Upaya Revisi Ditentang Masyarakat

PERLINDUNGAN PESISIR

Upaya Revisi Ditentang Masyarakat

JAKARTA KOMPAS- Upaya pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Pengelolaan  Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil  ditentang Organisasi Masyarakat sipil. Rencana ini dinilai hendak menghidupkan hak Pengusaha Perairan  pesisir  yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu.

“Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini direvisi agar ada payung hukum terkait Peraturan presi dan Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” kata Selamet Daroyni, Koordinator Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (Gerasi), Minggu (14/7), di Jakarta.

Hal itu menanggapi usulan Kementrian Kelautan dan Perikanan terkait revisi UU No 27/2007. Rencana ini ditanggapi rapat paripurna pada 25 juni 2013 yang mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007.

Selamet mengkhawatirkan revisi ini sebagai upaya menghidupkan kembali hak pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Pada 2011, Mahkamah Konstitusi  (MK) mengabulkan gugatan uji materi 27 nelayan dam 9 LSM terhadap UU No 27/2007.

Selamet mengatakan, dalam draf revisi UU No 27/2007 yang diusulkan, tidak terdapat perubahan substansi mendasar yang seharusnya sejalan dengan putusan MK.

“Pemerintah tidak melaksanakan amanat MK, sebaliknya menyiapkan skema baru untuk melegalisasi pengaplingan pesisir dan laut. Tiadanya partisipasi aktif masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi besar mengulangi kesalahan penyusunan legislasi, merugikan keuangan negara, dan akan memicu konflik horizontal,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kolisi Rakyat untuk  Keadilan Perikanan (Kiara).

Ia menilai, proses pembentukan panitia khusus DPR tidak Dijelaskan secara terbuka kepada piblik. Terutama alasan UU ini mendapat prioritas dibandingkan UU lain yang lebih dibutuhkan oleh nelayan trdisional dan masyarakat diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Yang dimaksud adalah RUU perlindungan dan pemberdayaan Nelayan Tradisional.

Abdul mengatakan, Kiara dua kali melayangkan surat resmi untuk beraudiensi  dengan Ketua Badan Legislasi DPR, tetapi ditolak atau ak endapat tanggapan.

“Kiara menyesalkan sikap DPR karena berdasarkan pasal 96 UU No 12/2001`tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap inisiatif warga melakukan konsultasi dan memberikan masukan merupakan tindakan melangar hukum konstitusi,” kata Abdul. (ICH)

Sumber: Kompas, Senin, 15 Juli 2013.

Upaya Revisi Ditentang Masyarakat

PERLINDUNGAN PESISIR

Upaya Revisi Ditentang Masyarakat

JAKARTA KOMPAS- Upaya pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Pengelolaan  Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil  ditentang Organisasi Masyarakat sipil. Rencana ini dinilai hendak menghidupkan hak Pengusaha Perairan  pesisir  yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu.

“Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini direvisi agar ada payung hukum terkait Peraturan presi dan Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” kata Selamet Daroyni, Koordinator Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (Gerasi), Minggu (14/7), di Jakarta.

Hal itu menanggapi usulan Kementrian Kelautan dan Perikanan terkait revisi UU No 27/2007. Rencana ini ditanggapi rapat paripurna pada 25 juni 2013 yang mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007.

Selamet mengkhawatirkan revisi ini sebagai upaya menghidupkan kembali hak pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Pada 2011, Mahkamah Konstitusi  (MK) mengabulkan gugatan uji materi 27 nelayan dam 9 LSM terhadap UU No 27/2007.

Selamet mengatakan, dalam draf revisi UU No 27/2007 yang diusulkan, tidak terdapat perubahan substansi mendasar yang seharusnya sejalan dengan putusan MK.

“Pemerintah tidak melaksanakan amanat MK, sebaliknya menyiapkan skema baru untuk melegalisasi pengaplingan pesisir dan laut. Tiadanya partisipasi aktif masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi besar mengulangi kesalahan penyusunan legislasi, merugikan keuangan negara, dan akan memicu konflik horizontal,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kolisi Rakyat untuk  Keadilan Perikanan (Kiara).

Ia menilai, proses pembentukan panitia khusus DPR tidak Dijelaskan secara terbuka kepada piblik. Terutama alasan UU ini mendapat prioritas dibandingkan UU lain yang lebih dibutuhkan oleh nelayan trdisional dan masyarakat diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Yang dimaksud adalah RUU perlindungan dan pemberdayaan Nelayan Tradisional.

Abdul mengatakan, Kiara dua kali melayangkan surat resmi untuk beraudiensi  dengan Ketua Badan Legislasi DPR, tetapi ditolak atau ak endapat tanggapan.

“Kiara menyesalkan sikap DPR karena berdasarkan pasal 96 UU No 12/2001`tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap inisiatif warga melakukan konsultasi dan memberikan masukan merupakan tindakan melangar hukum konstitusi,” kata Abdul. (ICH)

Sumber: Kompas, Senin, 15 Juli 2013.