“Sekejap Datang, Sekejap Pergi” Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Perempuan Nelayan Dukuh Timbulsloko Merespons Kunjungan DKP Kabupaten Demak

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

“Sekejap Datang, Sekejap Pergi”

Siaran Pers dan Pernyataan Sikap Perempuan Nelayan Dukuh Timbulsloko Merespons Kunjungan DKP Kabupaten Demak

 

Demak, 18 Maret 2025. Pada 27 Februari 2025, perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Demak berkunjung ke Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Lima orang perwakilan datang menemui salah seorang perempuan nelayan pasca publikasi media yang mengangkat isu dan cerita tentang keseharian perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko. Liputan media ini menggambarkan bagaimana upaya perempuan nelayan bertahan di tengah kondisi lingkungan yang memburuk. Dalam kunjungan DKP Demak, mereka melakukan identifikasi dan mendata 4 (orang) perempuan yang melakukan penangkapan ikan. Melalui data tersebut, DKP Demak menyampaikan rencana akan memberikan bantuan alat tangkap kepada kelompok perempuan nelayan di Dukuh Timbulsloko sebagai bentuk ‘kepedulian’ mereka terhadap perempuan nelayan.

Namun, DKP Demak akan memberikan bantuan tersebut jika keempat perempuan nelayan tersebut bergabung dengan kelompok lain untuk melakukan penyalurannya. DKP Demak berdalih bahwa perempuan yang menjadi nelayan di dalam kelompok hanya 4 (empat) orang dari total 16 orang perempuan anggota kelompok. 4 orang perempuan nelayan tersebut ‘diambil’ dan ‘akan dimasukkan’ ke kelompok lain oleh DKP Demak karena kelompok perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko dianggap belum resmi oleh DKP Demak. Belakangan, pada 1 Maret 2025, DKP Demak mulai menghimpun kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) melalui perwakilan kelompok lain yang akan menjadi target penyaluran bantuan.

Menyikapi tindakan DKP Demak tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa beberapa problem mendasar yang menunjukkan bahwa DKP Demak tidak hadir atau absen selama ini dalam upaya mengembangkan, memajukan, dan menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir di tengah himpitan ekonomi akibat krisis iklim yang mewujud dalam perubahan-perubahan lanskap yang semakin memburuk.

“Pertama, kunjungan dan rencana pemberian bantuan kepada perempuan nelayan di Dukuh Timbulsloko menunjukkan ketidakseriusan DKP Demak dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. DKP baru mau memberikan fasilitas bantuan alat tangkap kepada perempuan nelayan pasca liputan

media tentang kondisi perempuan nelayan Dukuh Timbulsloko menjadi atensi masyarakat luas. DKP Demak ibarat pemadam kebakaran yang datang ketika api berkobar dan pergi ketika api sudah padam melalui rencana pemberian jaring pengaman sosial berupa fasilitas bantuan-bantuan yang bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh, khususnya perempuan nelayan dan masyarakat pesisir Desa Timbulsloko pada umumnya,” tegas Susan.

Proses pengidentifikasian DKP Demak terhadap perempuan nelayan sebatas pada aktivitas penangkapan ikan untuk diberikan bantuan menunjukkan cara berpikir yang cenderung mendiskreditkan peran-peran perempuan di dalam aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan terutama untuk nelayan skala kecil (small scale fisher) sebagai sebuah unit produksi dalam perikanan tangkap. Perempuan sebagai anggota rumah tangga nelayan kecil merupakan bagian dari unit produksi perikanan tangkap yang berperan penting dan tidak hanya sekadar membantu laki-laki dalam menjalankan kegiatan bernelayan.

Ketidakcermatan DKP Demak dalam melihat bagaimana rumah tangga nelayan berproduksi menyebabkan perempuan seolah hanya membantu lelaki untuk melakukan kegiatan perikanan tangkap. Hal ini sesungguhnya merupakan kegagalan DKP Demak dalam melihat bagaimana produksi perikanan tangkap dijalankan. Melihat bernelayan semata hanya pada saat penangkapan ikan berlangsung, menyebabkan kerja-kerja produktif perempuan dalam rumah tangga nelayan diabaikan sebagai bagian dari produksi perikanan tangkap sejak persiapan melaut, penangkapan ikan, dan pasca penangkapan ikan dilakukan.

“Kedua, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan. Di Desa Timbulsloko, perempuan turut mempersiapkan kegiatan penangkapan ikan seperti membeli dan mempersiapkan umpan; memperbaiki alat tangkap jebak dan bubu; mencari bahan bakar untuk mesin perahu; dan menyiapkan perbekalan untuk konsumsi selama kegiatan penangkapan ikan; serta aktifitas lainnya selama persiapan. Selain memasang jebak, perempuan nelayan di Desa Timbulsloko mencari hasil laut dengan praktik begogoh yaitu memasukkan tangan kosong ke perairan tepi laut untuk meraba dan menangkap biota laut dengan hasil tangkapan berupa kerang-kerangan. Pasca penangkapan, perempuan di Desa Timbulsloko juga berperan dalam memilah dan menyortir kualitas hasil tangkapan, serta menjual hasil tangkapan. DKP Demak perlu memperhatikan peran-peran tersebut dan bukan sebatas aktivitas penangkapan ikan semata,” tambah Susan.

Setali tiga uang sebagaimana disampaikan Susan, perwakilan kelompok perempuan nelayan Timbulsloko, Laksmi juga menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga nelayan berbagi peran satu dengan yang lain dalam aktivtas penangkapan ikan. “Semua perempuan nelayan di kelompok kami memiliki alat tangkap jebak dan bubu. Ada perempuan yang melakukan aktivitas melaut sendiri, ada pula yang berbagi peran dengan laki-laki. Perempuan-perempuan nelayan yang tidak melaut biasanya mempersiapkan umpan dengan memotong ikan-ikan kecil serta membersihkan jebak yang akan digunakan,” jelas Laksmi.

Rencana DKP Demak untuk menyatukan kelompok perempuan nelayan Timbulsloko dengan kelompok lain dalam mekanisme penyaluran bantuan semakin memperjelas betapa absennya DKP Demak dalam upaya mendukung dan memajukan kelompok-kelompok rentan, dalam konteks ini adalah perempuan-perempuan nelayan Timbulsloko yang sedang memperkuat diri mereka dengan berorganisasi. DKP Demak hanya terjebak dan berkutat pada persoalan legalitas-formal dengan mempertanyakan pengukuhan kelompok oleh desa. Gagasan penyatuan tersebut seolah mengkerdirkan proses-proses panjang yang telah dilalui kelompok perempuan nelayan Timbulsloko dalam membangun dan menata keorganisasian yang sudah berjalan lebih dari satu tahun, di mana seharusnya DKP Demak hadir untuk mendampingi dan memberikan penguatan kapasitas keorganisasian.

“Kelompok kami sudah berjalan lebih dari satu tahun. Kami memiliki kegiatan pertemuan rutin satu bulan sekali, melakukan kegiatan simpan-pinjam, mengikuti kegiatan pameran, dan sedang merencanakan usaha produksi kelompok. Kami tidak mau dipersatukan dengan kelompok lain. Kalau DKP Demak mau memberi bantuan, libatkan kami secara langsung. Tidak perlu melalui perantara kelompok lain. Karena kami berkelompok, maka semua anggota dari kelompok kami juga harus merasakan manfaatnya bersama. Tidak boleh hanya sebagian saja,” tegas Laksmi.

Susan menambahkan bahwa DKP Demak seharusnya mendorong dan menjalankan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2024 tentang Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Pelaku Usaha dan Pelaku Pendukung Sektor Kelautan dan Perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan kelembagaan pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan yang kuat dan mandiri serta untuk memfasilitasi pembentukan kelembagaan pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan.

“Alih-alih mempertanyakan aspek legal-formal dan memunculkan gagasan penyatuan kelompok untuk hanya sekadar menyalurkan bantuan, DKP Demak semestinya memfasilitasi dan mendukung upaya penguatan organisasi perempuan nelayan Desa Timbulsloko berdasarkan aspirasi dan gagasan yang disampaikan oleh anggota-anggota di dalamnya. Hentikan cara-cara kerja seperti ‘pemadam kebakaran’ yang datang sambil lalu hanya dengan menjanjikan bantuan-bantuan yang bersifat jangka pendek. Sudah saatnya DKP Demak melihat peran-peran perempuan di dalam aktivitas produksi rumah tangga nelayan secara lebih komprehensif. Tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap peran-peran perempuan, baik sebagai bagian dari unit produksi rumah tangga nelayan maupun bagian dari upaya-upaya yang sedang dibangun secara berkelompok hanya akan melahirkan kebijakan dan program yang bermuara pada ketidakadilan,” tambah Susan.

Berdasarkan uraian di atas KIARA bersama kelompok perempuan nelayan Desa Timbulsloko menyatakan sikap:

  • Kami, kelompok perempuan nelayan Timbulsloko adalah organisasi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian dari Forum Masyarakat Timbulsloko yang memiliki visi perjuangan yang sama untuk memajukan dan menyejahterakan penghidupan masyarakat Timbulsloko.
  • Kami, kelompok perempuan nelayan Timbulsloko tidak akan menerima bantuan dari DKP Demak yang hanya menyasar sebagian diantara kami yang mana tidak bisa dirasakan manfaatnya secara berkelompok.
  • Kami, kelompok perempuan nelayam Timbulsloko menolak untuk dipersatukan oleh DKP Demak dengan kelompok lain sebagai mekanisme penyaluran bantuan yang kelak dapat mengganggu keberangsungan organisasi kami.
  • Kami, perempuan nelayan Timbulsloko menuntut kepada DKP Demak untuk mengembalikan dokumen identitas berupa KTP dan KK, serta melarang DKP untuk mempergunakan dokumen tersebut untuk kepentingan DKP Demak sendiri.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Siaran Pers Bersama Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi

Siaran Pers Bersama
Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA)
Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi

Manado, 05 Maret 2025 – Pasca semakin masifnya informasi tentang rencana reklamasi pantai publik terakhir di pesisir Manado Utara, masyarakat pesisir Manado Utara semakin mengkhawatirkan keberlanjutan ekosistem esensial di laut dan juga keberlanjutan profesi nelayan tradisional dan kecil yang ada di wilayah tersebut. Rencana reklamasi tersebut akan meliputi 5 pesisir kelurahan di Kecamatan Tuminting, yaitu pesisir Sindulang Satu, Sindulang Dua, Bitung Karang Ria, Maasing, dan Tumumpa Dua.

Salah satu kelompok yang peduli terhadap ekosistem esensial di laut Manado yaitu Manado Scientific Exploration Team, telah melakukan penelitian di Teluk Manado. Penelitian tersebut di-launching/dikeluarkan dengan judul Laporan Khusus tentang Isu Rencana Penciptaan Lahan di Pesisir Utara Teluk Manado. Sejak tahun 2019, Manado Scientific Exploration Team (MSET) telah melakukan kegiatan eksplorasi kondisi oseanografi dan terumbu karang di sepanjang wilayah pantai Teluk Manado termasuk tepian kawasan pantai yang sudah direklamasi.

Berkaitan dengan rencana reklamasi di Teluk Manado yang berlokasi di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Maasing hingga Tumumpa, reklamasi di dilokasi tersebut sangat kontroversial karena beberapa faktor: 1) Areal reklamasi merupakan wilayah pantai tersisa di Teluk Manado; 2) Areal reklamasi berbatasan sangat dekat dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken; 3) Kawasan reklamasi mencakup wilayah yang luas (sekitar 90 Ha); 4) Sepanjang kawasan reklamasi terdapat masyarakat nelayan dan pesisir yang memiliki karakteristik budaya bahari yang kental dan ketergantungan ekonomi pada sumber daya pantai; 5) Pantai di kawasan reklamasi memiliki ciri fisik, biologis, dan ekologis yang spesifik; 6) Sebagian wilayah pemukiman dekat pantai di kawasan reklamasi merupakan wilayah potensial terdampak bencana banjir.

Dari hasil pengamatan MSET, karang yang ditemukan adalah karang dengan bentuk pertumbuhan massive. Karang ini ditemukan pada hari kedua di samping jetty kelurahan Tumumpa yang terdapat di kedalaman 1 meter saat surut terendah, dengan tipe substrat dasar perairan berpasir. Karang tersebut merupakan salah satu yang mudah ditemukan, bentuknya seperti bongkahan batu dan memiliki permukaan berongga. Jarak antara titik awal snorkling hingga sampai ke lokasi karang berjarak 50 meter. Substrat dasar perairan di sekitar lokasi pengambilan data adalah berpasir. Organisme yang ditemukan selain karang berupa moluska, alga, dan ikan karang.

Dalam konteks ekologis, kawasan pantai Manado Bagian Utara tersebut merupakan tempat hidup terakhir spesies-spesies ikan pantai atau ikan neritik Teluk Manado yang sebelumnya banyak ditemukan di sepanjang pantai berpasir perairan dangkal antara muara Sungai Malalayang hingga muara Sungai Tondano yang telah diubah menjadi daratan. Bahkan, terdapat alat tangkap tradisional soma dampar atau jaring tarik pantai yang masih beroperasi di wilayah pantai Manado Utara menjadi bukti keberadaan spesies-spesies ikan tersebut.

Di perairan pantai Manado Bagian Utara tersebut juga terdapat larva, postlarva, dan juvenile ikan nike (Gobiidae) yang bersifat amfidromus dapat berada di pantai ini sebelum masuk ke Sungai Tondano. Hal tersebut karena karakteristik perairan campuran antara air laut dan air tawar menjadikan pantai ini sangat unik. Sedangkan Sedangkan dalam konteks oseanografi, Pantai ini merupakan tipe pantai konstruksional (sedimented coast). Jika pantai ini hilang akibat ditimbun, maka sedimen yang berasal dari dua mulut sungai besar (Sungai Tondano dan S. Bailang) akan menjauh ke arah laut. Pada situasi selanjutnya, dampak terhadap wilayah sekitar terutama kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken menjadi hal yang tidak terelakan. Sehingga pantai ini berperan sangat pentingterkait sistem hidrologi di wilayah pesisir setempat. Sejak pembangunan Jl. Boulevard II fungsi ini telah jauh berkurang sehingga kawasan pemukiman yang rendah menjadi mudah tergenang air saat hujan. Kehadiran konstruksi lahan reklamasi akan memperburuk fungsi hidrologi yang akan berakibat potensi banjir yang lebih serius. Jikapun dibuat jarak antara batas jalan dan tanah timbunan lahan reklamasi tidak akan signifikan mengurangi gangguan hidrologi yang akan terjadi. Dalam konteks sosial, perairan laut dan pesisir pantai Manado Utara merupakan hunian komunitas bahari Orang Manarou atau Suku Babontehu dengan kesatuan adat-istiadatnya, dan tercatat dalam literatur sebagai suku pertama penutur Bahasa Melayu Manado. Selain komunitas tersebut, juga terdapat komunitas lokal masyarakat pesisir lainnya yang menghuni, mengelola dan memanfaatkan kesatuan ekosistem darat dan laut yang ada di pesisir Teluk Manado dan Manado Utara. Masyarakat menyambut baik hasil kajian tersebut. Masyarakat bahkan memvalidasi hasil kajian MSET dan menambahkan bahwa dilokasi tersebut merupakan ruang tangkap nelayan tradisional dan ruang yang akan direklamasi tersebut adalah sumber utama pendapatan nelayan tradisional. “Di laut kelurahan kami tersebut terdapat berbagai jenis ikan yang menjadi tangkapan utama kami. Itu menandakan kalau diperairan laut kelurahan kami tersebut masih ada terumbu karang yang hidup,” jelas Roy Runruwene, yang berprofesi sebagai nelayan tradisonal. Dari pemaparan tersebut, telah jelas bahwa reklamasi di Teluk Manado yang berlokasi di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Maasing hingga Tumumpa akan berdampak terhadap perekonomian dan keberlanjutan nelayan yang hidup di wilayah pesisir tersebut. Sedangkan dalam konteks ekologi, akan berdampak terhadap keberlanjutan terumbu karang serta biota lainnya yang hidup di wilayah perairan laut tersebut.

Tidak Ada Aktor Intelektual Pelaku Pagar Laut yang diungkap KKP, KIARA: Bukti Ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Mengungkap Pelaku Utama Pemagaran Laut

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Tidak Ada Aktor Intelektual Pelaku Pagar Laut yang diungkap KKP,  KIARA: Bukti Ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Mengungkap Pelaku Utama Pemagaran Laut

 

Jakarta, 4 Maret 2025 – Komisi IV DPR RI telah melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya pada tanggal 26 Februari 2025. Salah satu fokus utama dalam rapat kerja tersebut adalah membahas hasil investigasi KKP terkait pemagaran laut. Berkaitan dengan pagar laut, Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa saat ini telah ditetapkan 2 pelaku yang selaku penanggung jawab yang telah ditindak oleh kepolisian bersama KKP.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa hingga sampai akhir Februari 2025, Menteri Kelautan dan Perikanan belum mengeluarkan hasil investigasi apapun yang berkaitan dengan pemagaran laut serta pelaku utamanya. Adapun yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Kades dan aparat desa Kohod yang menjadi pelaku selaku yang bertanggung jawab atas pagar laut tersebut. “Apakah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengetahui bahwa Bareskrim Polri telah menahan 4 orang tersangka yaitu Kepala Desa Kohod, Sekretaris Desa Kohod beserta 2 penerima kuasa atas unsur pelanggaran pidana berupa pemalsuan warkah yang dipakai untuk mengurus SHGB dan SHM. Dugaan tindak pidana ini melanggar Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dugaan dan delik tersebut secara jelas bukan karena pemagaran laut,” tegas Susan.

KIARA menilai bahwa untuk melihat aktor/pelaku utama dari kejahatan pemagaran laut sepanjang 30,16 km adalah mencari pihak yang paling diuntungkan dengan adanya pemagaran laut tersebut. Pengungkapan pelaku utama yang paling diuntungkan dengan berjalannya pagar laut ini yang seharusnya menjadi fokus utama KKP dalam investigasinya. Sehingga berdasarkan teori subjektivitas, aktor utama pelaku pemagaran laut yang seharusnya menjadi target utama yang harus diungkap, dan tidak hanya menyasar pada aktor yang turut serta melakukan maupun aktor yang membantu melakukan pemagaran laut tersebut.

Yang perlu dipertegas kembali adalah bahwa pemagaran laut ini memiliki panjang ±30,16 km yang terdapat di 16 desa di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang. Sehingga, bukan hanya di Desa Kohod saja pagar laut tersebut berada. Akan tetapi, dari pemaparan Menteri Kelautan dan Perikanan di Raker dengan Komisi IV DPR RI, hanya menyasar peristiwa hukum pemagaran laut di Desa Kohod. Hal ini berkonsekuensi dengan penindakan hukum secara administrasi yang hanya menyasar terduga pelaku yaitu Kepala Desa Kohod, yang menurut kami hanya salah satu aktor pemerintah desa yang memuluskan proyek pemagaran laut tersebut,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa: pertama, pemagaran laut jelas telah berdampak secara ekologi, dan juga merugikan perekonomian nelayan kecil dan tradisional karena mengganggu aktivitas melaut, bahkan hasil tangkapan yang jauh berkurang karena adanya pagar laut di perairan 16 desa tersebut. Bahkan pemagaran laut ini juga telah merugikan keuangan negara dalam konteks pembongkaran pagar laut sepanjang 30,16 km tersebut.

Kedua, dalam mengungkap pelaku pemagaran laut ini, bukan hanya berujung pada pengungkapan Kepala Desa Kohod dan Sekretaris Desa Kohod sebagai pihak yang dianggap pelaku utama pemagaran laut sepanjang 30,16 km. Hasil pemeriksaan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan penetapan Kepala Desa Kohod dan Sekretaris Desa Kohod serta 2 orang lainnya sebagai penanggung jawab pemagaran laut di Kabupaten Tanggerang adalah suatu kekeliruan dan bentuk ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mengungkap pelaku utama/intelektual dan hanya menyasar pada aktor/pelaku lapangan.

Ketiga, Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa Kepala Desa Kohod sebagai pelaku pemagaran laut bersedia membayar seluruh denda administratif sebesar 48 miliar rupiah. Akan tetapi, pengacara Kepala Desa Kohod membantah telah menyetujui bersedia denda tersebut. Bahkan mereka belum menerima pemberitahuan resminya dan denda Rp 48 miliar yang ditimpakan kepada kliennya adalah hitung-hitungan ngaco sebagaimana dikutip dari Tempo. KIARA melihat bahwa pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut adalah suatu bentuk dugaan pembohongan publik, dan dugaan bentuk penyembunyian pelaku utama pemagaran laut tersebut.

Keempat, Menteri Kelautan dan Perikanan hingga saat ini juga belum membuka hasil investigasi yang telah dilakukan oleh KKP secara transparan kepada Publik. Publik berhak mengetahui seluruh aktor yang terlibat dalam pemagaran laut ini, mulai dari aktor intelektualnya, pelaku perantara/penghubung aktor intelektual dengan aktor lapangan, yang sesuai dengan tupoksi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketidaktranspanan dan ketidaktegasan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mengungkap pelaku utama pemagaran laut ini patut menjadi perhatian publik bahwa ada dugaan ketidakseriusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan dugaan kesengajaan/pembiaran yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan sehingga pelaku utama pemagaran laut ini tidak akan diungkap.

Kelima, penahanan Kepala Desa Kohod, Sekretaris Desa Kohod beserta 2 penerima kuasa adalah atas unsur pelanggaran pidana berupa pemalsuan warkah yang dipakai untuk mengurus SHGB dan SHM. Dugaan tindak pidana ini melanggar Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga telah jelas bahwa dugaan dan delik tersebut secara jelas bukan karena pemagaran laut. Atas hal tersebut, KKP seharusnya serius dan transparan dalam mengungkap pelaku/aktor utama pemagaran laut yang terjadi sepanjang ±30,16 km yang terdapat di 16 desa di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang.

Hal lainnya yang menjadi perhatian KIARA adalah bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI menyebutkan bahwa 5 kebijakan ekonomi biru KKP kelihatannya berfokus pada ekologi, akan tetapi dibaliknya adalah untuk pendapatan ekonomi. Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa PNBP terbesar adalah ruang laut. Dalam kasus pagar laut, reklamasi, pembangunan hotel resort dipulau yg ga ada izin udah dilakukan penghentian dan yg bersangkutan kemudian membayar denda administrasi dan. Hal ini juga telah jelas dan terang terlihat dari tindakan KKP yang memberikan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk berbagai korporasi memanfaatkan ruang laut untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi, pembangunan resort dan lain sebagainya. Dari pernyataan tersebut, telah jelas bahwa prioritas Menteri Kelautan dan Perikanan adalah pada peningkatan PNBP dari korporasi, bukan pada tapi perlindungan profesi nelayan kecil dan tradisional serta keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Hentikan Pembukaan Lahan Sempadan Pantai untuk Tambak di Pesisir Desa Gempolsewu!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hentikan Pembukaan Lahan Sempadan Pantai untuk Tambak di Pesisir Desa Gempolsewu!

 

Jakarta, 27 Februari 2025 – Pada akhir Januari 2025, masyarakat Desa Gempolsewu dikejutkan dengan aktivitas pembukaan lahan yang berlokasi pada wilayah sempadan pantai di Dukuh Sigentong, Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Wilayah tersebut berada di sebelah timur muara Kali Kutho. Lahan yang sudah dibuka berukuran kira-kira 2,7 hektar dari total 6 hektar yang akan dibuka secara keseluruhan. Lokasi yang dibuka berjarak sekitar 30 – 33 m dari garis pantai. Berdasarkan penuturan warga dan operator alat berat yang dikerahkan, lahan tersebut akan digunakan sebagai area tambak budidaya udang vaname. Tidak diketahui secara jelas siapa pemilik dan status hak dari calon tambak tersebut, masyarakat hanya mendapat keterangan bahwa pemilik dari tambak tersebut adalah seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).

Setelah masyarakat melaporkan aktivitas pembukaan tambak tersebut kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 31 Januari 2025 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah, DKP Kendal, Pemerintah Kecamatan Rowosari, dan Pemerintah Desa Gempolsewu datang untuk meninjau lokasi tersebut. DKP Jateng merespons dan menyatakan bahwa wilayah yang dibuka itu bukan kewenangan DKP Jateng, tetapi kewenangan DKP Kendal. DKP Jateng hanya mempunyai kewenangan di wilayah laut. Dalam kesempatan yang sama, DKP Kendal juga menyatakan akan memeriksa kembali garis pantai yang ada di lokasi tersebut untuk bisa melihat wilayah sempadan pantai yang dimaksud.

Setelah peninjauan, hasil monitoring Pemerintah Kecamatan Rowosari tertanggal 11 Februari 2025 menyatakan bahwa terdapat kegiatan pemanfaatan ruang di area sempadan pantai yang diduga belum berizin. Identifikasi lapangan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) KKP melalui Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang pada tanggal 29 Januari 2025 yang hasilnya telah dikeluarkan pada tanggal 13 Februari 2025 juga menyatakan telah terjadi kerusakan ekosistem pantai dengan hilangnya vegetasi pantai yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk budidaya tambak di atas lokasi yang dinyatakan sebagai Kawasan Ekosistem Mangrove berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal No. 1 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Perda Kabupaten Kendal No. 20 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal Tahun 2011-2031. Melalui hasil monitoring dan hasil identifikasi di atas, Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Kendal hendak menegakkan Perda tersebut dengan melakukan penyegelan di lokasi agar pembukaan lahan dihentikan. Namun, sampai saat rilis pers ini ditulis, aktivitas alat berat untuk pembukaan lahan masih terus berjalan.

Merespons hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa apa yang sedang terjadi saat ini di pesisir Desa Gempolsewu adalah bentuk tindakan kelalaian yang disengaja oleh DKP Kendal sebagai pemangku kebijakan pengelolaan pesisir dan laut di Kabupataen Kendal dengan membiarkan perusakan wilayah sempadan pantai untuk pembukaan lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi budidaya tambak. Padahal, perwakilan masyarakat Desa Gempolsewu sudah mengadukan aktivitas pembukaan lahan tersebut dengan menyatakan telah terjadi kerusakan ekosistem pantai dan mangrove yang sebelumnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Sebelum lahan itu dibuka, masyarakat Desa Gempolsewu sudah memanfaatkan lahan tersebut dengan berbagai aktivitas pertanian, tambak, dan area pantai. Seorang penjual sayur keliling di Desa Gepolsewu memanfaatkan sedikit area dari lahan tersebut dengan menanam kacang-kacangan dan memperoleh manfaat dengan menjual kacang yang ia tanam ke warga sekitar desa.

Selain itu, beberapa area yang sudah dibuka juga sebelumnya dimanfaatkan oleh seorang petambak ikan bandeng seluas 50 x 20 m. Petambak ikan bandeng tersebut mengatakan baru menabur benih sejumlah 450 ekor dan berencana untuk memanen hasilnya dua bulan kemudian, setidaknya sebelum Hari Raya Idulfitri. Perkiraan pendapatan yang akan diperoleh dari budidaya ikan bandeng senilai Rp3.000.000. Namun, setelah pembukaan lahan tersebut petambak ikan bandeng tersebut juga mengalami kerugian ekonomi dan kehilangan akses untuk mengelola lahan yang sebelumnya telah lama ia manfaatkan.

Masyarakat Dukuh Sigentong secara umum juga memanfaatkan area tersebut sebagai area pantai dan lokasi pantai. Kini, setelah pembukaan lahan dilakukan, aktivitas produktif budidaya tanaman dan ikan dari masyarakat di atas lahan tersebut mengalami kerugian dan terdampak dari pembukaan tambak udang vaname. Atas dasar itulah masyarakat mengadukan aktivitas tersebut kepada KKP, DKP Provinsi Jawa Tengah, dan DKP Kabupaten Kendal.

Senada dengan yang disampaikan Susan dan warga gempolsewu yang memanfaatkan lahan, Parno, ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kolodentho menyatakan bahwa aktivitas tersebut dapat mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir yang ada di Desa Gempolsewu. Abrasi akan menjadi semakin besar jika wilayah tersebut dijadikan tambak udang. Wilayah tersebut adalah area sempadan pantai dan dimanfaatkan untuk aktivitas penghijauan guna melindungi wilayah pesisir Desa Gempolsewu dari abrasi. Wilayah sempadan pantai juga berfungsi sebagai sabuk pengaman untuk wilayah pesisir yang berada di Dukuh Sigentong dan Dukuh Larangan yang ada di Desa Gempolsewu mengingat kedua dukuh tersebut merupakan area yang rawan bencana. Terdapat aliran sungai Kali Kutho yang tanggulnya sudah mengalami pengikisan atau longsor. Air laut juga sering menggenangi area pemukiman saat terjadi gelombang pasang.

“Pembukaan lahan untuk budidaya tambak akan menambah volume air yang masuk ke pemukiman karena sudah merusak sabuk pantai di mana di atasnya terdapat tumbuhan mangrove sebagai pelindung abrasi. Pada musim tertentu, masyarakat juga memanfaatkan beberapa area tersebut dengan ditanami padi,” jelas Parno.

KIARA menilai bahwa kesengajaan perusakan ekosistem pantai pada wilayah sempadan pantai di pesisir Desa Gempolsewu ini sudah semestinya dihentikan. Tidak ada sedikitpun upaya untuk menanyakan dan meminta persetujuan masyarakat sebagai bentuk partisipasi bermakna atas rencana pembukaan lahan tersebut. Sebagai pemangku kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Kendal, DKP Kabupaten Kendal seharusnya mengambil tindakan tegas dengan menghentikan aktivitas pembukaan lahan tersebut dan menyelidiki pihak-pihak yang terlibat.

“KIARA menegaskan kepada Pemerintah Kabupaten Kendal khususnya DKP Kabupaten Kendal untuk mengatur dan mengelola kawasan sempadan pantai sebagaimana amanat dari UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di mana kawasan sempadan pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir yang memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Maka pengelolaannya harus dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan hukum nasional. Pembiaran pembukaan tambak udang itu akan menempatkan masyarakat Desa Gempolsewu sebagai pihak yang paling dirugikan. Tindakan pembiaran oleh DKP Kendal atas pembukaan lahan di kawasan sempadan itu adalah bentuk ketidakberpihakan kepada masyarakat Desa Gempolsewu yang mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa DKP Kendal menjadi ‘kepanjangan tangan’ pemodal untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besanya di atas masyarakat pesisir yang mengalami kerentanan baik secara ekonomi maupun kebencanaan,” tambah Susan.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Dokumentasi Area Pembukaan Lahan untuk Tambak di Kawasan Sempadan Pantai Desa Gempolsewu

 

 

PELAKU PEMAGARAN LAUT BELUM DIUNGKAP, KIARA: KETIDAKTEGASAN KKP DAN DUGAAN MENUTUPI PELAKU UTAMA PEMAGARAN LAUT!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

PELAKU PEMAGARAN LAUT BELUM DIUNGKAP,

KIARA: KETIDAKTEGASAN KKP DAN DUGAAN MENUTUPI PELAKU UTAMA PEMAGARAN LAUT!

 

Jakarta, 13 Februari 2024 – Hingga pertengahan Februari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Kementerian/Lembaga negara lainnya belum mengungkapkan pelaku utama pemagaran laut yang terjadi di perairan pesisir Kabupaten Tangerang Banten. Belum adanya pengungkapan aktor/pelaku utamanya adalah bentuk dari dugaan kesengajaan penyembunyian aktor utamanya, yang juga merupakan bentuk dugaan ketidaktegasan KKP dalam menindak pelaku privatisasi perairan pesisir dan pulau kecil yang selama ini telah terjadi di Indonesia.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada upaya untuk menggiring opini publik dari yang awalnya pemagaran laut menjadi hak atas tanah di atas laut. “KIARA memandang bahwa saat ini perhatian publik tengah digiring dari isu utamanya adalah dugaan tindak pidana pembatasan nelayan untuk melintas dan mengakses laut dan privatisasi laut dalam konteks pemagaran laut, menjadi isu lahirnya hak atas tanah di atas laut. Akan tetapi hingga saat ini belum ada transparansi ke publik terkait siapa dalang utama pelaku pemagaran laut ini,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyegel pagar laut yang berada di perairan pesisir Kabupaten Tangerang pada tanggal 10 Januari 2025. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono berjanji akan melakukan investigasi terhadap pembangunan pagar laut tersebut dan mengungkapkan bahwa KKP membutuhkan waktu 20 hari untuk mencari tahu dalang atau pihak yang bertanggung jawab terkait pemagaran laut tersebut. Jika merujuk sejak tanggal 10 Januari 2025 hingga 20 hari setelahnya yaitu 30 Januari 2025, Menteri Kelautan dan Perikanan masih belum mengungkapkan siapa pihak yang bertanggungjawab maupun siapa aktor utama dalang pemagaran laut, walaupun masyarakat lokal maupun publik luas telah mengetahui dugaan pelaku utamanya.

Bahkan, pada 23 Januari 2025 telah dilangsungkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diwakili langsung oleh Sakti Wahyu Trenggono sebagai Men-KP dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang membahas tentang kasus pagar laut dan Pulau Pari. Akan tetapi hal yang sama juga terjadi, 20 hari tepatnya di pertengahan bulan Februari 2025 masih belum ada kejelasan terhadap publik tentang siapa dalang dan/atau aktor utama pelaku pemagaran laut ini.

KIARA mendesak KKP untuk transparan dalam mengungkap pelaku utamanya pemagaran laut ini, bukan hanya sekedar membongkar pagar laut tanpa ada pengungkapan pelakunya. Pembongkaran pagar laut yang telah dilakukan bukan berarti menghilangkan tindak pidana dan kejahatan yang telah dilakukan. Hal yang sama juga berlaku sama dengan pemagaran laut yang terjadi di perairan Bekasi, walaupun pelaku utamanya telah mengakui perbuatannya. Sehingga pemagaran laut di perairan pesisir Kabupaten Tangerang juga harus diungkap dan ditindak secara pidana, baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, maupun Kepolisian Indonesia,” ungkap Susan.

“Ada juga dugaan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan melakukan tindakan kelalaian yang dengan sengaja tidak menindak pelaku pemagaran laut dan membiarkan pagar laut ini yang awalnya telah diketahui oleh publik dengan panjang 8 km. Selain harus adanya pengungkapan pelaku pemagaran laut secara transparan, KKP juga harus dievaluasi secara menyeluruh karena kelalaian akibat pagar laut, juga tindakan tersebut merugikan nelayan yang diakibatkan kelalaian oleh KKP dan juga oleh Pelaku pemagaran laut tersebut!,” pungkas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Jakarta, 28 Januari 2025 – Terbitnya hak atas tanah di perairan laut yang telah dipasang pagar bambu dengan jenis Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang adalah proses mal-administrasi dengan implikasi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh aparatur desa maupun kantor pertanahan Kabupaten Tangerang. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan perhitungan denda Rp 18 juta per kilometer atas pelanggaran pemagaran laut tersebut. KKP berdalih bahwa perhitungan denda tersebut mengacu dan didasarkan pada perhitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa perhitungan tersebut semakin menunjukkan bahwa sikap KKP tidak serius dalam menindak pelaku perusakan perairan laut dengan cara pemagaran bambu di laut. “Saat ini KKP telah menetapkan denda 18 juta per kilometer terhadap pemasangan pagar bambu yang terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, ironisnya pasca KKP menyegel pagar laut di 9 Januari 2025 hingga sampai saat ini tidak ada pengungkapan siapa dalang dan juga aktor intelektual dari pagar laut tersebut. Padahal terdapat pihak-pihak yang diduga pelaku baik aktor lapangan maupun aktor intelektualnya telah diketahui masyarakat lokal. Bahkan siapa aktor yang akan diuntungkan dari seluruh proses ini, maka akan mengerucut kepada aktor intelektualnya,” tegas Susan.

Susan menambahkan bahwa bukti lain ketidakseriusan KKP adalah penetapan denda yang hanya menggunakan satu instrumen PP No. 85/2021 dalam penghitungan denda atas kerugian negara dari adanya pemasangan pagar laut tersebut. “KKP telah menetapkan denda sebesar Rp 18 juta per kilometer, denda tersebut jauh lebih ringan dan murah dari pada harga bambu tersebut. Hal seperti inilah yang membuat pelaku perusakan laut, pesisir maupun pulau kecil tidak jera dan tidak menimbulkan efek menakutkan bagi pelaku tersebut serta pelaku lainnya. Jika dikalkulasikan denda Rp 18 juta per km dengan total panjang pagar laut adalah ±31 km, maka total denda yang akan dibebankan hanya Rp 558 juta. Jelas denda tersebut tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan yang ditaksir Ombudsman RI sebesar Rp 7,7 miliar per bulan. Sehingga secara tidak langsung KKP menegaskan kepada seluruh korporasi bahwa KKP tidak akan menindak tegas dan tidak akan mengungkap pelaku perusak laut, pesisir dan pulau kecil. Lebih jauh jika perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil rusak tidak menjadi persoalan serius, karena negara akan mendapat PNBP dari dendanya. Hari ini yang menjadi pertanyaan di publik adalah apakah KKP maupun menterinya diduga terlibat dalam pemagaran laut ini?” tanya Susan.

Selain ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri KP dalam mengungkap dan menindak pelaku pemagaran laut, ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap aktor pelaku baik ditingkat pemerintah desa maupun aktor pelaku di kantor pertanahan Kab. Tangerang yang telah menerbitkan Sertipikat HM (SHM) dan Sertipikat HGB (SHGB) di perairan laut Kab. Tangerang. “Telah terang dan jelas bahwa SHM dan SHGB ini terdapat di Desa Kohod dan diduga melibatkan aparatur desa setempat serta Kantor Pertanahan Tangerang, hingga sertipikat tersebut diterbitkan. Atas terbitnya SHM dan HGB tersebut, seharusnya pihak penegak hukum baik Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, bahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di ATR/BPN dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas hal tersebut. Bahkan sudah ada pengakuan dari warga yang namanya dicatut sebagai salah satu pemilik dari sertipikat hak atas tanah di laut tersebut. Pencatutan nama adalah kejahatan serius dan harus diungkap dan ditindak oleh penegak hukum, karena hal tersebut merupakan tindakan pidana. Akan tetapi hingga sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait siapa pihak pelaku penerbitan SHM dan SHGB ini. Proses ini harus dibuka ke publik sehingga transparan dan tidak ada pihak yang diduga dilindungi atas kejahatan hukum ini,” tegas Susan.

Dari beberapa kasus yang KIARA dampingi, KKP diduga melegitimasi kegiatan ekstraktif dan eksploitatif oleh korporasi di laut melalui penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau PKKPRL. Ironisnya, lewat PKKPRL, perusahaan yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang laut dengan aktifitas ekstraktif serta eksploitatif hanya dikenakan sebatas sanksi administratif. Dengan kata lain, rangkaian penerapan kebijakan dari pemberlakuan sanksi administratif dan penerbitan PKKPRL untuk pelanggar Pasal 35 UU No. UU No 27/2007 Jo UU No. 1/2014 yang diubah terakhir UU No. 6/2023 (Omnibus Law) telah melegalkan hal yang ilegal. Sekali lagi, artinya Menteri KKP berpihak kepada para pelaku pengerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil.

KIARA melihat ketidakseriusan dan ketidaktegasan baik dalam konteks pengungkapan pelaku dan penentuan dasar denda pemagaran laut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap dan menindak aktor aparat desa dan aktor di kantor pertanahan Kab. Tangerang menjadi catatan tidak kompetennya Menteri KKP dan ATR/BPN hingga catatan merah buruknya penegakan hukum di 100 hari Presiden Prabowo,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

 

Jakarta, 26 Januari 2025 – Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari. Dalam kunjungan Kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup. Ironis nya, pasca kepulangan kedua kementerian tersebut, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa di tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta pertemuan atau audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspon oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.

 “KIARA melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari. Bahkan kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, yang menyatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari tapi tidak pernah direspon oleh KKP. “Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng. Saat ini warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut kami di gugusan Pulau Pari ini. Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” jelas Asmania.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektar area (ha) sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 ha yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci dapat dilihat melalui Tabel sebagai berikut:

Tabel Pertambahan Luas Daratan dan Degradasi Mangrove di Pulau Biawak

Tahun

Luas Daratan

(Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

2016

0,47

0,66

2024

1,37

0,45

Perubahan Luas

0,9

– 0,21

Sumber: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif & KIARA (2025)

Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.

KIARA dan FP3 menilai pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal yang serupa di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara saat PT GKP menimbun Pantai dan laut untuk membangun Terminal Khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun Provinsi.

Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27/2007 yang hingga saat ini masih berlaku. Sayangnya, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27/2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam pasal 75 UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1/2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. 

Tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut. “KIARA melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu. Ini menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi penting bagi Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP. Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia. Sudah saatnya Presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

 

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

 

Jakarta, 21 Januari 2025 – Pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 Kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.

Pasca terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.

Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata disebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementerian ATR/BPN telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai ± 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian sebagai berikut:

Aktor Jumlah HGB
PT Intan Agung Makmur 234 bidang
PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang
Perorangan (data belum dibuka ATR/BPN) 9 bidang

Sumber: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2025)

Dari hasil penelusuran KIARA pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas ±515,77 ha atau lebih dari 5 juta meter persegi. Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ± 1 juta meter persegi  luas bidang tanah tersertifikat di atas laut. Proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada dugaan kuat bahwa pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut tersebut. “Dari penelusuan yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Susan.

Selain itu, Susan menambahkan bahwa hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. “Temuan KIARA di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” tegas Susan.

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan KIARA bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod, sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan. Penelusuran tersebut dilakukan sejak tahun 1985 hingga 2024, sehingga penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa adanya HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945. KIARA menyebutkan bahwa atas pembatalan HP3, maka: 1)  sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi; 2) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi; 3) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar; dan 4) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.

KIARA menilai bahwa Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan berupa HGB dan SHM di atas laut. “Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang dimasa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.

KIARA melihat bahwa saat ini HP3 tersebut bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat. Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” tegas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

 

 

Jakarta, 10 Januari 2025 – Mengawali tahun 2025, publik dihebohkan dengan adanya pagar diduga sepanjang 30,16 km yang terletak di perairan laut di Kabupaten Tangerang. Pagar yang diduga sepanjang 30,16 km di Kab. Tangerang tersebut melintas di 6 Kecamatan yaitu, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Telukanaga. Pemagaran laut ini dilakukan dengan menggunakan bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir. Merespon pemagaran laut di Kab. Tangerang tersebut, berbagai Kementerian dan Lembaga negara terkait telah menyatakan ketidaktahuan dan tidak adanya izin yang mereka keluarkan berkaitan dengan pemagaran laut tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa pemasangan pagar sepanjang 30,16 km yang mencakup 6 kecamatan di Kab. Tangerang tersebut merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut, di mana wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan. “KIARA melihat ini adalah bentuk awal dari perampasan ruang laut. Jika di check melalui Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten – atau yang disebut sebagai Perda RTRW Banten yang terintegrasi – status pemanfaatan zona ini beberapa diantaranya adalah perikanan tangkap, dan perikanan budidaya. Akan tetapi, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari Masyarakat Pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan kecil dan tradisional, serta pembudidaya ikan kecil, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara,” tegas Susan.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan KIARA, disebutkan bahwa informasi tentang pemagaran laut tersebut telah diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten sejak 14 Agustus 2024 lalu. Hingga pada 4-5 September 2024 Tim DKP bersama Polisi Khusus (Polsus) dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meninjau lokasi perairan pemagaran laut[1]. “Sehingga dari rentang waktu bulan Agustus atau September 2024 hingga Januari 2025, KKP telah mengatahui adanya pemagaran laut tersebut, akan tetapi tidak ada tindakan yang serius dan tegas yang dilakukan KKP hingga akhirnya isu ini tersebar di publik pada awal tahun 2025. Ini membuktikan bahwa KKP telah melakukan pembiaran terjadinya pemagaran laut di Kabupaten Tangerang,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa terdapat 4.463 jiwa nelayan yang hidup dan memanfaatkan perairan laut di 6 kecamatan tersebut akan terdampak dari adanya pemagaran laut di wilayah perairan Kab. Tangerang. Pemasangan pagar ini menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta, bahkan ada dugaan bahwa pemagaran laut ini diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2. “Bahkan tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta dan secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (seperti memanen kerang) yang ada di Teluk Jakarta. Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” jelas Susan.

Pemagaran laut tersebut menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh KKP. Hal ini menciptakan adanya batas dan ja rak antara KKP dengan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia. Padahal pelibatan partisipasi masyarakat pesisir (khususnya nelayan) adalah bentuk pemberdayaan nelayan serta memperkuat peran serta masyarakat yang merupakan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Pemagaran laut ini menjadi tanda dan momentum bagi Kementerian dan Lembaga negara terkait, khususnya KKP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut harus dilakukan karena: 1) tidak adanya perlindungan khusus bagi wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan kecil yang ada di Indonesia; 2) tidak adanya pelibatan partisipasi dari nelayan kecil dan tradisional sebagai aktor utama dari penjaga lautnya, padahal hal ini merupakan bentuk pemberdayaan serta memperkuat peran serta masyarakat sebagaimana diamatkan dalam tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU 27/2007; serta 3) evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang melegitimasi perusakan laut, privatisasi laut dan juga perampasan ruang laut, seperti Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang melegitimasi perampasan ruang laut!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] Tempo. 2025. Pemagaran Laut di Tangerang: Ini Kronologinya hingga Disegel atas Perintah Presiden Prabowo. Artikel berita Bisnis Tempo.co 10 Januari 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/pemagaran-laut-di-tangerang-ini-kronologinya-hingga-disegel-atas-perintah-presiden-prabowo-1192140 

Siaran Pers Bersama – WALHI dan KIARA Ajukan Gugatan Atas Terbitnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Teluk Manado/Laut Sulawesi di PTUN Jakarta

Siaran Pers Bersama
Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK)

WALHI dan KIARA Ajukan Gugatan Atas Terbitnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Teluk Manado/Laut Sulawesi di PTUN Jakarta

Jakarta, 20 Desember 2024 – Pada tanggal 15 November 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengajukan gugatan atas terbitnya kebijakan Pemerintah Pusat menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Nomor: 20062210517100001 kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ini adalah proyek reklamasi dalam hal penyiapan lahan untuk pembangunan pusat bisnis dan pariwisata di Teluk Manado/Laut Sulawesi. Gugatan ini terdaftar dalam register perkara Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT.

Gugatan WALHI dan KIARA ini diajukan melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam TIM ADVOKASI PENYELAMATAN PESISIR DAN PULAU KECIL (TAPaK). Gugatan ini merupakan tindak lanjut atas laporan perwakilan masyarakat pesisir Manado Utara, khususnya nelayan kecil yang akan dirugikan atas proyek reklamasi tersebut.

Perizinan reklamasi di pesisir Teluk Manado/Laut Sulawesi melalui skema Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) tersebut diterbitkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui sistem OSS. KKP melalui Peraturan Menteri Kelautan (PermenKP) No. 8 Tahun 2020 telah melakukan pendelegasian kewenangan untuk penerbitan perizinan berusaha sektor kelautan dan perikanan kepada BKPM. Akan tetapi, menurut PermenKP tersebut, kewenangan BKPM hanya sebatas pada penerbitan perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan, akan tetapi verifikasi lapangan dan penilaian teknis permohonan PKKPRL merupakan kewenangan dari KKP maupun unit pelaksana teknisnya.

Terkait dengan proses gugatan ini, perwakilan Kuasa Hukum TAPaK, Judianto Simanjuntak menjelaskan bahwa setelah gugatan didaftarkan pada Tanggal 15 November 2024, kemudian dilanjutkan persidangan pertama (perdana) pada tanggal 26 November 2024 dengan agenda sidang pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Tata usaha Negara. Majelis Hakim memberikan masukan atas gugatan tersebut untuk diperbaiki. Sidang pemeriksaan persiapan dilanjutkan pada tanggal 10 Desember 2024, Majelis Hakim masih memberikan masukan atas gugatan tersebut untuk diperbaiki. Pada waktu sidang pemeriksaan persiapan pada tanggal 10 Desember 2024, TAPaK menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara ini harus mempunyai sertifikat lingkungan hidup karena perkara ini menyangkut lingkungan hidup yang merupakan amanat dari Keputusan Mahkamah Agung Nomor 134 Tahun 2021 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, yang menyatakan “perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup yang bersertifikat dan yang diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung”. Majelis Hakim menyatakan sudah mempunyai sertifikat lingkungan hidup karena ini perkara lingkungan hidup maka ketua PTUN Jakarta menunjuk hakim yang mempunyai sertifikat lingkungan hidup untuk menangani dan menyidangkan perkara ini, karena hal itu peraturan dari Mahkamah Agung.

Judianto Simanjuntak yang merupakan Pengacara Publik ini melanjutkan bahwa pada persidangan pemeriksaan persiapan pada tanggal 17 Desember 2024, Majelis Hakim menyatakan gugatan WALHI dan KIARA tidak ada lagi perbaikan dan layak untuk disidangkan. Selanjutnya Majelis hakim mengagendakan persidangan selanjutnya pada tanggal 24 Desember pukul 11.00 WIB, dengan agenda sidang pembacaan gugatan dan pembacaan penetapan apakah Majelis Hakim menerima atau tidak PT Manado Utara Perkasa sebagai pihak Tergugat Intervensi sebagaimana permohonan sebagai pihak Tergugat Intervensi yang diajukan PT Manado Utara Perkasa. Sidang akan dilaksanakan secara online (electronic Court/E- Court). Majelis Hakim menyatakan setelah persidangan tanggal 24 Desember 2024 dilanjutkan persidangan Jawaban dari Tergugat, Replik dari Penggugat, dan Duplik dari Penggugat yang dilakukan secara E Court (online). Kemudian dilanjutkan sidang pembuktian (bukti surat, saksi, dan ahli) yang akan dilaksanakan secara offline (tatap muka).

Perwakilan Kuasa Hukum TAPaK, Mulya Sarmono menyebutkan bahwa gugatan proyek reklamasi melalui PKKPRL ini merupakan bentuk keputusasaan dan perlawanan masyarakat pesisir Manado Utara kepada Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara sewenang-wenang memberikan izin reklamasi di pesisir Manado Utara. “Warga pesisir Manado Utara telah hidup secara turun temurun di pesisir Manado Utara, akan tetapi pemerintah secara ugal-ugalan mengeluarkan perizinan yang akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir. Tidak ada pelibatan masyarakat pesisir yang bermakna dan masyarakat pesisir Manado Utara telah jelas menyatakan penolakan atas proyek reklamasi tersebut, akan tetapi tidak diakomodir, bahkan dipertimbangkan saja tidak. Secara teoritik menurut Arnstein (1969) hal ini sebagai manipulasi yang termasuk kluster non-partisipasi dalam tingkatan partisipasi masyarakat,” jelas Mulya Sarmono.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kuasa Hukum TAPaK lainnya yaitu Afif Abdul Qoyim menyatakan bahwa proyek reklamasi melalui PKKPRL ini menggunakan dasar hukum yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2021 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pembentukan UU CK tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.

Dalam konteks lingkungan hidup, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Nasional (WALHI Nasional), Zenzi Suhadi, menyatakan bahwa berbagai proyek reklamasi mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah pesisir Manado Utara itu sendiri maupun area penyangganya, yang merupakan area penangkapan ikan serta wilayah tambatan perahu nelayan kecil. “Proyek reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi telah jelas bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas pelestarian dan keberlanjutan, kehati-hatian, keadilan, keanekaragaman hayati, manfaat, serta partisipatif. Bahkan negara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terutama kegiatan yang akan berpengaruh pada perubahan iklim. Seharusnya Kementerian Majelis Hakim PTUN Jakarta membatalkan PKKPRL ini karena bertentangan dengan asasasas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan juga peraturan perundang-undangan yang telah memandatkan negara untuk melindungi keberlanjutan sosial-ekologi pesisir dan pulau kecil.

Sedangkan dalam konteks sosial ekologi di pesisir Manado Utara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa dampak proyek reklamasi melalui PKKPRL ini akan dirasakan permanen oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional yang ada di Manado Utara, bahkan Teluk Manado. “Pantai Manado Utara seluas 90 ha adalah pantai terakhir yang tersisa di Teluk Manado. Selain itu, reklamasi akan memusnahkan terumbu karang yang masih hidup di lokasi reklamasi tersebut, hal ini telah dibuktikan oleh Manado Scientific Exploration Team bahwa di lokasi tersebut terdapat ekosistem terumbu karang yang hidup. Serta proyek reklamasi ini mengancam ekosistem laut pada Taman Nasional Bunaken yang letaknya berbatasan langsung dengan lokasi reklamasi. Bahkan proyek reklamasi ini akan meningkatkan potensi bencana banjir di kecamatan Tuminting, yang selama ini telah mulai terdampak banjir. Terakhir, seluruh nelayan kecil dan tradisional dapat dipastikan secara perlahan akan beralih profesi karena harus berhadapan dengan kondisi pantai yang bergelombang besar dengan tepian lahan reklamasi berupa bebatuan dan semakin sulitnya nelayan kecil/tradisional untuk mengakses laut dan mendapatkan ikan,” tegas Susan.

Karena itu TAPaK mengharapkan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini harus berperspektif lingkungan dan mengutamakan keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat yang hidup dan bergantung atas sumber daya kelautan dan perikanan tersebut. Bahkan hal ini telah dimandatkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, tanggal 21 Maret 2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa tujuan kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipungkiri sangat tergantung pada keberlanjutan (sustainability) dari natural capital resources dan ekosistem yang sehat, sehingga penting untuk menjaga dan menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta memelihara keadaan ekosistem agar tetap sehat, “ujar Judianto Simanjuntak.

Judianto Simanjuntak melanjutkan bahwa dengan gugatan ini, diharapkan Majelis Hakim mengabulkan gugatan ini dengan putusan menyatakan Batal atau Tidak Sah Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 20062210517100001 tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022.

Susunan Majelis Hakim dalam perkara ini adalah:
1. Hakim Ketua : Ganda Kurniawan, S.H.
2. Hakim Anggota : Yuliant Prajaghupta, S.H.
3. Hakim Anggota: Irvan Mawardi, S.H,. M.H

Informasi Lebih Lanjut:
Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 857-7526-0228
Afif Abdul Qoyim, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 813-2004-9060
Mulya Sarmono, Kuasa Hukum (TAPaK), +62 821-8723-3020
Teo Reffelsen (TAPaK dan WALHI Nasional) +62 852-7311-1161
Fikerman Saragih (TAPak & KIARA) +62 823-6596-7999