Megaproyek di Teluk Jakarta

Megaproyek di Teluk Jakarta

Proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) disebut-sebut sebagai salah satu solusi jitu mengatasi banjir Jakarta. Tak tanggung tanggung, biaya yang bakal digelontorkan diperkirakan mencapai Rp600 triliun. Mampukah proyek mercusuar ini meningkatkan perekonomian rakyat sekitar?

Banjir menjadi persoalan klasik di Jakarta. Maklum, Jakarta adalah wilayah yang berada di dataran rendah. Wajar jika banjir menjadi ancaman rutin yang harus dihadapi. Di era pemerintahan kolonial, Jakarta pernah terendam banjir selama hampir satu bulan.

Bencana banjir di Jakarta tercatat pertama kali terjadi pada 1621, dua tahun setelah peristiwa penaklukan Jayakarta dan pembentukan Stad Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC di Hindia Belanda. Banjir yang cukup parah terjadi pada Februari 1918, hampir seluruh wilayah Batavia terendam. Kampung-kampung di wilayah Weltevreden tergenang. Peristiwa inilah yang membuat pemerintah kolonial Belanda akhirnya membangun Kanal Banjir Barat pada 1919. Karena itu, ketika kini Jakarta kembali diterjang banjir, hal itu bukan hal baru.

Tetapi, yang menjadi persoalan ialah solusi penanggulangan yang tak juga ditemukan. Berbagai upaya dilakukan mulai dari pemerintah provinsi DKI Jakarta hingga pemerintah pusat, mulai dari pembuatan waduk, sumur resapan, pembangunan Kanal Banjir Timur, hingga rencana proyek mercusuar pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) sepanjang lebih dari 30 km di utara Teluk Jakarta. Tujuannya untuk menjaga kenaikan permukaan air laut.

Rencana megaproyek tersebut bakal dibangun dalam tiga tahap mulai 2014 hingga 2030 meliputi lahan reklamasi untuk taman di sepanjang pantai, perumahan dan pusat komersial, sertawadukuntuk menampung satu miliar meter kubik air tawar. Megaproyek yang bakal melintasi tiga provinsi (Jakarta, Banten, dan Jawa Barat) ini disebut-sebut bakal menelan total anggaran sekitar Rp600 triliun. Meski ditargetkan sebagai infrastruktur yang dianggap bisa menanggulangi banjir, sebagian kalangan masih meragukannya.

Bahkan, Pembangunan tanggul laut raksasa ini disebut-sebut berpotensi melahirkan persoalan baru, khususnya terkait dengan matinya mata pencaharian warga lokal. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika pemerintah dan swasta tidak berupaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) penduduk pesisir setempat yang mayoritas adalah nelayan tradisional. Setiap hari, mereka menggantungkan hidup dengan menjaring ikan di laut.

Hasil yang diperoleh dari bekerja sebagai nelayan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apabila proses pembangunan proyek ini tidak mengetengahkan keinginan warga lokal, nasib mereka akan semakin termarginalkan. Apalagi, kajian tentang masalah ini belum terlihat sedikitpun, baik dari pemerintah daerah, pusat maupun swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa proyek tersebut hanya berorientasi melindungi kepentingan para pengembang properti, perumahan, swasta, dan pergudangan di sekitar proyek dibanding menyelesaikan banjir Ibu Kota.

Sementara, keberpihakan terhadap masyarakat setempat tetap tergadaikan. Menurut Kepala Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, pemerintah mestinya juga memikirkan apa yang diinginkan warga lokal dalam proyek ini. Justru, dengan proyek ini pemerintah mampu mengambil kesempatan dan peluang untuk meningkatkan kapasitas para nelayan yang tinggal di sekitar proyek.

“Pemerintah dapat memajukan sektor perikanan dan hasil laut yang dihasilkan dari para nelayan sekitar. Mereka perlu difasilitasi untuk menjadi nelayan yang maju dan modern. Dengan begitu, pembangunan giant sea wall tidak hanya dapat menyelesaikan banjir, tapi juga mengangkat perekonomian warga lokal,” kata Army kepada KORAN SINDO kemarin. Dalam hal ini, pihak pemerintah sangat penting melibatkan peran warga lokal.

Kapasitas SDM mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan bisa ditingkatkan, sehingga sektor produksi perikanan bisa dibangun seiring dengan realisasi proyek tanggul raksasa ke depan. Selanjutnya, dari sektor ini juga perlu diciptakan akses tersendiri bagi industri kelautan. “Dengan demikian ada pola yang sinergi baik pemerintah maupun warga lokal. Proyek ini akan memajukan sektor ekonomi dan juga memungkinkan untuk menyelesaikan persoalan banjir. Sayangnya kajian yang imparsial itu belum ada hingga kini,” terang Army.

Sementara nada yang lebih keras disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim. Menurut dia, proyek tanggul raksasa bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan banjir. Justru proyek ini akan melahirkan banyak permasalahan baru, karena pembangunan tanggul raksasa membuat arus laut tidak bisa bergerak dengan bebas sehingga memunculkan bau busuk, kerusakan ekosistem laut, dan pencemaran lingkungan yang dialirkan ke 13 sungai yang kemudian bermuara ke teluk Jakarta.

Halim menambahkan dengan merujuk pada kajian Pemprov DKI sendiri, proyek tanggul raksasa ini akan mengancam sedikitnya 7.000 nelayan di sekitar kawasan pembangunan proyek. Mereka akan kehilangan mata pencahariannya karena laut di sekitar sudah tidak cocok untuk melaut dan ekosistemnya juga rusak. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menyelesaikan persoalan banjir yang kerap melanda Ibu Kota, maka langkah pertama adalah dengan menyetop pembangunan proyek tanggul raksasa. Sebab, banjir lebih disebabkan akibat banyaknya aktivitas reklamasi pantai di daerah Jakarta Utara beberapa tahun belakangan ini.

“Mestinya hal yang dirujuk adalah penurunan muka tanah akibat penyedotan air secara serampangan. Karena itu, solusi yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum dan merelokasi permukiman yang tidak sesuai peruntukannya,” urai Halim, kemarin. Aktivitas reklamasi lebih merupakan upaya untuk mengakomodasi kepentingan para pengembang properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite di sekitar Jakarta Utara.

Jika benar ingin menyelesaikan banjir, pemerintah perlu menggiatkan program penanaman mangrove di pinggiran pantai. Demi kepentingan penduduk nelayan di kawasan tersebut, mestinya pemerintah harus memastikan akses laut bagi mereka bukan malah membangun tanggul raksasa yang mengancam akses ekonomi satu-satunya bagi mereka. Sementara Wakil Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Wawan Mahendra mengatakan, pada prinsipnya proyek giant sea walldan potensi ekonomi warga lokal semuanya masih dikaji secara mendalam.

Apalagi, proyek ini berjangka panjang dan menghabiskan anggaran yang sangat besar. “Namun, yang pasti kita tidak akan meninggalkan kebutuhan ekonomi warga lokal. Kita akan memfasilitasi mereka, apakah mereka ingin dibangunkan dermaga, pengolahan perikanan, atau rumah susun. Pada intinya kita tidak akan mematikan mata pencaharian warga setempat,” ujar Wawan kepada KORAN SINDOkemarin.

Dia menambahkan, segala sektor yang terkait dengan kebutuhan penduduk di sekitar pembangunan proyek tanggul laut raksasa tersebut akan diakomodasi pihak pemerintah. “Semuanya masih dikaji, terlebih dengan melihat profesi mereka yang mayoritas nelayan,” ujar Wawan. ●nafi’ muthohirin

 

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/363940