Archive for date: September 19th, 2013
Editor : Hindra Liauw
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/19/1658571/KIARA.Sail.Komodo.Boroskan.Negara.dan.Rugikan.Nelayan
KIARA: Sail Komodo 2013 Melengkapi Pemborosan Keuangan Negara dan Rugikan Nelayan Tradisional
/in Siaran Pers /by adminkiara
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
www.kiara.or.id
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2013)
Untuk prosesi acara puncak Sail Komodo 2013 yang dihadiri oleh Presiden SBY dan pejabat negara lainnya, misalnya, dana sebesar Rp60 miliar terbuang cuma-cuma. Lebih ironis lagi, pemerintah daerah juga harus menanggung hutang miliaran rupiah pasca sail berakhir. Hal ini terjadi pada Sail Banda di Maluku.
Sail Komodo 2013 bukanlah ajang penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional, melainkan alat eksploitasi sumber daya pesisir dan laut di balik Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Pemborosan terhadap anggaran ini, tambah Halim, sangat bertolak belakang dengan kondisi nelayan tradisional. Dengan dana sebesar Rp4,461 triliun tersebut, pemerintah semestinya bisa melakukan banyak hal untuk menyejahterakan dan melindungi nelayan, seperti pemberian jaminan perlindungan jiwa, pendidikan dan kesehatan nelayan dan keluarganya, penyediaan akses dan fasilitas BBM bersubsidi, perlindungan dan penguatan kapasitas nelayan di wilayah perbatasan, dan insentif pendaratan ikan di TPI.
Indonesia sudah sangat dikenal masyarakat dunia berkat anugerah sumber daya lautnya, tanpa biaya besar pun, promosi wisata bahari dapat dilakukan secara swadaya bersama masyarakat nelayan tradisional.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 815 53100 259
KIARA: Sail Komodo 2013 Melengkapi Pemborosan Keuangan Negara
dan Rugikan Nelayan Tradisional
Jakarta, 18 September 2013. Nelayan tradisional kembali dikorbankan oleh pemerintah dalam pelaksanaan Sail Komodo 2013. Sejak 24 Agustus – 14 September 2013, mereka dilarang melakukan aktivitas kenelayanan di perairan tempat mereka mencari ikan selama ini. Praktek ini adalah bentuk pengulangan dari penyelenggaraan ajang promosi wisata bahari di Indonesia atau lazimnya disebut sail. Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan bahwa, “Kegiatan promosi wisata bahari semestinya melibatkan masyarakat nelayan dan adat yang tersebar di sepanjang pesisir Indonesia. Bukan justru membatasi hak konstitusional mereka untuk pergi ke laut. Berkaca pada penyelenggaraan Sail Bunaken hingga Sail Komodo, praktek pembatasan pelaksanaan hak konstitusional warga negara banyak terjadi”. Mengacu pada data BPS berjudul NTT dalam Angka Tahun 2012, sebanyak 194.684 jiwa nelayan tidak bisa melaut selama 22 hari dan menderita kerugian sebesar Rp857 miliar. Dengan jumlah kerugian ini, nelayan harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan dan kesehatan anggota keluarganya. Di samping merugikan rakyat, penyelenggaraan sail-sail ini juga membebani keuangan negara sebesar Rp4,461 triliun (lihat Tabel 1). Alih-alih menyejahterakan nelayan tradisional yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kegiatan berbiaya besar ini lebih dijadikan sebagai ajang pencitraan elit-elit politik. Tabel 1. Anggaran Penyelenggaraan SailNo | Nama Kegiatan | Tahun | Jumlah Anggaran |
1 | Sail Bunaken | 2009 | Rp41 miliar |
2 | Sail Banda | 2010 | Rp160 miliar |
3 | Sail Wakatobi-Belitong | 2011 | Rp1 triliun |
4 | Sail Morotai | 2012 | Rp200 miliar |
5 | Sail Komodo | 2013 | Rp3,06 triliun |
TOTAL | Rp4,461 triliun |
Giant Sea Wall Menyebabkan Dampak Lingkungan Makin Buruk
/in Uncategorized /by adminkiara
Siaran Pers Bersama
Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Giant Sea Wall Menyebabkan Dampak Lingkungan Makin Buruk
Jakarta, 17 September 2013. Model pembangunan yang boros lahan dan maraknya alih fungsi hutan mangrove—membuat sistem tata air Jakarta semakin rusak. Ini berimplikasi pada krisis air bersih berkepanjangan. Selain model pengelolaan pesisir yang carut-marut itu, kondisi Jakarta buruk dan semakin buruk dengan kenaikan permukaan air laut Teluk Jakarta mencapai rata-rata 0.57 cm per tahun. Ini berpotensi merendam kawasan pantai antara 0.28 – 4.17 meter pada tahun 2050. Semua ini terungkap dalam penelitian Armi Susandi (2007) bertajuk “Pengaruh Perubahan iklim di Jakarta dengan Menghitung Laju Kenaikan Temperatur di Jakarta dan Kenaikan Muka Air Laut”. Lebih lanjut dalam penelitian itu, beberapa daerah di antaranya Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Bandar Udara Soekarno Hatta—bakal terendam air. Dari aspek sosial dan ekonomi, salah urus pengelolaan pesisir akan menggusur setidaknya 14.316 jiwa masyarakat yang tersebar di enam kampung nelayan Mida Saragih, Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim menegaskan (CSF-CJI), “Hasil prediksi Dewan Nasional Perubahan Iklim terbaru sudah menyebutkan pola pembangunan yang merusak seperti di Jakarta menyebabkan pemburukan dampak lingkungan perubahan iklim. Dengan prediksi tersebut, Pemerintah Nasional dan Pemerintah DKI Jakarta mesti bersama-sama mendorong perbaikan daya dukung lingkungan, di antaranya menyetop rencana pembangunan tanggul raksasa atau Giant Sea Wall. Tanggul raksasa itu akan membentang sepanjang 30 km di Teluk Jakarta. Pembangunan tanggul praktis memperlambat arus debit air tiga belas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan memacu pendangkalan sungai. Bila hal ini berlangsung, Pemerintah harus mengeruk sungai secara teratur, supaya tidak mengakibatkan banjir. Tanggul raksasa akan melahirkan sejumlah masalah baru yang merugikan masyarakat dan Pemerintah.” “Pemerintah semestinya serius menyiapkan perluasan Ruang Terbuka Hijau sampai dengan 30 persen guna memberikan perlindungan terhadap kualitas udara dan iklim mikro,” tambah Mida. Menurut kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), pemburukan kualitas ekosistem pesisir Jakarta berlangsung dengan sangat cepat dan tidak memperhatikan implikasinya terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Di antaranya mangrove seluas 1.134 hektare pada tahun 1960, kini tersisa tidak lebih dari 15 % saja. Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan dengan cara pengurugan tanah untuk perluasan lahan (reklamasi). Dengan izin pemerintah, sejumlah perusahaan properti dan pergudangan melaksanakan reklamasi tersebut. Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA menegaskan, “Proyek pembangunan Giant Sea Wall merupakan bagian dari MP3EI yang hanya mendorong terjadinya pembangunan fisik berupa pelabuhan, jalan tol yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas barang dan jasa. Pembangunan fisik tersebut tidak memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan hidup dan sumber daya alam. Proyek Giant Sea Wall juga merupakan bentuk perampasan ruang hidup masyarakat pesisir dan abai terhadap masa depan Jakarta. KIARA dan CSF-CJI mendesak Kementerian Koordinator Perekonomian RI dan Pemerintah DKI Jakarta agar mulai meletakkan Prediksi DNPI terkait Jakarta 2030 sebagai referensi strategis guna merevisi Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Jakarta. Dan lebih berkonsentrasi untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya air yang mengintegrasikan hulu-hilir. Tujuan utamanya agar inisiatif-inisiatif penyelamatan lingkungan yang sudah berlangsung dapat memberikan hasil maksimal dan membebaskan Jakarta dari bencana. KIARA dan CSF-CJI juga mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melibatkan masyarakat pesisir bersama-sama merespon dampak perubahan iklim, bukan justru menggusur masyarakat.*** Informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi: Mida Saragih, Koordinator Nasional CSF-CJI Email. ms.mida.saragih@gmail.com / Phone. +6281322306673 Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA Email : selametdaroyni@gmail.com/ Phone : +62 821 1068 3102Tanggul Laut Raksasa Tak Bisa Selamatkan Jakarta
/in Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiaraTanggul Laut Raksasa Tak Bisa Selamatkan Jakarta
JAKARTA – Pembangunan tembok raksasa di laut untuk menghindari terjangan kenaikan muka air laut justru akan makin membuat Jakarta banjir. Penyelamatan sebaiknya dilakukan dengan perluasan lahan hijau dan pengerukan sungai secara berkala. “ Tanggul raksasa atau giant sea wall akan melahirkan sejumlah masalah baru yang merugikan masyarakat dan pemerintah,” ungkap Mida Saragih, Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk keadilan iklim (CSF-CJI), selasa (17/9). Menurutnya, pembangunan tanggul praktis memperlambat arus debit air 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, dan memacu pendangkalan sungai. Bila hal ini berlangsung, pemerintah harus mengeruk sungai secara teratur supaya tidak mengakibatkan banjir. “pemerintah semestinya serius menyiapkan perluasan ruang terbuka hijau sampai dengan 30 persen guna memberikan perlindungan terhadap kualitas udara dan iklim mikro,” ujar Mida. Menurut kajian Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), memburuknya kualitas ekosistem pesisir Jakarta berlangsung dengan sangat cepat, dan tidak memperhatikan implikasinya terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Di antaranya, mangrove seluas 1.134 hektare (ha) pada 1960 , kini tersisa tidak lebih dari 15 persen saja. Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan dengan cara pengurugan tanah untuk perluasan lahan atau reklamasi. Dengan izin pemerintah, sejumlah perusahaan properti dan pergudangan melaksanakan reklamasi tersebut. Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA menegaskan, proyek pembangunan giant sea wall merupakan bagian dari MP3EI yang hanya mendorong terjadinya pembangunan fisik berupa pelabuhan, jalan tol yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas barang dan jasa. “Pembangunan fisik tersebut tidak memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan hidup dan sumber daya alam. Proyek giant sea wall juga merupakan bentuk perampasan ruang hidup masyarakat pesisir dan abai terhadap masa depan Jakarta,” urai Selamet. Dengan model pengelolaan pesisir yang karut-marut itu, kondisi Jakarta diperkirakan akan makin buruk . kenaikan permukaan air laut Teluk Jakarta mencapai rata-rata 0,57 cm per tahun. Ini berpotensi merendam kawasan pantai antara 0,28 – 4,17 meter pada 2050. Semua ini terungkap dalam penelitian Armi Susandi (2007) bertajuk “ Pengaruh perubahan iklim di Jakarta dengan menghitung laju kenaikan temperature di Jakarta dan kenaikan muka air laut”. Dalam penelitian itu, beberapa daerah di antaranya Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing, dan Bandara Soekarno –Hatta bakal terendam air . Dari aspek sosial dan ekonomi, salah urus pengelolaan pesisir akan menggusur setidaknya 14.316 jiwa masyarakat yang tersebar di enam kampung nelayan (Sulung Prasetyo). Sumber:http://cetak.shnews.co/web/read/2013-09- 18/18249/tanggul.laut.raksasa.tak.bisa.selamatkan.jakarta#.UjpyxH-Fb0e
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.