KIARA Protes Keras Reklamasi Teluk Benoa

NERACA

Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sudah mengajukan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia atas perubahan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan menjadi Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014. “Protes atas kebijakan perubahan Perpres Sarbagita senyatanya hanya mengakomodir kepentingan rencana mereklamasi Teluk Benoa dari pengusaha swasta,” kata Sekjen KIARA Abdul Halim di Jakarta, Minggu (10/8).

KIARA, lanjut Halim, meminta Presiden membatalkan dan mencabut Perpres No. 51/2014  tersebut dan menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali Selatan. KIARA juga meminta Presiden tidak mengeluarkan dan menghentikan kebijakan yang tidak strategis yang mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak termasuk kebijakan yang mengakomodir reklamasi Teluk Benoa.

Menurut Halim, revisi Perpres No. 45/2011 menjadi Perpres No. 51/2014 adalah tindakan yang gegabah, tidak transparan dan tidak memperhatikan dan bahkan mengabaikan aspirasi penolakan masyarakat terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa dan penolakan terhadap revisi perpres no 45/2011 yang berkembang luas di masyarakat Bali sehingga Perpres No. 51/2014  harus dibatalkan dan atau dicabut. “Perubahan Perpres No. 45 /2011  menjadi Perpres No. 51/2014  berpotensi besar untuk memutihkan dugaan pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh Gubernur Bali,” tegasnya.

Revisi Perpres tersebut dia nilai mengakomodir rencana reklamasi Teluk Benoa, telah mengabaikan fakta bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan berdasarkan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi finansial. Revisi ini juga dianngap mengakomodir rencana reklamasi di teluk benoa juga mengabaikan dampak buruk reklamasi bagi lingkungan hidup dan ancaman bencana ekologis.

Menurut dia, Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA baru berlaku selama 3 tahun sehingga tidak dapat dilakukan perubahan, mengingat peraturan tata ruang baru boleh dilakukan review 1 kali dalam 5 tahun dan belum tentu ada revisi. Percepatan perubahan peraturan tata ruang sebagaimana yang terjadi pada perpres Sarbagita no 45/2011 adalah tindakan cacat secara prosedural.

“Perubahan kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum hanya untuk mengakomodir rencana reklamasi yang jelas-jelas dilarang dilakukan di kawasan konservasi akan menjadi preseden buruk bagi kawasan konservasi lainya di Indonesia, mengingat apabila ada investasi untuk melakukan reklamasi di daerah lain di Indonesia maka kawasan konservasi akan diubah peruntukkannya guna mengakomodir reklamasi tersebut. Mengingat hal tersebut maka perubahan kawasan konservasi perairan Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum melalui perubahan Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA menjadi Perpres No. 51/2014  Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA haruslah di batalkan,” jelasnya.

Dia menjelaskan, perubahan Perpres No. 45 /2011 menjadi Perpres No. 51/2014 ini telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pertimbangan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 menjelaskan lima kewajiban konstitusi terhadap masyarakat pesisir. Pertama, telah mengakui hak nelayan tradisional atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah melekat dan telah dimanfaatkan secara turun temurun yang tidak dapat dialihkan dalam bentuk skema pemanfaatan atau diserahkan kepada swasta dengan ganti kerugian.

Kedua, tidak ada lagi legalisasi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada usaha perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu dalam bentuk privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketiga, negara wajib melakukan suatu ‘perlakuan khusus’ bagi nelayan tradisional dalam skema pemanfaatan sumber daya pesisir sehingga tidak ada lagi ancaman kehilangan sumber daya yang menjadi sumber kehidupannya.

Keempat, menekankan adanya jaminan pelibatan nelayan tradisional dalam perencanaan zonasi wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kelima, Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus didasarkan atas prinsip demokrasi eknomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan.

“Perubahan Perpres No. 45 /2011  menjadi Perpres No. 51/2014  merupakan pelanggaran terhadap prinsip partisipasi publik dalam proses perumusan suatu kebijakan publik yang tidak melakukan konsultasi publik dengan sebenarnya. Juga melanggar hak masyarakat untuk menentukan pembangunan sebagaimana ditegaskan oleh UU No. 32 Tahun 2009 yang mengakui hak masyarakat untuk menolak atau keberatan atas suatu kebijakan yang akan berdampak buruk,” urainya. Berdasarkan uraian fakta tersebut, maka KIARA memprotes keras atas perubahan Perpres 45/2011 menjadi Perpres 51/2014.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/44169/KIARA-Protes-Keras-Reklamasi-Teluk-Benoa