Masyarakat Pesisir Sambut Temu Akbar Masyarakat Pesisir

Jakarta, 7 Agustus 2024 – Sebanyak 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang hingga kini masih berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya, menyambut baik adanya even yang mereka nantikan, Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 yang digelar oleh KIARA. Kegiatan yang mengambil tema, “Memperjuangkan Kebaharian Indonesia,” dan dilakukan pada 8-10 Oktober, di Jakarta.

Salah seorang nelayan perempuan yang berasal Palu, Sulawesi Tengah, Mardia, menganggap acara ini menjadi ruang bagi para nelayan guna memperjuangkan keadilan kebaharian. Menurutnya, hari ini rakyat sudah tidak menerima keadilan dan mengakibatkan ruang hidup nelayan semakin dirampas oleh negara.

“Sudah tidak ada lagi keadilan dari pemerintah untuk rakyat sehingga ruang kehidupan nelayan semakin sempit,” jelas Ketua Koperasi Nelayan Palu, Mardia.

Tak hanya Mardia, seorang nelayan dari Pulau Haruku, Maluku, Cliff J Kissya, melihat dalam acara ini, para nelayan dapat saling berdiskusi mengenai persoalan kebaharian yang akan dihadapi mereka setelah pergantian rezim. Ia memandang rezim selanjutnya harus mencermati beberapa kebijakan demi kehidupan para nelayan, terutama di bagian Indonesia Timur.

Baginya, untuk membuat suatu kebijakan pemerintah harus berdiskusi bersama organisasi-organisasi nelayan. Dalam beberapa kebijakan, misalnya terkait larangan penangkapan ikan secara masif di wilayah penangkapan tradisional, penguatan konservasi ala rakyat di wilayah Maluku, memberikan bantuan tepat sasaran kepada nelayan tradisional, dan lainnya.

“Melibatkan organisasi nelayan terutama nelayan tradisional dalam mendiskusikan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan mereka,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga menceritakan kondisi para nelayan di Pulau Haruku. Sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan karena penurunan hasil tangkap. Hal ini disebabkan pemasangan rumpon di kawasan yang cukup jauh dari pulau sehingga ikan-ikan berkumpul di rumpon dan menjauhi wilayah pulau.

Lebih lanjut, kehadiran rumpon-rumpon membuat para nelayan harus mengeluarkan modal lebih untuk tambahan biaya operasional. Maka dari itu, keterbatasan dana menyebabkan sebagian besar nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan, petani, dan lain-lain.

“Jadi buruh bangunan ataupun proyek pemerintah di kota Ambon dan sekitarnya. Sebagian juga lebih berfokus di pertanian,” ucap Cliff.

Di samping itu, Cliff menyimpan banyak harapan terhadap acara Temu Akbar nanti. Ia berharap adanya penyadaran mengenai ketimpangan terhadap para nelayan, mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional, dan meminimalisir perampasan ruang hidup nelayan.

Kendati demikian, pada tingkatan nelayan, ia berharap para nelayan dapat mengorganisir diri dan meningkatkan kesadaran atas ketertindasannya. Hal itu perlu diperhatikan guna memperjuangkan hak-hak dan ruang hidup kelautan tanpa adanya kriminalisasi.

“Nelayan harus mengorganisir diri atas kesadaran suapaya bisa memperjuangkan hak-haknya tetap bisa melaut tanpa dikriminalisasi,” harapnya.

Penulis: Machika Salsabila

Editor: Musfarayani

Dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Dari Ekonomi Biru Membatasi Ruang Nelayan Hingga Sebuah Kampung Tenggelam

Jakarta, 8 Oktober 2024 –  Kondisi pesisir Indonesia kian memburuk. Pemerintah dianggap semakin menjauh dari tanggung jawab untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir, sementara program-program kebaharian yang dijanjikan kerap kali tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan.

Demikian hasil diskusi hari pertama Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, Senin, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Temu Akbar ini sendiri dihadiri 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang kebanyakan dari mereka masih berjuang dan bahkan ada juga yang pernah dikriminalisasikan karena berjuang mendapatkan kembali ruang hidup mereka, dan mempertahankan ekosistem pesisir tempat mereka hidup.

“Pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Menganggap laut itu tidak bertuan. Menerapkan Rezim ijin karena apa-apa harus izin. Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan ijin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tandas Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, pada sesi “pencerahan” dan “pengayaan,” kepada para peserta Temu Akbar.

Selain Dianto, hadir sebagai pembicara  Abdi Suhufan,  Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan, Daniel Johan, Purna Komisi IV DPR RI,  Ivanovich Agusta,  Kepala BPI Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Susan Herawati.

Dianto menambahkan terkait program Ekonomi Biru yang kini tengah digaungkan oleh pemerintah hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.

“Kita belum pernah punya rezim yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan birokrat orang kementriaan pun kalah powerful dari pemilik modal. Membiarkan mereka mengelola laut yang alih-alih memporakporandakan ekosistem pesisir.  Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Karena pada praktiknya mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah Kelola laut oleh Masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.

Sementara Susan Herawati menilai ekonomi biru dan turunannya menekankan pada jual beli karbon. Namun pada realita di lapangan hal yang paling tragis adalah banyak nelayan menjual ikan untuk membeli mie instan.

“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong. Banyak kawan-kawan nelayan berjuang dengan mengokupasi lahan, membangun jalan mandiri, dan tetap melaut, karena melaut adalah kedaulatan. Hal semacam ini harusnya lebih diperhatikan,” jelas Susan.

Senada juga diungkan Abdi Suhufan, mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting. Jangan sampai ekonomi biru menyulitkan nelayan, dan hanya melakukan ini demi  agenda internasional.

“Kita harusnya menaik kelaskan nelayan kecil, agar tidak lagi bertempur di wilayah yang sudah sempit padat dengan meng-upgrade mereka sehingga bisa melaut ke wilayah yang luas dan berpotensi ikan yang melimpah, karena kapasitas penangkapan segaris dengan kesejahteraan nelayan,” jelasnya.

Suhufan menambahkan, dari KPP dia menilai sudah banyak program pengelolaan laut yang direncanakan, namun ada faktor-faktor lain yang membuat perjalanannya tidak konsisten.

Sementara Daniel Johan juga menjelaskan bagaimana di legislatif seringkali isu pesisir terpinggirkan. Hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan. Masyarakat adat biasanya juga ada di wilayah pesisir, nelayan di dalamnya.

“Saya di Komisi IV perlu sekali forum-forum semacam ini, karena bisa melakukan pengawalan dan koreksi. Termasuk peraturan ekspor sedimen pasir, lalu bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Jangan sampe hal itu merontokkan kehidupan pesisir. Terutama di tuju titik lokasi sumber ekspor. Termasuk dalam konteks budidaya. Sebenarnya saya di sini justru untuk menerima masukan dan informasi dari kawan-kawan nelayan yang lebih memahami bahari. Tapi kami akan  mengawal Undnag-Undang  yang afirmatif bagi kepentingan rakyat,” tambahnya.

Sementara Ivan menjelaskan peran institusinya mengumpulkan data mikro dan makro untuk bisa memastikan ruang dan kebijakan laut. Dia mengakui “duduk bersama” dengan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat pesisir menjadi penting.

Suara para masyarakat pesisir

Dalam diskusi tersebut para masyarakat pesisir pun ikut berbagi pengalaman terkait ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Nelayan di Pulau Masalembo misalnya, Mereka menilai pemerintah seringkali mempermainkan nelayan. Pada saat Menteri KPP Susi melarang penggunaan cantrang, menteri berikutnya mengijinkan. Mereka menginginkan pemerintah serius dalam menjaga laut Indonesia. Terkait kesejahteraan masyarakat pesisir, dia menjelaskan suasana pulau tempat dia tinggal hingga kini belum mendapatkan listrik, dan dana desa pun tidak pernah mereka nikmati.

Sementara Amir, nelayan dari Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Kini dia dan masyarakat di pulau tersebut masih merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.

Di Jepara, nelayan Eko Prasetyo, kini masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi. Sementara di pesisir Surabaya,  Rosidah Surabaya, memimpin gerakan para ibu menolak  menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya. Bahkan di Demak di Jawa Tengah, beberapa desa kini tenggelam karena kegiatan penambangan pasir laut, dan ironisnya pemerintah setempat menjadikannya sebagai “desa wisata” yang terapung.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Musfarayani

 

Pres Release-1: Temu Akbar Masyarakat Pesisir Perkuat Advokasi Krisis Pesisir

Press Release

(Untuk disiarkan segera)

 

 

Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024:

Memperkuat Masyarakat Pesisir dan Keadilan Ekosistem Pesisir yang Makin Tersingkir

 

Jakarta, 8 Oktober 2024 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dengan bangga menggelar Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, yang akan berlangsung 8-10 Oktober 2024, di Jakarta. Acara ini menjadi momentum penting untuk memperkuat solidaritas masyarakat pesisir Indonesia yang terus memperjuangkan hak-haknya di tengah kebijakan pemerintah yang sering kali tidak berpihak pada keberlanjutan kehidupan mereka.

“Kondisi saudara-saudara kita, masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, perempuan nelayan, bahkan ekosistem pesisir kita semakin terancam  justru dalam 10 tahun terakhir kepemimpinan regim Jokowi Widodo (Presiden Indonesia). Keputusan-keputusan regim ini sering kali mengutamakan kepentingan investor, sementara hak-hak konstitusional masyarakat pesisir yang telah dijamin oleh MK No. 3 Tahun 2010 terabaikan,” jelas  Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.

Putusan MK ini menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas; berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya; masyarakat juga berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir; serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat. Selain itu, tambah Susan lagi,  putusan tersebut sesungguhnya telah memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan menghalangi privatisasi wilayah pesisir yang mengancam kelangsungan hidup mereka.

Karena itu urgensi kegiatan Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024, jelas Susan lagi, menjadi strategis dalam dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kian menekan masyarakat pesisir dan keadilan ekosistem pesisir Indonesia.

Dalam Temu Akbar ini, lebih dari 200 perwakilan masyarakat pesisir dari seluruh Indonesia hadir untuk berbagi pengalaman, menguatkan solidaritas, dan merumuskan langkah-langkah konkret untuk memperjuangkan hak mereka. Susan Herawati menyoroti beberapa isu kritis, termasuk eksploitasi wilayah pesisir oleh industri ekstraktif, kriminalisasi nelayan kecil, dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.

Pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah pertama yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan laut. Langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah belum memadai untuk mengatasi ancaman ini. Kami menuntut pemerintah untuk serius melakukan restorasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang, yang menjadi benteng alamiah kita,” tambah Susan.

Acara yang dihadiri oleh berbagai komunitas nelayan, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan dari kementerian terkait ini juga akan membahas pentingnya partisipasi bermakna dalam penyusunan kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat pesisir. Salah satu topik utama adalah ketidakpastian perlindungan wilayah penangkapan tradisional yang selama ini menjadi ruang hidup bagi nelayan kecil.

Temu Akbar 2024 juga bertujuan untuk menghimpun rekomendasi kolektif yang akan disampaikan langsung kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa, serta Komisi IV DPR RI. Dalam sesi dialog dengan kementerian terkait, peserta akan mendiskusikan solusi nyata untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir serta meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Selama ini, masyarakat pesisir telah berjuang sendiri menghadapi ketidakpastian. Melalui Temu Akbar ini, kami berharap bisa membangun kekuatan kolektif yang lebih besar dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam melindungi kami, nelayan kecil, perempuan nelayan, dan pembudidaya,” pungkas Susan Herawati.

KIARA mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mendukung perjuangan masyarakat pesisir yang menjadi garda terdepan dalam melawan perubahan iklim dan menjaga kekayaan laut Indonesia. Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 adalah bukti nyata bahwa perjuangan mereka belum selesai. (*)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Sekretariat Nasional KIARA
Whatsapp: +62-857-1017-0502
Website:
www.kiara.or.id

Catatan untuk Media:

Putusan MK No. 3 Tahun 2010 adalah putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan ini dikeluarkan karena UU tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya dalam hal perlindungan hak-hak masyarakat pesisir.

Inti dari Putusan MK No. 3/2010 adalah pembatalan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diatur dalam UU No. 27/2007. HP-3 dianggap memberikan hak eksklusif kepada perusahaan atau pihak swasta untuk mengelola wilayah pesisir, sehingga merugikan masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat adat pesisir. Ketentuan ini dikhawatirkan menghilangkan akses mereka terhadap sumber daya pesisir yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir dan kelautan di Indonesia. KIARA berkomitmen untuk mewujudkan kedaulatan masyarakat pesisir melalui advokasi, penelitian, dan pemberdayaan komunitas.