Hari Perempuan Internasional : Suara Laki-laki Dukung Aksi Kesetaraan Hak Perempuan

Jakarta, 8 Maret 2018“Aku, kamu!” / “Rebut kesetaraan!”
“Setara dan toleran!” / “Yes!”
“Jam malam perempuan!” / “No!”
“Politik, Pemilu dan Pilkada!” / “Bebas dari SARA!”

Deretan yel-yel diteriakkan orator dari atas kendaraan berpengeras suara. Semua peserta aksi bersama yang tergabung dalam Parade Juang Perempuan Indonesia dengan lantang menjawab. Peringatan ‘Hari Perempuan Internasional’ yang jatuh pada hari ini, Kamis (8/3), dimanfaatkan para organisasi maupun komunitas untuk menyuarakan tuntutan maupun gagasannya. Semuanya bermuara pada satu hal yakni kesetaraan.

Tak hanya didominasi kaum perempuan, laki-laki pun juga tampak dalam aksi sembari meneriakkan yel-yel dengan tak kalah bersemangat.
Ditemui di sela aksi, salah satu dari demonstran tersebut, yakni Subono mengatakan bahwa aksi hari ini tak melulu membicarakan kaum perempuan khususnya kaum buruh. Karena ketika bicara buruh, kata aktivis dari Federasi Serikat Buruh Kerakyatan itu, maka hal ini pun juga menyangkut semua buruh termasuk laki-laki.

“Mereka yang bekerja tidak sesuai target, dapat pinalti. Itu ada yang pantatnya ditabok kayak anak kecil. Ada juga yang enggak dapat target harus pulang larut tapi enggak dihitung lembur,” cerita Subono pada CNNIndonesia.com di sela aksi di depan gedung DPR, Kamis (8/3).

Selain itu, buruh kerap harus membawa pulang pekerjaannya demi mengejar target. Akibatnya, ia mau tidak mau anggota keluarga ikut turun tangan. Saat mati listrik di pabrik, lanjutnya, buruh memang diminta istirahat, tapi setelah listrik menyala mereka diminta kembali bekerja tanpa memperhatikan waktu.

“Kondisi ini sulit. Saatnya perempuan tidak boleh diam. Pria-pria harus mendukung. Kalau kembali lagi permasalahannya bukan cuma soal perempuan,” tegasnya.

Selain Subono, Wahyudin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) turut bergabung dalam aksi. Ia prihatin akan kekerasan yang dialami kaum perempuan baik dalam relasi keluarga maupun pekerjaan.

“Saya ikut aksi ini karena saya mendukung perempuan. Mereka harus diperlakukan sama, adil,” kata pria yang akrab disapa Wahyu ini.

Sebagai organisasi yang menaungi para nelayan, Kiara melihat aksi yang dilakukan hari ini menjadi momentum untuk menuntut pemerintah agar mengakui peranan perempuan nelayan.

Nibras, staf program Kiara menuturkan dalam proses pra produksi, produksi dan pasca produksi perikanan kaum perempuan menempati 80 persen porsi kerja atau setara dengan 18 jam kerja. Menurutnya, perempuan nelayan hanya dianggap ibu rumah tangga sehingga selayaknya ia membantu suami. Padahal, ada perempuan yang benar-benar melaut.

“Kami juga ingin mendorong perempuan nelayan agar bisa mendapat kartu nelayan,” katanya.

Hal tersebut disampaikan Nibras, karena kartu nelayan selama ini dimiliki nelayan laki-laki. Kartu tersebut bermanfaat untuk mengakses asuransi dan aneka bantuan pemerintah. Jika sang suami meninggal, maka istri kesulitan mengakses bantuan karena tak memiliki kartu.

Nibras bercerita baru-baru ini pihaknya melakukan advokasi terhadap perempuan nelayan yang berjuang mendapatkan kartu nelayan di Tambak Polo, Demak, Jawa Tengah. Syarat untuk mendapatkan kartu ialah Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus berstatus sebagai nelayan. Sedangkan perempuan yang berstatus ibu rumah tangga harus mengubah status pekerjaannya.

Setelah melalui diskusi panjang dengan Camat, akhirnya mereka bersedia mengubah status pekerjaan dari ibu rumah tangga menjadi nelayan.

“Banyak yang bias pemikiran bahwa nelayan itu laki-laki, padahal perempuan nelayan pun ada dan peran mereka besar,” tandasnya.

(rah)

Editor: Elise Dwi Ratnasari