Warga dan Aparat Keamanan Bentrok Terkait Pengeboran PLTU Batang

Warga dan Aparat Keamanan Bentrok Terkait Pengeboran PLTU Batang

Pekalongan, Aktual.co — Gabungan warga Ponowareng, Karanggeng dan Roban Kecamatan Tulis Kabupaten Batang Jawa Tengah bentrok dengan aparat keamanan saat pihak PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) melakukan pengeboran tanah yang tak berijin.

“Sebanyak 50 orang TNI, 150 Polri, 80 orang satpam perusahaan di bawah Bhimasena dan 30 orang preman bayaran bentrok dengan warga. Bahkan ada warga sampai mengalami luka-luka akibat kejadian itu. Kurang lebih ada 15 orang cidera akibat pukulan, dan benturan benda keras,” kata Kasmir Warga Karanggeneng Tulis yang melihat kejadian itu, Selasa (30/7) di Batang.

Menurut Kasmir aksi kemarahan warga terjadi karena belum berizin tanah pendirian PLTU.

“Sampai saat ini perizinan belum turun, kenapa sudah melakukan kegiatan. Apalagi terjadi pada bulan suci ramadan. Seharusnya dari pihak BPI atau aparat keamanan menghormati bulan suci, kok malah memunculkan emosi warga,” terangnya pada Aktual.co.

Hal demikian juga di sampaikan oleh Kepala Desa Ponowareng Triyah.

“Dari BLH (Badan Lingkungan Hidup) semarang saja belum turun perizinan semenjak terjadi musyawarah AMDAL tanggal 5 Juli 2013, kok bisa-bisanya melakukan pengeboran, apalagi dari pihak BLH juga sudah mengingatkan untuk jangan melakukan kegiatan apa pun baik pengeboran tanah atau pendirian bangunan, tapi dari pihak BPI tetap melanggar. Sampai kapan pun kami akan memperjuangkan tanah kami,” ujarnya pada Aktual.co, Selasa (30/7) di Batang.

Dalam pantuan Aktual.co bentrok antara warga kontrak PLTU tidak sampai memakan korban. Warga pingsan dan luka-luka dibawa ke rumahnya masing-masing.

Ismed Eka Kusuma –

 

Sumber: http://m.aktual.co/energi/222826warga-dan-aparat-keamanan-bentrok-terkait-pengeboran-pltu-batang

Surat Terbuka Kasus PLTU Batang

Jakarta,  30 Juli 2013

Nomor      : 192/KIARA/PC/VII/2013

Lampiran  : –

Perihal      : Surat Terbuka Kasus PLTU Batang

 

Kepada Yth.

Bapak Ir. Hatta Rajasa

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI

Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta

Telp. +62 21 3808384 Fax. +62 21 3440394

 

Kepada Yth

Bapak Sharif Cicip Sutardjo

Menteri Kelautan dan Perikanan RI

Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta 10041

Telp. +62 21 3520350 Fax. +62 21 351 9133

 

Kepada Yth.

Bapak Jendral Pol Timur Pradopo

Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Jl. Trunojoyo No. 3  Kebayoran Baru Jakarta 12110

Telp. +62 21 3848537 – 7260306 – 7218010

Faks. +62 21 722 0669

Email. info@polri.go.id

 

Kepada Yth.

Bapak Laksamana TNI Agus Suhartono

Panglima Tentara Nasional Indonesia

Mabes TNI Cilangkap Jakarta 13870

Telp. +62 21 84595576, 8459-5326

Faks. +62 21 84591193

 

 

Kepada Yth.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Jl. Latuharhary No. 4B Menteng Jakarta 10310

Telp. +62 21 392 5230

Faks. +62 21 392 5227

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Semoga Bapak berada dalam lindungan Allah SWT sehingga senantiasa sehat dan penuh berkah, serta terus berkontribusi bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, khususnya nelayan tradisional dan petani kecil, dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, amien.

Saat ini, terdapat 10.961 nelayan tradisional Batang tengah mempersoalkan rencana pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 MW karena akan mengganggu kehidupan mereka. Bahkan nelayan tradisional dari Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga sangat mengandalkan kawasan pesisir Batang sebagai tempat mencari ikan. Selain nelayan, sedikitnya 7.000 petani yang tersebar di 6 desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) juga sangat terganggu dengan adanya rencana tersebut.

Selain menggusur 6 desa di atas, rencana pembangunan PLTU di Batang berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek, yakni Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog.

Dengan potensi dan tingginya ketergantungan masyarakat Batang terhadap sumber daya alam di kawasan tersebut, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melanjutkan rencana pembangunan PLTU di Batang. Terlebih kawasan lahan yang akan dibangun tersebut ternyata Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pantai Ujungnegoro – Roban yang melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (1) kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (2) kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (3) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009).

 

Hingga saat ini proses pembahasan dan pengkajian dokumen AMDAL sebagai pondasi dan rujukan boleh atau tidaknya kegiatan pembangunan PLTU di Batang masih belum ada kata sepakat, karena selain tidak berkorelasi dengan kepentingan warga sekitar, lahan yang dipergunakan merupakan kawasan konservasi yang dilindungi Undang-Undang.

Harapan warga untuk dapat berdiskusi lebih mendalam dengan pemerintah guna menyampaikan keberatan-keberatan warga atas rencana pembangunan PLTU Batang tidak dihiraukan dan bahkan harus berhadapan dengan aparat keamanan, baik Polri maupun TNI. Sejak pertama kali warga mendengar akan rencana tersebut, sedikitnya 3 kali warga menyampaikan aspirasi menolak PTLU Batang. Ironisnya, justru disambut dengan aparat kepolisian dan TNI yang dipersenjatai.

Salah satu kasus yang melemahkan kepercayaan warga terhadap instansi Polri adalah kasus bentrok antarwarga sipil dengan aparat kepolisian pada tanggal 29 September 2012. Saat itu, salah seorang dari PT. Sumitomo Coorporation bernama Satoshi Sakamoto berwarga negara Jepang datang ke lokasi PLTU Batang untuk melakukan survei lapangan di Desa Ponowareng. Kehadiran utusan perusahaan ini disambut oleh warga untuk berdialog.

Tanpa ada penjelasan sebelumnya, pihak Polsek Tulis menuduh warga akan melakukan penculikan terhadap utusan perusahaan asal Jepang tersebut. Celakanya, pihak Kepolisian tanpa ada alasan yang jelas justru menambah pasukan. Ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Batang datang dengan menggunakan truk disusupi oleh orang berpakaian sipil dan dilengkapi dengan senjata tajam langsung mengusir dan melempari warga yang sedang berkumpul. Tiba-tiba pasukan Brimob melakukan penembakan peringatan sebanyak tiga kali, dan tidak berselang lama, pasukan Brimob melakukan penembakan ke arah kerumunan warga secara membabi-buta. Atas kejadian tersebut sedikitnya 4 orang tertembak dan terluka. Paska kejadian tersebut, 5 orang warga dikriminalisasi dengan tuduhan yang mengada-ada, berupa penyanderaan, pengeroyokan dan pencurian, pemerasan, pengrusakan barang dan perbuatan tidak menyenangkan.

Terakhir, pada hari ini tanggal 30 Juli 2013, sikap yang tidak manusiawi kembali dilakukan perusahaan terhadap sekumpulan warga Batang yang datang dan mempertanyakan aktivitas pengeboran tanah milik warga di Karanggeng. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiudp, bahwa selama proses pembahasan dan pengkajian AMDAL belum menemui kata sepakat terutama dari warga yang terkena dampak, maka tidak diperbolehkan adanya aktivitas apapun di lokasi proyek. Pihak Perusahaan bukan mengindahkan peringatan warga tapi justru sebaliknya pihak perusahaan mengerahkan 50 orang personil TNI, 150 orang personil Polisi dan 80 orang satpam perusahaan serta 30 orang sipil bayaran perusahaan. Atas pemaksaan kehendak perusahaan tersebut berujung bentrok yang mengakibatkan 17 orang warga Batang mengalami luka-luka, 2 orang diantaranya perempuan akibat terkena pukulan dan tendangan oleh aparat keamanan yang dikerahkan oleh pihak perusahaan.

Sikap Perusahaan dan Pemerintah yang tidak menghormati Undang-Undang dan hak asasi warga serta terlibatnya aparat Polri dan TNI dalam kegiatan pembangunan PLTU Batang akan semakin memperucing konflik. Warga merasa terintimidasi dan terzalimi dengan skema pengamanan yang berlebihan terhadap aktivitas PT Bimasena Power Indonesia yang sejak awal mendapat penolakan warga. Oleh karena itu, berdasarkan amanah Undang Dasar tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, kami mendesak kepada:

  1. Pemerintah agar lebih mengedepankan aspirasi dan kepentingan warga nelayan dan Petani Batang dalam proses pembangunan di Kabupaten Batang
  2. Pemerintah Pusat maupun Daerah segera menghentikan rencana pembangunan PLTU Batang dan mencari alternative sumber energy terbarukan yang mendukung upaya pengurangan pemanasan global.
  3. POLRI dan TNI Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
  4. POLRI dan TNI Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang. Dan segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
  5. POLRI dan TNI agar segera kembali kepada tugas dan fungsi utamanya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.
  6. MOMNAS HAM agar segera memeriksa baik personal maupun institusi POLRI dan TNI yang terlibat dalam dugaan telah terjadi pelanggaran HAM warga Batang sejak pertama kali rencana proyek PLTU Batang digulirkan.

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas waktu, perhatian, dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Hormat Kami,

 

 

Abdul Halim

Sekretaris Jenderal

 

 

Tembusan:

Presiden Republik Indonesia

Jl. Veteran No. 17-18

Jakarta Pusat 10110

Telp. +62 21 345 8595

Faks. +62 21 348 34759

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia

Jl. Tirtayasa VII No. 20

Kebayoran Baru, Jakarta 12160

Email. skm@kompolnas.go.id

Telp. +62 21 7392315, 7392352

Faks. +62 21 7392317

SMS Center: +62 818 0821 3996

 

 

Media

Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’

Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’

  1. Download as PDF

BANDUNG, itb.ac.id – Proyek tanggul raksasa yang lebih dikenal dengan nama Giant Sea Wall akan membentang di Teluk Jakarta sepanjang 30 km. Proyek pemerintah DKI Jakarta yang bekerja sama dengan pemerintah Belanda tersebut akan berada di lepas pantai sejauh 6-8 km dari garis pantai. Tujuan dari proyek tanggul raksasa ini yaitu untuk mengurangi banjir, menyediakan air tawar bersih, dan membangun pesisir. Nyatanya, proyek tersebut diprediksikan akan menimbulkan masalah.

Opini tersebut dilontarkan oleh Muslim Muin, Ph.D. (Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan ITB) pada Selasa (14/05/13). Menurutnya, proyek yang menelan dana lebih dari 280 triliun rupiah tersebut bukan merupakan solusi permasalahan banjir dan penurunan tanah yang terjadi di Jakarta. Jika diteliti lebih lanjut, proyek tersebut justru akan membawa kerugian.

Menurutnya, Jakarta tak perlu bangun Giant Sea Wall. Mengapa? Selain biaya yang mahal ditambah biaya operasional yang belum dihitung, dampak Giant Sea Wall ke depannya justru malah akan memperparah banjir di Jakarta, merusak lingkungan laut Teluk Jakarta, mempercepat pendangkalan sungai, mengancam sektor perikanan lokal, dan menyebabkan permasalahan sosial.

Giant Sea Wall akan menyebabkan kecepatan air sungai berkurang akibat jauhnya muka air (titik terendah untuk mengalirkan air). Seperti yang kita ketahui debit sungai adalah perkalian antara kecepatan air dan luas penampang sungai, sehingga jika kecepatan air menurun maka mau tak mau luas penampang suang harus diperbesar. Padahal, terdapat tiga belas sungai sungai yang bermuara di Teluk Jakarta sehingga bisa diperkirakan bahwa debit airnya tidak sedikit. Menurut Muslim, masalah ini hampir tidak mungkin diselesaikan dengan menambah lebar sungai (karena pemukiman dan sebagainya). Satunya-satunya cara yang dapat dilakukan adalah melakukan pengerukan sungai untuk mengurangi laju sedimentasi. Jika pengerukan sungai ini tidak rutin (dengan konsekuensi adanya tambahan biaya operasional), maka yang akan terjadi adalah banjir.

Biaya operasional juga dipertanyakan dalam proses pengaliran air sungai untuk menurunkan muka air. Diperlukan pompa yang besar untuk mengalirkan air dari Jakarta ke daerah bagian dalam Teluk Jakarta yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit agar menyala selama 24 jam nonstop. Muslim memperkirakan biaya untuk pompa ini sebesar 300 miliar rupiah setiap tahun untuk keadaan normal. Belum lagi ketika debit air membesar ketika banjir, kebutuhan daya pompa tentunya membengkak.

Bukan Solusi

Pembangunan Giant Sea Wall disebutkan sebagai solusi dari ancaman rob yang akan melanda Jakarta. “Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT) tidak cukup untuk melindungi ibu kota dari bencana banjir, diperlukan Giant Sea Wall agar pengamanannya semakin lengkap, terutama dalam mengatasi banjir rob,” ungkap Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, pada Senin (11/02/13) via antaranews.com.

Menurut Muslim, rob adalah fenoma alam biasa dimana muka air laut tinggi. Rob akan menjadi banjir rob karena terjadinya subsidence (penurunan tanah). Menurutnya tak perlu tanggul raksasa, cukup dengan membangun struktur yang kurang sensitif terhadap subsidence pada daerah yang mengalami penurunan tanah maka permasalahan ini dapat diselesaikan. Hal ini juga disebabkan karena tidak semua daerah Jakarta mengalami subsidence, contohnya Tanjung Priuk.

Jika Giant Sea Wall dibangun, mau tak mau dua pelabuhan ikan Nusantara akan ditutup, puluhan bahkan ratusan ribu warga nelayan harus dipindahkan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang juga harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun dipertahankan, biaya operasinya sangat besar karena memerlukan pompa yang berjalan terus. Diperlukan dana sebesar 30 triliun rupiah untuk membangun pembangkit listrik yang setara dengan PLTU Muara Karang.

Giant Sea Wall sendiri juga diperkirakan dapat memperparah kondisi lingkungan Teluk Jakarta karena akan memerangkap polutan di dalam daerahnya. Hal ini disebabkan karena bukaan yang rencananya akan dibangun tidak akan cukup untuk membentuk sirkulasi air. Untuk mengatasi hal ini, rencananya akan dilakukan proyek pembersihan air sebelum memasuki Teluk Jakarta. Menurut Muslim, pembersihan air semacam ini bisa menelan biaya sebesar 5 triliun rupiah setiap tahun dan memicu kemunculan proyek-proyek lain. Muslim menyatakan bahwa perbaikan mutu air sebaiknya difokuskan pada bagian hulu sungai, bukan malah menampung air di hilir lalu membersihkannya. Kebijakan reklamasi yang direncanakan pun kurang tepat karena akan memusnahkan biota laut. Jika perairan laut tercemar, yang sebaiknya dilakukan pelarangan mengambil hasil laut sementara pemerintah mengontrol pembuangan limbah lebih lanjut dan membuat perbaikan, bukannya reklamasi lingkungan beserta warga.

Proyek ini agaknya perlu dikaji ulang. Menurut Muslim, Giant Sea Wall bukanlah solusi yang tepat. Muslim mengusulkan alternatif lain yaitu River Dike. River Dike versi Muslim yaitu pembuatan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah atau subsidence dan mempertinggi tanggul sungai. “Tanggul tersebut dirancang dengan menancapkan tiang-tiang kedalam tanah terlebih dahulu, sehingga kontruksi kuat, walaupun terjadi subsidence namun tanggul tetap akan berdiri,” tukas Muslim. Rancangan ini murah dan tidak menutup fasilitas yang ada.

Sumber: http://www.itb.ac.id/news/3918.xhtml

Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2013: Hentikan Konversi Hutan Mangrove, Dukung Inisiatif Lokal Selamatkan Hutan Mangrove

Siaran Pers Bersama

Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2013
Hentikan Konversi Hutan Mangrove,
Dukung Inisiatif Lokal Selamatkan Hutan Mangrove

Jakarta, 26 Juli 2013. Saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan kampanye penyelamatan hutan mangrove. Dimulai dengan memasang baliho, iklan di media elektronik dan cetak, hingga mengundang olahragawan dan artis terkenal untuk menjadi duta mangrove Indonesia. Namun ironis, kerusakan dan kehancuran hutan mangrove hingga saat ini masih terus terjadi. Lebih miris lagi, inisiatif nelayan untuk merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tentangan baik dari pemerintah maupun perusahaan akibat adanya kebijakan yang tumpang tindih.

Indonesia merupakan negara kelautan terbesar yang memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994).

Merujuk pada The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (KIARA, 2010).

Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara   seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86% berada dalam kondisi rusak”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juli 2013) mencatat adanya empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung dan Langkat Sumatera Utara. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Semarang (Jateng), Surabaya (Jatim), Padang (Sumbar), Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun kelapa sawit.

Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68% dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010) menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional.

Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat (Sumatera Utara) seluas 1.200 ha yang sebelumnya dilaihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal jelas-jelas PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT Charoen Phokpand, telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.

Intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan oleh 5 perusahaan tersebut hingga kini masih terus terjadi. Terakhir pada tanggal 9 Juli 2013 lalu, nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutang mangrove di lahan seluas 1.200 ha tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Indikasi kuat dari informasi lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.

Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, baik di Sumatera maupun di kawasan timur Indonesia. Bersamaan dengan peringatan Hari Mangrove Sedunia 2013 ini, KIARA mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan (kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, dan sebagainya) yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove. Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara) dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ketimbang sibuk melakukan kegiatan seremonial dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera

di +62 813 7093 1995

Jumiati, Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Serdang Bedagai

di +62 812 6367 6561

Amin Abdullah, Presidium KNTI Region Nusa Tenggara

di +62 818 0578 5720

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Surat Desakan Ke Kapolri dan Panglima TNI

Jakarta, 26 Juli 2013

 

Nomor     : 191/KIARA/PC/IV/2013

Lampiran  : –

Perihal     : Penarikan Aparat POLRI dan TNI di Kabupaten Batang

 

Kepada Yth.

Bapak Jendral Pol Timur Pradopo

Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Jl. Trunojoyo No. 3

Kebayoran Baru

Jakarta 12110

Telp. +62 21 3848537 – 7260306 – 7218010

Faks. +62 21 722 0669

Email. info@polri.go.id

 

Bapak Laksamana TNI Agus Suhartono

Panglima Tentara Nasional Indonesia

Mabes TNI Cilangkap

Jakarta 13870

Telp. +62 21 84595576, 8459-5326

Faks. +62 21 84591193

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Semoga Bapak berada dalam lindungan Allah SWT sehingga senantiasa sehat dan penuh berkah, serta terus berkontribusi bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, khususnya nelayan tradisional dan petani kecil, dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, amien.

Saat ini, terdapat 10.961 nelayan tradisional Batang tengah mempersoalkan rencana pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 MW karena akan mengganggu kehidupan mereka. Bahkan nelayan tradisional dari Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga sangat mengandalkan kawasan pesisir Batang sebagai tempat mencari ikan. Selain nelayan, sedikitnya 7.000 petani yang tersebar di 6 desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) juga sangat terganggu dengan adanya rencana tersebut.

Selain menggusur 6 desa di atas, rencana pembangunan PLTU di Batang berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek, yakni Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog.

Dengan potensi dan tingginya ketergantungan masyarakat Batang terhadap sumber daya alam di kawasan tersebut, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melanjutkan rencana pembangunan PLTU di Batang. Terlebih kawasan lahan yang akan dibangun tersebut ternyata Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pantai Ujungnegoro – Roban yang melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (1) kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (2) kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (3) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009).

Harapan warga untuk dapat berdiskusi lebih mendalam dengan pemerintah guna menyampaikan keberatan-keberatan warga atas rencana pembangunan PLTU Batang tidak dihiraukan dan bahkan harus berhadapan dengan aparat keamanan, baik Polri maupun TNI. Sejak pertama kali warga mendengar akan rencana tersebut, sedikitnya 3 kali warga menyampaikan aspirasi menolak PTLU Batang. Ironisnya, justru disambut dengan aparat kepolisian dan TNI yang dipersenjatai.

Salah satu kasus yang melemahkan kepercayaan warga terhadap instansi Polri adalah kasus bentrok antarwarga sipil dengan aparat kepolisian pada tanggal 29 September 2012. Saat itu, salah seorang dari PT. Sumitomo Coorporation bernama Satoshi Sakamoto berwarga negara Jepang datang ke lokasi PLTU Batang untuk melakukan survei lapangan di Desa Ponowareng. Kehadiran utusan perusahaan ini disambut oleh warga untuk berdialog.

Tanpa ada penjelasan sebelumnya, pihak Polsek Tulis menuduh warga akan melakukan penculikan terhadap utusan perusahaan asal Jepang tersebut. Celakanya, pihak Kepolisian tanpa ada alasan yang jelas justru menambah pasukan. Ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Batang datang dengan menggunakan truk disusupi oleh orang berpakaian sipil dan dilengkapi dengan senjata tajam langsung mengusir dan melempari warga yang sedang berkumpul. Tiba-tiba pasukan Brimob melakukan penembakan peringatan sebanyak tiga kali, dan tidak berselang lama, pasukan Brimob melakukan penembakan ke arah kerumunan warga secara membabi-buta. Atas kejadian tersebut sedikitnya 4 orang tertembak dan terluka. Paska kejadian tersebut, 5 orang warga dikriminalisasi dengan tuduhan yang mengada-ada, berupa penyanderaan, pengeroyokan dan pencurian, pemerasan, pengrusakan barang dan perbuatan tidak menyenangkan.

Pemaksaan kehendak pemerintah dan terlibatnya aparat Polri dan TNI dalam kegiatan pembangunan PLTU Batang telah memicu konflik. Warga merasa terintimidasi dan terzalimi dengan skema pengamanan yang berlebihan terhadap aktivitas PT Bimasena Power Indonesia yang sejak awal mendapat penolakan warga. Oleh karena itu, berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, kami mendesak Kepala POLRI dan Panglima TNI untuk:

  1. Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
  2. Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang;
  3. Segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
  4. Kembali kepada tugas dan fungsinya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia agar mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas waktu, perhatian, dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Hormat Kami,

 

 

Abdul Halim

Sekretaris Jenderal

 

 

Tembusan:

Presiden Republik Indonesia

Jl. Veteran No. 17-18

Jakarta Pusat 10110

Telp. +62 21 345 8595

Faks. +62 21 348 34759

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia

Jl. Tirtayasa VII No. 20

Kebayoran Baru, Jakarta 12160

Email. skm@kompolnas.go.id

Telp. +62 21 7392315, 7392352

Faks. +62 21 7392317

SMS Center: +62 818 0821 3996

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Jl. Latuharhary No. 4B

Menteng Jakarta 10310

Telp. +62 21 392 5230

Faks. +62 21 392 5227

 

Media

Surat Desakan Ke Kapolri dan Panglima TNI

Jakarta, 26 Juli 2013

 

Nomor     : 191/KIARA/PC/IV/2013

Lampiran  : –

Perihal     : Penarikan Aparat POLRI dan TNI di Kabupaten Batang

 

Kepada Yth.

Bapak Jendral Pol Timur Pradopo

Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Jl. Trunojoyo No. 3

Kebayoran Baru

Jakarta 12110

Telp. +62 21 3848537 – 7260306 – 7218010

Faks. +62 21 722 0669

Email. info@polri.go.id

 

Bapak Laksamana TNI Agus Suhartono

Panglima Tentara Nasional Indonesia

Mabes TNI Cilangkap

Jakarta 13870

Telp. +62 21 84595576, 8459-5326

Faks. +62 21 84591193

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Semoga Bapak berada dalam lindungan Allah SWT sehingga senantiasa sehat dan penuh berkah, serta terus berkontribusi bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, khususnya nelayan tradisional dan petani kecil, dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, amien.

Saat ini, terdapat 10.961 nelayan tradisional Batang tengah mempersoalkan rencana pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 MW karena akan mengganggu kehidupan mereka. Bahkan nelayan tradisional dari Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga sangat mengandalkan kawasan pesisir Batang sebagai tempat mencari ikan. Selain nelayan, sedikitnya 7.000 petani yang tersebar di 6 desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat) juga sangat terganggu dengan adanya rencana tersebut.

Selain menggusur 6 desa di atas, rencana pembangunan PLTU di Batang berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek, yakni Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog.

Dengan potensi dan tingginya ketergantungan masyarakat Batang terhadap sumber daya alam di kawasan tersebut, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melanjutkan rencana pembangunan PLTU di Batang. Terlebih kawasan lahan yang akan dibangun tersebut ternyata Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pantai Ujungnegoro – Roban yang melindungi 3 obyek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (1) kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (2) kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (3) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009).

Harapan warga untuk dapat berdiskusi lebih mendalam dengan pemerintah guna menyampaikan keberatan-keberatan warga atas rencana pembangunan PLTU Batang tidak dihiraukan dan bahkan harus berhadapan dengan aparat keamanan, baik Polri maupun TNI. Sejak pertama kali warga mendengar akan rencana tersebut, sedikitnya 3 kali warga menyampaikan aspirasi menolak PTLU Batang. Ironisnya, justru disambut dengan aparat kepolisian dan TNI yang dipersenjatai.

Salah satu kasus yang melemahkan kepercayaan warga terhadap instansi Polri adalah kasus bentrok antarwarga sipil dengan aparat kepolisian pada tanggal 29 September 2012. Saat itu, salah seorang dari PT. Sumitomo Coorporation bernama Satoshi Sakamoto berwarga negara Jepang datang ke lokasi PLTU Batang untuk melakukan survei lapangan di Desa Ponowareng. Kehadiran utusan perusahaan ini disambut oleh warga untuk berdialog.

Tanpa ada penjelasan sebelumnya, pihak Polsek Tulis menuduh warga akan melakukan penculikan terhadap utusan perusahaan asal Jepang tersebut. Celakanya, pihak Kepolisian tanpa ada alasan yang jelas justru menambah pasukan. Ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Batang datang dengan menggunakan truk disusupi oleh orang berpakaian sipil dan dilengkapi dengan senjata tajam langsung mengusir dan melempari warga yang sedang berkumpul. Tiba-tiba pasukan Brimob melakukan penembakan peringatan sebanyak tiga kali, dan tidak berselang lama, pasukan Brimob melakukan penembakan ke arah kerumunan warga secara membabi-buta. Atas kejadian tersebut sedikitnya 4 orang tertembak dan terluka. Paska kejadian tersebut, 5 orang warga dikriminalisasi dengan tuduhan yang mengada-ada, berupa penyanderaan, pengeroyokan dan pencurian, pemerasan, pengrusakan barang dan perbuatan tidak menyenangkan.

Pemaksaan kehendak pemerintah dan terlibatnya aparat Polri dan TNI dalam kegiatan pembangunan PLTU Batang telah memicu konflik. Warga merasa terintimidasi dan terzalimi dengan skema pengamanan yang berlebihan terhadap aktivitas PT Bimasena Power Indonesia yang sejak awal mendapat penolakan warga. Oleh karena itu, berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, kami mendesak Kepala POLRI dan Panglima TNI untuk:

  1. Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
  2. Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang;
  3. Segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
  4. Kembali kepada tugas dan fungsinya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia agar mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas waktu, perhatian, dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Hormat Kami,

 

 

Abdul Halim

Sekretaris Jenderal

 

 

Tembusan:

Presiden Republik Indonesia

Jl. Veteran No. 17-18

Jakarta Pusat 10110

Telp. +62 21 345 8595

Faks. +62 21 348 34759

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia

Jl. Tirtayasa VII No. 20

Kebayoran Baru, Jakarta 12160

Email. skm@kompolnas.go.id

Telp. +62 21 7392315, 7392352

Faks. +62 21 7392317

SMS Center: +62 818 0821 3996

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Jl. Latuharhary No. 4B

Menteng Jakarta 10310

Telp. +62 21 392 5230

Faks. +62 21 392 5227

 

Media

Kiara: Pemerintah Lamban Jalankan Mandat UU Penanggulangan Bencana di Gempolsewu

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Kelompok Nelayan Wilujeng

 

Kiara: Pemerintah Lamban Jalankan Mandat UU Penanggulangan Bencana di Gempolsewu

Kendal, 24 Juli 2013. Situasi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan terdampak bencana banjir bandang di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, kian sulit. Setelah kapal mereka dipastikan rusak/tenggelam, asa untuk melaut pun harus diurungkan hingga 11 hari lamanya sejak bencana malam hari 13 Juli 2013 lalu. Alhasil, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga menjadi terganggu.

Pemerintah (baik daerah maupun pusat) didapati lamban dalam menjalankan mandat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 26 ayat (2) yang menegaskan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar”. Sedangkan pada pasal 33 secara tegas menyatakan, “Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 tahap meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana.”

Dalam dialog bersama masyarakat nelayan di Desa Gempolsewu, Selasa (23/07) malam, Kiara mendapati temuan bahwa: pertama, sejak bencana terjadi, mereka hanya memperoleh bantuan berupa 250 paket sembako yang terdiri dari 14 mie instan, minyak 1 kg, gula pasir 1 kg, the poci 1 bungkus, dan beras sebanyak 5 kg. Sementara sudah 11 hari mereka tidak melaut. Seharusnya, dalam masa tanggap darurat, pemerintah harus memenuhi kebutuhan keluarga nelayan yang tak lagi bisa melaut hingga kondisi pulih. Berdasarkan keterangan nelayan, tiap kepala keluarga terdampak memerlukan bantuan (1 KK=5 anggota keluarga) berupa 2-3 kg beras dan uang lauk-pauk sebesar Rp30 ribu/hari.

Kedua, juga diperlukan dana perbaikan sarana produksi para nelayan, berupa kapal yang rusak/tenggelam (kapal 3GT seharga Rp25 juta), penggantian jaring (1 jaring Rp700 ribu), dan mesin kapal (23 PK seharga Rp5,6 juta)

Oleh karena itu, Kiara mendesak Bupati Kendal untuk berkoordinasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jateng dan Menteri Kelautan & Perikanan, serta memutuskan secara cepat agar proses pemulihan pasca bencana bisa dilakukan. Apalagi Bupati Kendal sudah 2 kali meninjau lokasi dan bahkan mendapat tawaran bantuan dari Wakil Gubernur Provinsi Jateng. Namun, belum ada langkah konkrit yang dirasakan oleh masyarakat nelayan hingga hari ini.

Info lebih lanjut, dapat menghubungi:

Sugeng Triyanto,

Nelayan Tradisional Gempolsewu di +6282265797175

Abdul Halim, Sekjen Kiara

di +62 815 53100 259

Utang yang Memiskinkan

Utang yang Memiskinkan 

Oleh: Apung Widadi

Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp 2.023 triliun. Itu berarti rata-rata satu warga negara Indonesia menanggung utang Rp 8,5 juta. Dampaknya, rakyat semakin miskin.

Total sejak 2004 hingga saat ini peningkatan utang semasa pemerintahan SBY Rp 724,22 triliun. Akhir 2004 utang pemerintah masih Rp 1.299,50 triliun. Kenaikan yang amat signifikan ini berdampak pada APBN yang kian tergerus karena harus bayar cicilan pokok dan bunga utang.

Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga: Rp 299,708 triliun, 17,3 persen dari total belanja negara pada APBN Perubahan 2013 (Rp 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja negara. Politik anggaran pemerintah kontras: memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin.

Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang: rata-rata Rp 259,64 triliun per tahun, 38,3 persen dari total utang per tahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank Dunia, menurut data Dirjen Pengelola Utang, per Mei 2013 sekitar Rp 122 triliun, 21 persen dari total utang. Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp 95,77 triliun, 16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas.

Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang antiutang luar negeri pupus sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya.

Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan negara bisa bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005-2012): Rp 1.584,88 triliun.

Selain menyedot uang negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU No 22/2001 Migas yang belum direvisi, UU No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No 30/2007 Energi, UU No 25/2007 Penanaman Modal, UU No 9/2009 Badan Hukum Pendidikan, UU No 19/2003 BUMN, dan UU No 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil.

Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional subordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan, melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sektor strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri.

Mengapa pemerintah mengingkari fakta itu dan terus menambah utang luar negeri dan dalam negeri?

Setidaknya empat argumentasi yang selalu digembar-gemborkan setiap tahun.

Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan publik dengan biaya dan risiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiskal dan utang semakin baik.

Menyesatkan
Argumentasi pemerintah itu, jika tak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, defisit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang defisit hanya ditindaklanjuti dengan solusi instan: utang, bukan menaikkan pendapatan negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita.

Terkait rasio dengan PDB, melihat dengan kacamata itu tampak manis: rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan, pada 2012 Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen), Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen). Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing.

Alih-alih dengan argumen risiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam, tetapi beban utangnya dibiayai negara.

Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan jadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahan SBY: moratorium utang pemerintah. Meski bukan ide baru, moratorium utang, khususnya dalam negeri, ini cukup realistis karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas.

DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah agar tak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal era Orde Baru yang saat ini terus menyusu kepada negara.

Apung Widadi: Peneliti Politik Anggaran di Indonesia Budget

(Kompas cetak, 13 Juli 2013)

Nelayan Kendal Terkena Banjir Bandang KIARA: Negara Harus Penuhi Hak Nelayan Tradisional Terdampak dan Terlibat Aktif Memulihkan Kondisi Lingkungan Pasca Bencana

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

Nelayan Kendal Terkena Banjir Bandang

KIARA: Negara Harus Penuhi Hak Nelayan Tradisional Terdampak dan Terlibat Aktif Memulihkan Kondisi Lingkungan Pasca Bencana

Jakarta, 17 Juli 2013, Bencana banjir bandang kembali mendera Kabupaten Kendal. Banjir kali ini lebih dahsyat dari yang pernah terjadi di Januari 2013 dan mengakibatkan 9.600 rumah Kepala Keluarga (KK) di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, tersebut terendam air dan lumpur. Hampir 70% korban banjir tersebut merupakan keluarga nelayan. Selain mengalami kerugian material berupa kerusakan perabotan rumah tangga, kapal dan peralatan melaut. Bahkan ditelan gelombang sehingga mengakibatkan kerusakan parah dan hilang.
Banjir bandang pada Sabtu (13/07) malam terjadi akibat curah hujan tinggi di wilayah selatan Kendal sejak Sabtu siang hingga malam hari yang berdampak jebolnya tanggul Kali Kutho yang tidak kuat menahan tingginya debit air.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada tanggal 17 Juli 2013 mendapatkan informasi bahwa 74 kapal nelayan hanyut dan hilang. Dari jumlah tersebut, baru diketemukan 62 buah dalam kondisi rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Sedangkan sisa sebanyak 12 buah kapal hingga saat ini belum ditemukan.

Rusak dan hilangnya kapal beserta peralatan melaut tersebut mengakibatkan kerugian sangat besar bagi nelayan. Masing-masing nelayan yang kehilangan kapal mengalami kerugian mencapai Rp. 40 juta, bagi yang kapalnya mengalami kerusakan berat mereka rugi mencapai Rp.15 juta. Sedangkan kapal nelayan yang mengalami kerusakan sedang harus menanggung rugi rata-rata Rp. 10 juta. Demikian juga dengan kapal yang mengalami kerusakan ringan mereka harus kehilangan aset sedikitnya Rp. 5 juta. Di sisi lain, sedikitnya terdapat satu rumah rusak berat dan mengalami kerugian mencapai Rp. 10 juta serta satu toko warga rusak ringan yang harus menanggung rugi hingga Rp. 2 juta.

Sugeng Triyanto, Wakil Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Wilujeng Kendal, menyatakan saat ini para keluarga nelayan membutuhkan bantuan berupa makanan pokok sehari-hari dan perbaikan kapal-kapal yang rusak serta penggantian kapal yang hilang. Nelayan sangat membutuhkan peran pemerintah untuk dapat melindungi mereka dari bencana lanjutan akibat bencana banjir bandang tersebut. Pemerintah memiliki program pengadaan kapal Inka Mina bagi nelayan yang berukuran 30 GT senilai 1,5 Milyar, agar lebih tepat sasaran, Sugeng meminta khusus untuk program pengadaan kapal di Kendal agar mengalihkan program tersebut menjadi pengadaan kapal 3 GT bagi nelayan. Dengan harapan kapal yang setiap unitnya berharga Rp. 40 juta tersebut dapat mengganti kapal yang hilang dan rusak berat. Dengan demikian pasca bencana, aktivitas melaut akan kembali pulih dan mereka tidak mengalami kebingungan dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Sekjen KIARA Abdul Halim menambahkan, sudah seharusnya negara hadir dan memberikan solusi konkrit terhadap nelayan yang terkena bencana tersebut. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 26 ayat (2) telah menegaskan bahwa “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar”. Sedangkan pada pasal 33 secara tegas menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.”
Ironisnya, seringkali pada setiap terjadi bencana alam, pemerintah hadir hanya meninjau dan memberikan bantuan pada saat tanggap darurat guna membangun pencitraan semata. Sedangkan upaya untuk membangun kembali kehidupan para korban pasca bencana nyaris diabaikan. Untuk itu, KIARA mendesak kepada pemerintah untuk tidak hanya terfokus pada saat tanggap darurat tapi juga harus lebih serius dalam memberikan bantuan perlindungan bagi keberlanjutan kehidupan korban bencana di kampung nelayan ini.

Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Sugeng Triyanto, Wakil Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Wilujeng Kendal

di +62 8226 579 7175

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

KIARA: RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Rugikan Nelayan

KIARA: RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Rugikan Nelayan
KBR68H, Jakarta – Perubahan Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dinilai bakal merugikan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim mengatakan, rancangan perubahan itu masih memberi ruang bagi komersialisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka, organisasnya mendesak DPR menghentikan pembahasan tersebut.

“Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas dikemukakan soal praktek pengkaplingan dan komersialisasi yang kemudian dalam revisi ada upaya untuk mengkriminaslisasi masyarakat pesisir dalam hal ini masyarakat nelayan tradisional, itu lebih kentara, dari hal itu, kemudia KIARA memandang ada upaya yang kemudian dijalankan secara buru-buru agar revisi ini segera disahkan oleh DPR RI,” ungkap Sekretaris Jenderal LSM kelautan Kiara Abdul Halim ketika dihubungi KBR68H.

Sekretaris Jenderal LSM kelautan Kiara, Abdul Halim berharap, DPR lebih mengutamakan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional. Sebab, RUU itu akan menguatkan ekonomi nelayan. Sebelumnya, rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk Panitia Khusus untuk membahas revisi Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan komersialisasi dalam Undang-Undang tersebut.

Editor: Nanda Hidayat

Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2823683_5486.html