Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan
Latar Belakang
Laporan terbaru FAO (2012) menempatkan Indonesia sebagai produsen perikanan tangkap kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi ketiga terbesar dengan nilai produksi 5,384 juta ton setelah Tiongkok menjadi produsen teratas sebesar 14,8 juta ton, disusul Peru sebesar 7,4 juta ton (FAO, 2010).
Di sektor perikanan budidaya, Indonesia berada di posisi ke-4 setelah Tiongkok, Vietnam dan India. Senada dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan adanya kenaikan volume produksi perikanan, yakni sebesar 5,829,194 ton (2012) dari 5,384,418 ton (2010).
Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan distribusi pundi-pundi kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional yang tersaji di meja-meja makan keluarga Indonesia disediakan oleh nelayan tradisional (KIARA, 2010). Sebaliknya, kuota impor ikan justru meningkat: 331.893 ton di tahun 2009 menjadi 337.360 ton di tahun 2012 (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2012).
Tak hanya di sektor perikanan, garam yang dipergunakan sebagai bumbu penyedap rakyat pun juga diimpor. Badan Pusat Statistik (2014) mencatat kenaikan volume impor garam di Januari 2014 melonjak di atas 70 persen atau sebesar 278.000 ton dibandingkan Januari 2013. Negara-negara pengimpor garam di antaranya Australia, Selandia Baru, India, Denmark dan Jerman (Pusat Data dan Informasi KIARA). Ironisnya, impor ini dilakukan di tengah produksi garam rakyat meningkat.
Di Indonesia, jumlah nelayan tangkap mencapai 2,2 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional. Lazimnya pelaku ekonomi tradisional, alat tangkap, dan modal produksi yang dipergunakan masih dalam koridor sederhana/terbatas.
Dalam keterbatasan itulah mereka bertarung dengan gelombang di lautan tanpa perlindungan maksimal dari negara. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat sebanyak 86 jiwa nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem di sepanjang tahun 2010. Jumlah ini terus meningkat di tahun 2011 (sebanyak 149 jiwa), 2012 (186 jiwa) dan 2013 (225 jiwa). Banyaknya korban jiwa ini adalah buntut dari minusnya representasi negara.
Dalam ketiadaan pilihan, negara membiarkan nelayan mempertaruhkan jiwanya. Pada level inilah negara harus mengejawantahkan kehadirannya di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekira 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran negara justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional.
Dengan populasi dunia yang terus bertambah, permintaan atas ikan dan produk olahannya diperkirakan meningkat bersamaan dengan meningkatnya volume konsumsi ikan per kapita warganya hingga sebesar 19,2 kilogram per tahun sejak 2001-2010. Sebelumnya hanya rata-rata 17,3 kilogram dan 18,9 kilogram (FAO, 2014).
Selaras dengan fakta di atas, jumlah pekerja di sektor perikanan (tangkap dan budidaya) juga berkembang drastis. Sedikitnya 56 juta orang secara langsung terlibat di dalam aktivitas perikanan, di mana di dalamnya termasuk perempuan nelayan yang memainkan peranan penting dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Jika dihitung, sebanyak 660 sampai dengan 880 juta orang atau 12 persen dari jumlah populasi dunia bergelut dan atau bergantung di sektor ini.
Ikan adalah salah satu produk utama dunia yang diperdagangkan dengan total 40 persen di pasaran internasional. Setiap tahunnya, diperoleh nilai ekspor sebesar lebih dari USD 135 miliar. Dalam pada itu, perdagangan ikan dan produk olahannya menjadi sumber pendapatan penting bagi beberapa negara, khususnya negara-negara berkembang, dengan nilai kontribusi senilai lebih dari 50 persen dari segi nilai dan 60 persen dilihat dari kuantitas ikan dan produk olahan yang diekspor.
Dalam hal konsumsi, ikan menjadi menu yang banyak dipilih oleh populasi dunia hingga 17 persen dan bahkan di beberapa negara mencapai lebih dari 50 persen. Di negara-negara Afrika Barat, misalnya, ikan menjadi menu utama, seperti Senegal sebesar 43 persen, 72 persen di Sierra Leone, dan 55 persen di Gambia dan Ghana. Bagaimana di Asia? Tak jauh berbeda, tingkat konsumsi protein dari ikan juga tergolong tinggi. Contohnya, 70 persen di Maladewa, 60 persen di Kamboja, 57 persen di Bangladesh, 55 persen di Sri Lanka, dan Indonesia sebesar 54 persen.
Tingginya tingkat konsumsi ikan diperkuat oleh pernyataan para ahli bahwa mengonsumsi ikan, khususnya minyak ikan, sangat berarti bagi optimalisasi pertumbuhan otak dan sistem motorik anak sebagaimana diperoleh dari Omega 3.
Bahkan dalam pertemuan konsultasi FAO da WHO, disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan oleh perempuan pengonsumsi ikan dan sebaliknya memiliki tingkat pertumbuhan kecerdasan yang berbeda. Tak hanya bagi anak-anak, ikan juga memberikan keuntungan kesehatan bagi orang dewasa, misalnya mengurangi resiko terserang penyakit jantung. Dalam situasi inilah, perempuan nelayan berperan penting. Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat sebesar 48 persen penghasilan keluarga nelayan adalah kontribusi perempuan nelayan selama lebih dari 17 jam. Dalam pada itu, negara belum memberikan pengakuan politik.
Di bidang pengelolaan sumber daya pesisir, merujuk pada The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (Pusat Data dan Informasi KIARA, 2010).
Dalam dua dekade sepertiga hutan bakau (mangrove) dunia hancur. The Royal Society-sebuah akademi sains di Inggris-m nyebutkan bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya perluasan tambak. Di Indonesia persebaran mangrove berkategori rusak berat berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi.
Dalam studinya, The Royal Society memaparkan bahwa kerusakan mangrove akibat perluasan tambak tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak hanya memberikan keuntungan sebesar US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah Thailand harus menanggung biaya polusi sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan pemerintah harus memberi subsidi kepada masyarakat korban senilai US$8,412. Tak hanya itu, tetapi pemerintah juga harus mengalokasikan dana tambahan sebesar US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.
Pengalaman Thailand hendaknya memberikan panduan bagi pemerintah kita untuk tak sembarang menelurkan kebijakan terkait dengan eksploitasi ekosistem penting dan genting seperti ekosistem mangrove. Terlebih, menyangkut hajat hidup banyak orang. Kami mencatat bahwa ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia: pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan.
Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai dan perluasan kebun kelapa sawit, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Padang (Sumbar), Makassar, Manado (Sulut), Lampung, Langkat (Sumatera Utara). Ketiga, terkait pencemaran lingkungan. Saat ini perluasan kebun kelapa sawit turut memperparah kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia.
Fakta di atas menunjukkan bahwa negara belum memberikan pelayanan atas hak-hak dasar nelayan. Sejak tahun 2011, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah menyelenggarakan Temu Akbar Nelayan Indonesia setiap 2 tahun sekali. Pertemuan ini menjadi sarana bertukar pengalaman perjuangan di kampung-kampung nelayan, pembudidaya, petambak garam dan perempuan nelayan. Di tahun 2015, pertemuan ini akan diselenggarakan untuk ketiga kalinya dengan tajuk “Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan”.
Nama Kegiatan
Kegiatan ini dinamai Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 dengan tema “Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan”.
Tujuan Kegiatan :
Adapun tujuan dari penyelenggaraan kegiatan ini antara lain:
- Menghimpun pemikiran lintas profesi dalam penyusunan rekomendasi serta upaya solutif yang harus dilakukan oleh negara untuk melindungi dan menyejahterakan nelayan di seluruh Indonesia.
- Sebagai wadah kampanye budaya bahari kepada masyarakat umum lewat beberapa kegiatan kebudayaan dan kegiatan publik lainnya.
- Melahirkan gagasan serta upaya strategis kolektif yang nantinya diharapkan mampu dilakukan secara baik dan benar demi kehidupan nelayan yang lebih sejahtera.
- Memfasilitasi peserta untuk berdialog dengan kementerian/lembaga negara terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Perdagangan/Perindustrian dan Komisi IV DPR RI.
Waktu dan Tempat Kegiatan
Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 26-28 Januari 2014. Secara ringkas, waktu pelaksanaan kegiatan antara lain:
- 26 Januari 2014: Pembukaan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 di Hotel Menteng, Jakarta.
- 27 Januari 2014, Seminar Nasional dan Diskusi Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 di Gedung Joeang, Jakarta.
- 28 Januari 2014, Dialog dengan pemangku kebijakan (DPR dan Pemerintah), serta penutupan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 di Taman Ismail Marzuki dengan Pagelaran Budaya Bahari.
Peserta Kegiatan
Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 ini akan dihadiri oleh:
- Pimpinan dan fungsionaris organisasi nelayan, perempuan nelayan, dan petambak dari berbagai pesisir Indonesia;
- Organisasi dan individu anggota KIARA;
- Perwakilan akademisi;
- Perwakilan pemerintah;
- Anggota DPR RI dan DPRD;
- Perwakilan partai politik;
- Aktivis lingkungan dan HAM;
- Budayawan dan seniman; dan
- Organisasi lintas profesi lainnya.
Kegiatan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 ini akan diikuti oleh peserta lebih kurang 500 peserta dan 100 di antaranya berasal dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua.
Waktu | Aktivitas |
Senin, 26 Januari 2015 | |
12.00 | Check-in Peserta |
18.30-19.30 | Registrasi |
19.30-21.30 | Kenduri Laot |
Tarian tradisional | |
Peluncuran buku dan film “Mangrove untuk Kehidupan” | |
Harapan dari perwakilan nelayan dan tanggapan dari KKP | |
Pembukaan | |
Do’a penutup | |
Makan malam | |
Ramah tamah diiringi band akustik | |
21.30-besok | Istirahat |
Selasa, 27 Januari 2015 | |
07.00-08.00 | Peserta ke lokasi acara |
08.00-08.30 | Registrasi Peserta |
08.30-10.00 | Pembukaan |
Lagu Indonesia Raya | |
Sambutan Sekjen KIARA | |
Orasi kebangsaan | |
10.00-10.30 | Testimoni/video sebagai pengantar diskusi |
10.30-12.30 | Diskusi/Talkshow |
Sekjen KIARA | |
Menteri KKP | |
Menteri PPA | |
Komisi IV DPR RI | |
Walikota Surabaya | |
12.30-13.30 | Ishoma |
13.30-15.30 | Diskusi terfokus tematik |
Tema 1: Perikanan Tangkap | |
Tema 2: Perikanan Budidaya | |
Tema 3: Petambak Garam | |
Tema 4: Perempuan Nelayan | |
Tema 5: Mangrove/Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan isu terkait | |
15.30-16.30 | Pembahasan materi untuk pernyataan sikap nelayan |
16.30-17.00 | Pembagian kelompok high level dialog (empat kelompok) |
17.00-19.00 | Penutupan sekaligus makan malam |
19.00-besok | Istirahat |
Rabu, 28 Januari 2015 | |
07.00-08.00 | Pemaparan rencana orasi di Istana Negara |
08.00-10.00 | Perjalanan ke Istana Negara |
10.00-11.00 | Orasi di Istana Negara |
11.00-12.00 | Perjalanan ke lokasi High Level Dialog |
13.00-16.00 | High Level Dialog di tiap institusi |
16.00-17.00 | Perjalanan kembali ke hotel |
19.00-23.00 | Malam Budaya Bahari |
Pembukaan | |
Aksi teatrikal dari Sahid/Kafha | |
Tari anak nelayan: Sanggar tari frangivadi Bogor | |
Band akustik: Simponi | |
Pengumuman dan penyerahan penghargaan | |
Penutupan dan makan malam | |
Do’a penutup dilanjutkan istirahat |
Demikian kerangka acuan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015 disusun untuk dipergunakan sebagaimana mestiya. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Rifki Furqan (Ketua Panitia) di +62 853 7062 7782 dan email di furqanrifki@gmail.com atau Selamet Daroyni (Anggota Panitia) di +62 821 1068 3102 dan email di selametdaroyni@gmail.com.