PN JAKARTA UTARA BEBASKAN NELAYAN, KIARA: SELURUH IZIN REKLAMASI HARUS DICABUT

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Jakarta, 4 Februari 2020 – Pada Senin 3 Februari 2020 Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memutus bebas dua nelayan Jakarta yang dikriminalisasi pihak pengembang karena berupaya menolak reklamasi Teluk Jakarta. Dua nelayan tersebut adalah Ade Sukanda dan Muhammad Alwi. Di dalam putusannya, majelis hakim menilai bahwa jaksa telah menggunakan pasal yang inkonstiusional, yaitu Pasal 335 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang isinya adalah “Perbuatan Tidak Menyenangkan”. Sebelumnya, satu orang nelayan bernama Waisul juga pernah ditahan oleh pihak kepolisian karena menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Kasus kriminalisasi Ade dan Alwi berawal ketika memprotes pengembang reklamasi yang dilakukan oleh PT Kapuk Naga Indah. Protes yang dilakukan karena aktivitas kapal tongkang batu merah dan/atau kapal penyedot pasir di wilayah perairan Kamal Muara dan Pulau C. Aktivitas kapal tongkang tersebut merusak bagan/tambak kerang hijau milik nelayan. Akibat dari protes tersebut, kedua nelayan dikriminalisasi oleh PT Kukuh Mandiri Lestari (dibawah payung Agung Sedayu Grup dan Salim Grup dengan porsi kepemilikan 50:50).

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan bahwa tiga orang nelayan yang telah dikriminalisasi oleh pihak pengembang membuktikan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta bukan ditujukan untuk kehidupan nelayan bahkan sebaliknya merampas ruang hidup nelayan. “Dengan adanya kriminalisasi terhadap tiga nelayan yang menolak, klaim bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta untuk kepentingan nelayan jelas-jelas terbantahkan.” katanya.

“KIARA mengapresiasi putusan bebas dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada dua nelayan teluk Jakarta.” imbuh Susan.

Atas dasar itu, KIARA mendesak pemerintah pusat dan Provinsi DKI untuk segera mencabut seluruh izin pulau reklamasi di Teluk Jakarta, khusunya Pulau C dan D, karena telah banyak nelayan yang menjadi korban kriminalisasi.

“Kepada Presiden Jokowi, kami meminta anda untuk segera mencabut sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk Pulau C dan Pulau D yang telah anda keluarkan,” tegas Susan.

Lebih jauh ia memaparkan bahwa sertifikat HPL yang telah dikeluarkan oleh Jokowi ini selanjutnya menjadi dasar penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau D yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Jakarta Utara untuk PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Grup, pada tanggal 24 Agustus 2017 lalu. Luasnya tercatat mencapai 3,12 juta meter persegi atau setara dengan 312 hektare. Begitu pun dengan Pulau C, HGB-nya ada di tangah pengembang yang sama.

KIARA mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura. Keduanya terbukti menjadi dasar dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D.

“Kami juga mendesak Gubernur Jakarta, Anies Baswedan untuk segera mencabut berbagai aturan yang menjadi dasar penerbitan IMB di Pulau D, terutama Pergub No.206 tahun 2016,” ujar Susan.

Susan menilai bahwa proyek reklamasi tidak dibutuhkan oleh puluhan ribu nelayan di Teluk Jakarta, khususnya, serta masyarakat Jakarta, umumnya. Sebaliknya, nelayan dan seluruh masyarakat Jakarta hanya membutuhkan laut yang bersih dan sehat sebagai lumbung pangan laut yang sehat.

“Siapa yang membutuhkan reklamasi di Teluk Jakarta? Jawabannya hanya pengembang properti. Nelayan dan seluruh lapisan masyarakat Jakarta tidak membutuhkannya sama sekali,” ungkap Susan.

Pada masa-masa mendatang, perlawanan nelayan dan masyarakat terhadap proyek reklamasi akan terus berlanjut karena hak-hak mereka terus dirampas.

“Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar segera mengambil langkah untuk mencabut seluruh izin proyek ini,” pungkas Susan. (*)

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050