Persidangan Kasus Pengrusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat Harus menjadi Momentum Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan

Persidangan Kasus Pengrusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat

Harus menjadi Momentum Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir

Jakarta, 6 September 2013. Di tengah gencarnya kampanye pentingnya penyelamatan mangrove, justru masih banyak pihak yang menjadi musuh bagi inisiatif penyelamatannya. Upaya nelayan tradisional dengan cara melaporkan pelaku kepada Polda Sumatera Utara dalam kasus alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit di Langkat, Sumatera Utara, sejak tahun 2009 baru mendapatkan respons positif dari aparat penegak hukum pada tahun 2013. Berlarut-larutnya proses penegakan hukum telah memicu konflik antarwarga nelayan dengan pihak perusahaan.

Kasus ini terjadi berawal dari aktivitas konversi Hutan Kawasan Ekosistem Mangrove yang telah terjadi sejak tahun 2008 di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dengan dugaan pelaku utama perusahaan perkebunan skala besar, yaitu PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, dan PT Charoen Phokpand. Perusahaan perkebunan tersebut telah melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektare.

Tidak hanya itu, guna memuluskan kegiatan alih fungsi hutan mangrove, pihak perusahaan melakukan aksi teror dan intimidasi terhadap nelayan. Terakhir, pada tanggal 9 Juli 2013, sebanyak 200 ribu bibit dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman mangrove seluas 1.200 ha di Register 8/L rusak dan mati karena disiram bahan kimia. Aktivitas pengrusakan bibit mangrove ini disertai dengan perobohan satu unit bangunan semi permanen Pusat Informasi Mangrove. Masyarakat nelayan menduga pelakunya adalah orang suruhan dari pihak-pihak yang selama ini menentang aktivitas revitalisasi hutan mangrove.

Sejak tahun 2009 nelayan tradisional yang tergabung dalam KNTI melaporkan pengrusakan dan alih fungsi mangrove. Namun tindak lanjut laporan tersebut baru dimulai pada Agustus 2013. Tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2013 dengan dibacakannya tuntutan terhadap Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan yang diduga melanggar Pasal 17 jo Pasal 46 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengenai pidana kejahatan melakukan usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin dan diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

KIARA dan KNTI berpandangan bahwa aparat kepolisian dan kejaksaan lalai menjerat Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan, rombongan pelaku yang diduga melakukan pengrusakan hutan mangrove dengan pasal berlapis, bukan sebatas UU Perkebunan. Tetapi mereka juga melanggar instrumen hukum lain, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan UU Kehutanan, Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dkk. dapat dituntut atas pelanggaran Pasal 50 ayat (3) Huruf a dan b Jo Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sutrisno dkk dapat diduga telah mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan. Terhadap pelanggaran tersebut Sutrisno dkk dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Selain itu, patut diduga Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun dan kawan-kawan telah melakukan pengrusakan hutan mangrove dan menghalang-halangi kegiatan konservasi penyelamatan hutan mangrove yang merupakan tindakan pidana dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Berdasarkan Pasal 35 huruf f jo Pasal 73 ayat (1) huruf b UU ini, Sutrisno dkk dilarang melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove, melakukan kegiatan industri di kawasan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Lebih lanjut, dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sutrisno dkk dapat dikenakan tindakan perusakan lahan dan upaya menghalang-halangi inisiatif penyelamatan mangrove. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan pidana lingkungan hidup dan dapat dikenakan sanksi berupa penjara  paling  singkat  3  (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan  denda  paling  sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling  banyak  Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Rentetan peristiwa perusakan dan upaya penghentian dengan menghalang-halangi kegiatan penyelamatan hutan mangrove di Langkat merupakan bukti betapa lemahnya penegakan hukum penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, khususnya berkaitan dengan pelestarian hutan mangrove. Persidangan perkara kejahatan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Langkat ini harus menjadi momentum aparat penegak hukum memberi sanksi seberat-beratnya kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan keputusan yang adil, momentum ini juga menjadi preseden bagi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik di Indonesia.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera

di +62 813 7093 1995

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259