REFLEKSI 2013 DAN PROYEKSI 2014 KELAUTAN DAN PERIKANAN; MENCARI PEMIMPIN BERVISI KELAUTAN

 

REFLEKSI 2013 DAN PROYEKSI 2014

KELAUTAN DAN PERIKANAN

MENCARI PEMIMPIN BERVISI KELAUTAN 

PENGANTAR

Dinamika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 tidak mengalami perubahan berarti. Pemerintah terus menggaungkan industrialisasi perikanan, namun berjarak kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya. Padahal, secara esensial tidak ada ubahnya dengan konsep minapolitan ala Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya.

Tidak hanya itu, anggaran kelautan dan perikanan juga terus meningkat. Ironisnya justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan berkubang dana program pemerintah.

KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mencatat sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan.

Tahun 2014 adalah tahun politik. Dalam pada itu, bakal berlangsung pergantian kepemimpinan nasional. Seperti apakah pemimpin nasional yang dibutuhkan Republik Bahari ini? Kekeliruan dalam memilih akan berimbas pada limbungnya raksasa perikanan dunia. Terlebih, di level regional, Indonesia akan dihadapkan pada pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) per tanggal 1 Januari 2014. Tanpa kesungguhan, Pemerintah Republik Indonesia hanya akan mengorbankan masyarakat nelayan sebagai obyek perdagangan bebas. Atas dasar itulah, KIARA menyampaikan Refleksi 2013 dan Proyeksi 2014 Kelautan dan Perikanan: MENCARI PEMIMPIN BERVISI KELAUTAN.

ANGGARAN MENINGKAT, NELAYAN TERPURUK

Sejak tahun 2008-2014, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) cenderung mengalami peningkatan (lihat Tabel 1). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan.

Tabel 1. Anggaran KKP Tahun 2008-2013

No Tahun Jumlah (Triliun)
1 2008 Rp3,20 Triliun
2 2009 Rp3,70 Triliun
3 2010 Rp3,19 Triliun
4 2011 Rp4,91 Triliun
5 2012 Rp5,99 Triliun
6 2013 Rp7,07 Triliun
7 2014 Rp5,60 Triliun

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Jika dirata-rata, anggaran KKP sebesar Rp4,97 Triliun per tahun, dengan kenaikan rata-rata sebesar Rp0,4 Triliun/Tahun. Kecenderungan peningkatan anggaran ini mestinya dibarengi dengan visi menyejahterakan masyarakat nelayan tradisional. Sebaliknya, fluktuasi anggaran justru tidak disertai dengan kreativitas program.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013) mencatat, program yang tertera di dalam Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2013-2014 tidak jauh berbeda, misalnya: (1) Pengembangan Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan; (2) Pembinaan dan Pengembangan Kapal Perikanan, Alat Penangkap Ikan dan Pengawakan Kapal Perikanan. Ironisnya, manfaat dari pelaksanaan anggarannya justru tidak dirasakan nelayan tradisional.

Tidak terhubungnya fakta di perkampungan nelayan dengan penganggaran di KKP menjadi penyebab utama mandeknya keseriusan penyejahteraan masyarakat nelayan. Di tahun 2014, misalnya, dari anggaran sebesar Rp 5,60 Triliun (lihat Tabel 1), hanya 0,01 persen atau sebesar Rp. 258 miliar yang dialokasikan untuk pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala kecil.

Tabel 2. Rincian Anggaran Belanja Bidang KKP Tahun 2014

No.

Nama Bidang

Jumlah (Miliar)

1 Sekretariat Jenderal Rp. 360.231.141
2 Inspektorat Jenderal Rp. 50.532.572
3 Ditjen Perikanan Tangkap Rp. 1.404.452.019
4 Ditjen Perikanan Budidaya Rp. 917.706.222
5 Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rp. 558.135.308
6 Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Rp. 601.941.004
7 Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Rp. 480.917.247
8 Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Rp. 488.465.523
9 Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Rp. 259.762.597
  Total Rp. 5.601.487.908

Sumber: Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2014 Menurut Bagian Anggaran, Unit Organisasi, Program dan Kegiatan, Kementerian Keuangan

MELAUT TANPA PERLINDUNGAN

Sudah sejak tahun 2010, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim mengalami peningkatan (lihat Tabel 3). Sayangnya, fakta ini tidak dianggap sebagai hal penting oleh Negara. Tak hanya itu, ancaman bencana (gempa, banjir bandang, banjir rob, gelombang tinggi, dan angin kencang) juga berakibat pada tidak bisa melautnya masyarakat nelayan tradisional. Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2013) menerima laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten/kota di Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana.

Tabel 3. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut 2010-2012

No Tahun Jumlah Nelayan
1 2010 86
2 2011 149
3 2012 186

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

Mengingat kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana produksi nelayan, dan luasnya wilayah yang terkena dampak cuaca ekstrem memberi dampak terhadap aktivitas ekonomi sosial nelayan tradisional dan mengacu pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi prakiraan cuaca sebelumnya.

Ironisnya, informasi yang disediakan oleh BMKG tidak dijadikan sebagai panduan KKP untuk melindungi nelayan. Akibatnya, sepanjang tahun 2013, sebanyak 255 nelayan mengalami kecelakaan, hilang dan meninggal dunia di laut tanpa jaminan perlindungan jiwa (lihat Tabel 4).

Tabel 4. Jumlah Nelayan Mengalami Kecelakaan, Hilang dan Wafat di Laut 2013

No

Bulan

Jumlah Kecelakaan

Jumlah Nelayan Wafat

1 Januari 8 kasus 49 orang
2 Februari 1 kasus 1 orang
3 Maret 1 kasus 1 orang
4 April 3 kasus 60 orang
5 Mei 2 kasus 11 orang
6 Juni 3 kasus 14 orang
7 Juli 5 kasus 16 orang
8 Agustus 9 kasus 10 orang
9 September 9 kasus 18 orang
10 Oktober 5 kasus 6 orang
11 November 5 kasus 15 orang
12 Desember 6 kasus 24 orang
  Jumlah total 57 Kasus 225 orang

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember  2013)

KEBIJAKAN MENGEBIRI

Dalam 2 tahun terakhir, kebijakan kelautan dan perikanan yang dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR RI justru tidak memihak kepada hajat hidup masyarakat nelayan. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013) menemukan bahwa sebanyak 7 (tujuh) kebijakan kelautan dan perikanan yang tidak memihak nelayan, berpihak kepada kepentingan asing, diskriminatif, berpotensi menyebabkan dikriminalisasinya nelayan, menimbulkan ancaman penggusuran terhadap masyarakat pesisir, dan mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (lihat Tabel 5).

Tabel 5. Arah Kebijakan Kelautan dan Perikanan

No Kebijakan Keterangan
1 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menggantikan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Disahkan DPR pada 16 November 2012 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 November 2012 –       Tidak memihak kepada nelayan tradisional

–       Diskriminasi persamaan perlakuan

–       Berpotensi menyebabkan dikriminalisasinya nelayan

2 Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Disahkan DPR pada 18 Desember 2013 –       Tidak memihak kepada nelayan tradisional

–       Berpihak pada kepentingan asing

–       Diskriminasi persamaan perlakuan

–       Menimbulkan Ancaman Penggusuran terhadap Masyarakat Pesisir

–       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

3 Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 2012 –       Tidak memihak kepada nelayan tradisional

–       Menimbulkan Ancaman Penggusuran terhadap Masyarakat Pesisir

–       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

4 Permen Kelautan dan Perikanan No. PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia direvisi dengan Permen Kelautan dan Perikanan No. 26/PERMEN-KP/2013 pada 20 September 2013 –       Berpihak pada kepentingan asing

–       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

 

5 Permen Kelautan dan Perikanan No. 18/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia –       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
6 Permen Kelautan dan Perikanan No. 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil –       Tidak memihak kepada nelayan tradisional

–       Menimbulkan Ancaman Penggusuran terhadap Masyarakat Pesisir

–       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

7 Permen Kelautan dan Perikanan No. 10/PERMEN-KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan –       Berpihak pada kepentingan asing

–       Mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

 

KEPALA DAERAH TAK RAMAH NELAYAN

Tiga tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal-pasal HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan, KIARA menemukan sedikitnya 50 Kepala Daerah, terdiri dari: (i) 4 Gubernur; (ii) 36 Bupati; dan (iii) 10 Walikota yang memberlakukan kebijakan tidak  ramah terhadap nelayan (lihat Tabel 6).

Tabel 6. Daftar Kepala Daerah Tidak Ramah Nelayan

No Kepala Daerah Bentuk Kebijakan Tidak Ramah Nelayan
  Gubernur  
1 Jawa Timur Perizinan Tambang Pasir Laut
2 Sumatera Utara Alih konversi mangrove
3 DKI Jakarta Reklamasi Pantai
4 Bali Reklamasi Pantai
  Bupati  
5 Batang Alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU
6 Serang Perizinan Tambang Pasir Laut
7 Jepara Perizinan Tambang Pasir Besi
8 Pandeglang Perizinan Tambang Pasir
9 Bangka Perizinan Tambang Timah
10 Belitung Perizinan Tambang Timah
11 Langkat Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
12 Asahan Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
13 Tangerang Reklamasi Pantai
14 Minahasa Utara Reklamasi Pantai
15 Bolaang Mongondow Timur Perizinan Tambang Pasir Besi
16 Bolaang Mongondow Utara Perizinan Tambang Pasir Besi
17 Kepulauan Sangihe Perizinan Tambang Pasir Besi
18 Gresik Reklamasi Pantai
19 Mamuju Reklamasi Pantai
20 Donggala Reklamasi Pantai
21 Pangandaran Perizinan Tambang Pasir Besi
22 Tasikmalaya Perizinan Tambang Pasir Besi
23 Bandung Barat Perizinan Tambang Pasir Besi
24 Minahasa Selatan Perizinan Tambang Pasir Besi
25 Minahasa Tenggara Perizinan Tambang Pasir Besi
26 Morowali Reklamasi Pantai
27 Aceh Besar Perizinan Tambang Pasir Laut
28 Seluma, Bengkulu Perizinan Tambang Pasir Besi
29 Belitung Perizinan Tambang Pasir Laut
30 Bangka Perizinan Tambang Timah
31 Garut Perizinan Tambang Pasir Besi
32 Kulon Progo Perizinan Tambang Pasir Besi
33 Kebumen Perizinan Tambang Pasir Besi
34 Cilacap Perizinan Tambang Pasir Besi
35 Tulungagung Perizinan Tambang Pasir Besi
36 Lumajang Perizinan Tambang Pasir Besi
37 Jember Perizinan Tambang Pasir Laut
38 Blitar Perizinan Tambang Pasir Laut
39 Ende Perizinan Tambang Pasir Besi
40 Konawe Perizinan Tambang Pasir Besi
  Walikota  
41 Balikpapan Perizinan Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai
42 Manado Reklamasi Pantai
43 Palu Reklamasi Pantai
44 Makasar Reklamasi Pantai
45 Lampung Reklamasi Pantai
46 Padang Reklamasi Pantai
47 Semarang Reklamasi Pantai
48 Surabaya Reklamasi Pantai
49 Kupang Reklamasi Pantai
50 Bau-bau Reklamasi Pantai

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)

KENAIKAN PRODUKSI, BUKAN PRESTASI

Kementerian Kelautan dan Perikanan menempatkan kenaikan produksi sebagai prestasi. Padahal, dengan wilayah lautan seluas 70%, peningkatan produksi adalah hal yang lumrah. Apalagi terdapat dukungan anggaran yang terus meningkat, khususnya bagi Ditjen Perikanan Budidaya.

Untuk tahun 2014, alokasi anggaran untuk peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar Rp. 917.706.222.000. Di dalamnya termasuk Rp260.000.000.000 untuk bantuan sosial yang rentan disalahgunakan. Tak mengherankan jika di dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2014, dicantumkan tujuan: peningkatan produksi perikanan terutama dari perikanan budidaya, selain dari perikanan tangkap melalui pengembangan jaringan tambak, pengembangan benih, perluasan areal budidaya ikan, serta pembangunan pelabuhan perikanan.

Program revitalisasi tambak udang melalui tambak demfarm yang digulirkan oleh KKP sejak tahun 2012 menciptakan kesenjangan sosial yang kian tinggi di kalangan masyarakat pembudidaya. Hal ini dikarenakan pihak penerima proyek Demfarm seperti di Indramayu, Jawa Barat, pada tahun 2012 pada umumnya adalah juragan tambak.

Kiara menyatakan format pengerjaan proyek denfarm yang dilakukan di sepanjang kawasan pantai utara Jawa itu juga dinilai merupakan pengerjaan proyek yang tidak berbasis kelompok melainkan buruh-majikan.  Tenaga kerja didatangkan dari luar desa atau bahkan berasal dari kecamatan lainnya. Hal ini menyalahi Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 84 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percontohan Usaha Budidaya (Demfarm) Udang dalam Rangka Industrialisasi Perikanan Budidaya.

Di dalam Bab II tentang Kelembagaan, Tugas, dan Fungsi, Kelompok Pembudidaya Ikan didefinisikan sebagai kumpulan pembudidaya ikan yang terorganisir, mempunyai pengurus dan aturan-aturan dalam organisasi kelompok, yang mengembangkan usaha produktif untuk mendukung peningkatan pendapatan dan penumbuhan wirausaha di bidang perikanan budidaya. Dalam perkataan lain, semangat yang dibangun proyek demfarm hanya memperkaya para juragan pemilik tambak, sementara kelompok pembudidaya ikan yang menjadi sasaran utama justru dikesampingkan. Hal ini kian memperlebar jurang kesejahteraan di tingkat masyarakat pembudidaya. Tanpa kesejahteraan pembudidaya, kenaikan produksi bukanlah prestasi.

NEGERI OTOMATIS

Salah satu produk kebijakan yang akan diberlakukan di ASEAN, khususnya untuk sektor perikanan, adalah sertifikasi (best practices) produk perikanan budidaya. Dalam istilah ASEAN, disebut sebagai GAP (Good Aquaculture Practices). Sejauh mana kesiapan Indonesia? Sebanyak lebih dari 4,5 juta pembudidaya dan 2,3 juta jiwa nelayan bakal dihadapkan pada pemberlakukan pasar tunggal ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN per 1 Januari 2015.

Di tengah isu global di sektor perikanan budidaya tentang jaminan mutu dan keamanan pangan, masyarakat dunia menjawabnya dengan berbagai sistem standar mutu, keamanan pangan dan sertifikasi, seperti HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points), GAP (Good Aquaculture Practices), ASC (Aquaculture Stewardship Council), dan sebagainya.

Di level nasional, Dirjen Perikanan Budidaya KKP mengeluarkan kebijakan CBIB yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik. Aturan ini hanya mengatur cara berbudidaya ikan yang baik dari sisi keamanan bilogis dan pangan, serta seolah-olah ramah lingkungan. Namun aturan ini tidak ditujukan untuk mengantisipasi berulangnya praktek pelanggaran hak asasi manusia, problematika lingkungan, dan mengabaikan tanggung jawab sosial kemasyarakatan.

Pemerintah telah menetapkan CBIB sejak 5 Januari 2007, melalui Keputusan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 2/MEN/2007 Tentang Cara Budi Daya Ikan yang Baik (CBIB). CBIB yang terbit pada tahun 2007 masih mengacu pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan belum mengacu kepada UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004.

Ironisnya, Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) tidak membedakan antara korporasi pertambakan yang menerapkan sistem contract farming/corporate farming seperti yang terjadi di pertambakan udang Bumi Dipasena saat bermitra dengan PT. Aruna Wijaya Sakti afiliasi dari Central Proteina Prima (PT. AWS/CPP). Menyamakan perlakuan antara petambak skala besar/industri dengan contract farming (korporasi) dengan petambak tradisional/skala kecil/mandiri akan mendiskriminasi petambak skala kecil (tradisional/mandiri).

Selain perbedaan perlakukan, CBIB juga tidak membedakan antara petambak mandiri dan tradisional dengan budidaya yang dilakukan oleh korporasi. Karena adanya perbedaan dalam permodalan, teknologi, informasi dan pengetahuan petambak skala kecil (tradisional/mandiri) yang akan mengakibatkan mereka tidak dapat bersaing dengan pertambakan skala besar (korporasi). Tidak menutup kemungkinan aturan ini akan mematikan usaha budidaya tambak tradisional/mandiri dan tujuan untuk menyejahterakan para nelayan budidaya tidak tercapai.

Program Pemerintah terhadap keberlanjutan pembudidaya ikan saat ini masih belum secara maksimal mendukung kepentingan petambak tradisional maupun intensif mandiri. Ditambah lagi, CBIB dirumuskan tidak secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat petambak maupun organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap perlindungan dan kesejahteraan petambak. Padahal keberadaan peraturan hendaknya mempertimbangkan kepentingan dan kemampuan seluruh pemangku kepentingan sehingga peraturan tersebut memberikan keadilan.

Dalam hal tanggung jawab, aturan ini hanya berorientasi pada hasil yang baik, tapi aturan tidak secara spesifik mendelegasikan tanggung jawab di luar kemampuan petambak tradisional dan intensif mandiri. Contoh, pengadaan labolatorium, hatchery, bibit (benur) dan pakan yang terjamin kualitasnya, serta mudah didapatkan. Juga termasuk ancaman eksternal yang tidak mungkin dapat diselesaikan oleh para petambak, seperti pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan aktivitas lainnya.

BISNIS AMIS

Hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30% dalam keadaan sedang, 23,72% dalam keadaan baik, dan 6,20% dalam keadaan sangat baik. Dalam menyelesaikan kondisi terumbu karang rusak yang tinggi tersebut Pemerintah justru menyelenggarakan program konservasi terumbu karang yang dberi nama COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project) dengan pembiayaan berbasis hutang. Program yang diklaim pemerintah sebagai upaya pengelolaan kawasan konservasi perairan secara berkelanjutan, penambahan luas kawasan konservasi perairan serta terkelolaanya jenis biota laut yang terancam punah, langka, endemik, dan dilindungi.

COREMAP yang melibatkan instansi pemerintah, LSM internasional dan dibiayai dengan menggunakan dana utang dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) ini tidak memberikan dampak yang lebih baik bagi perbaikan kawasan terumbu karang. Pada periode 2004-2011, total anggaran COREMAP tahap II mencapai lebih dari Rp. 1,3 triliun yang diantaranya dibiayai melalui utang luar negeri dari Bank Dunia (WB), Bank Pembangunan Asia (ADB) dan AusAID.

Dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang ini gagal, tidak efektif dan rawan kebocoran dana. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Program Coremap, antara Tahun 2011 s.d Semester I 2012. Hasil audit BPK menunjukkan hampir semua program COREMAP laut berujung pada kegagalan. COREMAP tidak mencapai indikator perencanaan, implementasi hingga pengawasan. Bukti-bukti sejalan berdasarkan fakta lapangan ditemukan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara sejak 2009 lalu. Pada akhirnya, program konservasi dari hutang luar negeri seperti COREMAP menjadi mesin ATM baru, dan bahkan miskin prestasi.

KIARA mengidentifikasi penyelewengan dana COREMAP II mencapai Rp 11,401 milyar. Dana tersebut semestinya untuk kebutuhan masyarakat nelayan melalui implementasi empat komponen, yakni: pembangunan pusat informasi dan penyadaran perlindungan terumbu karang; penghidupan alternatif untuk mereduksi tekanan atas ekosistem karang; pengawasan kawasan konservasi laut; dan sarana fisik seperti posyandu, bangsal kerja dan bangunan MCK (mandi, cuci, kakus).

MEMFASILITASI ASING

Praktek penangkapan ikan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU fishing) menjadi salah satu perhatian banyak Negara, termasuk Indonesia. Sepanjang tahun 2013, sedikitnya 39 kapal asing memasuki perairan Indonesia dan menangkap ikan secara ilegal. Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2013) mendapati kapal-kapal tersebut berasal dari Malaysia, Cina, Filipina, Korea, Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Praktek ini jelas merugikan negara dalam menjaga kelestarian ekosistem laut dan keberlanjutan sumber pangan perikanan.

Praktik pencurian ikan di perairan Indonesia tahun demi tahun bertambah banyak. Sepanjang 2001 – 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga November 2012. Ironisnya, Menteri Kelautan dan Perikanan justru mengesahkan aturan yang membolehkan alih muatan (transhipment).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU No. 45 Tahun 2009. Pertama, kewajiban Vessel Monitoring System untuk Kapal 30 GT dan Asing Dilonggarkan. Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan. Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalanya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan. Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandate UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan diluar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.

Kedua, alih muatan kapal masih diperbolehkan. Pengaturan mengenai transshipment (alih muatan) dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013. Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri.

Ketiga, komoditas tuna segar dikecualikan dari Unit Pengolahan Ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.

Sebagaimana diketahui bersama wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia. Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT. Sehingga pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal  25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia.

Dengan adanya klausul Pasal 44 ayat (3a), revisi permen tersebut telah mengelabui tekanan publik terhadap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia. Setelah sebelumnya Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 Permen KP No. 30 Tahun 2012 memperbolehkan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal untuk membawa langsung ikan hasil tangkapannya keluar negeri telah dihapuskan. Aturan ini telah dihapus dan ditambahkan dengan kewajiban melaporkan ke syahbandar untuk melakukan perbaikan/docking ke luar negeri. Dihapusnya peraturan Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 seolah-olah hanya ilusi pengelolaan pangan untuk berdaulat namun kenyataannya hanya menjadi komoditas ekspor tanpa memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pangan perikanan yang berkualitas.

Lebih lanjut, kerjasama yang dijalin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan FAO dalam menanggulangi praktek IUU fishing tidak akan berdaya guna jika Negara justru melonggarkan aturan usaha perikanan tangkap.

Di tengah minimnya kapasitas Negara melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, KIARA mendesak Presiden SBY untuk menegur Menteri Kelautan dan Perikanan agar merevisi peraturan menteri yang berpotensi merugikan Negara dan nelayan tradisional, serta mengganggu ketersediaan sumber pangan perikanan dalam negeri.

PENUTUP: MENCARI PEMIMPIN BERVISI DAN PEKERJA

Di tahun 2014, berbagai fakta yang belum dituntaskan harus menjadi prioritas pemerintah, khususnya pemimpin nasional baru, untuk diselesaikan. Pertama, tidak terhubungnya rantai pasokan bahan baku, sistem logistik, dan persaingan kualitas.

Kedua, untuk perikanan budidaya, mempertimbangkan kemampuan para pelaku tambak tradisional maupun intensif mandiri yang masih sangat minim fasilitas pendukung infrastruktur, seperti laboratorium, maka sulit bagi petambak untuk bisa menjalankan aturan CBIB ini. Oleh karena itu, fasilitasi program dan bantuan teknis harus menjadi prioritas Menteri Kelautan dan Perikanan untuk masyarakat pembudidaya tradisional. Ketiga, dalam hal menjaga kualitas produksi yang baik dan sehat seharusnya pemerintah lebih memfokuskan pada pencegahan-pencegahan terjadinya pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas lain, seperti pertambangan, limbah industri di luar aktivitas kegiatan tambak dan perikanan tangkap, dan sebagainya.

Keempat, menutup akses asing, khususnya terkait kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dan pesisir, yang bertentangan dengan semangat UUD 1945.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal

di +62 815 53100 259

Susan Herawati, Koordinator Divisi Perencanaan, Evaluasi dan Penggalangan Dukungan

di +62 821 1172 7050

Ahmah Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 812 8603 0453

Selamet Daroyni, Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan

di +62 821 1068 3102

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

The People’s Coalition for Fisheries Justice

Jl. Manggis Blok B Nomor 4

Perumahan Kalibata Indah

Jakarta 12750

Telp./Faks. +62 21 799 3528

Email. kiara@kiara.or.id

FB. Kiara

Twitter. @sahabatkiara

www.kiara.or.id