3 Orang Nelayan Pulau Pari Divonis 6 Bulan Penjara, Catatan Merah Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Nelayan
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
3 Orang Nelayan Pulau Pari Divonis 6 Bulan Penjara, Catatan Merah Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Nelayan
Jakarta, 8 November 2017 – Pada hari Selasa, 7 November 2017 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus vonis 6 (enam) bulan penjara kepada 3 nelayan Pulau Pari, yaitu Mustaqfirin alias Boby, Mastono Alias Baok dan Bahrudin alias Edo karena dianggap bersalah melakukan pungutan liar kepada wisatawan di Pantai Perawan. Majelis hakim menilai ketiga nelayan ini tidak berhak melakukan pemungutan biaya masuk.
Ironinya, ketiga nelayan dituduh telah terbukti melanggar pasal 368 ayat 1 KUHP dengan unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain tanpa hak dan dilakukan memaksa orang.
KIARA menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Putusan majelis hakim juga bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Warga Pulau Pari telah berpuluh-puluh tahun menetap, membuka wisata dan mengelola secara mandiri. Uang hasil dari wisatawan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pantai perawan sisanya untuk membayar petugas kebersihan, membangun mushola dan membantu anak yatim. Pengelolaan ini dilakukan mandiri tanpa keterlibatan pemerintah.
Pasal 4 huruf C dan D UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dapat dilakukan oleh masyrakat dengan tujuan tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menuntut Pemerintah untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga telah memberikan pengakuan hak bagi nelayan untuk berdaulat atas wilayah sendiri. Mandat dari putusan MK adalah Negara harus menjamin terpenuhinya 4 hak konstitusional nelayan Indonesia salah satunya hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil.
KIARA menilai Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghasilkan dua catatan merah atas gagalnya Negara dalam memastikan perlindungan hak-hak nelayan Indonesia. Pertama, negara gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman privatisasi dari investasi
dan korporasi. Kedua, Negara gagal mengakui dan melindungi hak-hak nelayan mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil. Presiden Joko Widodo yang menyampaikan laut sebagai masa depan bangsa tampaknya hanya menjadikan laut dan pesisir sebatas jargon semata. Kepulauan seribu masuk dalam proyek KSPN yang berarti masyarkat pulau-pulau kecil terancam oleh investasi.
Berdasarkan kasus diatas KIARA mendesak kepada pemerintah Pertama untuk segera melakukan review terhadap proyek-proyek strategis nasional yang merampas hak-hak konstitusional nelayan. Kedua memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum.
Demikian pres rilis ini disampaikan untuk diberitakan.
Narahubung:
Susan Herawati / Sekjen KIARA (082111727050)
Tigor Hutapea / Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA (081287296684