Nelayan Kecil Terpinggirkan, Permen ESDM Ngawur

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Nasib nelayan kecil semakin terpuruk. Biaya melaut akan semakin berat lantaran distribusi dan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin seret seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2014 sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu. Isi permen baru itu tidak ada pembatasan golongan nelayan yang berhak membeli bahan bakar solar bersubsidi. Artinya kini kapal-kapal ikan ukuran di bawah maupun diatas 30 Gross Tonnage (GT) dapat membeli solar bersubsidi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyatakan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 itu kebablasan dalam pengaturan BBM bersubsidi. Permen tersebut artinya menyamakan kondisi seluruh nelayan dalam mendapatkan BBM subsidi sebanyak 25 kilo liter per bulan. Padahal nelayan kecil sulit mendapat pasokan BBM kendati sudah ada jatah per bulan.

“Perlu ada koordinasi antar kementerian yang dapat menjamin kelancaran pasokan BBM,” kata Abdul Halim kepada Gresnews.com, Sabtu (22/2).

Menurut Abdul tersendatnya pasokan itu diduga karena adanya penyimpangan. Untuk mengatasi penyimpangan di lapangan, setidaknya 4 hal ini harus dilakukan:

Pertama, perlu ada koordinasi antar kementerian atau lembaga yang menaungi nelayan atau pembudidaya. Karena mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu tertanggal 7 Februari 2012 menyebutkan, hanya kapal dengan bobot maksimum 30 GT yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. “Perpres 15 Tahun 2012 jelas sekali pengaturannya,” imbuhnya.

Kedua, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai mereka yang menangkap ikan di laut dan menggunakan perahu di bawah 5 GT. Dari temuan KIARA di lapangan, justru nelayan berkapasitas maksimal 5 GT inilah yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Terkadang mereka terpaksa mengeluarkan Rp. 20.000 untuk 1 liter solar akibat tiadanya akses dan jauhnya Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN). Fakta ini terjadi di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Ketiga, kata Abdul Halim pemerintah harus memastikan kuota BBM bersubsidi untuk sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, tiap tahunnya dan menjamin regularitas pasokannya hingga ke wilayah kepulauan. Agar tepat sasaran dan memaksimalkan fungsi kartu nelayan.

Keempat, perlu ada intervensi khusus dari pemerintah menyangkut keberadaan Anak Buah Kapal yang berada di kapal-kapal besar, karena besar kemungkinan menerima dampak pengurangan pembagian hasil dan hak-hak dasar layaknya pekerja sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman mengatakan dengan adanya perubahan aturan itu tidak ada lagi larangan bagi kapal-kapal untuk membeli solar bersubsidi berjatah 25 kilo liter per bulan.

Namun untuk mendapatkan BBM bersubsidi itu kapal-kapal nelayan harus terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, SKPD baik di provinsi, kabupaten atau kota yang membidangi perikanan. Kapal itu harus sudah diverifikasi dengan surat dari kepala SKPD yang terkait sesuai kewenangannya masing-masing.

“Artinya sekarang kapal nelayan boleh membeli solar subsidi 25 kilo liter per bulan. Aturan ini dalam satu-dua hari sudah diundang dari Kementerian Hukum dan HAM, Senin sudah berlaku,” tambahnya.

Dengan revisi Permen ESDM tersebut, secara otomatis, aturan BPH Migas yakni Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT gugur alias tidak berlaku.

Sebelumnya, Kepala Badan Pengatur Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas Andy Noorsaman Someng mengungkapkan, pelarangan membeli BBM subsidi untuk kapal di atas 30 GT tidak akan membebani nelayan. Karena kapal tersebut lebih banyak digunakan oleh industri penangkapan ikan atau pemodal besar.

Andy menegaskan pemilik kapal di atas 30 GT pasti bukanlah seorang nelayan, karena untuk harga kapal tersebut di atas Rp 2 miliar. “Apakah di atas kapal 30 GT yang harganya di atas Rp 2 miliar itu milik nelayan? apakah nelayan punya modal di atas Rp 2 miliar. Kapal harga Rp 2 miliar kok masih membeli BBM subsidi,” tegas Andy.

Sedangkan sikap anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi PDIP Dewi Aryani Hilman menyambut baik penandatangan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 itu. Menurutnya dengan perubahan itu akan meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan.

Reporter : Mungky Sahid
Redaktur : Muhammad Fasabeni

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/politik/124222-nelayan-kecil-terpinggirkan-permen-esdm-ngawur