JAKARTA – Pengelolaan sumber daya perikanan nasional belum memberikan pengakuan terhadap kearifan lokal yang tersebar luas di Indonesia. Ironisnya, pemerintah justru memperluas kawasan konservasi laut hingga 20 juta hektare (ha) dan mereklamasi pantai untuk proyek properti skala besar di 30 kabupaten/kota pesisir dengan membatasi akses nelayan/masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan tersebut.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Kedaulatan Perikanan (KIARA), Abdul Halim menyebutkan banyak tradisi pengelolaan sumber daya ikan yang arif dan berkelanjutan. Itu seperti Ola Nua di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Mane’e di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara; Bapongka di Sulawesi Tengah; Awik-awik di Nusa Tenggara Barat; dan Sasi di Pulau Haruku di Maluku Tengah.

“Namun, tradisi ini terancam oleh kebijakan eko-fasisme yang dikedepankan pemerintah dan sejumlah lembaga asing,” tegasnya dalam aksi memperingati Hari Perikananan Sedunia di Jakarta, Senin (21/11).

Untuk mengantisipasi dampak negatif pengelolaan sumber daya ikan yang eksploitatif dan mendahulukan pendekatan eko-fasisme, pemerintah diminta mengoreksi berbagai tindakan inkonstitusional yang dijalankan pemerintah berkenaan dengan pengelolaan sumber daya perikanan nasional demi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah juga diminta untuk memastikan dijalankannya mandat Undang-Undang No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dengan memprioritaskan keterlibatan aktif perempuan nelayan.

Selain itu, pemerintah dan DPR mengedepankan tindakan konstitusional dan meminggirkan sikap ekofasisme di dalam pengelolaan sumber daya laut demi tercapainya kesejahteraan bersama, khususnya masyarakat pesisir lintas profesi, meliputi nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir.

Perlindungan Kurang

Deputi Bidang Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Parid Ridwanuddin menambahkan, selama ini, banyak kebijakan terkesan hendak menghilangkan masyarakat pesisir seperti pemberlakukan lahan konservasi, sekitar 37 lahan yang direklamasi serta privatisasi. Padahal, sudah ada beberapa regulasi yang melindungi masyarakat pesisir tetapi eksekusinya lemah.

Dia menambahkan pemerintah tidak menyadari sekitar 80 persen produksi ikan dalam negeri bersumber dari masyarakat pesisir. Ketika habitatnya diancam, itu berarti mengancam pula jumlah ikan tangkapan dan tentunya mengancam sumber pangan. “Pemerintah pusat dan daerah perlu menemukan skema yang tepat untuk melindungi keberlanjutan masyarakat pesisir,” paparnya.

Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Achmad Poernomo mengatakan KKP terus berkomunikasi untuk mensinergikan program terkait wilayah pesisir. ers/E-10

 

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/pengelolaan-perikanan-tak-berpihak-ke-nelayan/