Wawonii Pulau Kecil Bukan untuk Tambang, Cabut Izin PT Gema Kreasi Perdana!

Siaran Pers Bersama Koalisi Selamat Wawonii

 

Wawonii Pulau Kecil Bukan untuk Tambang, Cabut Izin PT Gema Kreasi Perdana!

 

Jakarta, 17 Maret 2022, Keberadaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group, di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara mengancam keselamatan warga, menggusur lahan pertanian-perkebunan dan berpotensi mencemari laut. Keduanya merupakan sumber ekonomi utama dari lebih dari 37.000 jiwa warga di Pulau Wawonii. Tidak hanya mengancam keselamatan dan ruang hidup warga, aktivitas pertambangan yang dilakukan PT GKP adalah illegal karena banyak ditemukan pelanggaran hukum dan HAM, mulai dari aktivitas tambang di pulau kecil; Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang kadaluarsa; upaya kriminalisasi terhadap puluhan warga penolak tambang; hingga pengerahan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga.

 

Pulau Wawonii dengan luas 867,58 km2, sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 3 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. 1/2014 perubahan atas UU No. 27/2007, adalah masuk dalam kategori pulau kecil. Sedangkan berdasarkan pasal 35 huruf (k), UU ini melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan Masyarakat sekitarnya. Sehingga izin PT GKP harus dicabut dan dinyatakan batal demi hukum karena melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini.

 

Selain itu, terdapat dugaan kuat praktik maladministrasi dalam proses penerbitan dua IPPKH milik PT GKP dengan No. SK. 576/Menhut/II/2014 seluas 707,10 Ha dan No. SK. 1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 ha. Penerbitan kedua IPPKH ini didasari oleh dokumen AMDAL PT GKP pada 2008. Namun praktiknya, PT GKP baru melakukan kegiatan konstruksi pada 2019, sehingga berdasarkan pasal 50 ayat (2) huruf e PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, IPPKH milik PT GKP dianggap kadaluarsa karena tidak ada kegiatan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun sejak diterbitkan.

 

PT GKP juga melakukan pelanggaran hukum karena melakukan aktivitas pertambangan di atas lahan yang secara sah dimiliki oleh warga. Sebelumnya, pada Kamis (3/3/22), PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran dengan melibatkan aparat kepolisian dan TNI di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang tidak bersedia lahannya menjadi areal pertambangan untuk perusahaan. Tercatat, penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT GKP ini merupakan yang kelima kalinya: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, di lahan milik Pak Idris. ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

 

Pihak perusahaan mengklaim sepihak lahan milik La Dani dan Sahria, bahwasannya lahan itu milik seorang warga yang telah dibebaskan. Padahal, lahan-lahan itu telah dikelola turun-temurun selama tiga generasi oleh keluarga La Dani dan Sahria, dan menjadi hak milik serta selalu membayar pajak atas tanah setiap tahun. Bahkan, jauh sebelum PT GKP masuk, tidak pernah ada warga saling mengklaim atas tanah, apalagi timbul konflik di tengah masyarakat. Padahal berdasarkan pasal 39 huruf (i) UU 3/2020 tentang pertambangan Mineral dan Batubara, setiap pemegang izin usaha pertambangan wajib menyelesaikan permasalahan hak atas tanah sebelum beroperasi. Artinya upaya penerobosan dan penggusuran lahan yang dilakukan PT GKP adalah ilegal dan melanggar hukum.

 

Penyerobotan lahan secara berulang yang dilakukan PT GKP ini disebut untuk membangun jalan tambang menuju lokasi penambangan. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara. Pada 2019 lalu, sebanyak 28 orang warga penolak tambang di Roko-Roko Raya dikriminalisasi, enam di antaranya sempat ditahan di Polda Sulawesi Tenggara dan dua orang di antaranya divonis pidana, yakni La Site dengan hukuman penjara 10 bulan dan Idris Ladiri dengan hukuman pidana 3 tahun 6 bulan.

 

Tindakan pembiaran pelanggaran hukum oleh aktivitas tambang PT GKP di pulau kecil Wawonii, telah mengabaikan hak konstitusi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VIII/2010. Dampaknya, masyarakat kehilangan akses dan ruang hidupnya, terutama terkait aktivitas tambang di daratan yang menghancurkan perkebunan produktif warga, juga pembangunan pelabuhan khusus tambang di pesisir yang tidak sesuai peruntukan ruang dalam Perda RZWP3K Sultra, tidak mendapat rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tenggara. Hal ini akan berimplikasi buruk pada tatanan ekosistem pulau secara holistik. Pada akhirnya masyarakat yang mendiami Pulau akan mengalami kerentanan dan atau krisis atas sumber daya pangan dan air; akses Lahan pertanian dan kebun, air bersih dan sehat, beserta ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, lamun dll) yang mendorong kelangsungan hidup akan ikut tercemar dan rusak.

 

Untuk itu, kami menuntut pemerintah pusat, dalam hal ini Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk melaksanakan fungsi pengawasan, penegakan hukum dan penindakan atas pelanggaran aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii dengan:

 

  1. Hentikan seluruh aktivitas PT Gema Kreasi Perdana, evaluasi dan cabut IUP yang telah diterbitkan.
  2. Menghentikan seluruh aktivitas tambang, tidak hanya di Pulau Wawonii, namun juga di seluruh pulau kecil di Indonesia.
  3. Mendesak penghentian proses hukum atas warga Wawonii yang telah dikriminalisasi karena menolak aktivitas illegal PT Gema Kreasi Perdana.

 

Narahubung:

Accho (Warga Roko-Roko Raya) 082318250993

Yusna (Warga Roko-Roko Raya) 082252868283

Muh. Jamil (JATAM) 082156470477

Fikerman Saragih (KIARA) 082365967999

Gita (Solidaritas Perempuan) 081236102978

Rere Christanto (WALHI Nasional) 083857642883

Helmy Hidayat (KONTRAS) 081259269754

Fauzi (YLBHI) 08118412416

Linda (KPA) 085852233755

Tika (Trend Asia) 081289819660

Pasca Vonis Mahkamah Agung Kepada Edhy Prabowo, KIARA: Alasan Mahkamah Agung Bertolak Belakang dengan Fakta Korupsi Edhy!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Vonis Mahkamah Agung Kepada Edhy Prabowo, KIARA: Alasan Mahkamah Agung Bertolak Belakang dengan Fakta Korupsi Edhy!

 

Jakarta, 10 Maret 2022 – Pada tanggal 7 Maret 2022, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan vonis kasus korupsi penerimaan suap terkait ekspor benur lobster oleh Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. MA mengeluarkan vonis pidana penjara selama 5 tahun. Vonis yang dikeluarkan MA lebih ringan daripada vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menjatuhkan hukuman 9 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun kepada Edhy Prabowo.

 

Mahkamah Agung menilai bahwa Edhy Prabowo telah bekerja dengan baik selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Hal tersebut karena Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2020.

 

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebut bahwa alasan MA melakukan pemotongan masa hukuman Edhy Prabowo merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta korupsi yang dilakukan oleh Edhy Prabowo. “KIARA berpandangan bahwa hal meringankan yang disampaikan oleh MA sangat bertolak belakang dengan fakta bahwa Edhy Prabowo melakukan korupsi penerimaan suap karena implementasi Permen KP No. 12 Tahun 2020 yang disahkannya sendiri,” ungkapnya.

 

Susan mengatakan bahwa argumentasi MA yang mengatakan bahwa Edhy Prabowo bekerja dengan baik merupakan satu kekeliruan dan tak mendasar. “Jika Edhy Prabowo bekerja dengan baik, mengapa beliau ditangkap KPK dengan kasus korupsi penerimaan suap? Faktanya Edhy pelaku korupsi penerimaan suap dan nihil prestasi selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan. Bahkan, ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut. ORI terbukti benar karena beberapa bulan kemudian Edhy Prabowo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi penerimaan suap terkait ekspor benur lobster, akibat dari kebijakannya tersebut. 

 

“Pasca disahkannya Permen KP No. 12 Tahun 2020, berbagai elemen hingga nelayan tradisional telah mengingatkan Edhy terkait Permen tersebut. Tidak hanya sebatas mengingatkan, KIARA dan nelayan tradisional bahkan melakukan aksi (pada Juli 2020) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar Edhy segera mencabut Permen KP tersebut. Tetapi kritik tersebut tidak digubris sama sekali hingga Edhy ditangkap oleh KPK. Hal ini menunjukkan kepada MA bahwa MA telah keliru menyatakan Edhy Prabowo telah bekerja dengan baik dan perbuatan terdakwa untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil. Faktanya nelayan menyatakan penolakannya terhadap kebijakan khususnya ekspor lobster yang telah dikeluarkan Edhy. Apakah hakim Mahkamah Agung tidak melihat fakta-fakta yang telah disampaikan oleh publik dan mengevaluasinya dalam konteks kasus ini?” tanya Susan.

 

“Edhy Prabowo adalah pelaku korupsi yang memanfaatkan jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membuat kebijakan dan meraup untung secara melawan hukum. Korupsi oleh pejabat strategis merupakan extra ordinary crime. Seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka dipertahankan atau malah ditambah, bukan didiskon dan diberi keringanan,” tegas Susan.

 

Fakta dan Temuan KIARA terkait Kebijakan Ekspor Benur Lobster

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat bahwa pertama, pasca disahkannya Permen KP No. 12 Tahun 2020, Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) belum melakukan pendataan terbaru mengenai status ketersediaan benih lobster di Indonesia. “Status lobster dan benih lobster di Indonesia harus dipastikan apakah statusnya fully oxploited, over exploited, atau masih dapat ditangkap? Perlu ada data terbaru dari status pengelolaan sumber daya ikan yang dipublikasi KKP pada tahun 2017 lalu.” Tegas Susan.

 

Kedua, dari 60.000 ekor benih, negara hanya mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 15.000 rupiah. Sementara dari 37.500 ekor benih, hanya mendapatkan PNBP sebesar 9.375 rupiah. “Meningkatnya volume ekspor benih lobster terbukti tidak memberikan keuntungan bagi negara dan juga nelayan pembudidaya lobster tradisional yang bersifat jangka panjang” tegasnya.

 

Ketiga, keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik di balik perusahaan ekspor benih lobster membantah klaim Edhy yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan lobster, yang akan meningkat jika pintu ekspor benih lobster dibuka luas. “Kesejahteraan nelayan lobster yang selalu diklaim akan meningkat, tetapi terbantah karena yang diuntungkan oleh kebijakan ini hanya dirinya sendiri, perusahaan-perusahaan dan politisi yang ada di belakangnya,” tegas Susan.

 

Keempat, “realita di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster hanya dijadikan alat untuk memuluskan langkah perusahaan untuk melengkapi persyaratan administrasi. Perusahaan eksportir membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan dalam budidaya. Perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50-gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen,” lanjut Susan.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502.

Perusahaan Harita Group Kembali Serobot Lahan, Warga Diintimidasi Hingga Pingsan

Siaran Pers 

 

Perusahaan Harita Group Kembali Serobot Lahan, Warga Diintimidasi Hingga Pingsan

 

PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group kembali melakukan penyerobotan lahan milik warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara pada Kamis, (3/3/22). Penyerobotan lahan yang menggunakan excavator oleh PT GKP ini melibatkan aparat kepolisian bersenjata lengkap dan TNI.

Penerobosan oleh PT GKP hari ini terjadi di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang enggan menyerahkan lahannya untuk perusahaan. Penyerobotan ini pun bukan yang pertama, melainkan telah lima kali dilakukan, sejak: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, sekitar Pkl. 11.00 Wita di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, sekitar Pkl. 15.00 di lahan milik Bapak Idris; ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Penyerobotan berulang ini sebagai bentuk upaya paksa PT GKP dalam membangun jalan tambang menuju lahan yang sudah dibebaskan dan konsesi tambang. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara.

Pada kejadian hari ini, misalnya, warga, didominasi petani perempuan, yang terus mempertahankan tanah miliknya, menghadang dan berbaring di depan excavator perusahaan, hingga melakukan aksi buka baju justru diperhadapkan dengan aparat keamanan bersenjata lengkap yang represif, juga mendapat ancaman akan ditangkap karena dianggap menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang.

Pihak perusahaan pun mengklaim sepihak lahan milik La Dani dan Sahria, bahwasannya lahan itu milik seorang warga (P) dan telah dibebaskan oleh pihak perusahaan. Padahal, lahan-lahan itu telah dikelola selama tiga generasi oleh keluarga La Dani dan Sahria, juga selalu membayar pajak atas tanah setiap tahunnya. Bahkan, jauh sebelum PT GKP masuk, tak pernah ada saling klaim atas tanah, apalagi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Demikian juga dengan 28 warga yang dikriminalisasi. Polisi,  dengan dalih laporan dari pihak perusahaan, justru menyasar warga terlapor yang memiliki lahan di Roko-Roko Raya. Pada 24 Januari 2022 kemarin, misalnya, polisi menangkap tiga warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, masing-masing atas nama Hurlan, dan Hastoma, dan La Dani. Pasca ditangkap dan ditahan di Polda Sultra, perusahaan melakukan penyerobotan di lahan La Dani pada Selasa, 1 Maret dan Kamis, 3 Maret hari ini.

 

Polisi Amankan Investasi, Pemerintah Turut Membiarkan

Keterlibatan dan keberpihakan aparat keamanan baik dari institusi Polri maupun TNI dalam mengamankan kepentingan bisnis tambang PT  GKP di Wawonii juga tidak terlepas instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri mengenai pengamanan bisnis/investasi di berbagai daerah. Disamping itu, penggunaan kekuatan alat keamanan negara sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM seperti perlakuan intimidatif, tindakan kriminalisasi, menimbulkan rasa takut dan trauma berlebih, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.

Penyerobotan berulang tanpa ada tindakan hukum apapun menunjukkan betapa aparat kepolisian dan TNI cenderung menjadi centeng korporasi tambang, dari pada mengayomi dan melindungi rakyat itu sendiri.

Demikian juga pemerintah pusat dan daerah, alih-alih menindak tegas tindak kejahatan PT GKP, justru turut memfasilitasi, bahkan ada upaya pembiaran sehingga warga berjuang sendirian menyelamatkan tanah-ruang hidupnya.

Hal ini terlihat dari langkah Pemkab Konkep yang telah meneken MOU (memorandum of understanding) dengan PT GKP ihwal komitmen investasi di Pulau Wawonii pada Kamis, 30 September 2021. MoU ini merupakan tindak lanjut pasca Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan disahkan 2021 lalu, dimana sudah ada alokasi ruang untuk investasi pertambangan di pulau kecil itu.

Tak berhenti di situ, Pemkab Konkep melalui Wakil Bupati bahkan ikut berupaya bernegosiasi dengan warga yang menolak, dengan tujuan perusahaan diberi ruang untuk masuk dan mulai menambang.

Tindakan pembiaran dan upaya mendorong investasi tambang di pulau kecil Wawonii, telah mengabaikan hak konstitusi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VIII/2010. Dampaknya, masyarakat kehilangan akses dan melintas ruang hidupnya, terutama terkait aktivitas tambang di daratan yang menghancurkan perkebunan produktif warga, juga pembangunan pelabuhan khusus di pesisir dalam menunjang pertambangan di daratan yang, sesungguhnya tidak mendapat rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sultra, berikut tidak sesuai peruntukan ruang.

Lebih lanjut, beroperasinya PT GKP di pulau kecil Wawonii akan berdampak pada kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan sehat, berikut ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, lamun dll) akan ikut tercemar dan rusak.

Untuk itu, kami mendesak:

 

[1] Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan aktivitas PT GKP, evaluasi segera, dan cabut IUP yang telah diterbitkan;

[2] Mendesak Menteri KKP untuk segera mengevaluasi Pembangunan pelabuhan khusus lewat penimbunan pantai yang merombak Mangrove dan terumbu karang;

[3] Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari untuk segera tarik seluruh aparat kepolisian dari lokasi;

[4] Mendesak Kapolri RI untuk menindak-tegas Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari yang membiarkan pasukannya mengkawal PT GKP dalam melakukan penerobosan lahan milik warga;

[5] Mendesak Pangdam XIV/Hasanuddin untuk menarik seluruh pasukannya dan menghukum dengan maksimal atas upaya tindakan perbantuan penyerobotan lahan di pulau Wawonii oleh perusahaan tambang PT. GKP;

[6] Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Anak untuk segera lakukan investigasi atas dugaan tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan PT GKP dan aparat kepolisian di Sulawesi Tenggara;

[7] Mendesak Gubernur Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe Kepulauan untuk menjalankan amanat UU nomor 7 tahun 2016 terkait Perlindungan dan Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil;

 

Narahubung:

 

  1. KontraS – +62 895-7010-27221 – Abimanyu Septiadji
  2. YLBHI – +62 853-9512-2233 – Edy Kurniawan
  3. LBH Makassar – +62 853-4297-7545 – Ady Anugrah Pratama
  4. KIARA –+62 821-1333-2992 – Muhammad A
  5. JATAM – 081319789181 – Melky Nahar