Kabar Bahari: Perdagangan Teripang

Senin, 29 Juni 2015
JAKARTA (HN) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta jangan sembarangan memberikan fasilitas “tax allowance” (insentif pajak penghasilan) kepada investor apalagi bila investasi itu ternyata tidak melibatkan masyarakat pesisir dalam negeri.
“Konteksnya harus demikian, bukan sembarangan membuka ‘tax allowance’,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Senin.
Untuk itu, ujar Abdul Halim, “tax allowance” juga harus dibatasi baik dari sisi bidang peruntukkannya maupun masa pemberlakuannya dari kebijakan tersebut.
Sebelumnya, KKP mendorong peningkatan investasi melalui paket kebijakan pemberian fasilitas “tax allowance” bagi pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.
“Sebagai upaya mendorong peningkatan iklim investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2015 yang menetapkan pemberian insentif fiskal berupa Fasilitas Pajak Penghasilan atau ‘Tax Allowance’ Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung di Jakarta, Jumat (26/6).
Menurut Saut, fasilitas itu diberikan kepada wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal (Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri), baik penanaman modal maupun perluasan usaha yang ada.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP memaparkan, fasilitas itu diberikan kepada pihak yang memenuhi kriteria yaitu memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar, atau memiliki kandungan lokal yang tinggi.
Fasilitas yang akan diberikan, ujar dia, antara lain berbentuk pengurangan penghasilan netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 tahun, masing-masing 5 persen per tahun sejak saat mulai berproduksi secara komersial.
Selain itu, fasilitas lainnya adalah penyusutan yang dipercepat dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri sebesar 10 persen, atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku, dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tapi tidak lebih dari 10 tahun.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini, KKP telah menyusun Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 yang dikeluarkan tanggal 17 Juni 2015 tentang “Kriteria dan/Atau Persyaratan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu Pada Sektor Kelautan dan Perikanan”.
Reportase : Antara Editor : Mulya Achdami
Sumber: http://m.harnas.co/2015/06/29/
Senin, 29 June 2015
Yogyakarta – Para nelayan dan petambak garam menyambut positif pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan (PPNPI) inisiatif DPR. Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir pada pertengahan Juni 2015, Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV di Jakarta. Koalisi meminta DPR memprioritaskan penyelesaian pembahasan RUU buat nelayan ini.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara kepada Mongabay mengatakan, ini momentum baik bagi negara mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan, yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.
Selama ini, katanya, mereka terabaikan. Harapan mereka untuk terpenuhi hak-hak jauh panggang dari api. Aturan yang mengatur hak-hak, perlindungan dan pemberdayaan mereka masih minim.
Dari draf naskah akademik RUU PPNPI yang disiapkan Sekretariat Jenderal DPR-RI per 1 Juni 2015, mulai terlihat upaya menghadirkan negara dalam melindungi dan menyejahterakan mereka.
Menurut Halim, hak nelayan seringkali terabaikan kala menangkap ikan dari proses melaut sampai penjualan, seperti penyerobotan wilayah tangkap dan pencemaran pesisir dan laut meskipun ada Instruksi Presiden tentang Perlindungan Nelayan.
Nelayan, katanya, juga dihambat perizinan bertele-tele, memakan waktu dan biaya, akses permodalan dan BBM bersubsidi hampir mustahil diperoleh dengan ketentuan harga Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012, yakni Rp4.500.
“Parahnya, saat kecelakaan melaut, tidak ada keberpihakan pemerintah, misal, jaminan perbaikan kapal,” kata Halim.
Dalam RDP itu, Kiara menyampaikan, RUU ini tantangan pemerintah dalam menghapus tiga mis-persepsi kepada nelayan, pembudidaya dan petambak garam. Pertama, dalam pendapatan, nelayan bukan termiskin (the poorest of the poor). Fakta terpampang jelas, negara absen dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran. Hingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. Alhasil, prinsip survival of the fittest berlaku di perkampungan nelayan.
Kedua, kerentanan nelayan makin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkan) dan perlindungan terhadap wilayah tangkap. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan dalam UU Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Namun, katanya, ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah berujung risiko kegagalan ekonomi, kebijakan bagi nelayan tinggi.
Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada akses nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar minim, misal, kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi. Tiga mispersepsi ini, kata Halim, merupakan pekerjaan rumah pemerintah bekerjasama dengan masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil.
Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengatakan, RUU ini harus melihat kekhususan hak nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan kecil. Jika hal ini terumuskan baik, UU PPNPI akan menjadi pintu masuk sejarah bangsa Indonesia dalam mengakui dan menyejahterakan mereka.
Peran dan harapan perempuan nelayan
Masnuah, Koordinator Persaudaraaan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, belum ada jaminan sosial dan asuransi bagi nelayan bila mengalami kecelakaan, alat tangkap hilang, meninggal di tengah laut dan tidak ketemu jasad. Negara juga belum mengakui peran perempuan nelayan yang penting dalam melaut.
“Banyak nelayan ditangkap, disandera karena tidak tahu aturan hukum apa yang dilanggar. Aparat meminta uang ke nelayan. Aparat itu seperti bajak laut yang berseragam negara.”
PPNI berharap, Presiden Joko Widodo dan Menteri Susi Pudjiastuti memberikan perhatian khusus bagi nelayan yang bekerja menantang maut.
Dia berharap, kepada Susi yang mempunyai pengalaman panjang sebagai pengusaha perikanan hingga mengetahui kondisi sosial ekonomi dan perempuan nelayan.
“Pemerintah harus memfasiltasi prasarana kelompok perempuan nelayan. Jika hanya omong kosong, sama dengan pemerintahan lama.”
Pasca penyampaian pokok-pokok pikiran Koalisi menyerahkan naskah akademik RUU PPNPI, dan catatan kritis atas draf DPR kepada pimpinan rapat, Viva Yoga Mauladi. Versi masyarakat sipil ini disusun partisipatif bersama organisasi nelayan, perempuan, petambak garam, pembudidaya dan pelestari ekosistem pesisir di bagian barat, tengah dan timur Indonesia.
Sulit akses asuransi dan bank
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga mengatakan, selama ini tidak ada asuransi mau memberikan perlindungan bagi nelayan, dengan alasan risiko terlalu besar. Jikapun asuransi ada, nelayan tidak sanggup membayar premi. “Ini sebenarnya menjadi tanggung jawab negara dalam membayarkan premi. Ketika di laut nelayan terlindungi, begitupun dengan nelayan tangkap atau pembudidaya ikan, jika bencana datang menyebabkan gagal panen.”
Begitupun juga penjaminan permodalan. Tidak sedikit, katanya, pembudidaya ikan tidak mampu mengembankang usaha, bahkan terpaksa gulung tikar karena kurang modal. Bank tak bersedia menjamin karena kebanyakan nelayan tidak memiliki sertifikat rumah sebagai agunan. Kondisi ini, membuat nelayan makin terbelakang hingga terus berada di garis kemiskinan.
Rep: Tommy Apriando
Minggu, 28 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan pemerintahan Joko Widodo sebaiknya menggencarkan program koperasi nelayan ketimbang menurunkan bunga kredit usaha rakyat (KUR).
“Koperasi lebih dibutuhkan nelayan dibandingkan dengan program KUR,” kata Halim kepada Republika, Ahad (28/6).
Selama ini, jelas Halim, sangat jarang nelayan yang menerima KUR. KUR lebih banyak disalurkan kepada para juragan nelayan ataupun pengusaha perikanan kelas menengah hingga skala besar.
Selain prosedur pengajuan yang berbelit, nelayan juga sungkan mengajukan KUR karena bunga yang tinggi. “Sekarang walau bunga sudah turun 10 persen menjadi 12 persen, itu masih mencekik bagi nelayan,” ujarnya.
Halim berharap pemerintah dapat mendorong program koperasi nelayan. Hal itu seperti yang sudah dijalankan Kiara bersama masyarakat nelayan di Sumatera Utara.
Koperasi nelayan yang digagas Kiara bukan sebatas simpan pinjam. Tapi, para nelayan juga bisa menaruh hasil tangkapan ke koperasi dan koperasi yang mencarikan pasarnya.
“Tentu kami berusaha semaksimal mungkin untuk menjual ikan tersebut sesuai harga pasar. Nelayan tidak akan rugi,” kata dia.
Dari penjualan itu, koperasi mendapat imbalan atas jasa membantu menjual ikan. Nah, uang dari imbal hasil itu yang nantinya bisa digunakan sebagai sumber bantuan permodalan bagi para nelayan. “Tentunya tidak ada bunga,” kata dia.
Red: Satya Festiani Rep: Satria Kartika Yudha
“”Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed (Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, tapi tidak untuk setiap keserakahan manusia)” Mahatma Gandhi
Di tahun 2013, gerakan Save Bangka Island menjadi ramai. Pasalnya Kaka, vokalis grup band Slank menyerukan pada masyarakat untuk bergabung menandatangani penolakan terhadap proyek tambang yang terjadi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Seruan Kaka Slank berkaitan dengan fakta bahwa hanya ada 1% terumbu karang yang menutupi dunia. Terumbu karang menjadi hal paling intergral dalam kehidupan nelayan tradisional Indonesia. Terumbu karang adalah tempat bagi ikan untuk hidup. Artinya, jika terumbu karang dirusak, nelayan akan mengalami kerugian, yakni menurunnya hasil tangkapan ikan dan pendapatan. Pulau Bangka di Sulawesi Utara contohnya. Terumbu karang yang indah bukan hanya menjadi rumah bagi ikan, tapi juga menjadi salah satu destinasi wisata penyelaman terkenal, yaitu Taman Nasional Bunaken dan Selat Lembeh. Bagi masyarakat, Pulau Bangka adalah payung kehidupan. Banyaknya hewan endemik, seperti Tarsius, Kuskus, Rusa dan Duyung yang hidup di Pulau Bangka dan menjadi indikator keselarasan antara manusia dan alam. Pulau Bangka terletak di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Indonesia, dengan luas 4.800 hektar, meliputi tiga desa, yaitu Lihunu, Kahuku dan Libas. Tambang yang masuk ke Pulau Bangka bukan hanya merusak segitiga emas keanekaragaman hayati, tetapi tambang juga akan merampas sejarah masyarakat Pulau Bangka yang sejak turun-menurun menjadi nelayan. Pulau Bangka telah menghidupi anak cucu dan negara ini dengan protein yang baik. Hari ini, nelayan di Pulau Bangka harus berhadapan dengan mesin-mesin berat dan ketidakadilan pengelolaan pesisir Indonesia. Ibarat seorang ibu, laut Pulau Bangka seharusnya dijaga dan disirami kasih, bukan dikeruk dan dirusak dengan tambang. Alih-alih wacana tambang untuk meningkatkan PAD, nyatanya tambang hanya membuat nelayan terasing di kampungnya sendiri.Rabu, 24 Juni 2015
JAKARTA, WOL – Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya mencabut izin 15 perusahaan yang tergabung di dalam 4 grup perusahaan atas dugaan melakukan praktek kejahatan perikanan di Indonesia, di antaranya PT Maritim Timur Jaya di Tual (Maluku), PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam (Papua), PT Indojurong Fishing Industries yang berpusat Panambulan, Maluku Tenggara (Maluku), PT Pusaka Benjina Resources di Benjina (Maluku) dan PT Mabiru Industry di Ambon (Maluku). Izin yang dicabut adalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mengatakan, “Pencabutan izin 15 perusahaan ini dapat dijadikan sebagai momentum penegakan hukum atas tindak pidana perikanan yang telah dilakukan sejak lama.
Untuk itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bekerjasama dengan Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melanjutkan proses hukum di pengadilan perikanan. Dalam konteks inilah, keterlibatan Kejaksaan Agung menjadi sangat penting untuk penuntutan yang maksimal.
Pusat Data dan Informasi Kiara (Juni 2015) mencatat, sedikitnya 309 kapal ikan, baik tangkap maupun angkut, yang berafiliasi kepada 4 grup perusahaan perikanan, yakni Grup Mabiru, Pusaka Benjina Resources, Maritim Timur Jaya dan Dwikarya (lihat Tabel 1). Dari jumlah ini, jika per kapal mempekerjakan 20 ABK, maka sedikitnya terdapat 6,180 Anak Buah Kapal (ABK).
Belajar dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menimbulkan ekses sosial, semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan solusi bagi 6,180 ABK yang rentan terlanggar hak-haknya sebagai pekerja di sektor perikanan.
Terkait hal ini, Kiara mendesak kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan koordinasi dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memastikan 15 perusahaan perikanan memenuhi hak-hak pekerjanya pasca pencabutan izin usahanya.
Menyalurkan para pekerja kepada perusahaan kelautan dan perikanan atau usaha kreatif lainnya milik negara atau bekerjasama dengan pihak swasta dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional para ABK, seperti hak untuk bekerja dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Melakukan pengawalan dan memberikan pendampingan kepada para ABK untuk pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja pasca pencabutan izin perusahaan tempatnya bekerja.(wol/data1)
Sumber: http://waspada.co.id/warta/
Pencabutan Izin 15 Perusahaan,
Momentum Penegakan Hukum Atas Kejahatan Perikanan di Indonesia
Jakarta, 23 Juni 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya mencabut izin 15 perusahaan yang tergabung di dalam 4 grup perusahaan atas dugaan melakukan praktek kejahatan perikanan di Indonesia, di antaranya PT Maritim Timur Jaya di Tual (Maluku), PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam (Papua), PT Indojurong Fishing Industries yang berpusat Panambulan, Maluku Tenggara (Maluku), PT Pusaka Benjina Resources di Benjina (Maluku) dan PT Mabiru Industry di Ambon (Maluku). Izin yang dicabut adalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Pencabutan izin 15 perusahaan ini dapat dijadikan sebagai momentum penegakan hukum atas tindak pidana perikanan yang telah dilakukan sejak lama. Untuk itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bekerjasama dengan Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melanjutkan proses hukum di pengadilan perikanan. Dalam konteks inilah, keterlibatan Kejaksaan Agung menjadi sangat penting untuk penuntutan yang maksimal”. Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2015) mencatat, sedikitnya 309 kapal ikan, baik tangkap maupun angkut, yang berafiliasi kepada 4 grup perusahaan perikanan, yakni Grup Mabiru, Pusaka Benjina Resources, Maritim Timur Jaya dan Dwikarya (lihat Tabel 1). Dari jumlah ini, jika per kapal mempekerjakan 20 ABK, maka sedikitnya terdapat 6,180 Anak Buah Kapal (ABK). Tabel 1. Nama Grup Perusahaan dan Kapal IkanNo | Nama Perusahaan/Grup | Jumlah Kapal (Unit) |
1 | Mabiru | 63 Kapal Ikan |
2 | Pusaka Benjina Resources | 96 Kapal Tangkap dan 5 Kapal Pengakut Ikan |
3 | Maritim Timur Jaya | 78 Kapal Ikan |
4 | Dwikarya | 67 Kapal Ikan |
Jakarta – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kesal bukan kepalang. MV Hai Fa, kapal China berbendera Panama kini berada di China. Kapal yang telah mengeruk besar-besaran hasil laut Indonesia itu dapat berlayar tanpa dilengkapi Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan Surat Laik Operasi (SLO), sungguh mengherankan. Siapa bermain di balik berlayarnya kembali MV Hai Fa?
“Bagaimana bisa kapal sebesar lapangan bola bisa jalan tanpa SPB dan SLO? Luar biasa. Fungsi pengawasan negara, saya lihat tidak berfungsi,” ujarnya di kantornya, Jakarta, Kamis lalu (18/6).
Susi yakin MV Hai Fa melanggar peraturan lantaran tak memiliki dokumen pelayaran yang lengkap. MV Haifa bukan hanya melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia saja tapi juga peraturan Internasional. Berdasarkan informasi dari Kepala Satker PSDKP Ambon yang didapat dari pihak Lantamal IX Ambon, MV Haifa diduga berangkat dari Teluk Ambon menuju China melalui perairan Maluku Utara hingga Sulawesi. Kepala Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan Ambon juga membenarkan Hai Fa tak memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari syahbandar pelabuhan umum Ambon. Kemudian, pengawas perikanan Ambon juga tidak mengeluarkan Surat Laik Operasi (SLO) perikanan. Saat ini MV Hai Fa konon sudah bersandar di China. Kaburnya kapal MV Hai Fa dari perairan Ambon menuju Cina pada 1 Juni 2015 lalu meninggalkan sejumlah kejanggalan. Kapal berbobot 4.306 gross ton (GT) tersebut seharusnya ditahan karena masih menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Ambon atas tuduhan pencurian ikan dan berlayar tanpa surat izin pemerintah di laut Wanam, Merauke tanggal 27 Desember 2014 lalu.“Ada indikasi penegak hukum bermain dibalik kaburnya kapal itu,” ungkap Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim di Jakarta, Jumat (19/6).
Abdul meyakini, ada permainan dan kerjasama diantara pihak otoritas di Ambon dengan kapal eks asing yg ada untuk meloloskan MV Hai Fa kabur ke luar negeri. Kemudian, Abdul menilai masih minimya sinergi dan koordinasi antara penegak hukum otoritas setempat dan pusat sehingga menyebabkan ringannya sanksi yang dijatuhkan kepada nahkoda kapal MV Hai Fa berupa sanksi denda Rp 200 juta atau subsider 6 bulan penjara.“Ada penegakan hukum yang bermain sehingga ada beda penafsiran jaksa terhadap kasus yang menjerat Hai Fa,” kata Abdul.
Abdul kembali menegaskan bukti-bukti awalan yang sah sejak MV Hai Fa ditangkap otoritas pengawasan perikanan KKP di Ambon. Tuduhan pelanggaran yang dialamatkan kepada kapal raksasa asal Panama itu memiliki dasar yang kuat diantaranya tertangkap tangan melakukan illegal fishing (pencurian ikan) di laut Arafuru dan dugaan eksploitasi jenis spesies ikan dilindungi seperti hiu martil dan hiu koboi serta melaut tanpa Surat Laik Operasi (SLO).
Kemudian, kapal berbobot 4.306 GT itu telah melanggar aturan internasional karena mematikan satelit radar pengawasan yang disebut Vessel Monitoring System (VMS). Tindakan itu turut menyalahi aturan internasional yang ditetapkan International Maritime Organization (IMO).
Pada akhir Maret lalu, Asisten Operasional Kepala Satuan Angkatan Laut (Kasal) Ari Sembiring mengungkapkan dugaan pelanggaran baru MV Hai Fa sesuai data yang dihimpun tim penyelidikan dan pencari fakta. Ternyata dalam operasinya, ungkap Ari, kapal tersebut sengaja mematikan Automatic Identification System (AIS). Padahal, AIS sebagai alat pengawasan seharusnya terpasang di sebuah kapal ikan yang beropersi di perairan Indonesia. KIARA menganggap seluruh perilaku nahkoda dan operasi kapal tersebut juga telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2015 tentang Perikanan Pasal 28 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa Setiap Orang yang Memiliki dan/atau Mengoperasikan Kapal Pengangkut Ikan Berbendera Asing yang Digunakan untuk Melakukan Pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.