Siaran Pers Bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
Nelayan Tradisional Jakarta dan Organisasi Masyarakat Sipil Mengugat Ijin Reklamasi Teluk Jakarta
Jakarta, 15 September 2015. Lima orang Nelayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia wilayah Jakarta bersama dengan KIARA dan organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan administratif terhadap Ijin Reklamasi. Melalui Tim Advokasi Selamatkan Teluk Jakarta akan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terhadap Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra. Gugatan didasarkan atas terlanggarnya kepentingan hak-hak nelayan tradisional skala kecil, kepentingan pelestarian lingkungan hidup pesisir Teluk Jakarta dan pelanggaran prosedur hukum yang dilakukan oleh Gubernur Ahok.
Reklamasi yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada era rezim orde baru dilakukan melalui proses yang tertutup, sentralistik, tanpa perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan nelayan kecil. Penetapan tersebut tidak relevan sebagai dasar reklamasi mengingat sudah ada regulasi-regulasi baru seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan beberapa UU lainnya yang mengisyaratkan adanya proses partisipasi, perlindungan lingkungan hidup, perlindungan nelayan kecil dan keterbukaan.
Ketidaklayakan lingkungan proyek reklamasi sebenarnya sudah ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan diterbitkannya Kepmen LH No. 14 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa proyek reklamasi tidak layak. Namun Kepmen tersebut dicabut melalui proses peradilan karena bertentangan dengan prosedur hukum administrasi, tetapi hakim tidak melakukan penilaian atas dampak buruk reklamasi terhadap lingkungan hidup.
Pada Desember 2014 terbit SK No. 2238 Tahun 2014 yang diterbitkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Kepgub No. 2238/2014 telah bertentangan dengan reklamasi mulai dari Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; Permen LH No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil; PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta dengan perubahannya yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2014; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hingga Pasal 27 ayat (2) dan 28H ayat (1) UUD 1945.
Para penggugat terdiri dari lima orang nelayan tradisional yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, tiga orang aktivis lingkungan serta WALHI yang menggunakan mekanisme Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup. Kepentingan para penggugat telah dilanggar dengan terbitnya Kepgub No. 2238 Tahun 2014 sehingga menuntut dicabutnya Kepgub tersebut dan memintah hakim untuk memerintahkan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengembalian fungsi-fungsi ekosistem lingkungan hidup yang telah rusak.
Untuk selanjutnya dapat menghubungi:
Muhammad Taher (KNTI Jakarta) 0877 8200 0723 |
Marthin Hadiwinata (KIARA) 0812 860 30 453 |
Eka Prasetya (PBHI Jakarta) 0857 2787 5812 |
Puput (Walhi Jakarta) di 0813 1131 1417 |
Priadi (IHCS) di 0852 9559 4848 |
Edo Rakhman (Walhi Nasional) di 0813 5620 8763 |
Handika Febrian (LBH Jakarta) 0856 9173 3221 |
Rayhan (ICEL) 0856 9560 1992 |