Archive for month: July, 2013
Surat Terbuka Kasus PLTU Batang
/in Kampanye & Advokasi, Publikasi, Siaran Pers /by adminkiara- Pemerintah agar lebih mengedepankan aspirasi dan kepentingan warga nelayan dan Petani Batang dalam proses pembangunan di Kabupaten Batang
- Pemerintah Pusat maupun Daerah segera menghentikan rencana pembangunan PLTU Batang dan mencari alternative sumber energy terbarukan yang mendukung upaya pengurangan pemanasan global.
- POLRI dan TNI Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
- POLRI dan TNI Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang. Dan segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
- POLRI dan TNI agar segera kembali kepada tugas dan fungsi utamanya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.
- MOMNAS HAM agar segera memeriksa baik personal maupun institusi POLRI dan TNI yang terlibat dalam dugaan telah terjadi pelanggaran HAM warga Batang sejak pertama kali rencana proyek PLTU Batang digulirkan.
Muslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pidato & Makalah, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraMuslim Muin Ph.D.: ‘Jakarta Tak Perlu Bangun Giant Sea Wall’



Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2013: Hentikan Konversi Hutan Mangrove, Dukung Inisiatif Lokal Selamatkan Hutan Mangrove
/in Siaran Pers /by adminkiaraSiaran Pers Bersama
Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2013 Hentikan Konversi Hutan Mangrove, Dukung Inisiatif Lokal Selamatkan Hutan Mangrove
Jakarta, 26 Juli 2013. Saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan kampanye penyelamatan hutan mangrove. Dimulai dengan memasang baliho, iklan di media elektronik dan cetak, hingga mengundang olahragawan dan artis terkenal untuk menjadi duta mangrove Indonesia. Namun ironis, kerusakan dan kehancuran hutan mangrove hingga saat ini masih terus terjadi. Lebih miris lagi, inisiatif nelayan untuk merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tentangan baik dari pemerintah maupun perusahaan akibat adanya kebijakan yang tumpang tindih. Indonesia merupakan negara kelautan terbesar yang memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994). Merujuk pada The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (KIARA, 2010). Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86% berada dalam kondisi rusak”. Pusat Data dan Informasi KIARA (Juli 2013) mencatat adanya empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung dan Langkat Sumatera Utara. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Semarang (Jateng), Surabaya (Jatim), Padang (Sumbar), Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun kelapa sawit. Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68% dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010) menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional. Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat (Sumatera Utara) seluas 1.200 ha yang sebelumnya dilaihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal jelas-jelas PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT Charoen Phokpand, telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan oleh 5 perusahaan tersebut hingga kini masih terus terjadi. Terakhir pada tanggal 9 Juli 2013 lalu, nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutang mangrove di lahan seluas 1.200 ha tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Indikasi kuat dari informasi lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, baik di Sumatera maupun di kawasan timur Indonesia. Bersamaan dengan peringatan Hari Mangrove Sedunia 2013 ini, KIARA mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan (kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, dan sebagainya) yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove. Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara) dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ketimbang sibuk melakukan kegiatan seremonial dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.*** Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera di +62 813 7093 1995 Jumiati, Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Serdang Bedagai di +62 812 6367 6561 Amin Abdullah, Presidium KNTI Region Nusa Tenggara di +62 818 0578 5720 Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259Surat Desakan Ke Kapolri dan Panglima TNI
/in Publikasi, Siaran Pers /by adminkiara- Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
- Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang;
- Segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
- Kembali kepada tugas dan fungsinya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia agar mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.
Surat Desakan Ke Kapolri dan Panglima TNI
/in Publikasi, Siaran Pers /by adminkiara- Tidak terlibat dalam pengamanan rencana pembangunan PLTU Batang yang masih dalam sengketa, bertentangan dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945, dan menyalahi aturan yang berlaku di NKRI;
- Segera menarik aparat di bawahnya dari wilayah proyek pembanguan PLTU Batang;
- Segera menindak sesuai dengan aturan hukum terhadap anggota polisi yang baik secara personal dan institusi telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak PLTU Batang; dan
- Kembali kepada tugas dan fungsinya untuk melindungi dan mengayomi warga negara Indonesia agar mendapatkan pelayanan keamanan dan ketertiban dalam usaha memenuhi hak-hak konstitusionalnya.
Kiara: Pemerintah Lamban Jalankan Mandat UU Penanggulangan Bencana di Gempolsewu
/in Siaran Pers /by adminkiaraKiara: Pemerintah Lamban Jalankan Mandat UU Penanggulangan Bencana di Gempolsewu
Kendal, 24 Juli 2013. Situasi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan terdampak bencana banjir bandang di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, kian sulit. Setelah kapal mereka dipastikan rusak/tenggelam, asa untuk melaut pun harus diurungkan hingga 11 hari lamanya sejak bencana malam hari 13 Juli 2013 lalu. Alhasil, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga menjadi terganggu. Pemerintah (baik daerah maupun pusat) didapati lamban dalam menjalankan mandat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 26 ayat (2) yang menegaskan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar”. Sedangkan pada pasal 33 secara tegas menyatakan, “Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 tahap meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana.” Dalam dialog bersama masyarakat nelayan di Desa Gempolsewu, Selasa (23/07) malam, Kiara mendapati temuan bahwa: pertama, sejak bencana terjadi, mereka hanya memperoleh bantuan berupa 250 paket sembako yang terdiri dari 14 mie instan, minyak 1 kg, gula pasir 1 kg, the poci 1 bungkus, dan beras sebanyak 5 kg. Sementara sudah 11 hari mereka tidak melaut. Seharusnya, dalam masa tanggap darurat, pemerintah harus memenuhi kebutuhan keluarga nelayan yang tak lagi bisa melaut hingga kondisi pulih. Berdasarkan keterangan nelayan, tiap kepala keluarga terdampak memerlukan bantuan (1 KK=5 anggota keluarga) berupa 2-3 kg beras dan uang lauk-pauk sebesar Rp30 ribu/hari. Kedua, juga diperlukan dana perbaikan sarana produksi para nelayan, berupa kapal yang rusak/tenggelam (kapal 3GT seharga Rp25 juta), penggantian jaring (1 jaring Rp700 ribu), dan mesin kapal (23 PK seharga Rp5,6 juta) Oleh karena itu, Kiara mendesak Bupati Kendal untuk berkoordinasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jateng dan Menteri Kelautan & Perikanan, serta memutuskan secara cepat agar proses pemulihan pasca bencana bisa dilakukan. Apalagi Bupati Kendal sudah 2 kali meninjau lokasi dan bahkan mendapat tawaran bantuan dari Wakil Gubernur Provinsi Jateng. Namun, belum ada langkah konkrit yang dirasakan oleh masyarakat nelayan hingga hari ini. Info lebih lanjut, dapat menghubungi: Sugeng Triyanto, Nelayan Tradisional Gempolsewu di +6282265797175 Abdul Halim, Sekjen Kiara di +62 815 53100 259Utang yang Memiskinkan
/in Pidato & Makalah, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraUtang yang Memiskinkan
Oleh: Apung Widadi
Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp 2.023 triliun. Itu berarti rata-rata satu warga negara Indonesia menanggung utang Rp 8,5 juta. Dampaknya, rakyat semakin miskin. Total sejak 2004 hingga saat ini peningkatan utang semasa pemerintahan SBY Rp 724,22 triliun. Akhir 2004 utang pemerintah masih Rp 1.299,50 triliun. Kenaikan yang amat signifikan ini berdampak pada APBN yang kian tergerus karena harus bayar cicilan pokok dan bunga utang. Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga: Rp 299,708 triliun, 17,3 persen dari total belanja negara pada APBN Perubahan 2013 (Rp 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja negara. Politik anggaran pemerintah kontras: memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin. Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang: rata-rata Rp 259,64 triliun per tahun, 38,3 persen dari total utang per tahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank Dunia, menurut data Dirjen Pengelola Utang, per Mei 2013 sekitar Rp 122 triliun, 21 persen dari total utang. Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp 95,77 triliun, 16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas. Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang antiutang luar negeri pupus sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya. Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan negara bisa bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005-2012): Rp 1.584,88 triliun. Selain menyedot uang negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU No 22/2001 Migas yang belum direvisi, UU No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No 30/2007 Energi, UU No 25/2007 Penanaman Modal, UU No 9/2009 Badan Hukum Pendidikan, UU No 19/2003 BUMN, dan UU No 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil. Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional subordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan, melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sektor strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri. Mengapa pemerintah mengingkari fakta itu dan terus menambah utang luar negeri dan dalam negeri? Setidaknya empat argumentasi yang selalu digembar-gemborkan setiap tahun. Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan publik dengan biaya dan risiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiskal dan utang semakin baik. Menyesatkan Argumentasi pemerintah itu, jika tak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, defisit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang defisit hanya ditindaklanjuti dengan solusi instan: utang, bukan menaikkan pendapatan negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita. Terkait rasio dengan PDB, melihat dengan kacamata itu tampak manis: rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan, pada 2012 Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen), Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen). Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing. Alih-alih dengan argumen risiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam, tetapi beban utangnya dibiayai negara. Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan jadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahan SBY: moratorium utang pemerintah. Meski bukan ide baru, moratorium utang, khususnya dalam negeri, ini cukup realistis karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas. DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah agar tak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal era Orde Baru yang saat ini terus menyusu kepada negara. Apung Widadi: Peneliti Politik Anggaran di Indonesia Budget (Kompas cetak, 13 Juli 2013)Nelayan Kendal Terkena Banjir Bandang KIARA: Negara Harus Penuhi Hak Nelayan Tradisional Terdampak dan Terlibat Aktif Memulihkan Kondisi Lingkungan Pasca Bencana
/in Kampanye & Advokasi, Siaran Pers /by adminkiaraNelayan Kendal Terkena Banjir Bandang
KIARA: Negara Harus Penuhi Hak Nelayan Tradisional Terdampak dan Terlibat Aktif Memulihkan Kondisi Lingkungan Pasca Bencana
Jakarta, 17 Juli 2013, Bencana banjir bandang kembali mendera Kabupaten Kendal. Banjir kali ini lebih dahsyat dari yang pernah terjadi di Januari 2013 dan mengakibatkan 9.600 rumah Kepala Keluarga (KK) di Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, tersebut terendam air dan lumpur. Hampir 70% korban banjir tersebut merupakan keluarga nelayan. Selain mengalami kerugian material berupa kerusakan perabotan rumah tangga, kapal dan peralatan melaut. Bahkan ditelan gelombang sehingga mengakibatkan kerusakan parah dan hilang. Banjir bandang pada Sabtu (13/07) malam terjadi akibat curah hujan tinggi di wilayah selatan Kendal sejak Sabtu siang hingga malam hari yang berdampak jebolnya tanggul Kali Kutho yang tidak kuat menahan tingginya debit air. Pusat Data dan Informasi KIARA pada tanggal 17 Juli 2013 mendapatkan informasi bahwa 74 kapal nelayan hanyut dan hilang. Dari jumlah tersebut, baru diketemukan 62 buah dalam kondisi rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Sedangkan sisa sebanyak 12 buah kapal hingga saat ini belum ditemukan. Rusak dan hilangnya kapal beserta peralatan melaut tersebut mengakibatkan kerugian sangat besar bagi nelayan. Masing-masing nelayan yang kehilangan kapal mengalami kerugian mencapai Rp. 40 juta, bagi yang kapalnya mengalami kerusakan berat mereka rugi mencapai Rp.15 juta. Sedangkan kapal nelayan yang mengalami kerusakan sedang harus menanggung rugi rata-rata Rp. 10 juta. Demikian juga dengan kapal yang mengalami kerusakan ringan mereka harus kehilangan aset sedikitnya Rp. 5 juta. Di sisi lain, sedikitnya terdapat satu rumah rusak berat dan mengalami kerugian mencapai Rp. 10 juta serta satu toko warga rusak ringan yang harus menanggung rugi hingga Rp. 2 juta. Sugeng Triyanto, Wakil Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Wilujeng Kendal, menyatakan saat ini para keluarga nelayan membutuhkan bantuan berupa makanan pokok sehari-hari dan perbaikan kapal-kapal yang rusak serta penggantian kapal yang hilang. Nelayan sangat membutuhkan peran pemerintah untuk dapat melindungi mereka dari bencana lanjutan akibat bencana banjir bandang tersebut. Pemerintah memiliki program pengadaan kapal Inka Mina bagi nelayan yang berukuran 30 GT senilai 1,5 Milyar, agar lebih tepat sasaran, Sugeng meminta khusus untuk program pengadaan kapal di Kendal agar mengalihkan program tersebut menjadi pengadaan kapal 3 GT bagi nelayan. Dengan harapan kapal yang setiap unitnya berharga Rp. 40 juta tersebut dapat mengganti kapal yang hilang dan rusak berat. Dengan demikian pasca bencana, aktivitas melaut akan kembali pulih dan mereka tidak mengalami kebingungan dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Sekjen KIARA Abdul Halim menambahkan, sudah seharusnya negara hadir dan memberikan solusi konkrit terhadap nelayan yang terkena bencana tersebut. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 26 ayat (2) telah menegaskan bahwa “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar”. Sedangkan pada pasal 33 secara tegas menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.” Ironisnya, seringkali pada setiap terjadi bencana alam, pemerintah hadir hanya meninjau dan memberikan bantuan pada saat tanggap darurat guna membangun pencitraan semata. Sedangkan upaya untuk membangun kembali kehidupan para korban pasca bencana nyaris diabaikan. Untuk itu, KIARA mendesak kepada pemerintah untuk tidak hanya terfokus pada saat tanggap darurat tapi juga harus lebih serius dalam memberikan bantuan perlindungan bagi keberlanjutan kehidupan korban bencana di kampung nelayan ini. Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Sugeng Triyanto, Wakil Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Wilujeng Kendal di +62 8226 579 7175 Abdul Halim, Sekjen KIARA di +62 815 53100 259KIARA: RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Rugikan Nelayan
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil /by adminkiaraKIARA: RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Rugikan Nelayan |
KBR68H, Jakarta – Perubahan Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dinilai bakal merugikan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim mengatakan, rancangan perubahan itu masih memberi ruang bagi komersialisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka, organisasnya mendesak DPR menghentikan pembahasan tersebut. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas dikemukakan soal praktek pengkaplingan dan komersialisasi yang kemudian dalam revisi ada upaya untuk mengkriminaslisasi masyarakat pesisir dalam hal ini masyarakat nelayan tradisional, itu lebih kentara, dari hal itu, kemudia KIARA memandang ada upaya yang kemudian dijalankan secara buru-buru agar revisi ini segera disahkan oleh DPR RI,” ungkap Sekretaris Jenderal LSM kelautan Kiara Abdul Halim ketika dihubungi KBR68H. Sekretaris Jenderal LSM kelautan Kiara, Abdul Halim berharap, DPR lebih mengutamakan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional. Sebab, RUU itu akan menguatkan ekonomi nelayan. Sebelumnya, rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk Panitia Khusus untuk membahas revisi Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan komersialisasi dalam Undang-Undang tersebut. Editor: Nanda Hidayat Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2823683_5486.html |

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.