RUU Perlindungan Nelayan: Pengakuan Hak-Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir Harus Jadi Prioritas

Rabu, 17 Juni 2015

Jakarta, Villagerspost.com –  Dimulainya pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan disambut baik oleh sedikitnya 2,2 juta jiwa nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap dan sejumlah 3,5 juta jiwa pembudidaya. Pembahasan RUU Perlindungan Nelayan ini juga mendapat sambutan dari petambak garam dan para perempuan nelayan.

Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Komisi IV di Gedung Nusantara, Selasa (16/6) sore kemarin. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, pembahasan RUU Perlindungan Nelayan ini adalah momentum baik bagi negara untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan bagi kebutuhan nasional, yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.

“Selama ini profesi mereka banyak diabaikan,” kata Halim dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (17/6).

Bertolak dari draf Naskah Akademik dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan yang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI per tanggal 1 Juni 2015, menurut Halim, mulai terlihat jelas upaya menghadirkan negara untuk melindungi dan menyejahterakan para pahlawan ini.

Di dalam RDPU, KIARA yang tergabung di dalam Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir menyampaikan bahwa RUU ini merupakan tantangan pemerintah untuk menghapus tiga mispersepsi yang dialamatkan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam. Pertama, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah yang termiskin (the poorest of the poor).

“Fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. Alhasil, prinsip survival of the fittest  berlaku di perkampungan nelayan,” jelas Halim.

Kedua, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan oleh Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.

“Ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya resiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan,” tegas Halim.

Pada tahun 2010, KIARA mendapati nelayan memiliki tumpukan utang hingga Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) tanpa bisa mengangsur ke tengkulak di Desa Gebang Kulon, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, sampai dengan hari ini. “Dalam situasi inilah, perempuan nelayan berperan penting selama 17 jam per hari untuk menopang kebutuhan hidup keluarga dengan kontribusi sebesar 48 persen,” papar Halim.

Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi.

“Tiga mispersepsi di atas adalah pekerjaan rumah pemerintah bekerjasama dengan masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil untuk diselesaikan. Tanpa dilatari spirit untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan tersebut, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan hanya akan menjadi lembaran negara tanpa meninggalkan jejak kesejahteraan di 10.666 desa pesisir,” tambah Halim.

Di kesempatan yang sama, Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengatakan, RUU ini harus melihat kekhususan hak yang dimiliki oleh nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan skala kecil.

“Jika hal ini terumuskan dengan baik, maka UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan akan menjadi pintu masuk sejarah bangsa Indonesia dalam upaya mengakui dan menyejahterakan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam,” ujarnya.

Pasca penyampaian pokok-pokok pikiran Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir, KIARA dan SNI menyerahkan Naskah Akademik, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, serta catatan kritis atas draf DPR-RI per tanggal 1 Juni 2015 versi masyarakat sipil yang disusun secara partisipatif bersama dengan organisasi nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir di bagian barat, tengah dan timur Indonesia kepada pimpinan rapat RDPU Viva Yoga Mauladi.

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/ruu-perlindungan-nelayan-pengakuan-hak-hak-nelayan-dan-masyarakat-pedesaan-pesisir-harus-jadi-prioritas/

RUU Perlindungan Nelayan: Pengakuan Hak-Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir Harus Jadi Prioritas

Rabu, 17 Juni 2015

Jakarta, Villagerspost.com –  Dimulainya pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan disambut baik oleh sedikitnya 2,2 juta jiwa nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap dan sejumlah 3,5 juta jiwa pembudidaya. Pembahasan RUU Perlindungan Nelayan ini juga mendapat sambutan dari petambak garam dan para perempuan nelayan.

Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Komisi IV di Gedung Nusantara, Selasa (16/6) sore kemarin. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, pembahasan RUU Perlindungan Nelayan ini adalah momentum baik bagi negara untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan bagi kebutuhan nasional, yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.

“Selama ini profesi mereka banyak diabaikan,” kata Halim dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (17/6).

Bertolak dari draf Naskah Akademik dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan yang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI per tanggal 1 Juni 2015, menurut Halim, mulai terlihat jelas upaya menghadirkan negara untuk melindungi dan menyejahterakan para pahlawan ini.

Di dalam RDPU, KIARA yang tergabung di dalam Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir menyampaikan bahwa RUU ini merupakan tantangan pemerintah untuk menghapus tiga mispersepsi yang dialamatkan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam. Pertama, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah yang termiskin (the poorest of the poor).

“Fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. Alhasil, prinsip survival of the fittest  berlaku di perkampungan nelayan,” jelas Halim.

Kedua, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan oleh Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.

“Ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya resiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan,” tegas Halim.

Pada tahun 2010, KIARA mendapati nelayan memiliki tumpukan utang hingga Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) tanpa bisa mengangsur ke tengkulak di Desa Gebang Kulon, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, sampai dengan hari ini. “Dalam situasi inilah, perempuan nelayan berperan penting selama 17 jam per hari untuk menopang kebutuhan hidup keluarga dengan kontribusi sebesar 48 persen,” papar Halim.

Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi.

“Tiga mispersepsi di atas adalah pekerjaan rumah pemerintah bekerjasama dengan masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil untuk diselesaikan. Tanpa dilatari spirit untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan tersebut, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan hanya akan menjadi lembaran negara tanpa meninggalkan jejak kesejahteraan di 10.666 desa pesisir,” tambah Halim.

Di kesempatan yang sama, Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengatakan, RUU ini harus melihat kekhususan hak yang dimiliki oleh nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan skala kecil.

“Jika hal ini terumuskan dengan baik, maka UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan akan menjadi pintu masuk sejarah bangsa Indonesia dalam upaya mengakui dan menyejahterakan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam,” ujarnya.

Pasca penyampaian pokok-pokok pikiran Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir, KIARA dan SNI menyerahkan Naskah Akademik, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, serta catatan kritis atas draf DPR-RI per tanggal 1 Juni 2015 versi masyarakat sipil yang disusun secara partisipatif bersama dengan organisasi nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir di bagian barat, tengah dan timur Indonesia kepada pimpinan rapat RDPU Viva Yoga Mauladi.

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/ruu-perlindungan-nelayan-pengakuan-hak-hak-nelayan-dan-masyarakat-pedesaan-pesisir-harus-jadi-prioritas/