Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
Jakarta, 18 November 2022 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mempertanyakan keseriusan para pemimpin dunia yang tergabung dalam G20 dalam sektor perikanan dan kelautan sebagaimana yang dituangkan dalam 52 poin hasil deklarasi. Deklarasi tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo sebagai penutup selesainya perhelatan G20.
Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, komitmen pemimpin G20 yang disampaikan dalam deklarasi tersebut merupakan solusi palsu, terutama dalam konteks penyelesaian krisis iklim dan juga perlindungan keberlanjutan sektor kelautan dan perikanan. “Komitmen yang disepakati oleh pimpinan G20 hanya sebatas janji belaka karena sangat bertolak belakang dengan tindakan yang sedang dikerjakan pada saat ini. Salah satu contohnya adalah pembangunan infrastruktur yang mengorbankan lingkungan dan merampas ruang-ruang hidup masyarakat. Selain itu pencaplokan sumber daya alam juga semakin masif terjadi di negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) khususnya mineral,” ungkapnya.
Beberapa catatan KIARA terhadap komitmen pemimpin G20 dalam deklarasi G20 Bali, yaitu sebagai berikut:
Pertama, mengutamakan kerjasama ekonomi global negara berkembang dengan SDA sebagai sumber peningkatan ekonomi negara maju. Hal ini sejalan dengan rencana percepatan pelaksanaan Agenda Pembangunan Biru (Blue Agenda Development) sebagai narasi pertumbuhan ekonomi sektor kelautan.
Kedua, permasalahan ketahanan pangan global yang diusung melalui program Food Estate. Terdapat dua bentuk pengembangan pangan di sector kelautan dan perikanan; Lumbung Ikan Nasional (LIN) dengan skema pembangunan “Integrasi Pelabuhan Perikanan dan Fish Market skala International”, serta Revitalisasi Tambak Udang dan Bandeng dengan pengembangan potensi lahan mencapai 2.9 Juta hektar.
“Komitmen tersebut akan mempercepat eksploitasi pola perampasan ruang pesisir dan laut atas nama ketahanan pangan global. Kenapa demikian? Teritorialisasi wilayah pesisir dan laut. Contohnya LIN akan menjadi ruang khusus dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan skema perizinan kepada pelaku industri. Pembatasan akses ini akan menuai perdebatan dan membuka potensi konflik baru dalam pengelolaan wilayah tangkap serta pemanfaatan sumber daya dengan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional, yang telah turun temurun mengelola dan memanfaatkan wilayah tersebut. Diketahui juga, dalam menunjang LIN dibangun Pelabuhan Terintegrasi (New Port Ambon) di Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon. Dampak pembangunan perlu dikaji dan dilihat secara matang, tak hanya kebutuhan lahan yang terdampak pada relokasi permukiman. Tapi dampak modelling sebelum dan sesudah beroperasi menjadi penting. Termasuk dampak ekologi wilayah sebaran dan migrasi ikan, khususnya ikan Lompa yang merupakan sumber yang dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat adat Haruku lewat prosesi adat “Sasi Lompa”. Mengingat lokasi pembangunan New Port Ambon berhadapan dengan Pulau Haruku. Hal lainnya, bertolak belakang dengan isu tentang perlindungan ekosistem laut yang berkaitan dengan aktivitas penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF) yang hingga kini tidak terselesaikan dan tidak memiliki kajian ilmiah untuk melihat dampak jika mega proyek tersebut dijalankan” jelas Susan.
Ketiga, komitmen upaya penanganan bersama perubahan iklim dan krisis iklim. Komitmen tersebut direncanakan dengan pendanaan hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun dari negara-negara maju tergabung dalam G7, termasuk dari Amerika Serikat kepada Indonesia. “Pendanaan dengan skema utang tersebut untuk mendukung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mendukung percepatan transisi energi melalui penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Dampaknya akan menyebabkan semakin masifnya pertambangan nikel untuk menyuplai kebutuhan nikel sebagai salah satu komponen utama baterai mobil listik. Indonesia merupakan produsen utama nikel di dunia, dan sumber daya alam tersebut terkandung diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat,” ungkap Susan.
Keempat, komitmen kesetaraan gender, hingga pemberdayaan perempuan sebagai salah satu pendukung pembangunan berkelanjutan. “Hingga saat ini, nelayan masih erat dikategorikan sebagai profesi laki-laki, dan perempuan nelayan masih sulit untuk pengakuan profesinya sebagai nelayan. KIARA melihat negara masih abai terhadap peran perempuan nelayan dan abai terhadap perlindungan serta perberdayaan perempuan nelayan di Indonesia,” tegas Susan.
Kelima, memastikan penghormatan, perlindungan, dan pelestarian warisan budaya masyarakat yang ada, termasuk komunitas lokal dan masyarakat adat dengan cara mendukung adanya insentif publik dan investasi berkelanjutan dari sektor swasta untuk memperkuat ekonomi budaya. “Perlindungan masyarakat adat di Indonesia belum sejalan dengan pengakuan masyarakat adat serta Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang hingga saat ini belum diprioritaskan untuk disahkan, hal ini memudahkan investasi yang masuk untuk merampas ruang-ruang komunal masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil yang difasilitasi negara melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan juga proyek konservasi laut (marine protected area/MPA),” jelas Susan.
“KIARA dengan tegas mendesak agar pemerintah Indonesia tidak hanya mengobral kepada berbagai pimpinan di G20 untuk segera berinvestasi. Negara seharusnya berposisi dan berdiri untuk menyejahterahkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui perlindungan dan pemberdayaan mereka dalam mengelola lautnya sesuai dengan adat istiadat dan pengetahuan lokal sesuai yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Negara harus melakukan aksi nyata untuk segera mengatasi krisis iklim yang tengah mengancam masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, salah satunya menghentikan industri ekstraktif dan eksploitatif atas nama investasi. Sudah saatnya aksi nyata bukan terjebak pada pertemuan-pertemuan internasional yang menghasilkan solusi palsu!,” tegas Susan.
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502; seknas@kiara.or.id