Kerapu, Di Minati Pasar Lokal dan Global

Anda pernah mengKabar Bahari - kerapuonsumsi ikan kerapu? Jika belum, bersegeralah! Karena spesies laut ini memiliki kelezatan daging yang gurih dan kandungan gizi yang tinggi.

Ikan kerapu (Epinephelus sexfasciatus) menjadi salah satu komoditi ekspor di Indonesia (Slamet B., S. Ismi dan T. Aslianti, 2002), yang sebagian besar diekspor ke luar negeri dalam bentuk ikan segar, ikan olahan setengah jadi (fillet, sashimi, dan sebagainya) serta ikan hidup, dengan tujuan negara-negara utama seperti Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan AS (Anonim, 2004). Salah satu daerah yang menghasilkan ikan tangkap seperti ikan kerapu (E.sexfasciatus) adalah perairan Laut Tuban.

Diketahui bahwa pada tahun 1998 ekspor ikan kerapu Indonesia mencapai 1.856 ton. Ekspor ikan kerapu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 1999 (Anonim, 2003). Penurunan produksi perikanan kerapu ini diduga disebabkan adanya serangan parasit. Menurut Johnny F. (2002), pada ikan kerapu terkadang ditemukan parasit baik pada insang dan organ lain. Tingkat infeksi parasit yang tinggi mampu menyebabkan kematian pada ikan.

 

Ikuti Informasi terkait buletin kabar bahari >> KLIK DISINI <<

Tri Ismuyati: Memulai Kebaikan, Menuai Pengakuan

Mbak TriPasir Bandungharjo tetap berwarna hitam, perahu-perahu nelayan pun masih bersandar tanpa berani melaut. Cuaca ekstrem telah memperburuk kondisi nelayan. Dalam satu tahun terakhir, nelayan Bandungharjo hanya melaut kurang dari 30 hari. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, nelayan Bandungharjo terpaksa mencari pinjaman.
Kondisi ini tak menghalangi beberapa nelayan untuk nekat melaut, dengan resiko hilang dan meninggal dunia di laut. Tanpa perlindungan, nelayan Bandungharjo berjuang memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan berkotribusi sebagai penyedia protein bangsa.

Tambang Pasir Besi: Perusak Pesisir

Ironisnya, kondisi nelayan Bandungharjo kian rumit akibat dari tambang pasir besi yang terus dilakukan hingga hari ini. Sebanyak 250 Kepala Keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan hidup dalam kondisi terpuruk di Desa Bandungharjo. Meski demikian, para nelayan pantang menyerah dan mereka terus melawan tambang pasir besir yang semakin mengancam kehidupan dan kesejahteraan nelayan.

Menariknya di tengah kumpulan para pejuang laki-laki, ada seorang perempuan sederhana yang setia mengikuti pertemuan-pertemuan dan turut berkontribusi dalam aksi penolakan tambang pasir di Jepara. Tri Ismuyati namnya. Usianya 34 tahun dan ia kerap disapa Mbak Tri.

Mbak Tri tidak hanya terlibat aktif dalam upaya melawan aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir Bandungharjo, tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan kaum perempuan nelayan. Sorot matanya merekam sejarah kekerasan yang terus berulang dan dilakukan oleh Negara: pemberian izin tambang di wilayah pesisir.  Mbak Tri menatap laut, pasirnya masih sama hitam seperti ketika ia lahir. Namun, takdir alam tidak pernah sama. Tambang pasir besi menggerus isi laut. Kini, laut sudah tidak lagi biru.

“Kita dikasih rezeki oleh Tuhan YME, laut yang kaya. Apa ndak cukup ikan di laut kita ini sampai pasirnya pun mau dikeruk habis?” tanya Mbak Tri sembari tersenyum.

Nelayan yang menggantungkan kebutuhan mereka di laut pun berdiri di tengah pusaran konflik sumber daya alam yang tidak pernah usai.

“Kalau semua orang merasa ingin dan mau, siapa yang bisa bilang berhenti untuk semua keinginan itu. Lah saya bingung jadinya,” imbuh Mbak Tri.

Kelompok Udang Sari

Melihat potret kemiskinan  yang kian menjadi, Mbak Tri menginisiasi pembentukan kelompok Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Udang Sari Jepara yang beranggotakan 30 orang perempuan atau istri nelayan. Melalui kelompok ini, Mbak Tri menggerakkan upaya ekonomi alternatif melalui panganan lokal berbahan hasil laut. Inilah bentuk perjuangan Mbak Tri, tanpa melepas hakikatnnya sebagai perempuan, istri dan ibu dari anak-anaknya.

Mbak Tri terus mengembangkan jiwa perjuangannya. Alam pikirannya menantangnya untuk terus berjuang. Karena “jika sekadar hidup, babi di hutan pun hidup”, ujarnya mengutip ungkapan Buya Hamka.

Bukan sekadar terbelenggu oleh budaya patriarki, pada awal perjuangannya Mbak Tri kerap terjebak di tengah ketidaktahuannya. Sering kali ia merasakan kebingungan dari mana hendak memulai aktivitas yang dapat membantu perekonomian keluarga nelayan Jepara. Namun, konflik dan masalah yang terus terjadi memaksa Mbak Tri melihat dan belajar.

Berawal dari pertemuan Mbak Tri dengan PPNI Demak yang diketuai oleh Masnuah, telah membuat Mbak Tri terbuka hatinya. Ia sadar setiap piring yang disajikan dalam rumah nelayan ada tetes keringat perempuan nelayan. Mbak Tri tidak melawan arus dengan memaksa untuk sejajar dengan laki-laki, tetapi ia menyandarkan perjuangannya melalui 1 kata: adil.

Panganan Pesisir

Mengikuti banyak pertemuan perempuan nelayan bersama dengan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Mbak Tri semakin percaya perempuan nelayan pun bisa melakukan banyak hal. Bersama dengan kelompoknya, Mbak Tri mulai mengkreasikan berbagai panganan pesisir dan laut, seperti Abon Ikan Krispi, Udang Krispi, Ikan Telur Gabus, dan Keripik Kulit Ikan Stik.

Kini, kelompok perempuan nelayan Mbak Tri mulai dikenal oleh Dinas Perikanan Kelautan dan Perikanan. Bukan hanya itu, pada November 2013, warga Bandungharjo menerima bantuan beras sebanyak 5 ton untuk menghadapi masa paceklik atau petengan.

Perjuangan perempuan nelayan di Jepara baru memasuki tahap awal, namun inisiatif memperbaiki kehidupan semakin terlihat. Dimulai dari hal sederhana, dengan harapan akan menjadi hal yang luar biasa. Kini, Mbak Tri masih sama melihat pasir hitam di laut Jepara. Namun, matanya tidak hanya tertuju pada alat-alat besar pertambangan, ia memandang jauh ke depan: kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)

PETAMBAK DAN PERDAGANGAN BEBAS KOMODITAS UDANG

 

PETAMBAK DAN PERDAGANGAN BEBAS KOMODITAS UDANG

Menggugat Kejahatan Perdagangan Bebas dan Charoen Phokpand

I.         Situasi Perikanan Indonesia

Terjadi kenaikan signifikan jumlah volume produksi perikanan di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2012 sebesar 6.646.432 atau sebesar lebih dari 75%. Begitu pula dengan produksi udang mengalami kenaikan produksi tiap tahun sebesar 409,590 Ton pada 2008 menjadi 415,703 Ton pada 2012. Dari angka-angka tersebut terjadi surplus produksi perikanan yang sangat signifikan.

Tabel 1.1 Volume Produksi Perikanan Indonesia 2008 – 2012

2008

2012

8.858.315 ton

15.504.747 ton

5.003.115 ton untuk Perikanan Tangkap

3.855.200 ton untuk Perikanan Budidaya

5.829.194 ton Perikanan Tangkap

9.675.553 ton Perikanan Budidaya

Berdasarkan angka volume produksi Udang, Indonesia mengalami kenaikan tiap tahun dengan rata-rata kenaikan sebesar 1,04%. Pada 2008 produksi udang mencapai 409,590 ton yang menurun pada 2009 menjadi 338,060. Namun sejak 2009 meningkat hingga mencapai 415,703 ton pada tahun 2012.

Tabel 1.2 Volume Produksi Perikanan Udang Tahun 2008 – 2012

Tahun

2008

2009

2010

2011

2012

409,590 338,060 380,972 400,385 415,703

Dalam satuan Ton (*) dalam perkiraan

Kenaikan produksi perikanan tangkap dan budidaya tersebut diiringi dengan kebijakan peningkatan volume dan nilai ekspor Indonesia sebesar sebesar lebih dari + 30% atau mencapai 317.440 (ton) dan 1.153.975 (US$). Kenaikan angka ekspor tersebut tidak lain merupakan upaya komodifikasi sumber daya perikanan Indonesia termasuk udang yang dihasilkan petambak Indonesia sebagai barang komoditas perdagangan bebas.

Tabel 1.3 Volume dan Nilai Ekspor Indonesia 2008-2012

2008

2012

911.674 (Volume dalam ton) 2.699.683 (Nilai dalam US$) 1.229.114 (Volume dalam ton) 3.853.658 (Nilai dalam US$)

Terdapat 3 negara industri yang menjadi tujuan ekspor udang Indonesia antara tahun 2008 hingga 2012 yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Kanada. Uni Eropa merupakan negara tujuan terbesar pertama dengan volume dan nilai yang berkisar pada 73.546-102.334 (Volume/Ton) dengan 293.344-459.923 (Nilai/US$). Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor terbesar kedua dengan volume dan nilai yang berkisar pada 58.277-77.203 (Volume/Ton) dengan nilai 443.220-547.627 (Nilai/US$). Negara tujuan terbesar ketiga adalah Jepang dengan volume dan nilai yang berkisar pada 33.521-39.233 (Volume/Ton) dengan nilai 333.056-427.301 (Nilai/US$). Negara lainnya dengan volume dan nilai yang berkisar pada 19.944-43.858 (Volume/Ton) dengan nilai 75.194-279.302 (Nilai/US$). Total ekspor hasil udang Indonesia 2008-2012 berkisar antara 145.092-170.583 (Volume/Ton) dengan nilai total antara 1.056.399-1.165.293.

Tabel 1.4 Volume dan Nilai Ekspor Hasil Udang Indonesia 2008 – 2012

Negara

Tahun

2008

2009

2010

2011

2012

Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai

Uni Eropa

84.525 336.260 73.546 293.344 80.421 330.680 102.334 459.923 87.116 445.890

Amerika Serikat

77.203 547.627 63.592 426.995 58.277 443.220 70.059 615.055 62.194 500.307

Jepang

39.233 334.982 38.528 333.056 36.712 351.402 37.897 427.301 33.521 372.825

Negara Lainnya

19.944 75.194 23.411 92.428 24.307 102.162 27.527 97.652 43.858 279.302

Total

170.583 1.165.293 150.989 1.007.481 145.092 1.056.399 158.062 1.309.674 162.068 1.304.149

(Volume dalam Ton, Nilai dalam US$)

II.       Tuduhan COGSI

Pada awal 2013 lalu Pemerintah Indonesia dituduh memberikan subsidi kepada industri udang oleh assosiasi industri udang dari Amerika Serikat (The Coalition of Gulf Shrimp Industries/COGSI). COGSI meminta kepada Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (The United States International Trade Commission/US ITC) untuk menyelidiki dugaan subsidi kepada industri udang yang melanggar peraturan dalam Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Tuduhan tersebut juga ditujukan kepada China, Ecuador, India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam selama periode tahun 2010 hingga 2014.

Industri udang AS menuduh pemerintah Indonesia mengalokasikan US$ 3 miliar kepada sektor perikanan dan secara khusus dialokasikan untuk industri udang selama lima tahun dari 2010 hingga 2014. Dengan menargetkan peningkatan produksi sebesar 18-19% per tahun. Tuduhan tersebut juga mempersoalkan bagaimana perusahan industri udang yang terbesar di Indonesia PT. Central Proteina Prima (PT. CPP) yang berencana membangun pabrik pakan ikan dan udang dengan kapasitas 30.000 metrik ton untuk memenuhi permintaan di daerah Sumatera.[1]

Pada akhirnya Departemen Perdagangan Amerika Serikat (U.S. Department of Commerce/US DOC) menyatakan bahwa Indonesia tidak melakukan subsidi terhadap industri udang dalam negeri. Departemen Perdagangan Amerika melakukan investigasi terhadap PT. Central Pertiwi Bahari dan PT. Marine Seafoods yang menerima subsidi dengan rata-rata sebesar 0,23% dan 0,27%. Dengan angka rata-rata subsidi dibawah 1 persen menjadikan hasil de minimis yang kemudian menjadi dasar kesimpulan bahwa Indonesia bersama dengan Thaliand tidak melakukan subsidi terhadap industri udang. Keputusan tersebut dikeluarkan pada 13 Agustus 2013 sebagai affirmative final determinations.[2]

Penyelidikan tersebut merupakan langkah yang dilakukan sebagai prosedur yang dapat dilakukan oleh negara anggota sebagai akibat dari keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebaliknya pula, penyelidikan tersebut menjadi alat negara lain yang menjadi anggota WTO ketika melihat ada subsidi yang dilakukan oleh negara anggota WTO terhadap obyek perdagangan bebas. WTO meliberalisasi perdagangan dunia melalui Agreement on Agriculture (AoA) dengan 3 pilarnya yaitu: (1) perluasan akses pasar (market access) dengan pembukaan terhadap komoditas negara lain; (2) pengurangan dukungan domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar; dan (3) pengurangan subsidi ekspor (export subsidy). Fakta yang terjadi dari perdagangan internasional dan hasil perundingan bidang pertanian banyak merugikan negara-negara sedang berkembang.

WTO bersama dengan Negara maju beranggapan bahwa subsidi dalam sektor perikanan akan mengganggu akses pasar dalam perdagangan internasional. Kebijakan subsidi bagi nelayan dan petambak serta proteksi produk perikanan akan menghambat perdagangan bebas. WTO dan sejumlah negara maju menghendaki keduanya ditiadakan melalui dua kebijakan yang sedang dibahas dengan alot yakni NAMA (Akses Pasar Non Pertanian) dan penghapusan subsidi perikanan. Perikanan termasuk dalam kategori produk non-pertanian dan bukan termasuk dalam kategori produk-produk utama. Subsidi perikanan dapat berbentuk: (1) bantuan langsung materi (untuk pembelian kapal, alat tangkap, modal usaha, pinjaman kredit); (2) program preferensi pajak dan asuransi; (3) pengembangan infrastruktur (pelabuhan); (4) subsidi harga dan pemasaran; (5) subsidi program konservasi dan pengelolaan sumber daya.

III.    Melanggar Hak

Di balik volume dan nilai ekspor udang yang meningkat signifikan diatas, terjadi pelanggaran HAM dan Konstitusi UUD 1945 Indonesia terhadap 7.512 petambak udang Dipasena dengan luas wilayah mencapai 16.250 hektar.

Pertambakan di Dipasena dimulai sejak tahun 1989 yang awalnya dimiliki oleh Sjamsul Nursalim (Dipasena Group dan Gajah Tunggal Group).[3] Hingga kini Sjamsul Nursalim masih buronan dengan hutang kurang bayar senilai Rp. 47 Triliun.[4] Permasalahan di pertambakan dimulai sejak tahun 1997 dengan hutang yang ditanggung petambak tak kunjung lunas, bahkan jumlahnya terus bertambah dengan alasan sebagai dampak dari krisis moneter. Perusahaan Inti saat itu PT. Dipasena Citra Darmaja (PT. DCD) tidak pernah memberikan transparansi kondisi ekonomi dan pembayaran hutang petambak. Hak dan kebebasan para petambak plasma juga dirampas dengan tindakan kesewenang-wenangan dan sepihak dari perusahaan yang menentukan harga jual udang dan kebutuhan produksi udang. Berbagai pelanggaran dan kesewenang-wenangan bermula dari perjanjian kemitraan inti-plasma yang tidak adil, ekploitatif dan monopolistik.

Para petambak plasma yang dirugikan dengan ulah perusahaan mulai menyuarakan hak-haknya dengan berdemonstrasi dan membentuk organisasi petambak yang dinamai Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) pada 1998.[5] Hingga akhirnya sejak 2007 berpindah kepemilikan asset ke perusahaan transnasional Charoen Phokpand dengan membeli Aset Kredit dan Saham Group Dipasena melalui Konsorsium Neptune senilai Rp. 2,388 Trilliun dengan nilai ‘hanya’ sebesar Rp. 688 milyar.[6]

Charoen Phokpand Indonesia membentuk PT. Central Proteinaprima Tbk untuk industri udang yang membawahi PT Aruna Wijaya Sakti (PT. Central Proteinaprima mengubah nama PT. DCD diganti oleh menjadi PT Aruna Wijaya Sakti), PT Centralpertiwi Bahari, dan PT Wachyuni Mandira yang beraktivitas di Lampung Provinsi Lampung, Kabupaten Tulang Bawang. Ketiga anak perusahaan dari Charoen Phokpand melanjutkan pelanggaran yang telah dilakukan terhadap petambak udang dari skema perjanjian kemitraan inti-plasma.

Permasalahan yang terjadi dalam pola kemitraan antara petambak plasma dimulai dengan iming-iming petambak yang bermitra mendapatkan sebuah rumah sederhana dan 2 petak lahan tambak seluas 2 ribu meter persegi. Semua yang didapatkan oleh petambak Dipasena tertanggung sebagai hutang yang besarannya 165 Juta untuk setiap petambak. Dan sistem pelunasannya akan dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap seusai panen yang diperkiraan akan lunas dalam waktu 8 tahun. Perusahaan inti memonopoli semua kebutuhan usaha budidaya udang seperti pakan, obat-obatan yang dijual sangat tinggi dan juga udang hanya boleh dijual kepada perusahaan namun penetapan harga beli secara sepihak dengan harga sangat rendah. Selain itu, untuk mengikat petambak agar terus bergantung, perusahaan menyediakan hutang bulanan sebesar Rp. 900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Hingga kini, keseluruhan hutang tersebut menjadi dalih perusahaan bahwa petambak berutang dan tambak tersebut disita untuk melunasi utang ke perusahaan.

Kejahatan Charoen Phokpand melalui PT Aruna Wijaya Sakti/PT. Central Protein Prima (untuk selanjutnya disebut PT AWS/CPP) semakin nyata dengan tidak melaksanakan kewajibannya merevitalisasi tambak udang. Padahal kewajiban tersebut merupakan kewajiban dari perjanjian pembelian aset Group Dipasena yang dimandatkan oleh KKSK Hingga awal 2011 PT. AWS/CPP hanya merevitalisasi lima blok saja dari keselurhan 16 blok. Selain itu PT. AWS/CPP mengkriminalisasi Ketua P3UW Nafian Faiz atas kejahatan yang tidak pernah dilakukannya dengan tujuan adalah untuk menghentikan perjuangan dari P3UW. Pada akhirnya Nafian Faiz divonis bersalah oleh PN Menggala pada 28 juni 2011 dengan pidana 30 bulan penjara.

Tidak ada i’tikad baik dari Charoen Phokpand dengan menggugat wanprestasi terhadap 200 petambak plasma dalam dua gugatan dengan total 400 tergugat petambak plasma Dipasena di PN Menggala. Walaupun Komnas HAM dan Instansi negara lain seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemprov Lampung, Pemkab Tulang Bawang, BPH Migas, PT. PLN, dan PT. Pertamina telah mengupayakan upaya penyelesaian diluar hukum. Namun iktikad buruk Charoen Phokpand dinyatakan ditolak dan tidak dapat diterima oleh Pengadilan  Negeri dengan dasar eksepsi Tergugat pada 17 Januari 2013. Pertimbangan putusan majelis menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan tidak beralasan secara hukum 400 Tergugat Petambak Plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai Para Tergugat dalam satu gugatan. Hingga kini kemenangan belum berada di tangan petambak plasma karena pihak Charoen Phokpand melakukan upaya hukum banding.

IV. Negara Harus Melindungi Petambak

Sungguh jelas bahwa dalam skema kemitraan inti-plasma Charoen Phokpand melanggar hak asasi manusia dan Konstitusi UUD 1945 dengan melakukan perbudakan secara diam-diam (silent slavery) terhadap petambak plasma. Perbudakan tersebut secara nyata merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik dalam Deklarasi Universal HAM 1948 maupun dalam dokumen mengikat Konvensi Hak Sipil dan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Dalam pembukaan Konstitusi UUD 1945 yang menyatakan “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Perbudakan diam-diam telah melanggar Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”.

Seharusnya negara berkewajiban untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1). Kewajiban tersebut telah dilanggar dengan aktif oleh negara melalui perjanjian perdagangan bebas dan keanggotaan Indonesia dalam WTO. Dengan WTO Indonesia dilarang untuk memastikan bahwa warga negara mendapatkan dukungan subsidi yang kuat untuk melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai warga negara.

Petambak Dipasena saat ini telah bangkit dengan mampu melakukan kegiatan ekonomi secara mandiri tanpa ada monopoli dari korporasi maupun investasi yang tidak berperi-kemanusiaan dan keadilan. Ekonomi kerakyatan dengan fondasi demokrasi Pasal 33 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan  Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara nasional, perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kebangkitan Petambak Dipasena merupakan contoh, jelaskan bagaimana mereka bangkit dan menerapkan ekonomi kerakyatan sebagaimana dicita-citakan UUD 1945 dengan semangat gotong-royong.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Nafian Faiz, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma udang Windu (P3UW)

di +62 812 7934 5550

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan

di +62 812 8603 0453

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

Di +62 815 53100 259

 

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia

Jl. Manggis Blok B-4, Perumahan Kalibata Indah, Jakarta 12750, Indonesia

Telp./Faks. +62 21 799 3528

FB. Kiara / Twitter. @sahabatkiara / www.kiara.or.id



[1] Dokumen Gugatan Bagian: GENERAL ISSUES AND INJURY, dapat diakses pada http://chongbanphagia.vn/files/General%20Issues%20and%20Injury%20Volume.pdf. Diakses pada 25 November 2013.

[4] http://m.poskotanews.com/2013/05/21/sjamsul-nursalim-masih-kurang-bayar-rp-47-triliun/ dan http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/04/tml,20040504-01,id.html diakses pada 25 November 2013.

[5] P3UW didirikan di Dipasena Lampung menjadi perhimpunan resmi yang dibentuk oleh petambak Plasma Dipasena dengan akte notaries Nomor 34 Tanggal 30 September 1998 oleh Notaris Jenmerdin, SH. Notaris Kota Madya Bandar Lampung Jalan Yos Sudarso No. 79 C Teluk Betung dan telah mendapatkan sertifikat tanda bukti keberadaan organisasi kemasyarakatan dari Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Direkotorat Sosial Politik Nomor: 230/145/G SOSPOL/II/1999.

[6] Rp 19,961 triliun http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/04/tml,20040504-01,id.html diakses pad 25 November 2013.

WTO Ancam Kedaulatan Pangan Indonesia

WTO Ancam Kedaulatan Pangan Indonesia

 

Kabar24.com, JAKARTA – Kekacauan pengelolaan pangan diperkirakan terjadi pasca Konferensi Tingkat Menteri WTO hasilkan kesepakatan.

LSM Indonesia for Global Justice menilai kesepakatan Paket Bali yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013, berpotensi mengancam kedaulatan pangan Indonesia.

“Kesepakatan Paket Bali dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali pada 3-9 Desember 2013 akan berdampak pada kekacauan pengelolaan pangan,” kata Direktur Eksekutif IGJ M Riza Damanik dalam keterangan tertulis, diterima Jumat 29 November 2013.

Menurut Riza, kedaulatan pangan yang bakal terancam bukan hanya di Indonesia tetapi di berbagai negara yang terdapat di kawasan Asia Tenggara.

Apalagi, ujar dia, proposal dari kelompok negara berkembang G33 untuk kepentingan keamanan pangan yang bertujuan untuk membolehkan peningkatan subsidi pertanian bagi negara berkembang telah gagal disepakati.

Ia berpendapat, kesepakatan WTO akan semakin membuat negara-negara Asean termasuk Indonesia mengalami lebih banyak lagi serbuan impor pangan.

Pada saat bersamaan, mayoritas negara Asean terus mengalami penurunan pertumbuhan produksi pangan utamanya seperti beras.

“Disebutkan sepanjang tahun 2007-2011 perlambatan tersebut mencapai minus 0,3 persen. Hal ini mengancam angka pengangguran di beberapa negara ASEAN, khususnya produsen besar beras, yang ditunjukan dengan penurunan angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian,” ujar Riza.

Untuk itu, Riza mendesak agar negara-negara Asean membangun sinergi dan soliditas untuk melindungi petani, nelayan dan pangan dari kesepakatan liberalisasi WTO.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Kiara, mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi keanggotaan di Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang dinilai merugikan kepentingan nasional.

“Kiara mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO yang justru merugikan rakyat, khususnya nelayan dan petambak,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Rabu 27 November.

Menurut Abdul Halim, Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali pada 3-6 Desember 2013 seharusnya menjadi forum untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO.

Ia berpendapat, pertemuan di Bali yang akan membahas tiga isu yaitu fasilitas perdagangan, perundingan pertanian, dan pembangunan untuk negara-negara berkembang dinilai akan menjadi wahana eksploitasi sumber daya perikanan dan sarana pemiskinan terhadap nelayan dan petambak Indonesia.

Kiara menyoroti skema WTO yang bersifat eksploitasi dan merugikan nelayan dalam negeri antara lain karena membahas pengurangan dukungan domestik yang dinilai dapat mendistorsi pasar serta pengurangan subsidi untuk komoditas ekspor.

“Dengan keterlibatan tersebut, pemerintah telah menjadikan Indonesia sebagai pasar produk negara lain,” ujarnya. (Antara)

Sumber: http://www.kabar24.com/nasional/read/20131129/63/205715/wto-ancam-kedaulatan-pangan-indonesia

Pertemuan Rakyat VS Pertemuan WTO di Bali 2013

Lembar Informasi

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Pertemuan Rakyat VS Pertemuan WTO di Bali 2013

 

Jakarta, 2 Desember 2013, Pada tanggal 3-6 Desember 2013, perhatian masyarakat dunia akan terfokus pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pertemuan yang akan diikuti oleh 159 negara ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali dan memperluas sistem perdagangan bebas di bawah rezim WTO.

Dalam kegiatan tersebut terdapat 3 proposal atau dikenal dengan istilah Paket Bali  yang akan menjadi pembahasan utama, yaitu (1) fasilitas perdagangan; (2) beberapa elemen isu perundingan pertanian, seperti ketahanan pangan, kompetisi perdagangan dan kuota tarif; dan (3) pembangunan untuk negara-negara kurang berkembang (LDCs).

Pertemuan ini tentu akan menjadi ancaman serius bagi rakyat Indonesia. Dengan skema perdagangan bebas, eksploitasi sumber daya ikan dan pemiskinan terhadap nelayan dan petambak akan terus meningkat. Sebagai contoh, dalam lampiran 1 Kesepakatan tentang Pertanian WTO menyebut adanya 24 produk perikanan yang akan masuk dalam pengaturan mekanisme perdagangan bebas, di antaranya penghapusan bea masuk dan kemudahan ekspor-impor.

Padahal sebelum adanya pemberlakukan perdagangan bebas telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang mengakibatkan semakin sengsaranya nelayan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mendapati bahwa meski neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 2008-2012 surplus, namun kecenderungan meningkatnya nilai impor terus terjadi hingga sebesar 54 persen. Impor ikan yang meningkat tajam akhirnya merembes ke pasaran dan mengancam kesehatan masyarakat konsumen ikan dan menjadi sarana pemiskinan pelaku perikanan tradisional Indonesia. Di samping itu, asing justru mendominasi realisasi nilai investasi sektor perikanan dari tahun 2009-2012 dengan kenaikan rata-rata sebesar 133 persen. Dengan adanya pemberlakuan skema perdagangan bebas maka nelayan, petani maupun buruh di Indonesia akan semakin terpinggirkan.

Atas fakta tersebut, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indoensia untuk: pertama, mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO yang justru merugikan rakyat, khususnya nelayan dan petambak; kedua, memastikan terpenuhinya hak-hak dasar nelayan dan petambak demi kesejahteraan kehidupan keluarga mereka; dan ketiga, mengikutsertakan nelayan dan petambak dalam perumusan dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka, baik di level lokal, nasional, regional dan internasional.

Bersamaan dengan pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO, KIARA bersama Southeast Asia Fisheries for Justice Network (SEAFish), sebuah jaringan kedaulatan perikanan di Asia Tenggara, akan menggelar workshop mengenai Perikanan dan Perdagangan Bebas pada tanggal 3-5 Desember 2013 bertempat di Hotel Fave Seminyak, Bali.

Selain itu, KIARA yang tergabung di dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme (Gerak Lawan) yaitu koalisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil lintas sektor dan isu akan menggelar berbagai kegiatan. KIARA bersama dengan Gerak Lawan akan menggelar Peoples’ Tribunal (Pengadilan Rakyat) terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan transnasional dalam skema perdagangan bebas dan difasilitasi oleh WTO. Peoples’ Tribunal akan mengadili kejahatan perdagangan udang dan Charoen Phokpand yang telah membuat 7.512 petambak berserta keluarganya menderita dan dilanggar HAM-nya. Pengadilan rakyat akan dilakukan pada tanggal 4 Desember 2013 di Stadion Yowana Mandala (GOR Yowana Mandala), Jl. Trengguli I, Tembau, Denpasar Bali.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Bali

Nafiah Faiz, Ketua P3UW Lampung

di + 62 812 7934 5550

Iing Rohimin, KOMPI Indramayu Jawa Barat

di + 62 812 234 0017

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Susan Herawati, Koordinator Monitoring, Evaluasi dan Penggalangan Dana KIARA

di + 62 821 1172 7050

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

Di + 62 812 8603 0453

 

Jakarta

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

Di +62 821 1068 3102

Ning Swatama Putridhanti, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA

di +62 878 8172 1954