Masyarakat Pesisir Sambut Temu Akbar Masyarakat Pesisir

Jakarta, 7 Agustus 2024 – Sebanyak 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang hingga kini masih berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya, menyambut baik adanya even yang mereka nantikan, Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 yang digelar oleh KIARA. Kegiatan yang mengambil tema, “Memperjuangkan Kebaharian Indonesia,” dan dilakukan pada 8-10 Oktober, di Jakarta.

Salah seorang nelayan perempuan yang berasal Palu, Sulawesi Tengah, Mardia, menganggap acara ini menjadi ruang bagi para nelayan guna memperjuangkan keadilan kebaharian. Menurutnya, hari ini rakyat sudah tidak menerima keadilan dan mengakibatkan ruang hidup nelayan semakin dirampas oleh negara.

“Sudah tidak ada lagi keadilan dari pemerintah untuk rakyat sehingga ruang kehidupan nelayan semakin sempit,” jelas Ketua Koperasi Nelayan Palu, Mardia.

Tak hanya Mardia, seorang nelayan dari Pulau Haruku, Maluku, Cliff J Kissya, melihat dalam acara ini, para nelayan dapat saling berdiskusi mengenai persoalan kebaharian yang akan dihadapi mereka setelah pergantian rezim. Ia memandang rezim selanjutnya harus mencermati beberapa kebijakan demi kehidupan para nelayan, terutama di bagian Indonesia Timur.

Baginya, untuk membuat suatu kebijakan pemerintah harus berdiskusi bersama organisasi-organisasi nelayan. Dalam beberapa kebijakan, misalnya terkait larangan penangkapan ikan secara masif di wilayah penangkapan tradisional, penguatan konservasi ala rakyat di wilayah Maluku, memberikan bantuan tepat sasaran kepada nelayan tradisional, dan lainnya.

“Melibatkan organisasi nelayan terutama nelayan tradisional dalam mendiskusikan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan mereka,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga menceritakan kondisi para nelayan di Pulau Haruku. Sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan karena penurunan hasil tangkap. Hal ini disebabkan pemasangan rumpon di kawasan yang cukup jauh dari pulau sehingga ikan-ikan berkumpul di rumpon dan menjauhi wilayah pulau.

Lebih lanjut, kehadiran rumpon-rumpon membuat para nelayan harus mengeluarkan modal lebih untuk tambahan biaya operasional. Maka dari itu, keterbatasan dana menyebabkan sebagian besar nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan, petani, dan lain-lain.

“Jadi buruh bangunan ataupun proyek pemerintah di kota Ambon dan sekitarnya. Sebagian juga lebih berfokus di pertanian,” ucap Cliff.

Di samping itu, Cliff menyimpan banyak harapan terhadap acara Temu Akbar nanti. Ia berharap adanya penyadaran mengenai ketimpangan terhadap para nelayan, mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional, dan meminimalisir perampasan ruang hidup nelayan.

Kendati demikian, pada tingkatan nelayan, ia berharap para nelayan dapat mengorganisir diri dan meningkatkan kesadaran atas ketertindasannya. Hal itu perlu diperhatikan guna memperjuangkan hak-hak dan ruang hidup kelautan tanpa adanya kriminalisasi.

“Nelayan harus mengorganisir diri atas kesadaran suapaya bisa memperjuangkan hak-haknya tetap bisa melaut tanpa dikriminalisasi,” harapnya.

Penulis: Machika Salsabila

Editor: Musfarayani

Dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Dari Ekonomi Biru Membatasi Ruang Nelayan Hingga Sebuah Kampung Tenggelam

Jakarta, 8 Oktober 2024 –  Kondisi pesisir Indonesia kian memburuk. Pemerintah dianggap semakin menjauh dari tanggung jawab untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir, sementara program-program kebaharian yang dijanjikan kerap kali tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan.

Demikian hasil diskusi hari pertama Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, Senin, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Temu Akbar ini sendiri dihadiri 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang kebanyakan dari mereka masih berjuang dan bahkan ada juga yang pernah dikriminalisasikan karena berjuang mendapatkan kembali ruang hidup mereka, dan mempertahankan ekosistem pesisir tempat mereka hidup.

“Pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Menganggap laut itu tidak bertuan. Menerapkan Rezim ijin karena apa-apa harus izin. Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan ijin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tandas Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, pada sesi “pencerahan” dan “pengayaan,” kepada para peserta Temu Akbar.

Selain Dianto, hadir sebagai pembicara  Abdi Suhufan,  Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan, Daniel Johan, Purna Komisi IV DPR RI,  Ivanovich Agusta,  Kepala BPI Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Susan Herawati.

Dianto menambahkan terkait program Ekonomi Biru yang kini tengah digaungkan oleh pemerintah hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.

“Kita belum pernah punya rezim yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan birokrat orang kementriaan pun kalah powerful dari pemilik modal. Membiarkan mereka mengelola laut yang alih-alih memporakporandakan ekosistem pesisir.  Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Karena pada praktiknya mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah Kelola laut oleh Masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.

Sementara Susan Herawati menilai ekonomi biru dan turunannya menekankan pada jual beli karbon. Namun pada realita di lapangan hal yang paling tragis adalah banyak nelayan menjual ikan untuk membeli mie instan.

“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong. Banyak kawan-kawan nelayan berjuang dengan mengokupasi lahan, membangun jalan mandiri, dan tetap melaut, karena melaut adalah kedaulatan. Hal semacam ini harusnya lebih diperhatikan,” jelas Susan.

Senada juga diungkan Abdi Suhufan, mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting. Jangan sampai ekonomi biru menyulitkan nelayan, dan hanya melakukan ini demi  agenda internasional.

“Kita harusnya menaik kelaskan nelayan kecil, agar tidak lagi bertempur di wilayah yang sudah sempit padat dengan meng-upgrade mereka sehingga bisa melaut ke wilayah yang luas dan berpotensi ikan yang melimpah, karena kapasitas penangkapan segaris dengan kesejahteraan nelayan,” jelasnya.

Suhufan menambahkan, dari KPP dia menilai sudah banyak program pengelolaan laut yang direncanakan, namun ada faktor-faktor lain yang membuat perjalanannya tidak konsisten.

Sementara Daniel Johan juga menjelaskan bagaimana di legislatif seringkali isu pesisir terpinggirkan. Hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan. Masyarakat adat biasanya juga ada di wilayah pesisir, nelayan di dalamnya.

“Saya di Komisi IV perlu sekali forum-forum semacam ini, karena bisa melakukan pengawalan dan koreksi. Termasuk peraturan ekspor sedimen pasir, lalu bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Jangan sampe hal itu merontokkan kehidupan pesisir. Terutama di tuju titik lokasi sumber ekspor. Termasuk dalam konteks budidaya. Sebenarnya saya di sini justru untuk menerima masukan dan informasi dari kawan-kawan nelayan yang lebih memahami bahari. Tapi kami akan  mengawal Undnag-Undang  yang afirmatif bagi kepentingan rakyat,” tambahnya.

Sementara Ivan menjelaskan peran institusinya mengumpulkan data mikro dan makro untuk bisa memastikan ruang dan kebijakan laut. Dia mengakui “duduk bersama” dengan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat pesisir menjadi penting.

Suara para masyarakat pesisir

Dalam diskusi tersebut para masyarakat pesisir pun ikut berbagi pengalaman terkait ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Nelayan di Pulau Masalembo misalnya, Mereka menilai pemerintah seringkali mempermainkan nelayan. Pada saat Menteri KPP Susi melarang penggunaan cantrang, menteri berikutnya mengijinkan. Mereka menginginkan pemerintah serius dalam menjaga laut Indonesia. Terkait kesejahteraan masyarakat pesisir, dia menjelaskan suasana pulau tempat dia tinggal hingga kini belum mendapatkan listrik, dan dana desa pun tidak pernah mereka nikmati.

Sementara Amir, nelayan dari Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Kini dia dan masyarakat di pulau tersebut masih merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.

Di Jepara, nelayan Eko Prasetyo, kini masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi. Sementara di pesisir Surabaya,  Rosidah Surabaya, memimpin gerakan para ibu menolak  menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya. Bahkan di Demak di Jawa Tengah, beberapa desa kini tenggelam karena kegiatan penambangan pasir laut, dan ironisnya pemerintah setempat menjadikannya sebagai “desa wisata” yang terapung.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Musfarayani

 

Kapan Nelayan Indonesia Sejahtera?

CATATAN KIARA TERHADAP KEPEMILIKAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

Oleh: Susan Herawati

Kepemilikan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah tragedi. Menunjukkan untuk kesekian kalinya kelemahan pemerintah di hadapan kuasa modal. Meski ada ribuan warga yang menghuni kepulauan tersebut, bahkan secara sah melalui proses peradilan memenangkan gugatan atas kuasa pengelolaan pulau- pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, tak lantas membuat mata pemerintah terbuka.

Upaya melindungi segenap warga, baik atas nama kemanusiaan maupun hak dan legalitas tak menunjukkan pemihakan. Sebaliknya, seperti di banyak tempat, paradigma dan kebijakan publik pemerintah jauh dari upaya dan kesadaran tugas utama mereka sebagai bagian dari negara untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi warganya dari penetrasi modal kapitalisme dalam banyak rupa dan wujudnya. Maka alih-alih menyelesaikan sengketa di ranah agrarian di wilayah Kepulaun Seribu dengan pemihakan kepada warga, pemerintah justru memberikan legitimasi terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil ini. Tragedi nyata dimulai dari situ.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, sebanyak 86 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dimiliki, baik oleh perorangan maupun lembaga tertentu (data terlampir).  Kepemilikan  pulau-pulau  kecil  ini memiliki  dampak  yang  sangat  serius bagi keberlangsungan hidup lebih dari 3.375 orang nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu.  Total  kapal  yang  digunakan  oleh  3.375  orang nelayan  sebanyak  1.380  unit, dimana  1.194 adalah  kapal-kapal  berukuran  0-5  GT  dan  186  berukuran  5-10  GT. Dengan  kata  lain,  seluruh  nelayan  di Kabupaten  Kepulauan  Seribu  merupakan nelayan tradisional.

Lalu apa dampak dari privatisasi pulau-pulau ini? Pertama: Terampasnya ruang hidup nelayan. Sebagaimana diketahui, nelayan adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan. Privatisasi pulau-pulau, mendorong para investor untuk melakukan proteksi terhadap pulau dan perairannya atas nama keamanan. Padahal, kawasan itu adalah wilayah tangkapan nelayan sejak lama. Contoh yang paling nyata adalah sulitnya nelayan-nelayan di Pulau Pari untuk melintas dan mengakses sumber daya kelautan dan perikanan di Pulau Tengah serta kawasan perairannya, yang telah dimiliki oleh Hengky Setiawan. Sejak lama, Pulau dan kawasan perairannya adalah tempat nelayan mencari ikan.

Kedua, pulau yang telah dimiliki menjadi kawasan yang sangat privat. Dalam kondisi ini, pulau-pulau kecil yang telah dimiliki tertutup untuk masyarakat. Harga mahal dari kecenderungan watak kapitalisme harus dibayar mahal “wong cilik”.

Karena sedemikian tertutupnya, maka tak jarang ada sejumlah nelayan yang dikriminalisasi karena memasuki kawasan perairan pulau tersebut atau nelayan tersebut melawan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Kriminalisasi ini jelas-jelas dialami oleh enam orang nelayan pulau pari yang kini harus berurusan dengan hukum karena mereka melawan kepemilikan Pulau Pari.

Dampak buruk terus dirasakan nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan adanya proyek Pembangunan Kawasan Srategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang menetapkan Kepulauan Seribu menjadi salah satu kawasan KSPN. Kondisi pulau- pulau yang telah diprivatisasi ini dianggap menjadi prakondisi yang baik untuk kelancaran proyek KSPN ini.

Hilang  akses  pada  sumber  kehidupan  terutama  ekonomi  berdampak  faktual  pada kemiskinan.  Privatisasi  pulau-pulau  di  Kabupaten   Kepulauan  Seribu  juga  turut berkontribusi terhadap kemiskinan di kawasan ini. Data BPS tahun 2017 mencatat, Kabupaten    Kepulauan    Seribu    merupakan    kawasan    termiskin    di    Kawasan Jabodebatek,  dimana  hampir  3000  orang  hidup  dalam  kondisi  miskin.  Salah  satu penyebabnya   adalah   hilangnya   akses   dan   kontrol   terhadap   sumberdaya   alam, khususnya sumberdaya kelautan dan perikanan.

Pengabaian Konstitusi

Persoalan  ini  pernah  diliput  oleh  sejumlah  media  besar  pada  tahun  2006,  seperti Gatra  dan  beberapa  media lain.  Namun,  pada  tahun  2006  lalu,  Indonesia  belum memiliki perangkat hukum yang bersifat sektoral dan operasional, sehingga persoalan kepemilikan pulau-pulau ini miskin perspektif, selain dari menggunakan UUD 1945 yang sangat bersifat umum.

Namun hari ini, Indonesia memiliki sejumlah perangkat hukum yang sangat spesifik mengatur persoalan ini, diantaranya sebagai berikut: pertama, UU 27 Tahun 2007 dan revisinya UU 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam pasal 63 UU ini disebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban  memberdayakan  masyarakat  dalam  meningkatkan  kesejahteraannya.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif

Kedua, putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyatakan: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan   sehat;   3)   Masyarakat   pesisir   dan   pulau-pulau   kecil   memiliki   hak   untuk mendapatkan  manfaat  dari  sumberdaya  kelautan  dan  perikanan;  4)  Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Ketiga,  UU  No.  7  Tahun  2016  tentang  Perlindungan  dan  Pemberdayaan  Nelayan, Pembudidaya  Ikan,  dan  Petambak  Garam.  Di  dalam  pasal  3,  mandat  Pemerintah terhadap nelayan dinyatakan sebagai berikut:

  1. menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha;
  2. memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan;
  3. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan;
  4. menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha;
  5. melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan
  6. memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum

Saat   ini,   Pemerintah   provinsi   DKI   Jakarta   tengah   menyusun   RZWP3K   yang merupakan mandat dari UU 1 tahun 2014. Melalui RZWP3K, seharusnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya  kelautan  dan  perikanan  di  Kabupaten  Kepulauan  Seribu  yang  sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Inilah yang harus menjadi jangkar utama perumusan RZWP3K.

Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa RZWP3K disusun untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Dengan kata lain, pengaturan ruang laut melalui RZWP3K justru akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang selama terbukti meminggirkan kehidupan nelayan. Di dalam Rancangan RZWP3K, kawasan untuk pemukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang. Selain itu, kawasan perikanan tangkap, hanya dialokasikan di beberapa titik, yaitu: Perairan kepulauan Seribu Utara, Perairan kepulauan Seribu Barat, Sebelah barat Pulau Pari, dan Pulau Putri bagian Timur. Adapun kawasan lainnya diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata, konservasi, dan zona lainnya.

Jika menggunakan tiga perangkat hukum yang disebutkan di atas, maka rancangan RZWP3K ini tidak sejalan alias bertentangan. Karenanya penyusunan RZ harus dievaluasi total dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya juga di Kawasan pesisir di banyak wilayah lainnya di indonesia.

Tragedi

Secara umum masalah nelayan dan agrarian di wilayah pesisir tidak hanya menjadi beban Pemerintah Provinsi DKI, tapi juga menjadi beban ekonomi politik yang harus mendapat perhatian utama negara. Tentu, entah sejak kapan dan akan sampai kapan, kelompok nelayan laki-laki dan perempuan adalah kantung utama kemiskinan di indonesia.

Bijak untuk tidak memberantas nelayan miskin dengan menghilangkan akses kehidupan ekonomi politik mereka melainkan tentu saja akar dan masalah struktural kemiskinan nelayan yang harus diselesaikan. Jika tidak, dan masalah ini dibiarkan, kita tak ubahnya anak yang lalai pada ibu pertiwinya, bukankah kita adalah anak-anak dari nenek moyang pelaut? Haruskan nelayan mati kelaparan karena miskin di lautnya sendiri? Sungguh sebuah tragedi!(*)

*) Susan Herawati—Sekjend KIARA

Hentikan Kriminalisasi Terhadap Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Hentikan Kriminalisasi Terhadap Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Jakarta, Selasa (16/10)– Nelayan Indonesia pada masa kini bukan hanya menghadapi masalah perubahan iklim yang ekstrim, tetapi yang lebih besar lagi yaitu menghadapi para investor tambang yang menggerus kehidupan mereka di pesisir dan menghancurkan sumber kehidupan mereka. Bahkan sejumlah kasus masyarakat pesisir dan nelayan dikiriminalisasi karena menentang kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka karena aktivitas tambang yang merusak pesisir. Demikian diungkapkan oleh Susan Herawati, Sekretariat Jenderal (Sekjen), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), pada diskusi Panel dalam acara Temu Akbar Masyarakat Pesisir dengan tema, “ Masyarakat Pesisir Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Sejahtera, di Goethe Institute Indonesia, Selasa (16/10).

Temu Akbar yang akan berlangsung hingga Kamis nanti (18/10) ini dihadiri sekitar 150 nelayan dari Aceh hingga Papua, juga menghadirkan lima narasumber lainnya yaitu Agus Darmawan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Laut Kementerian Perikanan dan Pesisir (KPP), Ivanovich Agusta dari Kapusdatin Kemendesa PDTT, Bafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW), dan Alisa Wahid dari Wahid Institute pada dialog yang digelar di hari pertama ini.

Dalam diskusi di hari pertama kegiatan ini bahkan beberapa nelayan juga mengungkapkan sulitnya ruang gerak mereka di laut setelah digempur sejumlah perusahaan tambang yang masuk di wilayah pesisir tempat hidup mereka.  Fitriyati, 28, salah satu ibu warga pesisir dari Tumpang Pitu (pesisir selatan Banyuwangi), Jawa Timur, mengungkapkan kondisi desanya yang kini terampas ruang hidupnya.

“Perusahaan pertambangan emas itu menyebabkan kami kini sulit mencari ikan, dan lingkungan kami pun sudah sangat tercemar. Kami harus mendengar ledakan-ledakan yang menghancurkan tebing dan kadang longsor yang membuat laut kami seperti “kopi susu”.  Ketika kami ingin membela kehidupan kami, kami dikriminalisasi dan dituduh PKI,” jelasnya. Fitriani sendiri baru saja beberapa bulan dibebaskan dari tahanan karena aktivitasnya bersama sejumlah warga yang menolak keberadaan tambang di pesisir desanya.

“Saya hanya memikirkan anak-anak kami. Kami ingin mereka hidup dan berkembang di lingkungan yang baik dan sehat. Kami ingin negara hadir dan berada bersama rakyatnya bukan pada perusahaan-perusahaan yang telah merampas ruang hidup kami,” jelasnya dalam forum yang kemudian disambut dukungan teriakan semangat oleh para nelayan yang hadir.

Kriminalisasi juga terjadi pada masyarakat pesisir dan nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dalam kasus tersebut nelayan tidak mendapatkan perlindungan atas tanah dan sumber daya lingkungan dan hak tenorial mereka seperti dihilangkan. Sebagai masyarakat pesisir kehidupan mereka sesungguhnya tidak hanya mencakup tentang laut dan perikanan tapi juga hak penguasaan tanah bagi nelayan.  

 Zonasi yang harus berpihak pada ekologi dan nelayan

 Menanggapi hal tersebut, Agus Dermawan selaku Dirjen Pengelolaan Laut Kementrian, Kelautan, dan Perikanan (KKL) menyampaikan peran pemerintah dalam melakukan perlindungan kepada nelayan dan memberikan ruang sebesar mungkin agar masyarakat pesisir menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri, salah satunya dengan program Zoonasi. “Dengan program Zoonasi, nanti akan jelas pembagiannya, mana yang untuk perikanan, konservasi, pertambangan, dan pariwisata,” ujarnya.

Senada dengan pemerintah pusat, menurut Ivanovich Agusta dari Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pemerintah daerah juga ikut membantu dalam mensejahterakan masyarakat pesisir.  Ivanovich mengatakan desa akan menyediakan layanan dasar seperti  dan akses supaya dapat menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.

Susan Herawati, sebagai sekjen KIARA mengingatkan kepada pemerintah agaknya banyak kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pesisir. Seperti reklamasi, menurutnya reklamasi tidak dibutuhkan oleh nelayan Indonesia. Karena pulau-pulau yang ada di Indonesia sangat kaya ada sekitar 16,056. Lalu, Susan melanjutkan mengenai kebijakan zoonasi harusnya, dirumuskan bersama masyarakat yang ada di lingkungan pesisir, agar menguntungkan masyarakat bukan perusahaan.

Senada dengan Susan, Nafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW) menjabarkan pengalamannya ketika sempat bekerjasama dengan perusahaan tambak. Ia mengatakan perusahaan hanya mengambil untung dari nelayan. Ia juga mengajurkan kepada para seluruh hadirin, kalau bisa nelayan harus mandiri, tidak perlu ketergantungan kepada pemerintah atau perusahaan. “Dengan mandiri kita bisa berdaulat,” ujarnya

Sementara narasumber lainnya,  Alissa Wahid memaparkan bagaimana kebijakan mendiang ayahnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika menjadi presiden dalam memandang kelautan. Alissa menjelaskan, Gus Dur sangat menjunjung jiwa kelautan bahkan menegaskan Indonesia harus lebih memperhatikan dunia baharinya lebih dalam.

Temu akbar pesisir ini masih akan berlangsung hingga Kamis, 19 Oktober. Sementara Rabu (17/6), 150 nelayan akan melakukan aksi long march atraktif menuju Kementerian Perdagangan dan Istana Merdeka. Mereka akan menyoroti kebijakan garam. 

Penulis : Uly Mega Septiani

Editor : Musfarayani

Kajian Lingkungan Reklamasi Jakarta Dianggap Tak Libatkan Publik

 

Jakarta, Rabu, 30 September 2017. KLHS yang dibuat Pemprov DKI dinilai tak mempertimbangkan berbagai hasil kajian sosial ekonomi yang ada.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai pemerintah tak dapat mencabut moratorium reklamasi Teluk Jakarta. Alasannya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menjadi syarat pencabutan moratorium reklamasi, tak melibatkan masyarakat, terutama dari kalangan nelayan dan organisasi lingkungan hidup.

“KLHS sampai hari ini tidak dilakukan dengan benar. Terkait pengkajian Rencana Tata Ruang (RTR) dari proses dan substansi bermasalah,” kata Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata di kantor Rujak Center for Urban Studies, Jakarta, Rabu (30/8).

Marthin menganggap selama ini pemerintah provinsi Jakarta melakukan pengkajian KLHS secara tertutup. “Pembuatan KLHS tanpa partisipasi publik dari nelayan dan organisasi lingkungan hidup,” kata Marthin.

Selain itu, KLHS yang dibuat Pemprov DKI dinilai tak mempertimbangkan berbagai hasil kajian sosial ekonomi yang ada. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian KKP padahal telah mengkaji dampak buruk reklamasi kepada nelayan di Teluk Jakarta.

“KLHS yang dilakukan cacat substansi dan hanya formalitas saja,” kata Marthin.

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup sedang memeriksa kelengkapan dokumen untuk pencabutan moratorium. Permintaan pencabutan moratorium dilayangkan Pemprov DKI Jakarta lewat surat yang meminta KLHK mencabut sanksi kepada PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Grup Agung Sedayu, atas pembangunan Pulau C dan D.

Menteri KLHK Siti Nurbaya mengatakan, dirinya telah menugaskan dua pejabat KLHK memeriksa seluruh persyaratan pencabutan sanksi setelah diterimanya surat dari Pemprov DKI.  Apabila KLHS rampung, Siti menilai KLHK dapat mencabut sanksi moratorium atas pembangunan Pulau C dan D. “Kalau itu sudah bisa, berarti dia sudah bisa selesai dari penerapan sanksinya,” kata Siti.

Selain KLHS, penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan kepada Pemprov DKI Jakarta dan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk proyek reklamasi Pulau C dan D,  juga dinilai bermasalah.

Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Tigor Hutapea mengatakan, Pulau C dan D berada di zona N1 dan P1 berdasarkan Perpres Nomor 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Zona tersebut merupakan kawasan lindung dan kawasan penyangga.

“Jika pengembang melakukan pembangunan kawasan tersebut menjadi kawasan komersial maka ada ketentuan pidana penataan ruang yang menanti di depan,” kata Tigor.

Adapun, pengacara publik LBH Jakarta, Matthew Michael mengatakan, penerbitan sertifikat HPL tanpa dasar hukum yang jelas. Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta hanya menggunakan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 206/2016 dalam penerbitan HPL.

Padahal, Pergub tersebut diterbitkan oleh Basuki Tjahaja Purnama hanya berselang dua hari sebelum dia cuti. Belum ada pula konsultasi publik atas terbitnya Pergub tersebut kepada masyarakat.

“Kami agak melihat aneh kok langsung ada HPL ini. Jadi kami menilai bahwa HPL ini menunjukan ada tata kelola pemerintahan yang buruk,” kata Matthew.

Tigor menambahkan, keputusan Pemprov DKI Jakarta yang terburu-buru tersebut seperti mengesankan adanya dorongan dari pengembang terkait penerbitan HPL dan HGB. Sebab, HPL dan HGB tersebut terbit tatkala moratorium masih berlangsung dan kajian belum diselesaikan. “Sepertinya sangat terasa sekali ini di-drive oleh investor,” kata Tigor.

Rep. :Dimas Jarot Bayu

Sumber: http://katadata.co.id/berita/2017/08/30/kajian-lingkungan-reklamasi-jakarta-dianggap-tak-libatkan-publik