Tindak Tegas Pelaku Praktek Perbudakan dalam Rantai Perdagangan Ikan

Siaran Pers Bersama

Southeast Asia Fisheries for Justice Network (SEAFish)

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM)

 

Tindak Tegas Pelaku Praktek Perbudakan dalam Rantai Perdagangan Ikan

Jakarta, 30 Juni 2014. Produk udang Thailand dilarang memasuki pasar internasional, khususnya di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini terjadi seiring ditemukannya fakta bahwa Charoen Phokpand Foods menggunakan pakan hasil perbudakan dalam sistem produksinya. Sedikitnya 20 pekerja di kapal perikanan Thailand meninggal dunia akibat praktek perbudakan ini (The Guardian, 10 Juni 2014).

The Guardian juga mencatat sedikitnya 15 buruh migran asal Myanmar dan Kamboja diperdagangkan dengan harga sebesar Rp4 juta. Praktek perbudakan yang dijalankan di Thailand berlangsung dalam rupa: (1) bekerja selama 20 jam; (2) pemukulan; (3) penyiksaan; dan (4) pembunuhan.

Senada dengan fakta tersebut di atas, Globefish dalam laporan resminya di bulan Juni 2014 menyebutkan bahwa 3 perusahaan udang terbesar di Thailand menghentikan industri pengolahannya dikarenakan kekurangan bahan baku. Ketiga perusahaan tersebut adalah The PTN Group, Narong Seafoods dan Charoen Pokphand (CP) Foods. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa Charoen Phokpand Foods telah memberhentikan 1.200 tenaga kerjanya selama kuartal pertama 2014 dan memindahkan usahanya ke Vietnam sejak Februari 2014.

Kasus Thailand harus menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Apalagi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah semakin dekat. Hal terpenting lainnya adalah pemerintah harus mengambil pelajaran dari kasus 2004, di mana produk udang Indonesia diembargo oleh pasar Amerika Serikat dikarenakan aktivitas reekspor dari China. Selain Indonesia, Thailand, Ekuador, India, Vietnam dan Brasil juga mengalami hal yang sama. Saat itu, China memanfaatkan pasar Indonesia sebagai jembatan untuk mengekspor produk udangnya ke Amerika Serikat. Akibatnya, pada pertengahan Januari 2004, beberapa peti kemas udang dari Indonesia ditolak di Amerika Serikatdikarenakan bukan produksi Indonesia. Komoditas itu sebelumnya diimpor dari China, lalu direekspor ke AS.

Atas dasar itulah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) mendesak Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan untuk pro-aktif mengantisipasi ancaman embargo tersebut, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, memastikan bahwa PT Central Proteinaprima yang beroperasi di Indonesia tidak mempekerjakan budak di tambak-tambak milik perusahaanny dan segera mengembalikan hak-hak petambak Bumi Dipasena, Lampung. Hal ini perlu ditegaskan karena PT Central Proteinaprima Indonesia dengan Charoen Phokpand Foods, Thailand, memiliki kaitan perusahaan yang sama.

Kedua, mendesak Bea Cukai untuk memantau udang-udang impor yang masuk ke Indonesia dan memastikan bahwa produk udang impor tersebut bukan berasal dari Thailand. Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam periode Januari-Maret 2014 Indonesia masih melakukan impor udang jenis frozen, meski jumlahnya belum terlalu besar. Laporan BPS juga menyebut total impor udang frozen Indonesia dalam periode Januari-Maret 2014 tercatat sebesar 367,374 kwintal dengan nilai sebesar 2,58 Juta US $.

Ketiga, pemerintah dan para petambak udang nasional perlu memanfaatkan kasus udang Thailand ini untuk meningkatkan daya saing. Terlebih harga udang Internasional saat ini dalam kondisi baik. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa harga udang internasional per April 2014 tercatat sebesar USD17,09/kilogram. Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun 2011, 2012 dan 2013, yang rata-rata sebesar USD11,93/kilogram, USD10,06/kilogram, dan USD13/kilogram.

Keempat, ASEAN harus melakukan investigasi dan mendesak Pemerintah Thailand untuk menghentikan, menindak-tegas pelaku, dan merumuskan aturan menanggulangi praktek perbudakan di sektor perikanan. Apalagi The Guardian juga mencatat bahwa Thailand tidak memiliki aturan terkait pemberantasan praktek perbudakan, meski secara resmi mereka menyebutnya sebagai prioritas nasional.

Kelima, PBB/FAO mengharuskan anggotanya untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan merumuskan kebijakan nasional berkenaan dengan pemberantasan praktek perbudakan di sektor perikanan.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abdul Halim, Koordinator Regional SEAFish dan Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259 (SMS) dan di sobatliem006@gmail.com

 

Suhana, Kepala Peneliti PK2PM

di +62 813 1085 8708