“Indonesia darurat pangan, ancam pemenuhan hak atas pangan”

 “Indonesia darurat pangan, ancam pemenuhan hak atas pangan”

Jakarta-  Ditengah turunnya angka penderita kelaparan kronis di dunia,  Indonesia justru mengalami kondisi darurat pangan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya impor pangan, menurunnya jumlah produsen pangan skala kecil, menurunnya luasan lahan produksi pangan, menurunnya produksi pangan, meningkatnya jumlah penduduk, dan tidak adanya kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi para produsen pangan skala kecil. Dapat dikatakan negara tidak serius bahkan abai untuk memenuhi kewajiban hak atas pangan rakyatnya. Demikian ditekankan oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera, jelang Hari Pangan Sedunia 2013 (14/10/2013).

“Kunci untuk mengatasi kelaparan dan pemenuhan gizi bangsa terletak pada kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan ketersediaan pangan di dalam negeri, dan paling nyata terwujud dalam anggaran pangan yang membangun kemandirian pangan kita, bukan mengandalkan pangan impor yang jumlah dan nilainya semakin besar”. Semua harus berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil kita Jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera

Jumlah penduduk kekurangan gizi di Indonesia berkurang dari sekitar 20 persen dari total jumlah penduduk pada dekade 1990-an menjadi 8,6 persen pada tahun 2012, tetapi tidak dilakukan dengan menggunakan potensi pangan negeri sendiri. “Pencapaian ini dapat dikatakan semu, karena bertumpu pada pangan impor yang rentan gejolak pangan dunia, harga naik akan dengan mudah menghalangi akses masyarakat terhadap pangan.” Tambahnya  lagi. Padahal potensi pangan lokal kita ada, tetapi diabaikan.

Meskipun Indonesia telah memiliki UU Pangan yang berdasarkan pada Hak atas pangan, tetapi belum adanya peraturan pemerintah, menyebabkan UU ini  belum dapat dijalankan. Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras menekankan,” Hal yang perlu segera dibenahi dengan mewujudkan kelembagaan pangan yang kuat dan tidak lagi menjadikan pangan, sebagai komoditas sumber keuntungan bagi kelompok tertentu.”  Said mengingatkan lagi, terlalu sering, petani menjadi korban atas nama pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, saat pemerintah mengijinkan impor dilakukan justru pada saat petani akan panen. “Hal-hal ini yang perlu diatur, sehingga hak para penghasil pangan kita tidak dilanggar atas nama apa pun.” Jelasnya.

Abdul Halim, menegaskan konsisi sektor perikanan pun tidak berbeda. “Terjadi pengurangan anggaran untuk mengelola laut kita. Anggaran  KKP hanya 0,308%, yang berimplikasi pada minimnya upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional.” Kondisi ini semakin buruk dengan adanya kebijakan ekspor perikanan.  “Kebijakan ini  menggerus bahan baku ikan pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor. Pemenuhan gizi masyarakat kita pun terganggu.  Terbukti ikan impor yang beredar banyak mengandung formalin.” Tambahnya lagi.  Volume ekspor hasil perikanan sebesar 657.793 ton naik 31,95% dibanding tahun 2009..

Achmad Surambo, ketua Pokja Sawit ADS situasi pangan yang genting ini dapat dilihat dari dari banyaknya lahan pangan yang dialih fungsikan menjadi lahan non pangan.  “ Hal ini mengakibatkan terjadinya kelaparan atau pun konflik karena kepemilikan lahan.  Bertentangan  dengan penetapan target untuk perluasan lahan pangan sebesar 2 juta ha, justru terus mengeluarkan ijin bagi alih fungsi lahan pangan.”  Ungkapnya.

Achmad menyoroti dampak tidak langsung dan langsung dari konversi lahan pangan ke perkebunan sawit.  “Lahan   yang tidak   dikonversi untuk perkebunan sawit tetap terkena dampak pembangunan kanal dan jalan untuk mendukung industri sawit, sehingga masyarakat tidak dapat menggunakan lahan sawah lebak karena mengering. Sementara yang dikonversi menjadi perkebunan sawit kehilangan wilayah kelola untuk menghasilkan pangan.” Insentif justru diberikan kepada para pemilik modal besar di bisnis pangan.

Darurat pangan yang terjadi saat ini perlu segera diatasi karena pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia, yang sudah seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.  “Mengalokasi anggaran untuk menciptakan kedaulatan pangan, bukan mencari jalan mudah dengan melakukan impor pangan merupakan pilihan politik dan strategi pemerintah yang harus diambil segera.” Tegas Tejo. Ada 7 langkah strategis yang harus dilakukan segera : 1) Pulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber-sumber agraria;  2) Peningkatan investasi publik untuk pangan; 3) Lindungi pasar pangan lokal; 4) Hentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan  hentikan konversi lahan pangan; 5) Perbaiki cadangan pangan; 6) Perbaiki tata kelola pangan nasional; 7) Lakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Tanpa hal tersebut, angka-angka pengurangan penduduk yang kelaparan dan kekurangan gizi, serta berbagai penghargaan internasional malah menjadi salah satu bukti pengabaian hak atas pangan, dengan menghancurkan sistem pangannya sendiri.

###

Catatan untuk Redaksi:

·         FAO menyebutkan angka orang yang menderita kelaparan kronis menurun, menjadi 842 juta orang. Sekitar 826,3 juta hidup di negara berkembang, sebagian besar hidup di pedesaan, dengan mata pencaharian utamanya menyediakan pangan.

·         Kemiskinan sebagai penyebab kelaparan dan malnutrisi.  Indonesia dianggap berhasil oleh FAO untuk mengurangi kelaparan meskipun tingkat penurunannya lamban.

·         Untuk petani dalam kurun 2003-2013  “menghilang” 5.07 juta  rumah tangga.

·         Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan yang lestari dengan pendekatan pada 3 komoditas : (1) beras/pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); (2) sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan (3) ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Aliansi untuk Desa Sejahtera memiliki 4 pilar untuk memperkuat penghidupan di pedesaan (1) akses terhadap sumber daya alam, (2) akses pasar, (3) adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan (4) keadilan gender.

Informasi lebih lanjut:

Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (0816-1856754)

Abdul Halim, Koordinator Pokja Ikan/Sekjen KIARA (0815-53100259)

Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras ADS (0813-82151413)

A.Surambo, Koordinator Pokja Sawit ADS (0812-8748726)