Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Jakarta, 2 Agustus 2022 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap melanjutkan pembahasan tentang kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur akan diterapkan diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, wilayah perairan laut Indonesia dibagi dalam sebelas (11) WPP NRI. Sedangkan di dalam rancangan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut, WPP NRI akan kembali dibagi ke dalam tiga (3) zona, yaitu: 1). Zona berbasis kuota penangkapan ikan (fishing industry), yang terdiri dari tujuh (7) WPP NRI; 2). Zona non kuota penangkapan ikan, yang terdiri dari tiga (3) WPP NRI; dan, 3). Zona penangkapan terbatas (spawning & nursery ground), yang terdiri dari satu (1) WPP NRI.
KKP menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut akan menggunakan mekanisme kuota dan juga kontrak kepada korporasi dan investor asing. KKP juga menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur menjadi salah satu cara untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan dan kelautan.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur yang tetap digagas oleh KKP bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan dan juga penyejahteraan nelayan tradisional dan/atau nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap yang berkelanjutan. “Kebijakan ini akan semakin menyulitkan nelayan tradisional karena akan berhadapan dan bersaingan dalam ruang yang sama tetapi dengan penggunaan alat produksi yang jauh berbeda. Nelayan tradisional masih menggunakan alat produksi yang menangkap ikan untuk mencukupi kebutuhan mendasar kehidupan mereka dan berkelanjutan, sedangkan nelayan modern dan/atau industri menggunakan alat produksi yang dapat menangkap sumber daya perikanan dan kelautan secara masif dan cenderung bersifat eksploitatif”, ungkap Susan.
Susan menambahkan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur harus dihentikan dan dievaluasi secara penuh. “Apakah kebijakan penangkapan ikan terukur ini sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional dan untuk menyejahterahkan mereka atau malah kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk memuluskan dan memastikan keberlanjutan usaha dari korporasi dan juga investor asing yang ingin mengeksploitasi sumber daya perikanan,” tambah Susan.
Penangkapan Ikan Terukur dengan Sistem Kontrak dan Kuota
KIARA memandang bahwa terdapat problematika yang mendasar dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, terutama dalam substansi tentang sistem kontrak dan kuota. Beberapa catatan KIARA tentang rancangan kebijakan penangkapan adalah sebagai berikut: Pertama, sumber daya perikanan merupakan barang publik yang seharusnya pengelolaannya diperlakukan sebagai barang publik bukan barang privat. Pengaturan kuota penangkapan ikan berdasar pada kontrak kerjasama merupakan hal yang inkonstitusional, di mana barang publik diperlakukan sebagai barang privat dan dalam prinsip kontrak para pihak harus tunduk pada apa yang diperjanjikan. Hal ini tentu saja mendegradasi peran negara karena menjadi setara/sejajar dengan pelaku usaha yang mendapat kontrak tersebut.
Kedua, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur akan meminggirkan nelayan tradisional atau nelayan lokal dan cenderung akan menguntungkan pemilik modal besar ataupun korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat serta asas keadilan.
Ketiga, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, yaitu asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.
Keempat, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur tidak memiliki dasar tentang asal muasal penetapan kuota dan tidak ada kejelasan metode dalam menghitung potensi sumber daya ikan. Serta, kelima, bertentangan dengan mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yaitu perlindungan nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional, karena relita yang terjadi di berbagai perairan bahwa wilayah perairan tradisional nelayan sering didapati aktivitas nelayan skala besar/modern dengan alat tangkap tidak berkelanjutan bahkan alat tangkap cantrang masih dapat dijumpai di berbagai perairan di pulau-pulau kecil. Hal ini menandakan masih lemahnya pengawasan penggunaan alat tangkap. Jika rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur disahkan, maka akan semakin mengancam keberlanjutan nelayan tradisional di berbagai wilayah.
“KIARA meminta secara tegas kepada KKP untuk segera menghentikan pembahasan penangkapan ikan terukur dan segera berbenah untuk menggagas kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional sehingga kebijakan yang digagas oleh KKP dapat menjadi katalis untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan perekonomian nelayan serta juga tetap menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan. Langkah KKP seharusnya fokus untuk menuntaskan terlebih dahulu permasalahan-permasalahan utama seperti melaksanakan mandat UU No. 7 Tahun 2016 dan melaksanakan mandat Putusan MK No. 3 Tahun 2010,” tegas Susan. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502