Posts

KLHK dan KKP Harus Bertindak Tegas! Perusak terumbu karang wajib diadili secara tuntas.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Jakarta, 13 September 2022 – Penimbunan pantai yang dilakukan oleh PT. Tj Silfanus diduga telah menyebabkan kerusakan permanent ekosistem pesisir dan laut di Pantai Minanga, Teluk Manado, Kota Manado. Kerusakan utama tertimpanya terumbu karang akibat material (batu) timbunan yang telah berlangsung selama 1 – 19 Agustus 2022. Hal tersebut dibuktikan dengan riset KELOLA bersama Scientific Explorer Team yang menghasilkan dokumentasi yang menunjukkan kerusakan terumbu karang akibat penimbunan pantai di perairan Pantai Minanga.

Fakta dan temuan berupa foto bawah laut yang disebabkan penimbunan pantai, jelas bahwa kegiatan PT. Tj. Silfanus termasuk dalam pelanggaran tindak pidana karena bertentangan dan melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo. Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 yang berbunyi “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang”.

Dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja: a. mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;”.

Hingga 23 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus masih melakukan aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Dengan kondisi diatas, Aktivitas penimbunan pantai tersebut telah dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tanggal 11 Agustus 2022, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tangal 30 Agustus 2022. KIARA meminta untuk dilakukan evaluasi dan monitoring atas kegiatan penimbunan pantai yang dilakukan perusahaan, serta mendorong KLHK dan KKP mengusut secara tegas dan tuntas dugaan perusakan terumbu karang yang dilakukan oleh perusahaan.

KLHK melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) dan KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Satker Manado yang berjumlah delapan (8) orang telah datang ke lokasi penimbunan pada tanggal 1 September 2022. Namun sampai saat ini, belum membuahkan hasil apapun, baik catatan kunjungan secara terbuka kepada public.

Berdasarkan informasi yang KIARA terima dari masyarakat Pantai Minanga, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menyatakan bahwa proyek penimbunan pantai tersebut sudah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Sulut. Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengemukakan bahwa hingga sampai lampiran alokasi ruang yang ada dalam Perda RZWP-3-K Sulawesi Utara belum diinformasikan dan dipublikasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sejak ditetapkan produk hukum tersebut.

Susan menuturkan “KIARA tegas mengritik keras tentang produk hukum RZWP-3-K yang bermasalah dari awal pembentukannya hingga penerapannya yang berujung perusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut. KIARA melihat kerusakan terjadi khususnya ekosistem terumbu karang hanya untuk aktivitas seperti penimbunan pantai yang dilakukan secara sengaja dilakukan oleh korporasi atau pemodal. Apakah ekosistem terumbu karang harus dibiarkan secara sadar dirusak karena ruang tersebut telah dialokasikan untuk industri lain dalam RZWP-3-K?”

“Seharusnya kejadian kerusakan ekosistem di pesisir melalui terbitnya RZWP-3-K menjadi pijakan bagi KKP untuk mengevaluasi seluruh Perda RZWP-3-K yang sejak awal penyusunannya tidak melibatkan partisipasi publik khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai rightsholders atas lautnya,” tegas Susan.

KIARA mempertanyakan posisi tegas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai garda terdepan dalam memfasilitasi korporasi untuk melakukan perusakan melalui salah satu produk hukumnya. Lebih lanjut, Rignolda Djamaluddin ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA) menilai “instansi pemerintah, baik GAKKUM maupun PSDKP dengan mudah menyatakan perusakan dan tindakan penangkapan, kalau yang melakukannya adalah masyarakat seperti nelayan tradisional dalam konteks Illegal Fishing misalnya.”

KIARA menilai terjadinya penimbunan pantai yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, seharusnya KKP, KLHK beserta kementerian/lembaga negara lainnya melakukan audit lingkungan, terutama terhadap korporasi yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Jika pemangku kebijakan yaitu KKP dan KLHK memiliki itikad baik, maka mereka dapat melakukan proses pidana kepada perusahaan tersebut. Bahkan KKP dan KLHK harus menghitung valuasi nilai kerugian yang terjadi akibat dari kerusakan terumbu karang yang ada di Pantai Minanga, bukan hanya dengan mudah memberikan izin untuk reklamasi yang telah jelas merugikan nelayan dan juga ekosistem terumbu karang.

KIARA mencatat bahwa telah ada kasus yang ditangani Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2019 terkait dengan tindak pidana perikanan karena terbukti melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan, dalam konteks ini adalah terumbu karang. Di dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) kepada tersangka yang terbukti melakukan perbuatan tersebut.

Putusan MA yang dijelaskan tersebut seharusnya menjadi produk hukum dan preseden yang baik untuk dilakukan di berbagai tempat yang terjadi perusakan terumbu karang, baik akibat dari penimbunan pantai atau hal apapun yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. “Jika KKP dan KLHK tidak menindak sekarang, berarti secara jelas posisi dan langkah yang dilakukan KKP dan KLHK tidak sejalan keberlanjutan ekologi dan ekosistem yang hidup di dalamnya serta hanya memberikan karpet merah perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
 

PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Jakarta, 19 Agustus 2022 – Nuansa merdeka secara penuh dalam momentum dirgahayu kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-77 tak dirasakan lagi nelayan dan masyarakat pesisir yang tinggal di sepanjang pesisir Kampung Baru, Kota Manado. Merdeka bagi nelayan dan masyarakat pesisir adalah pemenuhan atas Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan, dan Petambak garam, yang menjadi mandat Pemerintah dalam memegang amanat Republik ini. Kehadiran perusahaan swasta yaitu PT. Tj Silfanus yang melakukan penimbunan Pantai Minanga-Malalayang telah mengabaikan hak konstitusional nelayan yang sekaligus mencabut dan menghancurkan kemerdekaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir.

Korporasi tersebut berencana melakukan penimbunan pantai (reklamasi lahan) di Pantai Minanga-Malalayang sepanjang ± 500 meter. Sejak awal rencana penimbunan pantai ini mulai muncul, berbagai penolakan telah dilontarkan nelayan dan masyarakat pesisir. Namun sejak 1 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus telah memulai aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Melihat adanya aktivitas penimbunan pantai, masyarakat pesisir di sekitar Pantai Minanga melakukan penghadangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan karena menolak keras penimbunan pantai tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa aktivitas penimbunan pantai yang tengah dan akan dilakukan di Pantai Minanga merupakan bentuk penghancuran wilayah pesisir beserta ekosistem yang hidup di dalamnya secara terencana. Penimbunan pantai bertolak belakang dengan semangat perlindungan wilayah pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang tengah dilakukan dan diperjuangkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Lebih jauh, Susan menyatakan, aktivitase penimbunan pantai tersebut telah merusak ekosistem alami terumbu karang yang ada di perairan Pantai Minanga. KELOLA (Kelompok Pengelola Sumber daya Alam) yang sebelumnya telah membuat studi terkait terumbu karang bersama Scientific Exploration Team, menemukan material-material penimbunan pantai berupa batu menimpa dan merusak ekosistem terumbu karang yang hidup di perairan Pantai Minanga. Temuan lainnya, adanya spesies karang berstatus dilindungi yaitu Kima Raksasa (Tridacna) yang terancam kehidupannya pada perairan yang ditimbun. Padahal di dalam kebijakan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur terhadap larangan merusak ekosistem terumbu karang.

Melanggar Peraturan Perundang-undangan Yang Ada

“Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 secara tegas menyebut bahwa setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan atau merusak ekosistem terumbu karang, juga dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” tegas Susan.

Susan melanjutkan, di dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 menerangkan tentang ketentuan pidana bagi yang melakukan pengrusakan terumbu karang. “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana dengan paling sedikit Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang sengaja mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35,” jelas Susan.

KIARA telah melihat di berbagai wilayah bahwa praktik penimbunan pantai selain merusak 3 (tiga) ekosistem di wilayah pesisir dan laut (:ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove), juga membatasi bahkan memutus hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 telah dijelaskan bahwa hak konstitusional nelayan antara lain: 1). hak untuk melintas dan mengakses laut; 2). hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3). hak untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut; serta 4). hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.

Susan menegaskan bahwa proyek penimbunan pantai telah berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di berbagai tempat yang telah terjadi. Hal penting lainnya adalah KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menindak PT. Tj Silfanus dan korporasi lainnya yang telah dan tengah melakukan penimbunan pantai yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, sehingga minumbulkan efek jera dan menunjukkan eksistensi dan standing position yang tegas dari negara dalam mewujudkan perlindungan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta ekosistem di dalamnya secara adil dan berkelanjutan.

 

Informasi Lebih Lanjut :

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502