Jumat, 27 Maret 2015

Pada Rabu (25/03/2015) kemarin, Pengadilan Perikanan Negeri Ambon memutuskan hanya mendenda Rp250 juta kepada kapal angkut MV Hai Fa yang terbukti melakukan pencurian ikan.

Menanggapi putusan terhadap kapal berbendera Panama yang ditangkap di Pelabuhan Umum Wanam, Kabupaten Merauke, Papua, pada Desember 2014 dan membawa 800.658 kilogram ikan dan 100.044 kg udang milik PT Avona Mina Lestari, berbagai pihak merasa kecewa.

Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan melakukan banding terhadap putusan tersebut. “Kami akan melakukan banding. Kami tidak bisa membiarkan keputusan ini terjadi pada pelaku illegal fishing,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti di Jakarta pada Rabu (25/03/2015).

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro
Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) melihat putusan tersebut merupakan gambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan.

“Sebetulnya ini cermin dari ego sektoral sehingga substansi tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketentuan UU Perikanan dan belum adanya sinergi penegakan hukum khususnya pencurian ikan. Ini tidak sejalan dengan upaya pencegahan dan upaya serius pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekjen Kiara, Abdul Halim yang dihubungi Kamis (26/03/2015).

Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP No. PER.18/MEN/2011.

Penuntutan jaksa sendiri hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Maluku hanya mengancam nakhoda dan ABK dengan pidana penjara selama satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 250 juta. Padahal dari dari KKP menyebutkan ikan yang diduga hasil curian mencapai bobot 900,702 ton. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku dan 100,44 ton udang beku serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp. 70 Miliar dengan penghitungan sejak 2014 telah 7 kali melakukan penangkapan ikan.

Kiara melihat telah sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. Hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan territorial dan kepulauan.

Sedangkan Kapal MV Hai Fa bernakhoda asing dari china yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia. Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO).

“SLO tidak dianggap persyaratan utama penangkapan ikan. Padahal UU perikanan  menyebutkan merupakan bagian yang harus dimiliki sebelum melakukan aktivitas penangkapan ikan di indonesia,” katanya.

MV Hai Fa juga mengangkut ikan hiu martil (Scalloped Hammerhead / Sphyrna lewini) dan hiu koboi (oceanic whitetip shark/Carcharhinus longimatus) yang melanggar Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp100 juta.

Kapal itu juga memasuki wilayah teritorial Indonesia sehingga melanggar kedaulatan negara sebagaimana diatur di  dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985.

Halim mengatakan upaya yang perlu dilakukan KKP adalah dengan mengajukan banding pada tingkat pengadilan kedua dan melakukan sinergi langkah secara intensif dengan aparat penegak hukum, terutama kejaksaan

Oleh karena itu, Kiara mendesak kepada pemerintah untuk melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak kejahatan (tindak pidana) atas perbuatan menangkap ikan secara bertentangan dan melanggar hukum.

Selain itu, tuntutan tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar yang diduga dilakukan oleh  PT. Avona Mina Lestari dan Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan ijin (SIUP) kepada PT. Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar.

“Evaluasi dan perbaiki hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahakamah Agung. Tujuannya untuk memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,” kata Halim.

Sedangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan keputusan pengadilan terhadap MV Hai fa.

“Seharusnya penuntut umum mendasarkan tuntutan bahwa kejahatan pencurian ikan adalah suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).  Illegal, unreported and unregulated (IUU) Fishing berdampak luas tidak terbatas pada devisa negara dan sumber daya alam tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang akan merugi akibat dari IUU Fishing,” kata Ketua KNTI, Riza Damanik.

Lemahnya penegakan hukum terhadap MV Hai Fa akan berdampak tersanderanya proses penegakan hukum terhadap kapal ikan asing yang mencuri di perairan Indonesia di kemudian hari. “Hakim dapat mengambil keputusan yang adil dan memberikan efek jera, termasuk dengan menyita kapal MV Hai Fa,” tambahnya.

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Pencurian Ikan (IUU Fishing) Mas Achmad Santosa mengatakan mengatakan kapal-kapal eks asing buatan Cina dengan ABK asing Cina itu pandai memanipulasi dengan menggunakan bendera Indonesia. Kadang malah menggunakan bendera ganda (double flagging). Sedangkan pemahaman aparat penegak hukum TNI, Polair dan KKP bahwa yang boleh ditenggelamkan hanyalah kapal asing.

“Satgas berpendapat kalau ABK-nya asing, apalagi pemindahtanganan kepemilikan kapalnya (deletion of certificate) tidak jelas maka layak ditenggelamkan atau dimusnahkan. Penenggelaman bisa dilakukan pada kapal-kapal bukan berbendera asing, sekalipun masih pada tahap penyidikan. Ternyata ada pasal dlm UU Perikanan membolehkan untuk dimusnahkan/ditenggelamkan tanpa mensyaratkan bahwa kapal tersebut adalah berbendera asing,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota kepada Mongabay.

Dia mengatakan Menteri KKP dan dan Satgas Gahtas IUUF sekarang sedang memproses penenggelaman lapal eks Cina yang ada di Merauke dan Ambon. “Sekarang 10 kapal eks Cina diatas 200 GT sedang diproses secara hukum. Kapal-kapal eks Cina ini, tidak hanya dikenakan pasal-pasal pidana perikanan yang menyangkut pelaku fisik/lapangan seperti nakhoda dan fishing master,  akan tetapi pidana korporasi yaitu pengenaan ancaman hukuman terhadap pengurus korporsi dengan menghukum penjara pengurus korporasi,” katanya.

“Bu Susi dan Satgas telah berkoordinasi dengan penegak hukum terkait untuk meminta penetapan pengadilan untuk penenggelaman sebagian atau seluruhnya kapal-kapal tersebut,” lanjutnya.

Wakil Ketua Satgas Gahtas IUUF-KKP Yunus Husein mengatakan penyidikan kapal-kapal Cina itu dilakukan oleh aparat dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IX dan lantamal XI TNI AL. “Jadi persuasi / koordinasi terus dilakukan oleh Menteri KKP dan Satgas dengan penyidik TNI AL dan Kejaksan RI,” kata Yunus.

Sedangkan MV Hai Fa didakwa tiga hal yaitu berlayar tanpa SLO, tidak mengaktifkan VMS dan mengangkut hiu martil untuk ekspor.  “Ketiga-tiganya menurut UU, ancaman hukumannya hanya sebatas denda pidana (criminal penalty),  bukan hukuman badan/ penjara. Itu sebabnya TNI AL sebagai penyidik tidak mau menenggelamkan MV Hai Fa karena yang terbukti hanya 3 jenis pelanggaran yg tergolong ringan tersebut. Kemarin tuntutan jaksa perikanan dari Kajati Ambon, dari 3 dakwaan hanya terbukti satu dakwaan saja yaitu pelanggaran mengangkut hiu martil,” jelas Yunus.

Satgas Gahtas IUUF menganggap tuntutan jaksa aneh, karena tuntutan ini melemahkan dakwaannya sendiri. Oleh karena itu, Yunus Husein langsung datang ke Ambon pada Jumat (20/03/2015) kemarin untuk melakukan klarifikasi, pantau dan melakukan verifikasi kejanggalan-kejanggalan itu.

“Satgas sudah mendiskusikan dengan Danlantamal IX minggu-minggu lalu untuk menenggelamkan kapal Hai Fa, atas izin bu Susi tentunya . Tapi menurut pendapat penyidik pelanggarannya masih ringan. Jadi penenggelaman Hai Fa dengan 3 jenis pelanggaran diatas masih belum layak dilakukan,” kata Yunus.

Dia mengatakan Pengadilan Perikanan juga diharapkan memberi putusan merampas barang bukti untuk diserahkan kepada negara untuk dimusnahkan atau dihibahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan atau koperasi nelayan. “Bu Susi n Satgas tidak menyerah begitu saja terhadap fakta bahwa penegakan hukum belum mampu memberi efek gentar atau deterrent effect,”  tambah Yunus.

Reporter : Jay Fajar dan Tommy Apriando

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/03/27/pasca-putusan-ringan-mv-hai-fa-kkp-harus-sinergikan-penegakan-hukum-pencurian-ikan/