Formulir Kompetisi

Formulir Kompetisi  Jurnalistik (Dokumentari video; artikel feature; cerita foto: Kondisi Livelihood Masyarakat Pesisir Teluk Palu dan Tompe, paska bencana 28 September 2018

1 Februari – 22 Maret 2021

 

Tanda (*) Harus Diisi

IDENTITAS CALON PESERTA   :

·        Nama Lengkap* :  
·        Tempat, Tanggal Lahir* :  
·        Jenis Kelamin* :  
·        Alamat Lengkap* :  
·        Alamat Tinggal Sekarang* :  
·        Nomor Telepon / Hp* :  
·        Email* :  
·        Pekerjaan* :  
·        Asal Media* :  
·        Sosial Media* :  
·        Alamat Media* :

 

 

 

 

KOMPETISI  YANG DI PILIH * :

·        KOMPETISI *

Isi salah satu

 

:
  • Video
  • Artikel Feature
  • Foto Story
·        TEMA

Dapat isi lebih dari satu

:
  • Perempuan Nelayan dan pengelola ikan, serta asa hidup lebih baik paska bencana.
  • Arti bantuan perahu dan peningkatan kesejahteraan nelayan paska bencana.

 

KETENTUAN KOMPETISI :

  •   Hasil karya merupakan karya original/ karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
  •   Narasumber yang di ambil adalah masyarakat penerima manfaat dari KIARA (Lere, Talise, Pantoloan, dan Tompe).
  •  Semua hasil karya peserta (baik yang menang dan tidak) menjadi hak milik Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA),  dan dapat secara bebas digunakan dalam rangka kegiatan kampanye dan non komersial KIARA dengan tetap memberikan hak ciptanya pada kreator.
  •  Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Melalui form ini saya menyepakati apa yang telah menjadi ketentuan dan aturan dalam kompetisi ini. Saya telah mengisi data formulir ini dengan keterangan yang benar, sesuai fakta dan atas kesadaran penuh.                                                                                                                                                                                           

 

 

                                                                                                                                                                        Palu…… Januari 2021

                           

 

                                                                                                                                                                        …………………………………

Reklamasi Teluk Jakarta

KIARA: “Bukan Soal Izin, Tapi Nasib Ribuan Warga Teluk Jakarta Yang Terabaikan”

 

Jakarta, 24 Juni 2019 – Terlepas dari perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa  yang  salah  dalam  kasus  reklamasi  Teluk  Jakarta  pasca  keluarnya  932  Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk Pulau D. Yang tengah mengemuka hari ini dan kian ramai karena melibatkan  adu  opini  dan  lempar wacana  antara Gubernur  DKI Jakarta,  Anies  Baswedan,   dan   mantan   Gubernur   DKI  Jakarta,   Basuki  Tjahaya Purnama (Ahok), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menilai hal itu tidak relevan dan substantif. Baik Ahok maupun Anies keduanya berkontribusi pada reklamasi Teluk  Jakarta yang mengancam kehidupan  ribuan warga yang  tinggal di wilayah Teluk Jakarta.

 

KIARA berharap ada hal yang lebih substantif menyangkut nasib ribuan warga teluk Jakarta yang harus dipikirkan dalam kebijakan publik Provinsi DKI Jakarta. Lebih- lebih jika kembali ke belakang, warga Teluk Jakarta pernah memenangi gugatan atas Pemprov DKI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Hal   ini   disampaikan   oleh   Sekretaris   Jenderal   KIARA,   Susan   Herawati   untuk menanggapi  pernyataan  Anies  dan  Ahok  yang  mencari-cari  alasan  serta  mencari pembenaran atas kebijakan reklamasi Teluk Jakarta yang mereka buat. Sebelumnya, Anies  menyebutkan  bahwa  dasar  hukum  penerbitan  932  IMB  adalah  Peraturan Gubernur (Pergub) No. 206 Tahun 2016. Merespon hal ini, Ahok menyatakan bahwa Pergub  tersebut  belum  bisa  menjadi  syarat  penerbitan  IMB,  kecuali  jika  Peraturan Daerah DKI Jakarta sudah ada.

 

Menurut Susan, baik Anies maupun Ahok sama-sama berkontribusi pada nasib terkantung yang kini mengancam warga Teluk Jakarta yang harusnya mereka lindungi dan mendapat kesejahteraan.

 

“Ahok dan Anies bagaimanapun adalah bagian penting dari proyek reklamasi. Dua- duanya telah menerbitkan izin reklamasi Teluk Jakarta yang berdampak buruk bagi masa  depan  Teluk  Jakarta  serta  25  ribu  nelayan  yang  sangat  tergantung  dengan sumberdaya perikanan di perairan ini,” jelas Susan.

 

 

Susan menyebut, Ahok dan Anies sebenarnya memiliki kesempatan dan kewenangan untuk tidak melanjutkan proyek reklamasi di Jakarta yang telah dimulai pada tahun 1995  lalu.  Namun  hal  tersebut,  tidak  dilakukan  oleh  keduanya  dan  memilih  untuk melanjutkan kebijakan mengeruk Perairan Jakarta.

 

Karenanya Susan mendesak Anies untuk menghentikan proyek reklamasi. “Tak ada pilihan, reklamasi harus dihentikan secara total tanpa kecuali. Sebab itu menyangkut hak rakyat Teluk Jakarta yang bahkan telah dimenangkan oleh pengadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).” Tegas Susan.

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di 082111727050

Masyarakat Tambakrejo Bangkit dan Lawan Ketidakadilan

KIARA, Jakarta, 10 Mei 2019 – Kota Semarang mendapakan Perhargaan Pembangunan Daerah 2019 dari Bappenas dengan kategori perencanaan dan pencapaian terbaik tingkat kota. Namun faktanya, pembangunan kota ini menggusur 97 masyarakat nelayan di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Pemimpin daerah yang menerima penghargaan seharusnya malu, karena 97 KK Tambakrejo yang digusur oleh Pemprov menunjukkan wajah asli pola pembangunan merampas. Semarang menjadi wajah kota tanpa kemanusiaan.

Selain dari pada itu, Komnas HAM sangat tidak menghormati kesepakatan yang sebelumnya sudah disepakati bersama masyarakat Tambakrejo pada tanggal 13 Desember 2018 bertempat di Kantor Pemerintah Kota Semarang, Jl. Pemuda No. 148, Sekayu, Semarang terkait pelaksanaan tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 76 ayat (1), Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada tanggal 9 Mei 2019, Pemerintah Kota Semarang beserta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjumlah lebih dari 100 orang melakukan penggusuran paksa terhadap 97 masyarakat nelayan di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Aparat setempat juga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap warga, mahasiswa dan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

Satu hari setelah aktivitas penggusuran yang dilakukan terhadap 97 warga Desa Tambakrejo oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), suasana duka yang mendalam masih sangat terasa di kawasan penggusuran. Tidak sedikit korban penggusuran yang masih bertahan diantara reruntuhan puing-puing rumah mereka dengan harapan dapat merebut kembali apa yang menjadi hak mereka. Disaat yang bersamaan, masih belum banyak bantuan yang didapat korban pasca aktivitas penggusuran yang dilakukan pada 9 Mei 2019 lalu.

Dalam hal ini, KIARA bersama masyarakat Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang berkoordinasi untuk membuat dapur umum, MCK dan mushola darurat untuk warga korban penggusuran paksa sebagai bentuk dukungan terhadap tindakan represif yang dilakukan pihak aparatur setempat. Rumah Pak Rohmadi selaku RT Kampung Tambakrejo menjadi gudang logistik untuk bantuan korban penggusuran.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan “masyarakat harus melawan dan bangkit atas ketidakadilan yang dialami, bangkit melawan perampasan ruang hidup, hak untuk hidup dan hak untuk mencari sumber penghidupan”. Menurut Susan, kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan terus-menerus menggerogoti masyarakat pesisir. “Kita harus menegakkan payung hukum dan menegakkan keadilan terutama keadilan untuk masyarakat pesisir di seluruh Indonesia,” pungkasnya. Info lebih lanjut: Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821 1172 7050

Fitrah Moratorium

Fitrah Moratorium

Oleh Abdul Halim*

Semangat Idul Fitri adalah semangat persaudaraan universal, bahwa setiap anak manusia terlahir dalam “kejadian asal yang suci”. Oleh karena itu, mudik lebaran merupakan peristiwa yang amat heroik. Banyak yang dikalahkan dalam hidup, tetapi mereka berani menghadapi kenyataan. Meski tak seberapa rezeki terkumpul, namun kegembiraan membuncah saat berbagi pada sesama di kampung halaman.

Sedikitnya 2.346 kejadian kecelakaan dan 497 jiwa meninggal dunia selama arus mudik 2015 (Korlantas Polri, Juli 2015). Tingginya angka korban jiwa menunjukkan besarnya solidaritas emosional masyarakat. Resiko kecelakaan dan kemacetan sepanjang ratusan kilometer tak merintangi semangat kembali menapaktilasi kejadian asal. Fenomena ini terlihat di desa-desa (pesisir). Sebaliknya, Negara belum maksimal mengembangkan solidaritas fungsional bagi penyaluran pundi-pundi kesejahteraan hingga ke perdesaan.

Kegagalan negara menyediakan kerangka solidaritas fungsional bagi redistribusi kekayaan hingga ke perdesaan, tertolong oleh heroisme korban-korban pembangunan yang dengan solidaritas emosionalnya mampu membawa balik nutrisi ke akarnya (Latif, 2015). Dalam suasana kefitrahan, sudah selaiknya Presiden Joko Widodo menyegerakan perbaikan atas minimnya skema solidaritas fungsional di kampung-kampung nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir.

Fitrah

Cak Nur (2000), mengartikan fitrah sama dengan khilqah (ciptaan atau penciptaan). Secara peristilahan, fitrah berarti “penciptaan yang suci”. Jika dirunut pada pengertian paling fundamental, Idul Fitri yang dimaknai “penciptaan yang suci itu” adalah ajaran dasar agama yang menandaskan, manusia segera sebelum dilahirkan ke dunia pernah mengadakan “perjanjian primordial” (ahdprimordial covenant) dengan Tuhan. Isi “perjanjian primordial” ini berupa kesediaan manusia (dalam alam ruhani) untuk hanya mengakui dan menerima Tuhan YME sebagai satu-satunya sosok yang wajid dipercayai dan disembah.

Relevansi makna fitrah dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Tanah Air dapat diletakkan pada 2 hal pokok: pertama, sumber daya ikan merupakan sarana pendakian spiritual bagi 250 juta penduduk Indonesia untuk melaksanakan mandat perjanjian primordial dengan Tuhan YME. Dengan perkataan lain, stok sumber daya ikan nasional hanyalah sarana (al-wasilah), bukan tujuan (hadafa) penciptaan.

Kedua, fitrah bukan sekadar peristiwa spiritual, melainkan lokus bagi munculnya semangat pembebasan dalam rangka penataan kehidupan sosial yang adil dan beradab. Dalam konteks inilah, pengelolaan 11 wilayah pengelolaan perikanan harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil, mulai dari nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota di Indonesia.

Seperti diketahui, moratorium menjadi kata kunci yang diperbincangkan oleh insan kelautan dan perikanan di Tanah Air dan mancanegara sejak Presiden Joko Widodo memimpin Republik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), moratorium diartikan sebagai penundaan ataupenangguhan.

Terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelauan dan Perikann Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia merupakan penanda adanya komitmen untuk mengoreksi kekeliruan pelaksanaan “perjanjian primordial” dalam pengelolaan sumber daya perikanan, di antaranya adalah menertibkan perusahaan-perusahaan perikanan di dalam negeri.

Tak lama berselang, izin 15 perusahaan yang tergabung di dalam 4 grup perusahaan atas dugaan melakukan praktek kejahatan perikanan di Indonesia dicabut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, di antaranya PT Maritim Timur Jaya di Tual (Maluku), PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam (Papua), PT Indojurong Fishing Industries yang berpusat Panambulan, Maluku Tenggara (Maluku), PT Pusaka Benjina Resources di Benjina (Maluku) dan PT Mabiru Industry di Ambon (Maluku). Izin yang dicabut adalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Pencabutan izin 15 perusahaan ini dapat dijadikan sebagai momentum penegakan hukum atas tindak pidana perikanan yang telah dilakukan sejak lama. Untuk itu, Penyidik  Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bekerjasama dengan Penyidik Perwira TNI AL dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melanjutkan proses hukum di pengadilan perikanan. Dalam konteks inilah, keterlibatan Kejaksaan Agung menjadi sangat penting untuk penuntutan yang maksimal.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2015) mencatat, sedikitnya 309 kapal ikan, baik tangkap maupun angkut, yang berafiliasi kepada 4 grup perusahaan perikanan, yakni Grup Mabiru, Pusaka Benjina Resources, Maritim Timur Jaya dan Dwikarya (lihat Tabel 1). Dari jumlah ini, jika per kapal mempekerjakan 20 ABK, maka sedikitnya terdapat 6,180 Anak Buah Kapal (ABK).

Tabel 1. Nama Grup Perusahaan dan Kapal Ikan

No Nama Perusahaan/Grup Jumlah Kapal (Unit)
1 Mabiru 63 Kapal Ikan
2 Pusaka Benjina Resources 96 Kapal Tangkap dan 5 Kapal Pengakut Ikan
3 Maritim Timur Jaya 78 Kapal Ikan
4 Dwikarya 67 Kapal Ikan
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Juni 2015), diolah dari berbagai sumber

Belajar dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menimbulkan ekses sosial, semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan solusi bagi 6,180 ABK yang rentan terlanggar hak-haknya sebagai pekerja di sektor perikanan. Di sinilah letak kefitrahanmoratorium.

Langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengoperasionalisasikan kefitrahanmoratorium di antaranya: pertama, melakukan koordinasi dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memastikan 15 perusahaan perikanan memenuhi hak-hak pekerjanya pasca pencabutan izin usahanya; kedua, menyalurkan para pekerja kepada perusahaan kelautan dan perikanan atau usaha kreatif lainnya milik negara atau bekerjasama dengan pihak swasta dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional para ABK, seperti hak untuk bekerja dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik; dan ketiga, melakukan pengawalan dan memberikan pendampingan kepada para ABK untuk pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja pasca pencabutan izin perusahaan tempatnya bekerja.

Sembilan bulan pasca pemberlakukan moratorium, banyak pertanyaan yang disampaikan: apakah nelayan kecil menerima manfaat? Dengan menggunakan 2 relevansi makna fitrah, dapat dikatakan bahwa arah pengelolaan sumber daya perikanan nasional belum memunculkan optimisme dan sungguh-sungguh mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat desa-desa pesisir yang makmur, adil dan beradab. Seperti kata Aristoteles, “Manusia baik belum tentu menjadi warga negara baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk”.

Di saat yang berbeda, Thich Nhat Hanh, dalam the Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar mengajukan pertanyaan kepada biksu. “Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu?” Biksu menjawab, “Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberi kebahagiaan bagi orang sekelilingmu”.

Dengan “berlebaran”, semoga paceklik kesejahteraan dan kebahagiaan di desa-desa pesisir dapat diakhiri. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah!

 

*Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) dan Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network)

Sumber: Majalah Samudra, Agustus 2015

Kiara: Koperasi Nelayan Lebih Dibutuhkan Ketimbang KUR

Minggu, 28 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan pemerintahan Joko Widodo sebaiknya menggencarkan program koperasi nelayan ketimbang menurunkan bunga kredit usaha rakyat (KUR).

“Koperasi lebih dibutuhkan nelayan dibandingkan dengan program KUR,” kata Halim kepada Republika, Ahad (28/6).

Selama ini, jelas Halim, sangat jarang nelayan yang menerima KUR. KUR lebih banyak disalurkan kepada para juragan nelayan ataupun pengusaha perikanan kelas menengah hingga skala besar.

Selain prosedur pengajuan yang berbelit, nelayan juga sungkan mengajukan KUR karena bunga yang tinggi. “Sekarang walau bunga sudah turun 10 persen menjadi 12 persen, itu masih mencekik bagi nelayan,” ujarnya.

Halim berharap pemerintah dapat mendorong program koperasi nelayan. Hal itu seperti yang sudah dijalankan Kiara  bersama masyarakat nelayan di Sumatera Utara.

Koperasi nelayan yang digagas Kiara bukan sebatas simpan pinjam. Tapi, para nelayan juga bisa menaruh hasil tangkapan ke koperasi dan koperasi yang mencarikan pasarnya.

“Tentu kami berusaha semaksimal mungkin untuk menjual ikan tersebut sesuai harga pasar. Nelayan tidak akan rugi,” kata dia.

Dari penjualan itu, koperasi mendapat imbalan atas jasa membantu menjual ikan. Nah, uang dari imbal hasil itu yang nantinya bisa digunakan sebagai sumber bantuan permodalan bagi para nelayan. “Tentunya tidak ada bunga,” kata dia.

Red: Satya Festiani
Rep: Satria Kartika Yudha

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/15/06/28/nqnc0e-kiara-koperasi-nelayan-lebih-dibutuhkan-ketimbang-kur

Kasuso: Kampung Nelayan di Bulukumba

“Hidup adalah perjalanan membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
— Iwan Setyawan (Ibuk)

Sejauh mata memandang, biru lautan menjadi pesona tersendiri. Debur ombak perlahan memecah kesunyian Kampung Kasuso. Beriringan, bunyi perempuan membenturkan alat tenunnya dan suara derit ayunan yang digoyang perlahan oleh ibu.

Kampung Kasuso terletak di wilayah administrasi Desa Darubiah, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Butuh 33 kilometer dari Bulukumba menuju Bira, kemudian dilanjutkan menuju Kampung Kasuso setelah melewati penurunan panjang (daerah Lahongka).

Tidak ada catatan sejarah tentang kampung Kasuso, hanya cerita dari mulut ke mulut yang terus diceritakan turun-menurun.  Kata Kasuso berasal dari dua suku kata ‘Ka’ dan ‘Suso’. Kata ‘Ka’ artinya kepal, besar atau ketua, sedangkan ‘Suso’ artinya Kerang, dua kata inilah kemudian digabungkan dan memiliki arti kerang besar yang menempel di batu besar. Di sisi lain, penamaan kampung Kasuso diduga karena di kampung tersebut banyak Suso (sejenis siput/biri-biri laut).

Kampung Kasuso lebih dikenal sebagai kampung pesisir Bulukumba di mana mayoritas masyarakatnya adalah nelayan ikan terbang atau disebut Juku’ Tuing-Tuing. Ikan terbang bukan hanya jadi simbol salah satu televisi swasta nasional, tapi ikan terbang ini pun sangat digemari karena telur ikan berharga cukup mahal. Namun, ikan terbang kini sulit didapatkan, maraknya penangkapan ikan terbang dengan kapal besar menyebabkan jumlah ikan terbang menurut drastis dalam 3 tahun terakhir.

Kampung Perempuan

Pagi di ufuk timur, setelah merapihkan keperluan anak-anaknya, si ibu turun ke kolong rumah dan mulai disibukkan mengatur benang-benang di alat tenunnya. Sarung sutera berbagai corak menjadi salah satu tumpuan ekonomi perempuan di kampung Kasuso. Sarung-sarung yang dihasilkan kemudian dipasarkan keluar kampung Kasuso, bahkan hingga ke wilayah Sulawesi Selatan. Tidak jarang para pedagang atau pelaut yang singgah ke kampung Kasuso membawa sarung-sarung tersebut.

Menariknya, lelaki sulit ditemukan di kampung ini. Mayoritas kaum adam meninggalkan keluarganya untuk melaut hingga bertahun-tahun. Seperti yang dituturkan Subaeni, 29 tahun “Suami saya pergi kerja di laut sewaktu anak masih bayi, dia pulang lagi setelah anak sudah masuk TK”. Subaeni harus rela ditinggal suami yang bekerja sebagai ABK (anak buah kapal) agar anak-anaknya bisa sekolah.

Hal serupa terjadi pada Junaedah, 40 tahun yang ditinggal suaminya melaut selama 25 tahun. Kini ia sudah punya tiga orang anak dan beberapa cucu. Dua orang anak laki-lakinya yang sudah dewasa kini menjadi anak buah kapal dan keluar dari kampungnya. Kini suami Junaedah menjajaki usaha baru, yaitu menjadi juragan kapal kayu yang memiliki anak buah 13 orang ABK dan berkerja mengangkut barang-barang seperti semen ke daerah seperti Timika, Papua dan pulau lainnya.

Bisa dibayangkan dengan beban ganda yang dijalani perempuan Kasuso, mereka terus menenun dengan harapan penghidupan yang lebih baik. Ketika suami bertahun-tahun tidak pulang, maka perempuanlah yang bertanggung jawab menjalankan roda perekonomian keluarga.

Dari tenun kami bergantung hidup, dari orang yang singgah dan membawa tenun kami bergantung hidup, dan dari laut kami bergantung hidup agar laut selalu menjaga suami-suami kami dan membawa mereka kembali pulang,” ujar Junaedah.

Setali tiga uang, di Lembata, Nusa Tenggara Timur, banyak lelaki yang keluar dari kampungnya dan memutuskan menjadi TKI. Perempuan banyak ditinggal di kampungnya karena perempuan lebih mampu bekerja ganda, yaitu mengurus rumah, mengurus kebun sekaligus menjual ikan.

Tanah yang gersang dan sulitnya air bersih membuat masyarakat kesulitan menggarap tanah mereka. Di saat yang bersamaan, kapal-kapal besar acapkali datang dan melakukan pemboman. Bahkan melalui riset KIARA menyebutkan tutupan mangrove sudah rusak 40% dan tutupan karang hanya tinggal 20% akibat dari maraknya pengeboman di Laut Lembata.

Tidak jauh berbeda dengan perempuan di Kampung Kasuso, perempuan di Lembata pun harus berjuang untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.

Penggerak

Pada tahun 2010, KIARA bersama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) dan JPKP (Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir) menginisiasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Hal ini berdasarkan besarnya peran perempuan dalam sektor perikanan.

Perempuan nelayan bukan hanya sekadar istri dari nelayan, namun mereka yang terlibat, baik pra dan pasca melaut. Dimulai dari menyiapkan bekal untuk melaut, menyiapkan keperluan melaut, menjual hasil tangkapan suami, atau pun mengolah hasil tangkapan. Besarnya peran perempuan nelayan dapat dilihat dari jam kerja perhari, yaitu 17 jam, seperti yang terjadi di kampung Kasuso, perempuan bukan hanya menenun, namun juga terkadang menjual ikan.

Di saat bersamaan, perempuan nelayan menjadi penentu gizi keluarga. Secara tidak langsung, tangan perempuanlah yang menjadi penentu bagaimana generasi penerus akan mendapatkan gizi baik untuk pertumbuhan mereka.
Besarnya peran nelayan dalam memenuhi kebutuhan protein bangsa tidak bisa dipisahkan dari besarnya kontribusi perempuan nelayan yang terlibat baik pra dan pasca melaut. Perempuan nelayan memiliki jam kerja selama 17 jam sehari, dimulai dari memenuhi kebutuhan keluarga, mempersiapkan bekal suami melaut, hingga menjual hasil tangkapan suami. Roda perekonomian keluarga nelayan disokong 48% oleh perempuan nelayan.

PPNI menjadi wadah bagi perempuan nelayan di banyak kampung pesisir Indonesia, dan menjadi suara bahwa perempuan nelayan hari ini telah berdikari. Kehadiran mereka ada dan menjadi bagian integral dari rantai nilai sektor perikanan.

Selayaknya, perempuan nelayan didukung penuh oleh negara, untuk menjadi tangguh, mandiri dan sejahtera. *** (SH)

Susi Pudjiastuti Diminta tak Melunak Terkait Larangan Transhipment

Selasa, 10 Februari 2015 WIB

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta tak melunakkan sikapnya terkait larangan melakukan kegiatan alih muatan di tengah laut atau transhipment. Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menegaskan, pengelolaan perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan.

Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut, kata Halim, jelas mencederai amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sebagaimana diketahui, Pasal 41 Ayat (3) UU Perikanan menyebutkan: “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.

Sementara pada Pasal Pasal 25 Ayat (1) ditegaskan: “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.

Halim menyayangkan rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan di tengah laut. Juknis itu diperkirakan akan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktik alih muatan di tengah laut,” kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (9/2).

Dia mengatakan, Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat fatal pada pengelolaan perikanan di Indonesia. Pertama, menghilangnya pemasukan negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan.

“Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah,” tegas Halim.

Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. “Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor,” ujar Halim lagi.

Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia.

Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan. Diantaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2.201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2.017 ton), Palau (1.758 ton), Kiribati (1.701 ton), Vanuatu (1.600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).

Kerugian negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. “Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya,” tutup Halim.

Sebelumnya, Susi mengatakan, transshipment berdampak langsung pada industri perikanan. Pengiriman ikan ke luar negeri menjadi terhambat. Khususnya pada mereka yang secara langsung tidak melakukan penangkapan ikan.

“Kita buat larangan transshipment 2014, memukul beberapa pemain perikanan yang sebetulnya tidak melakukan transshipment luar negeri,” ucap Susi dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Senin (2/2) pekan lalu.

Karena itu Susi kemudian merancang petunjuk teknis (juknis) untuk kondisi tertentu melakukan transshipment. Dalam juknis itu, Susi memberi kelonggaran bagi pelaku industri agar boleh bongkar muat ikan di fishing ground tengah laut.

“Kita tidak cabut pelarangan, tapi buat juknis untuk para pelaku penangkap untuk membawa hasilnya dari fishing ground ke pelabuhan, diperbolehkan dengan ketentuan mengikat diberi sanksi jika itu diselewengkan,” tegas Susi.

Adapun juknis yang dimaksud salah satunya soal pemberian vessel monitoring system (VMS) dan pendataan kapal yang boleh melakukan transhipment. “Juknis tadi akan dilengkapi restriksi, VMS, data kapal, dan sebaginya ,” tutupnya. (*)

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://gresnews.com/mobile/berita/Sosial/10102-susi-pudjiastuti-diminta-tak-melunak-terkait-larangan-transhipment

Darinah: Perempuan Perkasa Dari Rembang

Apa yang bisa kita bayangkan tentang rasa lapar? Di benak kita tentu melintas perasaan tidak nyaman di bagian perut dan tidak jarang disertai dengan perasaan melilit yang tidak tertahankan. Lapar adalah ketakutan bagian semua manusia.

Seorang pemenang nobel sastra dari Norwegia di tahun 1920, Knut Hamsun, menceritakan rasa lapar dalam bukunya yang berjudul Lapar (Sult). Dalam novel itu Knut Hamsun bercerita tentang pengalaman kelaparan teramat sangat, di mana ia harus memamah serpihan kayu untuk mengganjal perutnya dari rasa lapar. Hingga Knut pun harus menggadaikan selimutnya hanya untuk mendapatkan pinjaman uang dari seorang mahasiswa filsafat. Dalam kelaparannya Knut Hamsun pun pernah merampas kue yang dirampasnya dari seorang nenek tua. Ya, kelaparan adalah simbol dan bentuk paling menakutkan dari kemiskinan itu sendiri.

1 dari 7 orang di dunia harus tidur dalam keadaan perut kelaparan. Ironisnya 80% dari mereka adalah nelayan, petani atau pun para produsen pangan skala kecil. Setali tiga uang, kemiskinan di 10.444 desa pesisir membuat nelayan tradisional Indonesia acap kali harus tidur dalam keadaan lapar.

Seorang perempuan dari Desa Karanggeneng, Rembang, sedari kecil berjuang untuk melawan rasa laparnya. Namanya Darinah, anak nelayan dari Ratman dan Rumini yang sedari kecil menjadi tulang punggung keluarga. Darinah anak ke-4 dari 7 bersaudara, ketiga kakaknya telah meninggal dunia. Maka tidak heran beban keluarga menjadi tanggung jawab Darinah di usia yang cukup belia. Darinah bukan sekadar berjuang untuk bertahan hidup. Hingga hari ini, Darinah menjadi potret perempuan nelayan yang berjuang melawan rasa lapar.

Menunda kebahagiaan

Darinah duduk bersama 10 orang perempuan lainnya. Tubuhnya dibalut pakaian panjang berwarna hijau dan celana panjang berwarna cokelat yang dikenakannya terlihat kotor di bagian paha. Sepatu boots berbahan karet yang dikenakannya pun tidak luput dari kotoran lumpur yang menempel di sisi kiri dan kanannya. Sesekali Darinah tampak merapikan topi yang dikenakannya. Sarung tangan putih yang digunakannya pun sesekali melorot hingga batas pergelangan tangannya.

Rembang baru saja diguyur hujan, keadaan TPI di siang itu terlihat becek. Hujan rintik yang masih turun tidak mengurangi geliat TPI. Sekumpulan perempuan sedang duduk sembari menunggu kapal-kapal sandar di dermaga.
Darinah adalah seorang perempuan berperawakan tinggi besar dan berkulit sawo matang. Fisiknya yang terlihat kekar dan kejujurannya membuat dia pernah dipercaya membantu juragan pemilik kapal dalam mengelola hasil tangkapan nelayan.

Darinah seperti kebanyakan perempuan yang tinggal di pesisir lainnya. Kemiskinan membuat ia harus menjadi tulang-punggung keluarga. Sejak ditinggal ibunya di usia 12 tahun, Darinah semakin giat membantu adik-adiknya untuk bersekolah. Darinah mulai membantu mengasinkan ikan atau membantu berjualan ikan ke pasar. Darinah menikah dengan Moch. Solikin di usia 37 tahun. Darinah memilih mengalah dan terlambat menikah.

“Saya Cuma mau lihat adik-adik saya dulu menikah, punya keluarga, punya kehidupan. Setelah itu saya baru mau menikah,” ujar Darinah sembari tersenyum.

Kini, ia dikaruniai seorang putri jelita yang baru berusia 2 tahun. Kehidupan baginya sudah terasa lengkap.

Bongkar Muat Kapal

Ada fenomena baru yang terjadi di Rembang dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Perempuan menjadi bagian dari aktivitas bongkar muatan kapal. Rupanya kesulitan perekonomian keluarga nelayan mendorong perempuan untuk bekerja sebagai buruh bongkar muat kapal.

Darinah dan perempuan lainnya memulai pekerjaan bongkar muat kapal dari jam 11.00-14.00 WIB. Tugas perempuan termasuk Darinah adalah menarik ikan di dalam keranjang keluar dari kapal, lalu mereka akan membersihkan ikan-ikan tersebut.

“Untuk yang manggul-manggul memang laki-laki, tapi kadang kami juga membantu,” ujar Darinah sembari menyiram keranjang ikan dengan air.

Upah yang diterima oleh perempuan pun tidak sama dengan yang diterima oleh laki-laki. Upah perempuan yang melakukan bongkar muat kapal sekitar Rp. 40.000 sampai Rp. 50.000, sedangkan untuk laki-laki sekitar Rp50.000-Rp60.000. Hal ini pun bergantung kepada juragan kapal dan hasil tangkapannya.

“Yang penting kami mendapatkan nasi sebungkus setiap bongkar muat,” tutur Darinah.

Sebelumnya perempuan tidak ikut dalam aktivitas bongkar muat kapal. Mereka cenderung malu dan sungkan bergabung dengan nelayan laki-laki. Namun, beban hidup yang semakin berat membuat para perempuan tersebut turun tangan mengais rezeki lewat bongkar muat kapal. Hasil yang didapat pun cukup lumayan.

Harapan Darinah

Di tengah kehidupannya yang tidak pernah jauh dari gambaran kemiskinan, Darinah selalu menyimpan harapan demi harapan. Seperti kebanyakan orang, bermimpi adalah hal yang membuat Darinah terus berjuang setiap hari.

“Mimpi orang seperti saya sederhana, setidaknya kami jauh dari rasa lapar. Apalagi usia saya yang sudah tua, sedangkan anak saya masih berumur 2 tahun. Saya ndak mau anak saya pernah merasakan apa yang saya rasakan. Dia harus sekolah tinggi,” ujar Darinah sambil menatap kapal-kapal yang baru saja sandar di dermaga.

Bagi Darinah, pemerintah harus menghapuskan kemiskinan dari kampung-kampung nelayan. Bukan lagi sekadar wacana yang digelontorkan ketika rapat teknis kepemerintahan, namun aksi konkrit dalam memastikan kesejahteraan bagi seluruh nelayan tradisional Indonesia.*** (SH)

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air. 

Kiara: Nelayan Masih Alami Kesulitan Perizinan Melaut

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut. “Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus
perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2014).

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan untuk dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Dia menilai bahwa sampai masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan maka hal itu merupakan langkah awal yang diyakini membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat kedepannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF) yang telah disahkan FAO pada Juni 2014.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100 ribu kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, lanjut dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air.