Posts

Penolakan Reklamasi Pantai Minanga oleh PT. Tj Silfanus

PERNYATAAN SIKAP

Sejak 1 Agustus 2022, PT. TJ Silvanus mulai melakukan aktivitas reklamasi di Pantai Minanga, Kelurahan Malalayang 1 Barat, Kecamatan Malalayang, Kota Manado. Terkait dengan rencana kegiatan reklamasi ini, warga telah beberapa kali mengikuti pertemuan dan pembahasan baik secara internal maupun eksternal, langsung maupun tidak langsung.

Hasil berbagai pertemuan tersebut bukan membuat terang apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan, kekawatiran, dan keberatan warga, sementara itu penimbunan terus dilakukan siang dan malam hari. Beberapa kali keberatan warga atas pelaksanaan reklamasi dinyatakan di lapangan baik lewat kelompok maupun melembaga, dan ada juga yang disampaikan terbuka melalui media sosial. Semuanya tidak digubris dan warga terus dibuat bingung dan pasrah menerima semua dampak negatif akibat pekerjaan reklamasi.

Pantai Minanga merupakan bagian penting kehidupan masyarakat sejak dahulu, menghubungkan daratan serta pemukimannya  dengan laut, lokasi pemancingan dan tambatan perahu nelayan, wilayah rekreasi masyarakat dan aktivitas wisata penyelaman. Potensi bawah laut Pantai Minanga terus dijaga sebagai titipan leluhur untuk dijaga dan dikembangkan demi kesejahteraan warga sekarang dan generasi masa akan datang.

Sejak 13 Agustus 2022, kehadiran penegak hukum lingkungan (Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup), warga semakin bingung ada apa dengan aktivitas reklamasi yang berlangsung. Penegak hukum yang lain yakni PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) bersama BPSPL (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga kemudian terlihat melakukan aktivitas penyelamaan di lokasi reklamasi pada tanggal 1 September 2022. Sesuatu yang kemudian diketahui bahwa aktivitas reklamasi telah merusak terumbu karang, dan itu dilakukan secara sengaja bahkan di luar wilayah yang diklaim PT. TJ Silfanus “berizin”. Belum lagi soal dokumen izin dasar PKKPPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) sebagai sebuah kewajiban sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 yang belum dimiliki oleh pengembang.     

Warga menunggu sikap tegas penegak hukum, tetapi ternyata aktivitas reklamasi tetap berjalan dengan intesitas yang dipercepat hingga Rabu 14 September 2022. Warga sadar jangan-jangan ini yang disebut-sebut bahwa pengembang sangat kuat sehingga peraturan perundang-undangan bisa dilanggar dan penegak hukum terkesan sulit bertindak. Semestinya, perusakan segera dihentikan dan pelaku diproses secara hukum.

Dampak reklamasi bersifat permanen sehingga sekali itu terjadi maka tidak ada peluang untuk memperbaiki. Dengan apa yang terjadi di awal kegiatan reklamasi maka semestinya Pemerintah segera mengambil tindakan tegas dengan membatalkan seluruh perizinan yang diberikan kepada PT. TJ Silfanus, baik oleh karena pelanggaran yang telah dilakukan maupun terhadap potensi kerugian dan derita yang akan dialami warga ke depan.

Cukup sudah kerugian yang dialami warga selama aktivitas reklamasi berlangsung. Kami tidak rela Pantai Minanga hilang, nelayan harus tetap melaut, layanan alam Pantai Minanga harus tetap dinikmati, dan biarkan kami terus menjaga, merawat dan memanfaatkan secara bijaksana Pantai Minanga sebagaimana diajarkan orang tua dan leluhur kami. Jangan usik dan rampas ketenangan dan kedamaian kami. Terhitung mulai hari ini, 15 September 2022, tidak boleh ada lagi aktivitas reklamasi yang merusak Pantai Minanga.

 

MASYARAKAT DAN NELAYAN TRADITIONAL YANG MENOLAK

KLHK dan KKP Harus Bertindak Tegas! Perusak terumbu karang wajib diadili secara tuntas.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Jakarta, 13 September 2022 – Penimbunan pantai yang dilakukan oleh PT. Tj Silfanus diduga telah menyebabkan kerusakan permanent ekosistem pesisir dan laut di Pantai Minanga, Teluk Manado, Kota Manado. Kerusakan utama tertimpanya terumbu karang akibat material (batu) timbunan yang telah berlangsung selama 1 – 19 Agustus 2022. Hal tersebut dibuktikan dengan riset KELOLA bersama Scientific Explorer Team yang menghasilkan dokumentasi yang menunjukkan kerusakan terumbu karang akibat penimbunan pantai di perairan Pantai Minanga.

Fakta dan temuan berupa foto bawah laut yang disebabkan penimbunan pantai, jelas bahwa kegiatan PT. Tj. Silfanus termasuk dalam pelanggaran tindak pidana karena bertentangan dan melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo. Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 yang berbunyi “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang”.

Dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja: a. mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;”.

Hingga 23 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus masih melakukan aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Dengan kondisi diatas, Aktivitas penimbunan pantai tersebut telah dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tanggal 11 Agustus 2022, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tangal 30 Agustus 2022. KIARA meminta untuk dilakukan evaluasi dan monitoring atas kegiatan penimbunan pantai yang dilakukan perusahaan, serta mendorong KLHK dan KKP mengusut secara tegas dan tuntas dugaan perusakan terumbu karang yang dilakukan oleh perusahaan.

KLHK melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) dan KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Satker Manado yang berjumlah delapan (8) orang telah datang ke lokasi penimbunan pada tanggal 1 September 2022. Namun sampai saat ini, belum membuahkan hasil apapun, baik catatan kunjungan secara terbuka kepada public.

Berdasarkan informasi yang KIARA terima dari masyarakat Pantai Minanga, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menyatakan bahwa proyek penimbunan pantai tersebut sudah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Sulut. Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengemukakan bahwa hingga sampai lampiran alokasi ruang yang ada dalam Perda RZWP-3-K Sulawesi Utara belum diinformasikan dan dipublikasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sejak ditetapkan produk hukum tersebut.

Susan menuturkan “KIARA tegas mengritik keras tentang produk hukum RZWP-3-K yang bermasalah dari awal pembentukannya hingga penerapannya yang berujung perusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut. KIARA melihat kerusakan terjadi khususnya ekosistem terumbu karang hanya untuk aktivitas seperti penimbunan pantai yang dilakukan secara sengaja dilakukan oleh korporasi atau pemodal. Apakah ekosistem terumbu karang harus dibiarkan secara sadar dirusak karena ruang tersebut telah dialokasikan untuk industri lain dalam RZWP-3-K?”

“Seharusnya kejadian kerusakan ekosistem di pesisir melalui terbitnya RZWP-3-K menjadi pijakan bagi KKP untuk mengevaluasi seluruh Perda RZWP-3-K yang sejak awal penyusunannya tidak melibatkan partisipasi publik khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai rightsholders atas lautnya,” tegas Susan.

KIARA mempertanyakan posisi tegas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai garda terdepan dalam memfasilitasi korporasi untuk melakukan perusakan melalui salah satu produk hukumnya. Lebih lanjut, Rignolda Djamaluddin ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA) menilai “instansi pemerintah, baik GAKKUM maupun PSDKP dengan mudah menyatakan perusakan dan tindakan penangkapan, kalau yang melakukannya adalah masyarakat seperti nelayan tradisional dalam konteks Illegal Fishing misalnya.”

KIARA menilai terjadinya penimbunan pantai yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, seharusnya KKP, KLHK beserta kementerian/lembaga negara lainnya melakukan audit lingkungan, terutama terhadap korporasi yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Jika pemangku kebijakan yaitu KKP dan KLHK memiliki itikad baik, maka mereka dapat melakukan proses pidana kepada perusahaan tersebut. Bahkan KKP dan KLHK harus menghitung valuasi nilai kerugian yang terjadi akibat dari kerusakan terumbu karang yang ada di Pantai Minanga, bukan hanya dengan mudah memberikan izin untuk reklamasi yang telah jelas merugikan nelayan dan juga ekosistem terumbu karang.

KIARA mencatat bahwa telah ada kasus yang ditangani Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2019 terkait dengan tindak pidana perikanan karena terbukti melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan, dalam konteks ini adalah terumbu karang. Di dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) kepada tersangka yang terbukti melakukan perbuatan tersebut.

Putusan MA yang dijelaskan tersebut seharusnya menjadi produk hukum dan preseden yang baik untuk dilakukan di berbagai tempat yang terjadi perusakan terumbu karang, baik akibat dari penimbunan pantai atau hal apapun yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. “Jika KKP dan KLHK tidak menindak sekarang, berarti secara jelas posisi dan langkah yang dilakukan KKP dan KLHK tidak sejalan keberlanjutan ekologi dan ekosistem yang hidup di dalamnya serta hanya memberikan karpet merah perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Privatisasi Sumber Daya Laut Abaikan Hak Warga Pesisir

CAPE TOWN, WOL – Privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut semata-mata untuk kepentingan komersial telah menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupannya.

Inilah pelanggaran hak asasi manusia yang ditengarai dilegalisasi oleh pemerintah di banyak negara dengan label kawasan konservasi laut (marine protected areas), investasi pulau-pulau kecil, dan pembangunan hunian tepi laut (water front city).

Hal ini mengemuka dalam Diskusi Terbatas tentang “Pengelolaan Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan di Cape Town, Afrika Selatan, pada tanggal 13-19 September 2015, dan dihadiri oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil dari Afrika Selatan, Kenya, Uganda, Swedia, dan Indonesia.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang turut hadir dalam diskusi terbatas tersebut mengatakan, “Target luasan kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektar merupakan praktek pelanggaran HAM masyarakat pesisir. Dalam pada itu, pemerintah mengklaim telah berhasil mencapai 16,5 juta hektar. Situasi ini justru mengebiri hak-hak konstitusional masyarakat pesisir lintas profesi, seperti nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya, dan pelestari ekosistem pesisir, dikarenakan terhalanginya akses dan kontrol terhadap sumber daya laut sebagai penopang kehidupan”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2015) mencatat sedikitnya 30 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut.

Di saat yang sama, pemerintah  (melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan) mendorong hadirnya investasi asing di 40 pulau-pulau kecil selama tahun 2015-2016.

“Pemerintah menjadi aktor utama pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat pesisir lintas profesi. Ironisnya, program privatisasi dan komersialisasi ini didukung oleh Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara Tahun 2015 dan 2016. Semestinya anggaran dipergunakan untuk memfasilitasi masyarakat pesisir lintas profesi menjalankan hak-hak asasinya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan mendapatkan kemakmuran,” tambah Halim.

Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan frase “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan 4 indikator utama, yakni: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun.

Praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut juga dialami oleh masyarakat nelayan skala kecil di Afrika Selatan. Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Langebaan dan diubah namanya menjadi West Coast National Park pada tahun 1973 melalui Sea Fisheries Act yang diperbarui pada tahun 1985 oleh Pemerintah Afrika Selatan, kawasan konservasi laut seluas 40.000 hektar ini dibagi ke dalam 3 zona (A, B, dan C).

Akibatnya, nelayan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut. Alih-alih dapat menjalankan profesinya, ancaman kriminalisasi justru kerap terjadi. Sedikitnya 3 nelayan Langebaan tengah ditahan oleh aparat setempat.

Lebih parah lagi, perairan di Zona B hanya bisa diakses oleh 3 orang saja dengan ketersediaan sumber daya ikan melimpah. Sementara sedikitnya 100-an keluarga nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Saldanha ini tidak bisa memasuki perairan tersebut. Atas kondisi ini, masyarakat nelayan Langebaan tidak tinggal diam. Saat ini mereka tengah menggugat Pemerintah Afrika Selatan untuk membebaskan 3 nelayan dan mencabut Sea Fisheries Act 1985 yang melegalisasi praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, termasuk penetapan kawasan konservasi laut tanpa partisipasi masyarakat pesisir Langebaan.

“Saatnya pemerintah mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke jalan konstitusi: mengelola sumber daya laut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tutup Halim.(hls/data1)

Sumber: http://waspada.co.id/warta/privatisasi-sumber-daya-laut-abaikan-hak-warga-pesisir/

Pemerintah didesak akhiri komersialisasi sumber daya laut

 

20 September 2015, Cape Town, GEOMARITIM – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak pemerintah Indonesia segera mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut. Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, sumber daya laut seharusnya dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Saatnya pemerintah mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke jalan konstitusi: mengelola sumber daya laut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, kepada Geomaritim, Minggu (20/9/2015).

Dalam catatan KIARA, sepanjang September 2015 saja, terdapat sedikitnya 30 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut. Melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menurut dia pemerintah mendorong hadirnya investasi asing di 40 pulau-pulau kecil, selama tahun 2015-2016.

“Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan frase ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dengan 4 indikator utama, yakni: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun.

Dalam praktiknya, Halim menjelaskan, privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut semata-mata untuk kepentingan komersial. Sehingga menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupannya.

Praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, menurut dia juga dialami oleh masyarakat nelayan skala kecil di Afrika Selatan. Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Langebaan dan diubah namanya menjadi West Coast National Park pada 1973, kawasan konservasi laut seluas 40.000 hektar itu dibagi ke dalam 3 zona (A, B, dan C).

Kebijakan tersebut dilakukan melalui Sea Fisheries Act, yang diperbarui pada tahun 1985 oleh Pemerintah Afrika Selatan. Akibatnya, nelayan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut. “Alih-alih dapat menjalankan profesinya, ancaman kriminalisasi justru kerap terjadi. Sedikitnya 3 nelayan Langebaan tengah ditahan oleh aparat setempat,” tuturnya.

Lebih parah lagi, perairan di Zona B hanya bisa diakses oleh 3 orang saja dengan ketersediaan sumber daya ikan melimpah. Sementara, sedikitnya 100-an keluarga nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Saldanha tidak bisa memasuki perairan tersebut.

Atas kondisi ini, nelayan Langebaan tidak tinggal diam. Kini mereka menggugat Pemerintah Afrika Selatan untuk membebaskan 3 nelayan dan mencabut Sea Fisheries Act 1985. “Aturan tersebut melegalisasi praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, termasuk penetapan kawasan konservasi laut tanpa partisipasi masyarakat pesisir Langebaan.”[]

 

Rep: Agus Budiman

Sumber: http://geomaritim.com/read/2015/09/20/137/Pemerintah-didesak-akhiri-komersialisasi-sumber-daya-laut-