KIARA: Nelayan Terimbas Cuaca Ekstrem dan Pola Pembangunan Menggusur dan Rakus Energi Fosil

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Nelayan Terimbas Cuaca Ekstrem dan Pola Pembangunan Menggusur dan Rakus Energi Fosil

 

Bangkok, 20 November 2013. Pusat Data dan Informasi KIARA (November 2013) mencatat sedikitnya 586 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut terimbas cuaca ekstrem sejak tahun 2010-Juli 2013. Di saat yang sama, pengelolaan sumber daya ikan berbasis masyarakat mengalami ancaman keberlanjutannya akibat pembangunan berbasis daratan dan rakus energi fosil.

 

Strategi adaptasi berbasis kearifan lokal, seperti sasi dan kesepakatan adat untuk batas laut (termasuk wilayah penangkapan) dan penguatan peran adat belakangan semakin diabaikan oleh pemerintah.

 

Situasi ini tidak mengubah kebijakan yang diambil oleh negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Thailand dan Filipina. Indikasinya, proyek pembangunan PLTU berbahan bakar batubara marak dibangun di wilayah pesisir. Menariknya, proyek pembangunan PLTU di Thailand dan Filipina harus mendatangkan batubara dari Indonesia. Hal ini terungkap dalam pertemuan regional “Menuju Keadilan Ekonomi dan Masyarakat Rendah Karbon di Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Thai Climate Justice Working Group (TCJ),  Philippines Movement for Climate Justice (PMCJ), dan Indonesia Civil Society Forum on Climate Change (CSF)  di Bangkok, Thailand, dan diikuti oleh 50 peserta dari Indonesia, Thailand, Filipina, India, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Burma.

 

Di Indonesia, proyek pembangunan PLTU Batang ditentang oleh masyarakat nelayan dan petani dikarenakan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan di Kawasan Konservasi laut Ujung Negoro dan mematikan lahan subur pertanian di 3 desa, yakni Ponowareng, Ujungnegoro, Karanggeneng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Proyek sebesar 2 x 1.000 MW ini menelan dana sekitar Rp 30 triliun. Sementara total lahan yang dipakai mencapai 220 hektar.

 

PLTU Batang berteknologi supercritical pulverized coal plant itu merupakan satu dari proyek KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam proyek PLTU Batang, pemerintah menggandeng swasta, yakni PT Bhimasena Power Indonesia yang merupakan konsorsium beranggotakan Adaro dengan dua perusahaan asal Jepang, yakni J Power dan Itochu.

 

Oleh karena itu, KIARA mendesak Pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk mengutamakan perlindungan nelayan, mengembangkan alternatif energi ramah lingkungan, seperti energi arus laut, serta memperkuat peran masyarakat adat di wilayah pesisir untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

di +62 821 1068 3102