.000.000 (dengan perkiraan harga 1 m³ pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri dibanderol Rp188.000/m³).

Pulau Tunda termasuk dalam kategori pulau kecil yang memiliki tingkat kerentanan tinggi karena sangat bergantung dengan pulau utama (mainland). Sebagai pulau kecil, perairan Pulau Tunda dibebankan 3 (tiga) Izin Usaha Pertambangan (IUP) pasir laut, dengan aktor perusahaan yang terdapat di bagian utara perairan Pulau Tunda (ESDM, 2023), yaitu: 1) PT Pandu Katulistiwa, wilayah konsesi seluas 954,70 ha berdasarkan SK No. 570/28/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020; 2) PT Hamparan Laut Sejahtera (HLS), wilayah konsesi seluas 937,70 ha berdasarkan SK No. 570/27/IUP.OP/DPMPTSP/XII/2020; dan 3) PT Krakatau Banten Sejahtera, wilayah konsesi seluas 482,00 ha berdasarkan SK No. 570/14/IUP.OP-DPMPTSP/XI/2020.

Mengulangi penghancuran lingkungan akibat reklamasi Pulau G

Aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan oleh kapal Vox Maxima ini, akan mengulangi kehancuran lingkungan akibat penambangan pasir untuk pembangunan Pulau G di Teluk Jakarta. “Kehancuran yang dimaksud adalah di Perairan Pulau Tunda yang mengakibatkan hancurnya kehidupan sosial ekologis nelayan, serta kehancuran di Teluk Jakarta beberapa tahun yang lalu,” ungkap Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Ia menegaskan, pembangunan proyek reklamasi ini Pemerintah Indonesia akan meneruskan kehancuran, alih-alih memulihkan ekosistem teluk Jakarta yang telah rusak. Berdasarkan indeks kualitas air laut (IKAL) yang dipublikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 lalu, IKAL di Teluk Jakarta memiliki skor 59,95. “Artinya, kualitas air laut di Teluk Jakarta dalam keadaan tidak baik. Proyek reklamasi ini akan semakin menghancurkan kualitas air laut di Teluk Jakarta,” tegas Suci.

Lebih jauh, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menjelaskan bahwa biaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan ekonomi yang dihasilkan. “Hasil Kajian WALHI bersama dengan para ahli menjelaskan, jika 1 meter kubik (M3) menghasilkan 1 Rupiah, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar 5 Rupiah. Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan,” ungkapnya.

Parid mengingatkan Pemerintah, akibat reklamasi Teluk Jakarta nelayan di Teluk Jakarta berpotensi kehilangan penghasilan hingga Rp 766 miliar per tahun. setiap nelayan akan rugi Rp 26,9 juta per tahun setiap 1 hektar laut terdampak reklamasi. Total kerugian para nelayan di utara Jakarta mencapai Rp137,5 miliar per tahun setiap 1 hektar laut yang terdampak reklamasi. Reklamasi juga akan mengakibatkan kerugian total Rp 13,6 miliar per tahun bagi para pemilik tambak ikan. Kemudian 1.561 orang pedagang ikan akan rugi Rp119,4 miliar setiap tahun. Begitu pula 472 pengolah ikan yang akan rugi Rp 46,2 miliar per tahun. “Dengan demikian, kami mendesak proyek reklamasi sekaligus pertambangan pasir laut di Pulau Tunda, Banten, segera dihentikan. Masa depan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta adalah pemulihan ekologi dan ekonomi untuk nelayan,” tegas Parid.

Merespon kembali beroperasinya pertambangan pasir laut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa pertambangan pasir laut mempunyai sejarah dan dampak panjang dalam kehidupan multidimensi di pesisir dan pulau-pulau kecil. “Pertambangan pasir laut telah terbukti merusak dimensi sosial, ekologis dan ekonomi kehidupan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal yang sama juga telah dialami oleh nelayan dan masyarakat di Pulau Kodingareng tepatnya di Blok Spermonde dengan aktor PT. Pelindo dan kapal isap pasir terbesar di dunia milik perusahaan Boskalis dari Belanda, yaitu Queen of Netherland. Dampak dari aktivitas pengerukan dengan menggunakan kapal isap adalah rusaknya terumbu karang, biota laut dan ekosistem pendukung pesisir lainnya yang berada di perairan, terusirnya nelayan untuk mengakses laut sebagai ruang kelolanya, meningkat abrasi dan gelombang laut karena berubahnya morfologi laut, yang juga berdampak pada semakin terancamnya nelayan untuk melaut,” ungkap Susan.

“Kembali beroperasinya Vox Maxima mengeruk laut memperlihatkan bahwa adanya logical fallacy dari pemerintah saat ini. Di satu sisi pemerintah menganggap bahwa ekologi adalah panglima-nya Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi disisi lain mereka memberikan izin pemanfaatan ruang untuk eksploitasi pasir laut kepada pertambangan pasir laut yang akan digunakan untuk menimbun laut itu sendiri. Pemberian karpet merah terhadap pertambangan pasir laut ini juga sejalan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dengan dalih perlindungan dan pelestarian laut, tetapi realitanya beleid ini menjadi bencana bagi keberlanjutan ekologi dan kehidupan nelayan. Pertambangan pasir laut dan penimbunan pantai telah jelas dan tegas merupakan kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tepatnya pada Pasal 35 huruf i dan l,” jelas Susan.

Senada dengan hal tersebut, nelayan tradisional sekaligus Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Mustaghfirin (Bobi) menjelaskan bahwa pertambangan pasir laut akan sangat berdampak bagi nelayan tradisional. “Kami nelayan kecil menganggap bahwa pertambangan baik di pulau kecil maupun perairannya adalah bentuk penjajahan baru bagi kami nelayan kecil ini. Seharusnya pemerintah serius untuk menindak korporasi yang menambang ataupun pengeruk pasir laut. Kami nelayan di Pulau Pari telah mengalami bagaimana pasir laut kami dihisap untuk memperluas Pulau Tengah yang berada di gugusan Pulau Pari ini. Jika kita lihat, luas Pulau Tengah telah bertambah signifikan dibandingkan tahun 2011. Dampaknya akses kami dibatasi untuk mencari ikan di sekitar Pulau Tengah, bahkan kami diusir ketika mendekat ke pulau itu. Selain itu, budidaya rumput laut kami juga semakin menurun bahkan kami sering gagal panen, hal itu karena rumput laut sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air laut di perairan Pulau Pari,” terang Mustaghfirin.

“Kami juga telah melaporkan hal ini kepada KKP, tetapi hingga saat ini tidak ada tindak lanjut ataupun hukuman kepada pemilik Pulau Tengah karena telah menghisap pasir laut untuk menimbun perairan di Pulau Tengah. Hal yang sama juga kini tengah dialami kawan-kawan kami nelayan tradisional di Pulau Tunda. Sedangkan terkait kapal isap pasir Vox Maxima, sejak 18 sampai 22 November 2023, kapal ini sangat mengganggu aktivitas kami sebagai nelayan kecil karena jalur yang dilewatinya adalah jalur tangkap kami nelayan kecil. Kapal itu menabrak sehingga alat tangkap kami nelayan jadi rusak. Alat tangkap yang rusak seperti
bubu, jaring, tendak (rumpon) dan bubu kepiting. Wilayah tangkap kami yang dilewati kapal itu hanya berjarak sekitar 3 mil dari Pulau Pari. Kerugian-kerugian yang nelayan kecil rasakan ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah karena kami nelayan kecil menjaga keberlanjutan ekosistem laut tapi lautnya malah ditambang karena izin dari pemerintah. Kami nelayan kecil menolak pertambangan pasir laut dan juga penimbunan pantai, karena nelayan yang selalu merasakan dampaknya dan menjadi korban!” tegas Mustaghfirin.

Berdasarkan hal tersebut, kami Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) mendesak Pemerintah, baik Presiden, Menteri KP, dan berbagai kementerian terkait untuk:

  1. Mencabut seluruh rekomendasi pemanfaatan ruang laut untuk perizinan pertambangan pasir laut.
  2. Membuka informasi publik terkait proses dan hasil penindakan hukum yang telah dilakukan kepada MV Vox Maxima dan PT. Hamparan Laut Sejahtera pada Oktober 2023;
  3. Melakukan audit lingkungan perairan laut Pulau Tunda sebelum dan pasca MV Vox Maxima melakukan operasi penambangan pasir laut di perairan Pulau Tunda;
  4. Menindak tegas pihak-pihak terkait yang secara langsung maupun tidak langsung terhubung dengan operasi pertambangan pasir laut oleh MV Vox Maxima secara transparan dan akuntabel, sehingga bisa diakses oleh publik;
  5. Menuntut Presiden Republik Indonesia segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
  6. Menjadikan pemulihan ekologi Teluk Jakarta sebagai agenda prioritas dalam dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.

Informasi Lebih Lanjut:
Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), di
email:forumpulaupari@gmail.com
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, di
email: seknas@kiara.or.id
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional
WALHI,
di email: parid.ridwanuddin@walhi.or.id
Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, di email:
suci.walhijakarta@gmail.com