KERTAS POSISI – Bom Waktu Tambang dan Dumping Limbah Bagi Masa Depan Jawa Timur

KERTAS POSISI WALHI JAWA TIMUR & KIARA

Bom Waktu Tambang dan Dumping Limbah Bagi Masyarakat Pesisir

 

Kawasan laut di Jawa Timur tengah terancam keberadaannya pasca disahkannya PERDA RTRW Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023. Peraturan daerah hasil integrasi dengan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) telah membuka ruang untuk eksploitasi kawasan laut. 

Ada beberapa hal yang kami temukan dalam kajian kebijakan tata ruang dan lingkungan Provinsi Jawa Timur, yakni pertambangan dan limbah. Dalam konteks pertambangan, potensi kehancuran kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil cukup tinggi, karena PERDA baru tersebut semacam melakukan aktivasi pertambangan pasir laut yang tentunya mengancam biodiversitas laut. 

Selain pasir laut, ancaman lain dari pertambangan yakni semakin masifnya zonasi dan konsesi migas pada wilayah Pesisir Utara Jawa, memanjang dari ujung timur yang berdekatan dengan Provinsi Bali hingga ke arah ujung barat di sekitar wilayah Tuban yang berbatasan dengan Jawa Tengah.

Selain ancaman tambang di laut, tambang yang berada di daratan juga menjadi ancaman cukup besar bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, pasalnya kebijakan dalam rencana tata ruang serta kebijakan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur mengamini dumping limbah hasil aktivitas pertambangan yang secara teknis beberapa masuk dalam kategori berbahaya dan beracun (B3). 

Terkait dengan praktik dumping limbah ini belum ada informasi publik yang secara spesifik disampaikan ke khalayak luas, hanya ada beberapa laporan dari media online yang memberitakan hal tersebut. Salah satunya laporan media dari Maritimnews.co berjudul “Semen Indonesia Ajukan Ijin Buang Limbah di Lautdan Siagaindonesia.id berjudul “Dumping Laut Gresik-Tuban-Banyuwangi Berada di Zona Tangkap Ikan dan Jalur Lintas Penyu Hijau yang Dilindung.” Menyebutkan bahwa perusahaan tambang seperti PT. Semen Indonesia yang memproduksi semen dan PT. Bumi Suksesindo yang memproduksi emas tengah mengajukan izin dumping limbah di lautan.

Tambang Mengancam Laut Jawa Timur

Melihat situasi tersebut, kami menyampaikan beberapa hal yang penting untuk digarisbawahi, mengenai dengan pertambangan pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terutama untuk migas dan mineral non logam termasuk pasir laut difasilitasi oleh  pasal 59 tentang kawasan pertambangan dan energi, lalu diperjelas dalam pasal 65 yang menyebutkan bahwa pemerintah Provinsi Jawa Timur mengalokasikan sekitar 67.503 Ha untuk menjadi kawasan pesisir yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. 

Dalam pengaturan ruang tersebut, terdapat tiga zonasi dari kawasan tersebut yakni; 1). Zona Pertambangan Mineral dan Batubara di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura; 2). Zona Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura; dan 3) Zona Pengelolaan Energi di Wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura. Rencana ini sangat berhubungan dengan ambisi pemerintah pusat untuk melakukan eksploitasi migas secara besar-besaran pasca batubara bukan lagi menjadi pilihan utama. Mereka bahkan melabeli migas untuk jenis Liquid Natural Gas sebagai energi bersih. 

Alokasi ruang untuk Zona Pertambangan Minyak dan Gas dalam PERDA RTRW hasil integrasi mengalami kenaikan yang sangat signifikan sebesar ± 40.000 Ha. Mengacu pada PERDA RZWP3K Provinsi Jawa Timur No. 1 Tahun 2018, alokasi ruang untuk Zona Pertambangan Minyak Bumi hanya sebesar 9.003 Ha. Sedangkan alokasi ruang untuk Zona Pertambanyak Minyak dan Gas dalam PERDA RTRW hasil integrasi menjadi 49.062,88 Ha. Bertambahnya alokasi ruang untuk pertambangan minyak dan gas tersebut terdapat di Kabupaten Gresik, Kabupaten dan Kota Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo.

Sementara untuk pasir laut, sangat berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Lautyang menekankan pada pelegalan pertambangan pasir laut dan bisnis seperti biasa. Pertambangan pasir laut akan dijadikan komoditas ekspor guna menambah devisa dan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dari negara, selain digunakan untuk menjadi bahan baku dalam aneka pembangunan proyek infrastruktur nasional salah satunya reklamasi, sebagai contoh pembangunan Grass Root Refinery (GRR) Tuban.

 

Baca berita selengkapnya di : ( https://drive.google.com/file/d/1hnujZytfLp8fa3EcStfR6_Y93WduRc_P/view?usp=sharing )

Siaran Pers Bersama – Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO: Penghapusan Subsidi Perikanan di WTO Mengancam Keberlanjutan Hidup Nelayan Kecil dan Tradisional

Siaran Pers Bersama
Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO:
Penghapusan Subsidi Perikanan di WTO Mengancam Keberlanjutan Hidup
Nelayan Kecil dan Tradisional

Jakarta, 24 Februari 2024 – Pada tanggal 23 Februari 2024, kelompok nelayan kecil dan tradisional mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia terkait negosiasi perjanjian subsidi perikanan di WTO, yang akan melarang subsidi bagi nelayan kecil di negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam rancangan teks WTO yang sedang dibahas, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity dan Overfishing.

Diantara subsidi yang dilarang itu adalah bahan bakar minyak, asuransi, biaya pegawai, subsidi peningkatan kapal, teknologi pencarian ikan, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) mengungkapkan bahwa pembahasan subsidi perikanan di WTO sangat diskriminatif bagi negara berkembang-kurang berkembang. Di mana subsidi yang seharusnya dapat dipertahankan oleh negara berkembang termasuk Indonesia justru dibatasi bahkan dilarang. Sementara bagi negara maju dan industri perikanan skala besar tetap dapat mempertahankan subsidinya asalkan bisa menerapkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ini sangat diskriminatif dan tidak adil. Karena secara otomatis pengelolaan perikanan di negara maju lebih canggih dan lebih siap”, Ungkap Maulana.

“Kalau WTO mau mendorong perubahan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang, namun pada ujungnya negosiasi ini akan melarang pemberian subsidi bagi nelayan kecil. Maka itu artinya WTO melakukan intervensi terlalu jauh pada kebijakan nasional bahkan melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sudah semestinya kita tegas dengan menolak intervensi yang dilakukan WTO itu”, tegas Maulana.

Dalam naskah yang ada saat ini, tidak ada pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil di negara berkembang untuk tetap mendapatkan subsidi. Selain nelayan kecil harus dihadapkan pada potensi penghapusan subsidi di WTO, nelayan juga dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang hingga saat ini kesulitan dalam mengakses subsidi karena harga mahal dan birokratis.

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa “pelarangan subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO itu mengancam jutaan hidup nelayan serta masyarakat kecil yang bergantung di sektor perikanan”, Kata Dani.

“Ia juga menambahkan bahwa implementasi subsidi bahan bakar kepada nelayan selama ini masih tidak tepat sasaran bahkan mahal”. Berdasarkan studi KNTI 2021, menunjukan bahwa 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. Pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70% dari total biaya melaut. Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30-40% lebih mahal dari harga umum, Tambah Dani.

Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang mendominasi di Indonesia, bahkan jumlah nelayan kecil di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. “Kategori nelayan kecil di Indonesia juga sudah jelas bahwa yang disebut sebagai nelayan kecil adalah mereka yang menggunakan perahu maksimal 5 GT (merujuk UU Perikanan) dan 10 GT (merujuk UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Sedangkan jumlah perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas pra-produksi dan pasca produksi perikanan skala kecil mencapai 3,9 juta jiwa. Nelayan skala kecil juga menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan dan tidak eksploitatif,” jelas Fikerman.

“Saat ini kondisi nelayan di Indonesia sebanyak 6,3 juta nelayan tengah menghadapi ketidakpastian untuk bisa melaut dan mendapatkan ikan karena disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kompetisi ruang antara nelayan kecil dan industri perikanan, penimbunan pantai/reklamasi, pertambangan, hingga perubahan iklim. Ketidakpastian kondisi tersebut akan diperparah jika perundingan di KTM-13 WTO menghasilkan dihapuskannya subsidi perikanan untuk nelayan kecil,” tegas Fikerman.

Oleh karena itu Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencaharian dan kedaulatan para nelayan serta sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia.

Referensi:
Surat Nelayan kepada Pemerintah Indonesia: https://igj.or.id/2024/02/23/surat-terbukakelompok-nelayan-indonesia-terhadap-negosiasi-subsidi-perikanan-di-konferensi-tingkat-menteri-ke-13-wto/

Dampak Subsidi Perikanan WTO Bagi Nelayan Kecil: https://igj.or.id/2024/02/16/dampak-perjanjian-subsidi-perikanan-di-wto-bagi-nelayan-kecil/

Kontak lebih lanjut:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +6281210025135
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, +62 812-9671-744
Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, +62 823-6596-7999

 

================================================================================

English Version.

Joint Press Release
Ahead of the 13th WTO Ministerial Conference:
Prohibition of Fisheries Subsidies at the WTO Threatens the
Sustainability of Small and Traditional Fisherfolks

Jakarta, February 24, 2024 – On February 23, 2024, small and traditional fisherfolk groups sent an open letter to the Indonesian Government regarding negotiations on a fisheries subsidy agreement at the WTO, which will prohibit subsidies for small fisherfolks in developing countries including Indonesia. In the draft WTO text currently being discussed, there are eight types of fisheries subsidies that will be prohibited because they contribute to IUU Fishing, Overcapacity and Overfishing.

Among the prohibited subsidies are fuel oil, insurance, employee costs, ship improvement subsidies, fishing technology, subsidies to support activities at sea and subsidies that cover fishing losses or fishing-related activities.

Rahmat Maulana Sidik, Executive Director of Indonesia for Global Justice (IGJ) stated that the discussion of fisheries subsidies at the WTO is very discriminatory for developing and less developed countries. Where subsidies that should be maintained by developing countries, including Indonesia, are actually limited or even prohibited. Meanwhile, developed countries and large-scale fishing industries can still maintain their subsidies as long as they can implement sustainable fisheries management measures. This is very discriminatory and unfair. “Because automatically fisheries management in developed countries is more sophisticated and better prepared,” said
Maulana.

“If the WTO wants to encourage changes to fisheries subsidies that have been provided by developing countries, in the end these negotiations will prohibit the provision of subsidies for small fisherfolks. So that means the WTO intervenes in national policy and even violates the constitution and laws and regulations in
Indonesia. “We should be firm in rejecting the intervention carried out by the WTO,” said Maulana.

In the current text, there is no clear exception for small fisherfolks in developing countries to continue to receive subsidies. Apart from small fisherfolks having to face the potential elimination of subsidies at the WTO, fisherfolks are also faced with the reality on the ground that currently they have difficulty accessing subsidies because of expensive and bureaucratic process.

Dani Setiawan, General Chair of the Indonesian Traditional Fisherfolks Union (KNTI) said that “the ban on subsidies for small fisherfolks by the WTO threatens the lives of millions of fisherfolks and small communities who depend on the fisheries sector,” said Dani.

“He also added that the implementation of fuel subsidies for fishermen so far is still not on target and is even expensive.” Based on the 2021 KNTI study, it shows that 82% of small fisherfolks cannot access the subsidized fuel they should get. This is due to two things, namely the difficulty of processing letters of recommendation and the lack of subsidized fuel distribution infrastructure that can be accessed by small fisherfolks. The biggest expense for small fisherfolks is to buy fuel, which covers 60-70% of the total cost of fishing. Even small fishermen buy fuel at prices 30-40% more expensive than the general price, added Dani.

Fikerman Saragih, Deputy Head of Knowledge Management, The People’s Coalition for Fisheries Justice (KIARA) stated that small fisherfolks are the dominant fisherfolks in Indonesia, in fact the number of small fisherfolks in Indonesia has reached 2.4 million people. “The category of small fisherfolks in Indonesia is also clear that what is called small fisherfolks are those who use boats with a maximum size of 5 GT (referring to the Fisheries Law) and 10 GT (referring to the Law on the Protection and Empowerment of Fishers, Fish Farmers and Salt Farmers. Meanwhile, the number of fishers women “There are 3.9 million people involved in pre-production and post production activities in small-scale fisheries. Small-scale fisherfolks also catch to meet their daily needs and carry out fishing in a sustainable and non-exploitative manner,” explained Fikerman.

“Currently, the condition of fisherfolks in Indonesia, as many as 6.3 million fishers, is facing uncertainty about being able to go to sea and get fish because it is caused by various factors, including competition for space between small fisherfolks and the fishing industry, beach filling/reclamation, mining, and climate crisis. “This uncertain condition will be exacerbated if negotiations at KTM-13 of the WTO result in the elimination of fisheries subsidies for small fisherfolks,” stressed Fikerman.

We urge the Indonesian government not to approve the current fisheries subsidy text because it will endanger the livelihoods and sovereignty of fisherfolks as well as the fisheries sector as a whole. It is better to have no deal than a bad deal, which will harm the Indonesian people.

Further information, please contact:
Rahmat Maulana Sidik, Executive Director of IGJ, rahmat.maulana@igj.or.id
Dani Setiawan, General Chair of KNTI, danisetia@gmail.com
Fikerman Saragih, Head of Deputy of Knowledge Management KIARA,
fikerman.kiara@gmail.com