Novita Ika Putri: Kampus hendaknya membumi dan ikut mencari solusi Krisis Iklim

“Saya lahir dan besar di Tanah Mas, Semarang Utara. Jadi saya termasuk warga pesisir. Waktu kecil, dampak krisis iklim ini sebenarnya sudah alami. Karena setiap banjir rob atau banjir biasa datang pasti menggenangi rumah dan jalan sekitar. Saya senang sekali kalo banjir datang karena saya bisa berenang dan yang paling saya suka libur sekolah. Namanya juga anak-anak tidak paham apa yang dialami dan terjadi,” ujar Novita Ika Putri, pada saat sesi “sharing” masyarakat pesisir dalam Festival Bahari Jawa Tengah, di Kampus Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Rabu , 11/12.

Pernyataan tersebut disambut tawa sekitar 60-an peserta masyarakat pesisir Jateng, yang kebanyakan adalah para ibu. Karena sebelumnya telah ada beberapa “curhatan” mereka tentang beratnya menjadi warga pesisir belakangan terakhir ini dengan segala dampak carut marut yang lebih disebabkan oleh aturan kebijakan yang tidak pro-keadilan iklim.

Namun, Novita segera menambahkan bahwa itu adalah cara berpikirnya saat masa kanak-kanak lebih dulu. Karena kini, banjir rob dan banjir yang hadir setiap tahun ke tanah kelahirannya tidak lagi menyenangkan. Bahkan kondisinya semakin buruk. Dia sendiri pun harus mengintai rumahnya setiap tahun.

“Saking tingginya banjir, hingga genteng rumah saya tampak pendek. Jadi, masalah-masalah pesisir ini secara pribadi dekat dengan saya,” tandasnya.

Karena itu dia mendapatkan pendekatan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) untuk berkolaborasi memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir Jateng yang terdampak- terutama dalam meningkatkan kapasista pengolahan makanan laut, sesuai dengan bidangnya, dia langsung menyambut dengan baik.

Melalui Project Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainbility (FOCUS), harapan tersebut dapat dilaksanakan secara lebih maksimal. Festival Bahari Jateng 2024 menjadi salah satu pengemasan gerakan perubahan pada permasalahan pesisir. 

“Sebelumnya kami bertemu KIARA, yang terlibat dalam proyek fokus, hingga ada omongan untuk membuat Festival Bahari Jateng untuk pemberdayaan pesisir laut yang idenya dari KIARA dan tempatnya di sini,” ujarnya saat ditemui di sela acara festival, Rabu (11/12).

Dalam Festival, kampusnya menyediakan tempat bagi delapan kelompok perempuan pesisir Jateng bisa menjajakan olahan ikan/makanan lautnya di area lobi kampus. Dia juga mengerahkan mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan Talk Show yang bernilai dan mungkin pembahasannya tidak pernah mereka temui di ruang kelas kuliah, karena membahas tentang krisis iklim di Jateng dengan menampilkan narasumber yang berkualitas, dan kritis. Dia juga memimpin langsung Workshop Pengemasan Pengolahan Makanan Laut bagi para peserta Festival.

“Kami sempat mendalami budaya masyarakat pesisir. Mengunjungi dan menginap di rumah mereka juga. Kami juga melihat pemahaman dan pengetahuan mereka dalam mengelola makanan lautnya. Dalam workshop kami saling transfer ilmu tentang pengolahan makanan laut. Secara teori dan praktik pengolahan makanan yang berstandar, dan cara pengemasan, serta pemasaranaannya kami ada ilmu dan pengalamannya jadi ini yang kami bagikan kepada merek, mudah-mudahan bisa berguna jika para ibu mau mengembangkan pasarnya lebih luas dengan lebih baik,” jelasnya.

Melalui kegiatan ini, perempuan 34 tahun ini, mengajak siswanya untuk mulai melihat keadaan sebenarnya yang dialami masyarakat. Hal tersebut, guna menyempurnakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi acuannya. Juga sebagai penanaman sikap peduli terhadap sesama.

Perempuan kelahiran Semarang Utara 5 November 1990 ini memang memahami dunia makanan makanan yang ia tekuni sejak S1 Tekonologi Pangan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (UNIKA). Dia bahkan mendalami pengolahan limbah industri pangan yang ia geluti pada S2 hingga S3 di luar negeri. Dia pun melanjutkan Strata 2 nya di MS in Food Science , Cornell University, Ithaca, USA, 2016. Kemudian melanjutkan PhD in Bioscience Engineering , KU Leuven, Belgia. Pada kelulusan Strata 3 tahun 2023, Novi mencetuskan untuk fokus pada pengolahan pangan yang berwawasan lingkungan. Ini adalah langkah awal untuk berdampak pada masyarakat melalui cakupannya. Kemudia mulai menggerakkan mereka untuk merealisasikan penelitian yang sudah dilakukan kepada masyarakat terdampak.

“Harapannya setelah ini saya bisa melihat buah dari apa yang saya ajarkan, karena secara pribadi saya ingin memberdayakan masyarakat pesisir,” harapnya.

Ia Juga menyadari bahwa apa yang ia dapatkan adalah berkat dari Tuhan dan harus dikembalikan dan disalurkan pada orang lain.

“Jadi kalau bisa kota asal berkembang dengan apa yang saya dapatkan dari luar itu seperti berkat saya bisa kuliah ke luar negeri dan harus kembali berkat itu kepada orang lain,” tutupnya.

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/ Musfarayani

Redaktur : Musfarayani

 

 

Darwati Melaut,

Siti Darwati awalnya hanya seorang ibu rumah tangga yang biasa saja. Dia mengurus kerumahtanggaan di rumah dan mengurus ketiga anaknya sehari-hari. Dia juga membantu suami yang bekerja sebagai penangkap ikan di laut atau nelayan, dengan mempersiapkan bekal, dan membantu anggota alat-alat menangkap usai suami melaut.

Namun hidup menjadi nelayan di kampung pesisir di Dukuh Tambakpulo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Jateng), tidak mudah lagi seperti dahulu kala. Seiring dengan perkembangan pembangunan hingga merambah ke wilayah ekosistem pesisir utama, dan perubahan ruang termasuk mangrove yang semakin berkurang. Membuat para nelayan di wilayah tersebut harus semakin jauh melaut untuk mendapatkan ikan. Hal ini mempegaruhi pendapatan nelayan. Termasuk suami Darwati yang semakin merasa “berat” melaut, terlebih dia juga harus membayar Anak Buah Kapal (ABK). Karena melaut sangat berat jika dilakukan sendirian jika dia ingin mendapatkan ikan lebih banyak.

Melihat kondisi tersebut, dia bergerak ingin membantu suaminya. Sejauh ini, penghasilan utama dalam keluarganya adalah tangkapan hasil ikan di laut. Dia menawarkan diri ke suaminya untuk menjadi “ABK”, guna mengurangi biaya upah ABK ini. Sehingga biaya tersebut bisa digunakan untuk membeli bahan bakar dan keperluan lainnya.

“Kalau mencari ABK atau dibagian sama ABK itu buat sehari-hari tidak cukup. Awal-awal memulai jadi ABK tidak mudah sama sekali. Selain kami malu jika diketahui tetangga atau keluarga karena perempuan ikut melaut, saya juga harus belajar cepat di laut menjadi ABK. Semula saya hanya memperhatikan suami mengemudikan kapal, menangkap ikan, lalu praktik. Ternyata tidak susah,” ungkapnya.

Jadilah dia kemudian menjadi perempuan nelayan. Namun untuk menunjukkan dirinya “sebagai nelayan” kepada publik desanya juga tidak mudah. Suami terutama merasa malu karena menyertakan istrinya di perahu. Kadang-kadang mereka berangkat dengan Darwati yang bersembunyi. Baru di laut dia bisa bebas. Darwati dan suami mulai melaut saat dini hari hingga siang hari. Setiap hari ia jalani dengan harapan mengantongi banyak ikan saat dibawa pulang dan bisa dijual,

“Saya melaut mulai jam 02.00 malam hingga jam 10.00 siang,” jawabnya saat ditanyai Tim Media KIARA, di sela acara Festival Bahari Jateng, pada Rabu (11/12).

Namun menjadi perempuan nelayan, Darwati sebenarnya bekerja lebih keras. Dia harus bangun lebih dahulu dari semuanya. Menyiapkan semua bekal untuk melaut termasuk kebutuhan anak-anaknya sekolah. Namun di laut, dia dan suaminya menjalani peran “setara” karena melakukan tugas yang beresiko dan sama beratnya dengan suaminya. Sebagai “ABK” pribadi seorang suami yang tidak bergaji, Darwati mengemudikan perahu secara bergantian dengan suaminya, dia juga menjala ikan, atau menaruh nyawa yang jatuh dari kapal yang terhempas ombak, dan bersaing dengan kapal-kapal besar yang terkadang menangkap ikan dengan “trawl”.

Meski bekerja sama beresiko dan berbahay seperti suaminya, status Darwati hanya diakui di KTP sebagai: Ibu Rumah Tangga, bukan sebagai nelayan. Karena “status pekerjaan”, di KTP ini pula yang menghalanginya mendapatkan kartu asuransi nelayan yang saat itu didistribusikan dan menjadi program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti kepada para nelayan. Ternyata di Demak, para ibu yang beralih menjadi nelayan bukan hanya Darwati, pada saat itu. Ada sekitar 33 perempuan nelayan di Demak lainya. Ya, para perempuan, yang mengemudikan kapal, dan menjala ikan di laut dengan segala risiko seperti yang dilakukan para nelayan laki-laki pada umumnya. Namun aparat desa menolaknya, karena menganggap perempuan tidak berprofesi seperti itu, mereka hanya membantu suami. Atas perjuangan panjang bersama KIARA dan Persaudaran Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), dengan bantuan sejumlah media dari Jakarta dan Jateng, akhirnya desa menyetujui perubahan status KTP mereka dari Ibu Rumah Tangga menjadi “Nelayan.” Sayangnya paska Susi tidak menjadi menteri lagi kartu asuransi ini kembali mandek.

Kisah perjuangan ibu dua anak ini sampai ke telinga pemerintah hingga mendapatkan respon. Mereka mendapatkan bantuan Jaring yaitu Glinet Kakap. Namun, bantuan tersebut kurang bermanfaat karena jaring yang dipakai mereka berbeda yaitu Glinet untuk rajungan. Selain pemerintah, respons lain datang dari lingkungan tempat tinggal.

Meskipun Darwati tidak dapat mencapai cita-citanya menjadi guru, setidaknya kini dia tetap bisa mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya. Dia tidak membiarkan anak-anaknya hidup dalam kesusahan. Dia percaya, dengan pendidikan yang baik anak-anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Karena itu dia dan suami bekerja keras menjadi nelayan demi mengupayakan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Harapan keluarga kecil ini adalah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.

Darwati menjabarkan penghasilan pekerjaannya menjadi nelayan sebenarnya jika dihitung secara matematika tidak cukup. Penghasilan mereka perharinyaa tidak menyebutkan, bisa Rp 100.000 atau paling banyak Rp 500.000. Penghasilan tersebut diakui masih kurang untuk menyambung hidup.

“Terkadang dapat banyak, kadang ga dapat apa-apa, kadang dapat 100k. Untuk perbekalan anak sekolah, sangu sekolah, atau perbekalan solar, atau makanan atau apa. Kan masih kurang,” pengakuannya.

Belum lagi dalam pekerjaan menjadi nelayan selain mendapatkan tantangan alam diterjang ombak dan cuaca buruk, terkadang mereka harus berhadapan dengan kapal-kapal pukat harimau yang menangkap ikan hingga merusak rumah-rumah ikan di laut. Kekhawatiran Mak Darwati tidak hanya pada kerugiannya sendiri, namun bagaimana kehidupan eskosistem laut yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini.

 “Alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu sudah banyak. Karena alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu dapat ikan kecil-kecil membuang sia-sia. Karena ikan itu tidak laku. Gak laku atau gak laku dijual,” ujarnya.

Pukat Harimau juga menjadi trauma tersendiri bagi Mak Darwati, pasalnya semua harta dirampas oleh Pukat Harimau,

“Dulu pernah kena pukat, saya punya jaring 60 tinting. Itu ilangnya 50 tinting. Kalau di kalikan atau di jumlah 1 tinting nya itu 300k x 50 udah berapa, 15 jt mbak. Itu harta saya, pukat ngga tanggung jawab sama sekali. Itu mbak, saya pulang menangis mbak. Nggak bisa ikan sama sekali, jaringnya udh hilang, gak bisa ganti, gak bisa ikan. Saya pulang tu nangis sama suami saya. Karena apa saya bilang kaya gini, harta saya kok hilang di ambil sia-sia,”tandasnya.

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/Musfarayani

Redaktur : Musfarayani

Berlayar dari Bugis ke Karimunjawa untuk Suatu Misi

 

Foto Bang Jeck di Festival Bahari 2024 (Dokumentasi: Adinan)

Foto Bang Jeck dalam Festival Bahari 2024 (Dokementasi: Adinan)

 

 

 

 

Bernama lengkap Bambang Zakaria (56) atau kerap disapa dengan panggilan Bang Jack ini merupakan pegiat lingkungan yang berasal dari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Namanya cukup dikenal ketika dirinya turut serta dalam menyuarakan dampak dari pencemaran limbah tambak udang ilegal di Karimunjawa. Kasus ini sempat menimpa rekan satu perjuangannya yaitu Daniel Frits Maurits, sesama pegiat lingkungan yang dikriminalisasi atas tuduhan penyebaran informasi kebencian untuk kelompok masyarakat tertentu pada Kamis, 4 April 2024 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jepara.

Dalam perjalanannya mengawal kasus tambak udang ilegal di Karimunjawa, Jawa Tengah, sosok Bang Jack sangat memiliki pengaruh. Terutama ketika dirinya melakukan orasi di dalam rapat kerja Komisi II DPR RI di Kantor BPN Jawa Tengah, Kota Semarang pada Jumat (29/9/2023). Dilansir dari keterangan Tribun Jateng.com, Bang Jack mengatakan bahwa rumput laut yang dulu menjadi sandaran ekonomi warga telah hancur karena limbah tambak udang vaname. Lalu, apa yang melandasi pria yang aktif dalam Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR) tersebut?

Sosok Bang Jack memiliki darah keturunan asal Bugis yang kental dengan kisah hidup nenek moyangnya sebagai seorang pelayar. Di Karimunjawa, ia merupakan keturunan keempat dari orang Bugis yang melakukan babat alas di wilayah ini. Babatan alas yang telah dilakukan oleh orang-orang Bugis di Karimunjawa diketahui sejak tahun 1940-an, bahkan sebelum itu sudah dilakukan. Hal ini ditandai dengan adanya Lakaya, dusun yang berdiri di tengah telaga.

“Saya ini keturunan orang Bugis yang keempat dari babat alas Karimun. Orang Bugis itu dulu berlayar ke sini untuk membuka suatu kehidupan. Ya, sekitar tahun 40-anlah menjelang kemerdekaan. Di situ ada Lakaya,” terangnya pada hari Rabu (11/12/2024).

Di samping itu, Bang Jack menceritakan bahwa para leluhurnya dulu membuka kehidupan di Karimunjawa untuk suatu misi. Kewajiban melanjutkan misi dari para leluhurnya yaitu untuk menjaga laut. Menurutnya bagi seorang pelayar lautan itu serupa ibu kandung sendiri. Laut memberikan kehidupan, perlindungan, dan rezeki sehingga menjaganya adalah bentuk rasa syukur dan penghormatan.

“Bagi seorang pelayar, lautan adalah ibu sejati kami,” tegas Bang Jack.

Meneruskan Pesan Para Leluhur

Misi yang diwariskan oleh para leluhurnya inilah yang melatarbelakangi Bang Jack untuk melakukan pengawalan terhadap isu-isu lingkungan di Karimunjawa, Jawa Tengah. Ia mengemban amanah yang harus diteruskan untuk anak-cucunya kelak. Meskipun, ia menyangkal bahwa dirinya sendiri bukan seorang aktivis lingkungan. Siapa pun yang telah merenggut ruang hidup warga Karimunjawa bukan karena bencana alam harus dilawan.

“Kata orang juga bahwa saya adalah seorang aktivis lingkungan. Padahal saya hanya memegang pesan leluhur kami. Kami di sana cari makan dari darat dan laut. Nah, kalau ada yang merusak itu sebagai generasi penerus, mosok mau sampai sini aja? Kan malu sama leluhur kami. Ya, kami lawan!” Tegasnya.

Beberapa pengawalan isu lingkungan yang telah dilakukan oleh Bang amenuai banyak dampak positif bagi nelayan Karimunjawa. Salah satunya, ketika terjadi penangkapan ikan oleh nelayan asing dengan menggunakan bahan peledak dan racun. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem laut di Karimunjawa. Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut semakin parah, tindakan preventif pun juga dilakukan. Bersama rekan-rekannya, Bang Jack melalukan edukasi juga kepada para nelayan di sana.

“Pertama, dulu yang tangkap ikan secara ugal-ugalan menggunakan bom dan racun. Benda-benda ini berasal dari luar, bukan dari kami. Mereka itu yang mengajari kami. Andaikan karang bisa dimakan, ya kami makan. Itu alhamdulillah sudah berkurang.”

Satu persoalan selesai bukan berarti persoalan lain tidak ada. Seusai berhasil menangani satu isu, Bang Jack dihadapkan lagi oleh persoalan kapal tongkang batu bara yang memasuki zona tangkap para nelayan. Singgahnya kapal ini di Karimunjawa telah merusak banyak terumbu karang. Rusaknya terumbu karang membuat ikan-ikan yang berada di sekitar zona tangkap bermigrasi ke tempat lain sehingga mempersulit para nelayan.

Semakin kompleks sebuah persoalan membuat Bang Jack harus berurusan dengan pemangku kebijakan. Sebab, pemangku kebijakan seperti pemerintah memiliki peran di balik berlabuhnya kapal tongkang batu bara di Karimunjawa. Secara tidak langsung kapal tersebut berlindung di bawah naungan para pemangku kebijakan.

“Terus nggak lama kemudian, Karimunjawa itu disinggahi oleh kapal tongkang batu bara. Ini juga merusak. Kalau begini ini itu sudah berurusan sama pemangku kebijakan. Soalnya mereka juga berlindung, makanya kami awasi. Saya juga laporin ini ke mana-mana agar ada yang mengatur zona labuhnya,” tukasnya.

Bang Jack tidak hanya menyoroti perihal dampak kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kapal tongkang batu bara saja. Tetapi, ia juga melihat dampak lain dari batu baru yang terkena rembesan air hujan. Aliran air yang keluar dari rembesan batu bara mengakibatkan laut berwarna hitam pekat dan tercemar.

“Ya, karena bukan hanya dampak tabraknya saja. Tapi batu baranya juga yang kalau turun hujan itu kan airnya mengalir sampai ke laut. Itu yang tidak dihitung oleh mereka, teman-teman Balai Taman Nasional. Itu mencemari biodata-biodata laut yang ada. Airnya menghitam itu!”

Berdasarkan dengan hasil rundingan dengan para pemangku kebijakan. Muncullah sebuah regulasi baru yang mengatur agar kapal tongkang batu bara tidak masuk ke kawasan tangkap nelayan. Meskipun dalam aturan sudah tertera, beberapa dari mereka masih ada yang ingkar secara sembunyi-bunyi. Hingga pada akhirnya, persoalan lingkungan di Karimunjawa pun merambat hingga ke kasus pencemaran limbah dari tambak udang terhadap rumput laut. Bang Jack merasa bahwa kasus ini merupakan kasus terberat yang pernah dialami oleh dirinya. Menurutnya banyak orang yang terlibat dalam kasus ini, mulai dari warga sendiri dan para pemangku kebijakan.

“Wah, itu alot sekali. Sebab, pemangku kebijakan membiarkan dan masyarakat diracuni oleh uang. Kami berteriak pun dibiarkan. Ya, akhirnya kami hanya bisa berteriak lewat sosial media. Kerusakannya sungguh luar biasa. Masyarakat kami dirusak, sosial-ekonomi, dan alam kami juga.”

Menyoal Dampak Perubahan Iklim Terhadap Nelayan Karimunjawa

Nelayan-nelayan di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya menghadapi persoalan lingkungan saja, tetapi juga dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim membawa perubahan pola terhadap musim tangkap. Menurut Bang Jack para nelayan di sana terkena dampak dan sudah tidak bisa memprediksikan hasil tangkap setiap pergi melaut.

“Itu kita kena dampak. Kami Sudah tidak bisa melakukan hitung-hitung lagi, itu sudah meleset,” ujarnya.

Dahulu para nelayan di Karimunjawa masih bisa memperhitungkan musim, kapan mereka harus pergi menangkap ikan dan kapan harus kembali. Di tambah lagi dengan pola ombak yang bisa bertambah besar sewaktu-waktu. Hal ini tentu mengancam keselamatan nelayan ketika pergi melaut. Di samping itu juga, ombak yang besar dapat mempengaruhi daya tangkap ikan bagi para nelayan.

“Patokan kami ya itu. Setelah perubahan cuaca yang tidak menentu ini kami bingung. Meskipun begitu, kami tetap melaut dengan kapal yang sudah dirancang dengan ketahanan ombak.”

Terjadinya perubahan iklim tidak membuat para nelayan patah arang. Mereka tetap pergi melaut dengan kapal yang sudah dirancang ketahanannya. Sebab, nelayan di Karimunjawa juga tidak ingin kalah saing dengan nelayan asing yang sudah menggunakan alat tangkap lebih canggih dari mereka. Menurut Bang Jack pemicu lain berkurangnya daya tangkap nelayan di Karimunjawa ini  karena para nelayan asing .

“Mereka berasal dari Jakarta, Tegal, Rembang, dan lain sebagainya menggunakan alat-alat canggih. Tapi kami tetap melaut dan tidak ingin diam,” tegas Bang Jack.

Penulis : Radit Bayu Anggoro

Editor : Musfarayani

Masyarakat Pesisir Berbagi Inspirasi dan Semangat Melalui Festival Bahari Jateng 2024

Workhop " Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir"

Talksow Interaktif sesi pertama di Festival Bahari Jateng 2024 membahas keadaan sistem pangan laut dan upaya mewujudkan kedaulatan pangan Selasa, 10 Desember 2024 (Dok: Adinan).

Mungkin tidak banyak yang mengetahui pesisir Jawa Tengah (Jateng) yang membentang dari Brebes di bagian barat hingga Rembang di timur merupakan rumah bagi berbagai ekosistem penting, seperti mangrove, muara, tambak, dan pantai, serta banyak komunitas nelayan kecil yang menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya laut.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikatan (KKP), Jateng juga memiliki sekitar 1.420 desa pesisir di mana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada sektor perikanan dan kelautan. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 640 desa nelayan tradisional. Namun kini menurut data berbagai penelitian ada 60-80% wilayah pesisirnya telah terdampak aspek krisis iklim, dan dihantam berbagai aturan pembangunan yang tidak pro-keadilan ekologi dan keadilan iklim. Dampaknya sangat signifikan, nelayan kecil, perempuan nelayan, dan masyarakat yang hidup di luar laut menghadapi tantangan besar. Penurunan hasil tangkapan ikan, abrasi pantai, hingga konflik lahan akibat proyek pembangunan adalah sebagian dari masalah yang sering mereka hadapi kini.

Adalah Festival Bahari Jateng 2024 kemudian dihadirkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Jateng. Dengan menggagas tema “Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir”, festival ini ingin menunjukkan solusi atas isu pesisir kepada masyarakat luas.

Urgensi isu yang diangkat berkaitan dengan dampak pembangunan dari masyarakat maupun pemerintah terhadap kehidupan pesisir. Dampak pembangunan di wilayah pesisir membuat masyarakat pesisir dan nelayan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan sendiri. Sehingga perlu adanya wadah untuk merangkul masyarakat pesisir dalam menyuarakan isu dan mendiskusikan solusi.

Oleh karena itu Festival Bahari Jateng 2024 berupaya menjawab keresahan tersebut dengan mengadakan Talkshow sebagai wadah untuk menampung dan memecahkan isu yang dialami. Juga, Pameran Pangan Hasil Laut yang menampilkan berbagai olahan pangan hasil laut dan Workshop Pangan Laut. Kegiatan ini menjadi fasilitas masyarakat pesisir dan nelayan untuk menggaungkan hasil pangan laut dan sebagai media untuk menyebarkan informasi luas kepada masyarakat terkait isu-isu yang belum tmenjadi populer di khalayak umum. Hal tersebut mengundang antusias masyarakat pesisir untuk datang dan menyampaikan isu-isu alami mereka.

“Saya sangat senang sekali adanya kegiatan ini. Selain kami bisa memperkenalkan produk-produk dari pesisir, kami juga ingin menyampaikan terkait penambangan pasir laut, karena kami nelayan sangat terancam,” ungkap Mak Tri Ismuyati dari PPNI Jepara, Senin (09/12/1014). 

Selain menjadi peserta pameran, para pengunjung juga diharapkan dapat mengetahui isu-isu yang dirasakan masyarakat pesisir maupun nelayan dan bagaimana hasil pangan masyarakat pesisir maupun nelayan.  

“Saya harap pada festival ini, masyarakat dapat mengenal isu-isu laut yang dialami masyarakat nelayan dan pesisir. Juga mengetahu potensi yang dimiliki masyarakat pesisir seperti petani rumput laut dan pekerja wisata karimunjawa,” Harapan Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa (09/12/2024).

Sebagai pejuang lingkungan, Daniel juga mejelaskan bahwa Festival Bahari Jateng 2024 ini dapat menjadi alternatif untuk mendialogkan solusi persoalan lingkungan khususnya pada masyarakat pesisir.

“Festival ini adalah ajang yang sangat bagus bagi masyarakat pesisir dan kepulauan di Jawa Tengah untuk tidak hanya bersuara, tapi juga untuk saling memberi telinga dan hati bagi permasalahan satu sama lain serta untuk berjejaring, bersinergi, dan bekerja sama”.

Pemilihan cakupan Jawa Tengah oleh KIARA sebagai penyelanggara Festival Bahari Jateng 2024 bukan tanpa sebab, melainkan karena fokus KIARA dua tahun terakhir ini adalah wilayah Jawa Tengah.

“Alasan Penyelenggaraan di Jawa Tengah karena KIARA sedang gencar mendampingi komunitas di Jawa Tengah dua tahun ini bersama FOCUS. Proyek Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan dan Keberlanjutan Iklim (FOCUS) yang bertujuan membangun pengelolaan pesisir terpadu untuk sistem pangan berkelanjutan bagi komunitas nelayan termasuk perempuan di Jawa Tengah, khususnya di 5 kabupaten yaitu Semarang, Demak, Kendal, Jepara dan Batang. Selain KIARA ada Humanis, Walhi, dan PKSPL IPB yang terlibat di dalamnya,” jelas Erwin Suryana, Sekretariat Nasional KIARA pada Senin (09/12/2024).

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella

Redaktur : Musfarayani

Festival Bahari 2024 Gaungkan Suara Keadilan Iklim Masyarakat Pesisir

Dua kapal nelayan kecil yang sedang melaut. (Dok: KIARA)

Mungkin untuk sebagian besar masyarakat Jawa Tengah yang tinggal melahap panganan laut di meja makan, tidak pernah berpikir betapa sulitnya para nelayan yang menyediakan panganan protein hewani laut ini dalam mendapatkannya. Selain mereka berada di garda terdepan menghadapi krisis iklim, juga harus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka di pesisir mengingat kondisinya kini mulai carut marut, terutama sejak dikeluarkannya sejumlah aturan yang justru memperpendek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem pesisir dan kehiduapan masyarakat pesisir.

Karena itu, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), merasa perlu mengingatkan masyarakat luas untuk memberikan dukungan dan solidaritas perjuangan masyarakt pesisir yang kini kehidupannya terancam, dengan menggelar kembali acara “Festival Bahari” yang dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian Kampus Unika Soegijapranata BSB City, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pada Selasa 10 Desember – 11 Desember 2024. Festival ini terakhir digelar pada tahun 2014 di Jakarta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan, di wilayah Jawa Tengah ada sekitar 1.420 desa pesisir (termasuk 640 desa nelayan)—memiliki kontribusi signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan provinsi. Meskipun desa-desa nelayan hanya mencakup sebagian kecil populasi (diperkirakan sekitar 10-15% dari total penduduk Jateng), keberadaan mereka memiliki peran strategis bagi Jawa Tengah.

Contoh saja, tambah Susan, para nelayan Jateng ini telah menyediakan kebutuhan protein bagi jutaan orang di Jawa Tengah dan daerah lainnya. Perikanan tangkap dan budidaya di pesisir memberikan pasokan ikan, udang, dan hasil laut lainnya yang menjadi bagian penting dari konsumsi lokal hingga ekspor.

“Apabila desa nelayan terancam oleh krisis iklim, dan ditambah aturan yang tidak pro-ekologi dan keadilan iklim, pasokan pangan laut Jateng bisa terganggu, yang berdampak langsung pada harga pasar dan ketersediaan makanan. Jadi jangan kalian berpikir kehidupan mereka tidak berdampak pada kalian, tapi sebaliknya tanpa mereka kalian mungkin akan kesulitan mendapatkan makanan laut yang baik dan sehat. Bukan itu saja mungkin generasi penerus kalian akan sulit menikmati keindahan laut, karena makin ke sini ekosistem pesisir kita, terutama di Jawa Tengah makin rusak,” jelas KIARA.

Karena itu Festival Bahari 2024 yang digelar ini, tandas Susan lagi bukan sekadar perayaan. Lebih dari itu menjadi “suara bahari” komunitas pesisir tentang arti penting keberadaan mereka yang selama ini sering diabaikan dan juga menyerukan tentang arti penting menjaga kedaulatan bahari Indonesia.

Sayangnya, Susan menjelaskan bahwa di wilayah pesisir Jawa Tengah, seperti Kendal, Demak, dan Jepara, para nelayan kecil menghadapi konflik yang tak terhindarkan dengan proyek-proyek besar. Penurunan jumlah ikan akibat perubahan ekosistem laut telah membuat mereka beradaptasi dengan cara-cara baru.

Salah satu contoh “kecil” adalah upaya adaptasi ini adalah mengolah hasil laut menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Beberapa diantaranya dengan mendorong kelompok perempuan untuk bisa mengolah produk ikan menjadi abon dan keripik dari pelatihan yang diadakan KIARA. Cara ini jauh lebih pragmatis dalam membantu perempuan pesisir di Jateng untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan, meski musim tangkapan sedang sulit

Apa yang membuat Festival Bahari 2024 kali ini istimewa adalah kolaborasi lintas sektor. KIARA bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan mahasiswa untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan. Misalnya, workshop pengemasan pangan laut membantu komunitas pesisir meningkatkan kualitas dan daya saing produk mereka di pasar.

Selain bazar dan workshop, festival ini juga diramaikan dengan lomba menggambar anak-anak bertema laut. Bagi Susan, ini adalah cara untuk melibatkan generasi muda dalam mencintai laut dan lingkungan. “Mereka adalah masa depan kita. Jika mereka paham pentingnya menjaga laut, maka harapan untuk keberlanjutan itu akan tetap hidup,” katanya.

Di sela-sela aktivitas festival, sebuah film dokumenter berjudul Mother of the Sea diputar, menampilkan perjuangan perempuan pesisir dalam mendapatkan pengakuan. Diskusi hangat pun mengalir, membahas bagaimana perempuan nelayan sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam pengelolaan sumber daya laut. Festival ini juga akan diramaikan para seniman pesisir dari Panggung Suara Pesisir, tempat nelayan dan masyarakat pesisir berbagi kisah.

“Jadi komunitas pesisir bukan korban perubahan, tetapi pelaku utama dalam adaptasi dan solusi. Suara mereka harus didengar, karena mereka menjaga apa yang menjadi napas kita semua—laut,” tandas Susan.

Di tengah arus perubahan, suara pesisir tak boleh hilang. Karena di balik setiap gelombang, ada kehidupan yang terus berjuang.

Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani

Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land

Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land

Written by : Budi Laksana, General Secretary of Indonesia Fisherfolk Union (SNI)

 

For Indonesia’s coastal communities, food sovereignty defines many aspects such as sustainable practices that have been managed from generation to generation, access for fisherfolk to marine and fisheries resources, including the right for fisherfolk to access and control a healthy and clean ocean (free from pollution) and much more. Unfortunately, although fisherfolk’s contribution to the food value chain is indispensable, they continue to be assumed as a marginalized community and are almost never involved in the decision-making process.

Since 1990, we, as fisherfolk, have been catching crabs to fulfill our daily needs. Fisherfolk normally sells crabs to the local market. Many people say that crab is a delicious food, but for fisherfolk like me who catch the crab, this “commodity” represents our food sovereignty, as it was once consumed by us. However, this situation changed a long time ago, as the crab market grew and altered the pattern of food consumption in fisherfolk households.

The American market has a high demand for crab,  which encouraged seafood businesses to invest in crab canning production. When I was a child, my parents still cooked crab for their children. But as the demand from the American market increased, we as fisherfolk were pushed to catch more crab to fulfill the needs of the processing company in my area in Central Java. We used to be independent fisherfolk, but now I feel more like a laborer for the processing company and its market demand.

Through the Indonesia Fisherfolk Union (BAHASA NAME, SNI), I try my best to ensure that fisherfolk in Central Java can return to the food sovereignty era before industrial crab processing took over I initiated a cooperative for fisherfolk to reduce their dependency on middlemen or loan shark.

While we are fighting to regain our food sovereignty by building a strong fisherfolk organization and a cooperative, our government released a regulation related to Measured Fishing or Penangkapan Ikan Terukur. This regulation was framed as a sustainability agenda, but it treats traditional fisherfolk the same as industrial fishing. Under Measured Fishing, the government will use marine spatial planning, e.g. zoning fisherfolk capture areas and forcing us to compete with industrial fishing. The government also asked us to pay taxes before going to sea. We opposed d this regulation by organizing protests against the government.

For us, food sovereignty means not only about our fishing areas but also about how fisherfolk can decide their own territories and manage ocean resources based on the knowledge passed down through generations. We see the WTO agenda as a threat to our sovereignty. WTO is a capitalist form that discusses the future of fisherfolk without our presence or input.

We also recognize that tenure rights are a critical aspect of achieving food sovereignty for fisherfolk. At this moment, I call on WFFP to stand firmly with the fisherfolk movement. WFFP must maintain the consistency of the fisherfolk movement, especially in key international forums. Do not compromise with the neoliberalism agenda.

 

Budi as a Fisher explaining the catch

Budi is a fisherman from Indramayu, West Java. He catches mud crab (Scylla spp), known locally as Rajungan using crab traps (bubu). Indramayu’s coastal communities are predominantly artisanal fisherfolk operating boats under 10GT. Budi highlights the role of a large processing company in his hometown and dreams of establishing a cooperative-owned crab processing company. He recognizes the unfair mechanisms in these companies and the inequalities in the value chain, which have left fisherfolk and women workers in crab processing facilities trapped in poverty.

Usually, Budi prepares his crab traps with small fish, places them in the sea, and retrieves them later depending on weather and sea conditions. His challenges include addressing the stigma of poverty and instabilities associated with fisherfolk, which discourages youth from continuing this livelihood, often opting to become migrant workers instead. .  then he will go to the sea by using his boat and he will leave it. In the next day or the afternoon (depending on the situation of wind and wave) he will go back to the sea and check for the crab trap. He was an artisanal fisherman who had a boat under 10GT. The main challenge that Budi mentions also about the regeneration of fisherfolk, the stigma attached to fisherfolk as slump and poor has an impact on the young people’s mindset that choose to be a migrant worker rather than become fisherfolk.

To address these challenges, Budi initiated two fisherwomen cooperatives in Indramayu and Cirebon, West Java, including one called Nyi Mas Kumambang. He strongly believes in the resilience of fisherwomen, seeing them as pivotal to achieving fisherfolk welfare and sovereignty for their families and communities.

 

 

Text in Bahasa

Kedaulatan Pangan Sebagai Sarana Mempertahankan Laut, Sungai, dan Daratan

Ditulis oleh : Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia 

 

Bagi masyarakat pesisir Indonesia, kedaulatan pangan mencakup banyak hal, seperti praktik berkelanjutan yang telah dikelola secara turun-temurun, akses nelayan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk hak nelayan untuk mengakses dan menguasai laut yang sehat dan bersih (bebas dari pencemaran), dan masih banyak lagi. Sayangnya, meskipun kontribusi nelayan terhadap rantai nilai pangan sangat penting, mereka masih dianggap sebagai masyarakat yang terpinggirkan dan hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Sejak tahun 1990, kami sebagai nelayan telah menangkap kepiting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nelayan biasanya menjual kepiting ke pasar lokal. Banyak orang mengatakan bahwa kepiting adalah makanan yang lezat, tetapi bagi nelayan seperti saya yang menangkap kepiting, “komoditas” ini merupakan representasi kedaulatan pangan kami, karena kepiting pernah dikonsumsi oleh kami. Namun, situasi ini berubah sejak lama, seiring dengan berkembangnya pasar kepiting dan mengubah pola konsumsi pangan di rumah tangga nelayan.

Pasar Amerika memiliki permintaan kepiting yang tinggi, yang mendorong para pelaku usaha makanan laut untuk berinvestasi dalam produksi pengalengan kepiting. Ketika saya masih kecil, orang tua saya masih memasak kepiting untuk anak-anak mereka. Namun seiring meningkatnya permintaan dari pasar Amerika, kami sebagai nelayan terdorong untuk menangkap lebih banyak kepiting untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pengolahan di daerah saya di Jawa Tengah. Kami dulunya adalah nelayan mandiri, tetapi sekarang saya lebih merasa seperti buruh bagi perusahaan pengolahan dan permintaan pasarnya.

Melalui Serikat Nelayan Indonesia (SNI), saya berusaha semaksimal mungkin agar nelayan di Jawa Tengah dapat kembali ke era kedaulatan pangan sebelum industri pengolahan kepiting mengambil alih. Saya menggagas koperasi bagi nelayan untuk mengurangi ketergantungan mereka pada tengkulak atau rentenir. Sementara kita berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan pangan kita dengan membangun organisasi nelayan yang kuat dan koperasi, pemerintah kita mengeluarkan peraturan terkait Penangkapan Ikan Terukur. Peraturan ini dibingkai sebagai agenda keberlanjutan, tetapi memperlakukan nelayan tradisional sama dengan penangkapan ikan industri. Di bawah Penangkapan Ikan Terukur, pemerintah akan menggunakan perencanaan tata ruang laut, misalnya zonasi wilayah penangkapan nelayan dan memaksa kita untuk bersaing dengan penangkapan ikan industri. Pemerintah juga meminta kita untuk membayar pajak sebelum melaut. Kami menentang peraturan ini dengan mengorganisir protes terhadap pemerintah.

Bagi kami, kedaulatan pangan tidak hanya tentang wilayah penangkapan ikan kami, tetapi juga tentang bagaimana nelayan dapat menentukan wilayah mereka sendiri dan mengelola sumber daya laut berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kami melihat agenda WTO sebagai ancaman terhadap kedaulatan kami. WTO adalah bentuk kapitalis yang membahas masa depan nelayan tanpa kehadiran atau masukan kami.

Kami juga menyadari bahwa hak tenurial merupakan aspek penting dalam mencapai kedaulatan pangan bagi nelayan. Saat ini, saya menyerukan kepada WFFP untuk berdiri teguh bersama gerakan nelayan. WFFP harus menjaga konsistensi gerakan nelayan, terutama di forum-forum internasional utama. Jangan berkompromi dengan agenda neoliberalisme.

 

Budi sebagai Nelayan menjelaskan hasil tangkapannya

Budi adalah seorang nelayan dari Indramayu, Jawa Barat. Ia menangkap kepiting bakau (Scylla spp), yang dikenal secara lokal sebagai Rajungan, menggunakan perangkap kepiting (bubu). Masyarakat pesisir Indramayu sebagian besar adalah nelayan tradisional yang mengoperasikan perahu di bawah 10GT. Budi menyoroti peran perusahaan pengolahan besar di kampung halamannya dan bermimpi mendirikan perusahaan pengolahan kepiting milik koperasi. Ia menyadari adanya mekanisme yang tidak adil di perusahaan-perusahaan ini dan ketimpangan dalam rantai nilai, yang menyebabkan nelayan dan pekerja perempuan di fasilitas pengolahan kepiting terperangkap dalam kemiskinan. Biasanya, Budi menyiapkan perangkap kepitingnya dengan ikan-ikan kecil, menaruhnya di laut, dan mengambilnya nanti tergantung pada cuaca dan kondisi laut. Tantangannya termasuk mengatasi stigma kemiskinan dan ketidakstabilan yang terkait dengan nelayan, yang membuat kaum muda enggan melanjutkan mata pencaharian ini, sering kali memilih menjadi pekerja migran. . kemudian ia akan pergi ke laut dengan menggunakan perahunya dan ia akan meninggalkannya. Keesokan harinya atau sore harinya (tergantung pada situasi angin dan ombak) ia akan kembali ke laut dan memeriksa perangkap kepiting. Ia adalah seorang nelayan tradisional yang memiliki perahu di bawah 10GT. Tantangan utama yang disebutkan Budi juga terkait regenerasi nelayan, yakni stigma yang melekat pada nelayan sebagai kaum terpuruk dan miskin berdampak pada pola pikir anak muda yang memilih menjadi TKI ketimbang menjadi nelayan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Budi menggagas dua koperasi nelayan perempuan di Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, salah satunya bernama Nyi Mas Kumambang. Ia sangat yakin dengan ketahanan nelayan perempuan, karena mereka memegang peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan dan kedaulatan bagi keluarga serta masyarakat.

 

Edited by :
Susan Herawati, General Secretaray of KIARA
Jones, SNEHA
Yifang Slot Tang, FIAN International

Masyarakat Pesisir Sambut Temu Akbar Masyarakat Pesisir

Jakarta, 7 Agustus 2024 – Sebanyak 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang hingga kini masih berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya, menyambut baik adanya even yang mereka nantikan, Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 yang digelar oleh KIARA. Kegiatan yang mengambil tema, “Memperjuangkan Kebaharian Indonesia,” dan dilakukan pada 8-10 Oktober, di Jakarta.

Salah seorang nelayan perempuan yang berasal Palu, Sulawesi Tengah, Mardia, menganggap acara ini menjadi ruang bagi para nelayan guna memperjuangkan keadilan kebaharian. Menurutnya, hari ini rakyat sudah tidak menerima keadilan dan mengakibatkan ruang hidup nelayan semakin dirampas oleh negara.

“Sudah tidak ada lagi keadilan dari pemerintah untuk rakyat sehingga ruang kehidupan nelayan semakin sempit,” jelas Ketua Koperasi Nelayan Palu, Mardia.

Tak hanya Mardia, seorang nelayan dari Pulau Haruku, Maluku, Cliff J Kissya, melihat dalam acara ini, para nelayan dapat saling berdiskusi mengenai persoalan kebaharian yang akan dihadapi mereka setelah pergantian rezim. Ia memandang rezim selanjutnya harus mencermati beberapa kebijakan demi kehidupan para nelayan, terutama di bagian Indonesia Timur.

Baginya, untuk membuat suatu kebijakan pemerintah harus berdiskusi bersama organisasi-organisasi nelayan. Dalam beberapa kebijakan, misalnya terkait larangan penangkapan ikan secara masif di wilayah penangkapan tradisional, penguatan konservasi ala rakyat di wilayah Maluku, memberikan bantuan tepat sasaran kepada nelayan tradisional, dan lainnya.

“Melibatkan organisasi nelayan terutama nelayan tradisional dalam mendiskusikan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan mereka,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga menceritakan kondisi para nelayan di Pulau Haruku. Sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan karena penurunan hasil tangkap. Hal ini disebabkan pemasangan rumpon di kawasan yang cukup jauh dari pulau sehingga ikan-ikan berkumpul di rumpon dan menjauhi wilayah pulau.

Lebih lanjut, kehadiran rumpon-rumpon membuat para nelayan harus mengeluarkan modal lebih untuk tambahan biaya operasional. Maka dari itu, keterbatasan dana menyebabkan sebagian besar nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan, petani, dan lain-lain.

“Jadi buruh bangunan ataupun proyek pemerintah di kota Ambon dan sekitarnya. Sebagian juga lebih berfokus di pertanian,” ucap Cliff.

Di samping itu, Cliff menyimpan banyak harapan terhadap acara Temu Akbar nanti. Ia berharap adanya penyadaran mengenai ketimpangan terhadap para nelayan, mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional, dan meminimalisir perampasan ruang hidup nelayan.

Kendati demikian, pada tingkatan nelayan, ia berharap para nelayan dapat mengorganisir diri dan meningkatkan kesadaran atas ketertindasannya. Hal itu perlu diperhatikan guna memperjuangkan hak-hak dan ruang hidup kelautan tanpa adanya kriminalisasi.

“Nelayan harus mengorganisir diri atas kesadaran suapaya bisa memperjuangkan hak-haknya tetap bisa melaut tanpa dikriminalisasi,” harapnya.

Penulis: Machika Salsabila

Editor: Musfarayani

Dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Dari Ekonomi Biru Membatasi Ruang Nelayan Hingga Sebuah Kampung Tenggelam

Jakarta, 8 Oktober 2024 –  Kondisi pesisir Indonesia kian memburuk. Pemerintah dianggap semakin menjauh dari tanggung jawab untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir, sementara program-program kebaharian yang dijanjikan kerap kali tidak konsisten dan lebih mengutamakan kepentingan investor. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut justru semakin terpinggirkan dan dimiskinkan.

Demikian hasil diskusi hari pertama Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, Senin, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Temu Akbar ini sendiri dihadiri 200 masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, yang kebanyakan dari mereka masih berjuang dan bahkan ada juga yang pernah dikriminalisasikan karena berjuang mendapatkan kembali ruang hidup mereka, dan mempertahankan ekosistem pesisir tempat mereka hidup.

“Pemerintah merasa memiliki hak berkuasa penuh dalam mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Menganggap laut itu tidak bertuan. Menerapkan Rezim ijin karena apa-apa harus izin. Memiliki sertifikat tidak menjamin warga tidak digusur. Negara hadir untuk merampas dan memberikan ijin pada pemilik modal demi kepentingan kapitalis,” tandas Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, pada sesi “pencerahan” dan “pengayaan,” kepada para peserta Temu Akbar.

Selain Dianto, hadir sebagai pembicara  Abdi Suhufan,  Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan, Daniel Johan, Purna Komisi IV DPR RI,  Ivanovich Agusta,  Kepala BPI Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA, Susan Herawati.

Dianto menambahkan terkait program Ekonomi Biru yang kini tengah digaungkan oleh pemerintah hanya menjadikan laut sebagai komoditas, dan tidak terdampak menyejahterakan masyarakat pesisir.

“Kita belum pernah punya rezim yang benar-benar berpihak pada rakyat. Bahkan birokrat orang kementriaan pun kalah powerful dari pemilik modal. Membiarkan mereka mengelola laut yang alih-alih memporakporandakan ekosistem pesisir.  Sebenarnya omong kosong jika masyarakat tidak bisa mengelola lautnya. Karena pada praktiknya mereka mampu mengelola bahkan yang bersifat berkelanjutan. Seperti pembagian wilayah Kelola laut oleh Masyarakat dengan peraturan lokal yang ada berjalan di wilayah mereka,” tandas Dianto.

Sementara Susan Herawati menilai ekonomi biru dan turunannya menekankan pada jual beli karbon. Namun pada realita di lapangan hal yang paling tragis adalah banyak nelayan menjual ikan untuk membeli mie instan.

“Kita dipersulit dengan skema-skema. Biru, hijau, apalah itu, terpenting adalah ekonomi kerakyatan yang harus didorong. Banyak kawan-kawan nelayan berjuang dengan mengokupasi lahan, membangun jalan mandiri, dan tetap melaut, karena melaut adalah kedaulatan. Hal semacam ini harusnya lebih diperhatikan,” jelas Susan.

Senada juga diungkan Abdi Suhufan, mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir jauh agar lebih sejahtera menjadi penting. Jangan sampai ekonomi biru menyulitkan nelayan, dan hanya melakukan ini demi  agenda internasional.

“Kita harusnya menaik kelaskan nelayan kecil, agar tidak lagi bertempur di wilayah yang sudah sempit padat dengan meng-upgrade mereka sehingga bisa melaut ke wilayah yang luas dan berpotensi ikan yang melimpah, karena kapasitas penangkapan segaris dengan kesejahteraan nelayan,” jelasnya.

Suhufan menambahkan, dari KPP dia menilai sudah banyak program pengelolaan laut yang direncanakan, namun ada faktor-faktor lain yang membuat perjalanannya tidak konsisten.

Sementara Daniel Johan juga menjelaskan bagaimana di legislatif seringkali isu pesisir terpinggirkan. Hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan. Masyarakat adat biasanya juga ada di wilayah pesisir, nelayan di dalamnya.

“Saya di Komisi IV perlu sekali forum-forum semacam ini, karena bisa melakukan pengawalan dan koreksi. Termasuk peraturan ekspor sedimen pasir, lalu bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Jangan sampe hal itu merontokkan kehidupan pesisir. Terutama di tuju titik lokasi sumber ekspor. Termasuk dalam konteks budidaya. Sebenarnya saya di sini justru untuk menerima masukan dan informasi dari kawan-kawan nelayan yang lebih memahami bahari. Tapi kami akan  mengawal Undnag-Undang  yang afirmatif bagi kepentingan rakyat,” tambahnya.

Sementara Ivan menjelaskan peran institusinya mengumpulkan data mikro dan makro untuk bisa memastikan ruang dan kebijakan laut. Dia mengakui “duduk bersama” dengan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat pesisir menjadi penting.

Suara para masyarakat pesisir

Dalam diskusi tersebut para masyarakat pesisir pun ikut berbagi pengalaman terkait ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Nelayan di Pulau Masalembo misalnya, Mereka menilai pemerintah seringkali mempermainkan nelayan. Pada saat Menteri KPP Susi melarang penggunaan cantrang, menteri berikutnya mengijinkan. Mereka menginginkan pemerintah serius dalam menjaga laut Indonesia. Terkait kesejahteraan masyarakat pesisir, dia menjelaskan suasana pulau tempat dia tinggal hingga kini belum mendapatkan listrik, dan dana desa pun tidak pernah mereka nikmati.

Sementara Amir, nelayan dari Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara menjelaskan, pulau tempatnya tinggal baru saja merasakan “kemenangan” kecil saat perjuangan panjang mereka melawan perusahaan nikel dimenangkan oleh MK. Kini dia dan masyarakat di pulau tersebut masih merasa was-was karena mereka harus terus berjuang menjaga laut dan pulau mereka jangan sampai terampas lagi.

Di Jepara, nelayan Eko Prasetyo, kini masih berjuang melawan penambangan pasir laut yang dilakukan PT Alam Lestari. Di sisi lain mereka juga masih dihadapi penambakan udang, yang membuat beberapa warganya dikriminalisasi. Sementara di pesisir Surabaya,  Rosidah Surabaya, memimpin gerakan para ibu menolak  menolak reklamasi tanpa kompensasi. Pertambangan pasir di Suramadu membuat kehilangan mata pencahariannya. Bahkan di Demak di Jawa Tengah, beberapa desa kini tenggelam karena kegiatan penambangan pasir laut, dan ironisnya pemerintah setempat menjadikannya sebagai “desa wisata” yang terapung.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Musfarayani

 

Kapan Nelayan Indonesia Sejahtera?

CATATAN KIARA TERHADAP KEPEMILIKAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU

Oleh: Susan Herawati

Kepemilikan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah tragedi. Menunjukkan untuk kesekian kalinya kelemahan pemerintah di hadapan kuasa modal. Meski ada ribuan warga yang menghuni kepulauan tersebut, bahkan secara sah melalui proses peradilan memenangkan gugatan atas kuasa pengelolaan pulau- pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, tak lantas membuat mata pemerintah terbuka.

Upaya melindungi segenap warga, baik atas nama kemanusiaan maupun hak dan legalitas tak menunjukkan pemihakan. Sebaliknya, seperti di banyak tempat, paradigma dan kebijakan publik pemerintah jauh dari upaya dan kesadaran tugas utama mereka sebagai bagian dari negara untuk mensejahterakan rakyat dan melindungi warganya dari penetrasi modal kapitalisme dalam banyak rupa dan wujudnya. Maka alih-alih menyelesaikan sengketa di ranah agrarian di wilayah Kepulaun Seribu dengan pemihakan kepada warga, pemerintah justru memberikan legitimasi terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil ini. Tragedi nyata dimulai dari situ.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, sebanyak 86 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dimiliki, baik oleh perorangan maupun lembaga tertentu (data terlampir).  Kepemilikan  pulau-pulau  kecil  ini memiliki  dampak  yang  sangat  serius bagi keberlangsungan hidup lebih dari 3.375 orang nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu.  Total  kapal  yang  digunakan  oleh  3.375  orang nelayan  sebanyak  1.380  unit, dimana  1.194 adalah  kapal-kapal  berukuran  0-5  GT  dan  186  berukuran  5-10  GT. Dengan  kata  lain,  seluruh  nelayan  di Kabupaten  Kepulauan  Seribu  merupakan nelayan tradisional.

Lalu apa dampak dari privatisasi pulau-pulau ini? Pertama: Terampasnya ruang hidup nelayan. Sebagaimana diketahui, nelayan adalah kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan. Privatisasi pulau-pulau, mendorong para investor untuk melakukan proteksi terhadap pulau dan perairannya atas nama keamanan. Padahal, kawasan itu adalah wilayah tangkapan nelayan sejak lama. Contoh yang paling nyata adalah sulitnya nelayan-nelayan di Pulau Pari untuk melintas dan mengakses sumber daya kelautan dan perikanan di Pulau Tengah serta kawasan perairannya, yang telah dimiliki oleh Hengky Setiawan. Sejak lama, Pulau dan kawasan perairannya adalah tempat nelayan mencari ikan.

Kedua, pulau yang telah dimiliki menjadi kawasan yang sangat privat. Dalam kondisi ini, pulau-pulau kecil yang telah dimiliki tertutup untuk masyarakat. Harga mahal dari kecenderungan watak kapitalisme harus dibayar mahal “wong cilik”.

Karena sedemikian tertutupnya, maka tak jarang ada sejumlah nelayan yang dikriminalisasi karena memasuki kawasan perairan pulau tersebut atau nelayan tersebut melawan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Kriminalisasi ini jelas-jelas dialami oleh enam orang nelayan pulau pari yang kini harus berurusan dengan hukum karena mereka melawan kepemilikan Pulau Pari.

Dampak buruk terus dirasakan nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan adanya proyek Pembangunan Kawasan Srategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang menetapkan Kepulauan Seribu menjadi salah satu kawasan KSPN. Kondisi pulau- pulau yang telah diprivatisasi ini dianggap menjadi prakondisi yang baik untuk kelancaran proyek KSPN ini.

Hilang  akses  pada  sumber  kehidupan  terutama  ekonomi  berdampak  faktual  pada kemiskinan.  Privatisasi  pulau-pulau  di  Kabupaten   Kepulauan  Seribu  juga  turut berkontribusi terhadap kemiskinan di kawasan ini. Data BPS tahun 2017 mencatat, Kabupaten    Kepulauan    Seribu    merupakan    kawasan    termiskin    di    Kawasan Jabodebatek,  dimana  hampir  3000  orang  hidup  dalam  kondisi  miskin.  Salah  satu penyebabnya   adalah   hilangnya   akses   dan   kontrol   terhadap   sumberdaya   alam, khususnya sumberdaya kelautan dan perikanan.

Pengabaian Konstitusi

Persoalan  ini  pernah  diliput  oleh  sejumlah  media  besar  pada  tahun  2006,  seperti Gatra  dan  beberapa  media lain.  Namun,  pada  tahun  2006  lalu,  Indonesia  belum memiliki perangkat hukum yang bersifat sektoral dan operasional, sehingga persoalan kepemilikan pulau-pulau ini miskin perspektif, selain dari menggunakan UUD 1945 yang sangat bersifat umum.

Namun hari ini, Indonesia memiliki sejumlah perangkat hukum yang sangat spesifik mengatur persoalan ini, diantaranya sebagai berikut: pertama, UU 27 Tahun 2007 dan revisinya UU 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam pasal 63 UU ini disebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban  memberdayakan  masyarakat  dalam  meningkatkan  kesejahteraannya.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif

Kedua, putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyatakan: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan   sehat;   3)   Masyarakat   pesisir   dan   pulau-pulau   kecil   memiliki   hak   untuk mendapatkan  manfaat  dari  sumberdaya  kelautan  dan  perikanan;  4)  Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Ketiga,  UU  No.  7  Tahun  2016  tentang  Perlindungan  dan  Pemberdayaan  Nelayan, Pembudidaya  Ikan,  dan  Petambak  Garam.  Di  dalam  pasal  3,  mandat  Pemerintah terhadap nelayan dinyatakan sebagai berikut:

  1. menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha;
  2. memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan;
  3. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan;
  4. menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha;
  5. melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan
  6. memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum

Saat   ini,   Pemerintah   provinsi   DKI   Jakarta   tengah   menyusun   RZWP3K   yang merupakan mandat dari UU 1 tahun 2014. Melalui RZWP3K, seharusnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya  kelautan  dan  perikanan  di  Kabupaten  Kepulauan  Seribu  yang  sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Inilah yang harus menjadi jangkar utama perumusan RZWP3K.

Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa RZWP3K disusun untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Dengan kata lain, pengaturan ruang laut melalui RZWP3K justru akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang selama terbukti meminggirkan kehidupan nelayan. Di dalam Rancangan RZWP3K, kawasan untuk pemukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang. Selain itu, kawasan perikanan tangkap, hanya dialokasikan di beberapa titik, yaitu: Perairan kepulauan Seribu Utara, Perairan kepulauan Seribu Barat, Sebelah barat Pulau Pari, dan Pulau Putri bagian Timur. Adapun kawasan lainnya diperuntukkan untuk kepentingan pariwisata, konservasi, dan zona lainnya.

Jika menggunakan tiga perangkat hukum yang disebutkan di atas, maka rancangan RZWP3K ini tidak sejalan alias bertentangan. Karenanya penyusunan RZ harus dievaluasi total dan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya juga di Kawasan pesisir di banyak wilayah lainnya di indonesia.

Tragedi

Secara umum masalah nelayan dan agrarian di wilayah pesisir tidak hanya menjadi beban Pemerintah Provinsi DKI, tapi juga menjadi beban ekonomi politik yang harus mendapat perhatian utama negara. Tentu, entah sejak kapan dan akan sampai kapan, kelompok nelayan laki-laki dan perempuan adalah kantung utama kemiskinan di indonesia.

Bijak untuk tidak memberantas nelayan miskin dengan menghilangkan akses kehidupan ekonomi politik mereka melainkan tentu saja akar dan masalah struktural kemiskinan nelayan yang harus diselesaikan. Jika tidak, dan masalah ini dibiarkan, kita tak ubahnya anak yang lalai pada ibu pertiwinya, bukankah kita adalah anak-anak dari nenek moyang pelaut? Haruskan nelayan mati kelaparan karena miskin di lautnya sendiri? Sungguh sebuah tragedi!(*)

*) Susan Herawati—Sekjend KIARA

Hentikan Kriminalisasi Terhadap Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Hentikan Kriminalisasi Terhadap Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Jakarta, Selasa (16/10)– Nelayan Indonesia pada masa kini bukan hanya menghadapi masalah perubahan iklim yang ekstrim, tetapi yang lebih besar lagi yaitu menghadapi para investor tambang yang menggerus kehidupan mereka di pesisir dan menghancurkan sumber kehidupan mereka. Bahkan sejumlah kasus masyarakat pesisir dan nelayan dikiriminalisasi karena menentang kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka karena aktivitas tambang yang merusak pesisir. Demikian diungkapkan oleh Susan Herawati, Sekretariat Jenderal (Sekjen), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), pada diskusi Panel dalam acara Temu Akbar Masyarakat Pesisir dengan tema, “ Masyarakat Pesisir Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Sejahtera, di Goethe Institute Indonesia, Selasa (16/10).

Temu Akbar yang akan berlangsung hingga Kamis nanti (18/10) ini dihadiri sekitar 150 nelayan dari Aceh hingga Papua, juga menghadirkan lima narasumber lainnya yaitu Agus Darmawan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Laut Kementerian Perikanan dan Pesisir (KPP), Ivanovich Agusta dari Kapusdatin Kemendesa PDTT, Bafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW), dan Alisa Wahid dari Wahid Institute pada dialog yang digelar di hari pertama ini.

Dalam diskusi di hari pertama kegiatan ini bahkan beberapa nelayan juga mengungkapkan sulitnya ruang gerak mereka di laut setelah digempur sejumlah perusahaan tambang yang masuk di wilayah pesisir tempat hidup mereka.  Fitriyati, 28, salah satu ibu warga pesisir dari Tumpang Pitu (pesisir selatan Banyuwangi), Jawa Timur, mengungkapkan kondisi desanya yang kini terampas ruang hidupnya.

“Perusahaan pertambangan emas itu menyebabkan kami kini sulit mencari ikan, dan lingkungan kami pun sudah sangat tercemar. Kami harus mendengar ledakan-ledakan yang menghancurkan tebing dan kadang longsor yang membuat laut kami seperti “kopi susu”.  Ketika kami ingin membela kehidupan kami, kami dikriminalisasi dan dituduh PKI,” jelasnya. Fitriani sendiri baru saja beberapa bulan dibebaskan dari tahanan karena aktivitasnya bersama sejumlah warga yang menolak keberadaan tambang di pesisir desanya.

“Saya hanya memikirkan anak-anak kami. Kami ingin mereka hidup dan berkembang di lingkungan yang baik dan sehat. Kami ingin negara hadir dan berada bersama rakyatnya bukan pada perusahaan-perusahaan yang telah merampas ruang hidup kami,” jelasnya dalam forum yang kemudian disambut dukungan teriakan semangat oleh para nelayan yang hadir.

Kriminalisasi juga terjadi pada masyarakat pesisir dan nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dalam kasus tersebut nelayan tidak mendapatkan perlindungan atas tanah dan sumber daya lingkungan dan hak tenorial mereka seperti dihilangkan. Sebagai masyarakat pesisir kehidupan mereka sesungguhnya tidak hanya mencakup tentang laut dan perikanan tapi juga hak penguasaan tanah bagi nelayan.  

 Zonasi yang harus berpihak pada ekologi dan nelayan

 Menanggapi hal tersebut, Agus Dermawan selaku Dirjen Pengelolaan Laut Kementrian, Kelautan, dan Perikanan (KKL) menyampaikan peran pemerintah dalam melakukan perlindungan kepada nelayan dan memberikan ruang sebesar mungkin agar masyarakat pesisir menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri, salah satunya dengan program Zoonasi. “Dengan program Zoonasi, nanti akan jelas pembagiannya, mana yang untuk perikanan, konservasi, pertambangan, dan pariwisata,” ujarnya.

Senada dengan pemerintah pusat, menurut Ivanovich Agusta dari Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pemerintah daerah juga ikut membantu dalam mensejahterakan masyarakat pesisir.  Ivanovich mengatakan desa akan menyediakan layanan dasar seperti  dan akses supaya dapat menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.

Susan Herawati, sebagai sekjen KIARA mengingatkan kepada pemerintah agaknya banyak kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pesisir. Seperti reklamasi, menurutnya reklamasi tidak dibutuhkan oleh nelayan Indonesia. Karena pulau-pulau yang ada di Indonesia sangat kaya ada sekitar 16,056. Lalu, Susan melanjutkan mengenai kebijakan zoonasi harusnya, dirumuskan bersama masyarakat yang ada di lingkungan pesisir, agar menguntungkan masyarakat bukan perusahaan.

Senada dengan Susan, Nafian Faiz dari Perhimpunan Penambak Plasma Udang Windu (P3UW) menjabarkan pengalamannya ketika sempat bekerjasama dengan perusahaan tambak. Ia mengatakan perusahaan hanya mengambil untung dari nelayan. Ia juga mengajurkan kepada para seluruh hadirin, kalau bisa nelayan harus mandiri, tidak perlu ketergantungan kepada pemerintah atau perusahaan. “Dengan mandiri kita bisa berdaulat,” ujarnya

Sementara narasumber lainnya,  Alissa Wahid memaparkan bagaimana kebijakan mendiang ayahnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika menjadi presiden dalam memandang kelautan. Alissa menjelaskan, Gus Dur sangat menjunjung jiwa kelautan bahkan menegaskan Indonesia harus lebih memperhatikan dunia baharinya lebih dalam.

Temu akbar pesisir ini masih akan berlangsung hingga Kamis, 19 Oktober. Sementara Rabu (17/6), 150 nelayan akan melakukan aksi long march atraktif menuju Kementerian Perdagangan dan Istana Merdeka. Mereka akan menyoroti kebijakan garam. 

Penulis : Uly Mega Septiani

Editor : Musfarayani