Hari Nelayan 2025 Ironi Nelayan Kecil dan Tradisional di Negeri Bahari; Menjadi Turis di Laut Indonesia
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Hari Nelayan 2025
Ironi Nelayan Kecil dan Tradisional di Negeri Bahari;
Menjadi Turis di Laut Indonesia
Jakarta, 6 April 2025 – Hari Nelayan diperingati setiap tanggal 6 April sejak tahun 1961. Peringatan tersebut untuk memberikan penghormatan kepada para nelayan yang selama ini menggerakkan ekonomi di sektor perikanan dengan menyediakan protein dan menjaga kedaulatan pangan laut untuk seluruh masyarakat di Indonesia, mulai dari desa hingga ke kota, dari pesisir hingga ke pegunungan di daratan besar. Selain menjadi momentum penghormatan kepada nelayan, Hari Nelayan seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan bagaimana negara memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada nelayan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat dalam hal ini nelayan kecil dan tradisional sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Merespon Hari Nelayan 2025, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa momentum Hari Nelayan adalah momentum penting untuk mengingatkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk berpihak kepada nelayan, baik nelayan kecil, nelayan tradisional, perempuan nelayan, pekerja perikanan, masyarakat adat di pesisir yang berjuang dan bekerja di atas kapal perikanan, dan seluruh pihak yang melakukan penangkapan ikan secara berkeadilan dan berkelanjutan. “Hari Nelayan ini menjadi momentum pengingat kepada Presiden Prabowo untuk memberhentikan dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan perizinan yang selama ini telah terbukti dan yang akan berpotensi untuk merampas ruang hidup dan memarginalkan nelayan yang pada akhirnya akan menggerus kuantitas profesi nelayan itu sendiri,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa beberapa kebijakan maupun peraturan perundang-undangan sarat masalah yang telah terbukti maupun berpotensi merampas ruang hidup dan memarginalkan nelayan adalah sebagai berikut: 1) kebijakan liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut; 2) Legalisasi perampasan ruang kelola nelayan, masyarakat adat yang memanfaatkan wilayah perairan pesisir dan pulau kecil melalui Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL); 3) Penimbunan laut atau reklamasi; 4) Integrasi Penataan Ruang yang tidak melibatkan dan mengakomodir ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir; 5) Penangkapan Ikan Terukur; 6) Legalisasi industri pertambangan nikel dengan dalih hilirisasi nikel; dan 7) Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.
Sedangkan kekosongan hukum, ketidakpastian hukum dan tidak berjalannya kebijakan yang berpihak kepada nelayan adalah sebagai berikut: 1) Tidak adanya perlindungan atas perubahan dan krisis iklim yang sedang terjadi khususnya di laut dan wilayah pesisir yang telah menyebabkan kerusakan ekologi disertai menurunnya produktivitas nelayan; 2) Tidak adanya kepastian hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat khususnya bagi Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan laut yang menyebabkan ruang kelola untuk menjalankan penghidupan mereka terancam oleh berbagai kegiatan pembangunan dan ekstraktif; 3) Tidak adanya kepastian hukum pengakuan dan perlindungan Perempuan Nelayan yang menyebabkan hilangnya kesempatan perempuan nelayan untuk mengakses berbagai program perlindungan nelayan yang dibuat oleh pemerintah; 4) Tidak berjalannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam di Indonesia; dan 5) Ego sektoral antar Kementerian dan Lembaga dan ketidaktegasan Presiden yang hingga saat ini belum akan meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan.
KIARA memandang bahwa ketidakseriusan yang menandai kegagalan pertama Presiden Prabowo dalam melindungi dan memberdayakan nelayan kecil dan tradisional adalah dengan memilih dan menetapkan kembali Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam kabinet pemerintahan saat ini. Bahkan yang menjadi catatan kelam bagi nelayan adalah ketidaktegasan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang diduga secara sengaja tidak mengungkap pelaku utama pagar laut sepanjang 30,16 km. “Sudah saatnya Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia dipimpin oleh orang yang berkompeten, berdiri tegak dan bersikap tegas untuk melindungi nelayan kecil dan tradisional yang menjadi tulang punggung produsen pangan perikanan di Indonesia. Bukan orang menjual kesejahteraan nelayan untuk industri dan kaum kapitalis!” tegas Susan.
“Ironinya, KIARA mencatat sejak 2015 hingga 2025, telah terjadi upaya kriminalisasi telah berlangsung kepada 72 orang masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang didominasi oleh nelayan kecil dan tradisional. Bahkan 5 orang diantaranya meninggal dunia, dengan rincian 1 dibunuh oleh preman, dan 4 orang ditembak oleh aparat keamanan negara. Dari 72 orang tersebut 40 orang masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah yang menolak dan berjuang mempertahankan tanah dan lautnya dari industri pertambangan, baik pertambangan nikel maupun pertambangan pasir laut. Ini menjadi catatan hitam bagaimana perlindungan dan pemberdayaan nelayan tidak dilakukan oleh pemerintah. Presiden Prabowo harus menjadikan momentum Hari Nelayan untuk berbenah dan berpihak kepada nelayan di Indonesia!” pungkas Susan.(*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502