Novita Ika Putri: Kampus hendaknya membumi dan ikut mencari solusi Krisis Iklim

“Saya lahir dan besar di Tanah Mas, Semarang Utara. Jadi saya termasuk warga pesisir. Waktu kecil, dampak krisis iklim ini sebenarnya sudah alami. Karena setiap banjir rob atau banjir biasa datang pasti menggenangi rumah dan jalan sekitar. Saya senang sekali kalo banjir datang karena saya bisa berenang dan yang paling saya suka libur sekolah. Namanya juga anak-anak tidak paham apa yang dialami dan terjadi,” ujar Novita Ika Putri, pada saat sesi “sharing” masyarakat pesisir dalam Festival Bahari Jawa Tengah, di Kampus Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Rabu , 11/12.

Pernyataan tersebut disambut tawa sekitar 60-an peserta masyarakat pesisir Jateng, yang kebanyakan adalah para ibu. Karena sebelumnya telah ada beberapa “curhatan” mereka tentang beratnya menjadi warga pesisir belakangan terakhir ini dengan segala dampak carut marut yang lebih disebabkan oleh aturan kebijakan yang tidak pro-keadilan iklim.

Namun, Novita segera menambahkan bahwa itu adalah cara berpikirnya saat masa kanak-kanak lebih dulu. Karena kini, banjir rob dan banjir yang hadir setiap tahun ke tanah kelahirannya tidak lagi menyenangkan. Bahkan kondisinya semakin buruk. Dia sendiri pun harus mengintai rumahnya setiap tahun.

“Saking tingginya banjir, hingga genteng rumah saya tampak pendek. Jadi, masalah-masalah pesisir ini secara pribadi dekat dengan saya,” tandasnya.

Karena itu dia mendapatkan pendekatan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) untuk berkolaborasi memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir Jateng yang terdampak- terutama dalam meningkatkan kapasista pengolahan makanan laut, sesuai dengan bidangnya, dia langsung menyambut dengan baik.

Melalui Project Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainbility (FOCUS), harapan tersebut dapat dilaksanakan secara lebih maksimal. Festival Bahari Jateng 2024 menjadi salah satu pengemasan gerakan perubahan pada permasalahan pesisir. 

“Sebelumnya kami bertemu KIARA, yang terlibat dalam proyek fokus, hingga ada omongan untuk membuat Festival Bahari Jateng untuk pemberdayaan pesisir laut yang idenya dari KIARA dan tempatnya di sini,” ujarnya saat ditemui di sela acara festival, Rabu (11/12).

Dalam Festival, kampusnya menyediakan tempat bagi delapan kelompok perempuan pesisir Jateng bisa menjajakan olahan ikan/makanan lautnya di area lobi kampus. Dia juga mengerahkan mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan Talk Show yang bernilai dan mungkin pembahasannya tidak pernah mereka temui di ruang kelas kuliah, karena membahas tentang krisis iklim di Jateng dengan menampilkan narasumber yang berkualitas, dan kritis. Dia juga memimpin langsung Workshop Pengemasan Pengolahan Makanan Laut bagi para peserta Festival.

“Kami sempat mendalami budaya masyarakat pesisir. Mengunjungi dan menginap di rumah mereka juga. Kami juga melihat pemahaman dan pengetahuan mereka dalam mengelola makanan lautnya. Dalam workshop kami saling transfer ilmu tentang pengolahan makanan laut. Secara teori dan praktik pengolahan makanan yang berstandar, dan cara pengemasan, serta pemasaranaannya kami ada ilmu dan pengalamannya jadi ini yang kami bagikan kepada merek, mudah-mudahan bisa berguna jika para ibu mau mengembangkan pasarnya lebih luas dengan lebih baik,” jelasnya.

Melalui kegiatan ini, perempuan 34 tahun ini, mengajak siswanya untuk mulai melihat keadaan sebenarnya yang dialami masyarakat. Hal tersebut, guna menyempurnakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi acuannya. Juga sebagai penanaman sikap peduli terhadap sesama.

Perempuan kelahiran Semarang Utara 5 November 1990 ini memang memahami dunia makanan makanan yang ia tekuni sejak S1 Tekonologi Pangan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (UNIKA). Dia bahkan mendalami pengolahan limbah industri pangan yang ia geluti pada S2 hingga S3 di luar negeri. Dia pun melanjutkan Strata 2 nya di MS in Food Science , Cornell University, Ithaca, USA, 2016. Kemudian melanjutkan PhD in Bioscience Engineering , KU Leuven, Belgia. Pada kelulusan Strata 3 tahun 2023, Novi mencetuskan untuk fokus pada pengolahan pangan yang berwawasan lingkungan. Ini adalah langkah awal untuk berdampak pada masyarakat melalui cakupannya. Kemudia mulai menggerakkan mereka untuk merealisasikan penelitian yang sudah dilakukan kepada masyarakat terdampak.

“Harapannya setelah ini saya bisa melihat buah dari apa yang saya ajarkan, karena secara pribadi saya ingin memberdayakan masyarakat pesisir,” harapnya.

Ia Juga menyadari bahwa apa yang ia dapatkan adalah berkat dari Tuhan dan harus dikembalikan dan disalurkan pada orang lain.

“Jadi kalau bisa kota asal berkembang dengan apa yang saya dapatkan dari luar itu seperti berkat saya bisa kuliah ke luar negeri dan harus kembali berkat itu kepada orang lain,” tutupnya.

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/ Musfarayani

Redaktur : Musfarayani

 

 

Darwati Melaut,

Siti Darwati awalnya hanya seorang ibu rumah tangga yang biasa saja. Dia mengurus kerumahtanggaan di rumah dan mengurus ketiga anaknya sehari-hari. Dia juga membantu suami yang bekerja sebagai penangkap ikan di laut atau nelayan, dengan mempersiapkan bekal, dan membantu anggota alat-alat menangkap usai suami melaut.

Namun hidup menjadi nelayan di kampung pesisir di Dukuh Tambakpulo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Jateng), tidak mudah lagi seperti dahulu kala. Seiring dengan perkembangan pembangunan hingga merambah ke wilayah ekosistem pesisir utama, dan perubahan ruang termasuk mangrove yang semakin berkurang. Membuat para nelayan di wilayah tersebut harus semakin jauh melaut untuk mendapatkan ikan. Hal ini mempegaruhi pendapatan nelayan. Termasuk suami Darwati yang semakin merasa “berat” melaut, terlebih dia juga harus membayar Anak Buah Kapal (ABK). Karena melaut sangat berat jika dilakukan sendirian jika dia ingin mendapatkan ikan lebih banyak.

Melihat kondisi tersebut, dia bergerak ingin membantu suaminya. Sejauh ini, penghasilan utama dalam keluarganya adalah tangkapan hasil ikan di laut. Dia menawarkan diri ke suaminya untuk menjadi “ABK”, guna mengurangi biaya upah ABK ini. Sehingga biaya tersebut bisa digunakan untuk membeli bahan bakar dan keperluan lainnya.

“Kalau mencari ABK atau dibagian sama ABK itu buat sehari-hari tidak cukup. Awal-awal memulai jadi ABK tidak mudah sama sekali. Selain kami malu jika diketahui tetangga atau keluarga karena perempuan ikut melaut, saya juga harus belajar cepat di laut menjadi ABK. Semula saya hanya memperhatikan suami mengemudikan kapal, menangkap ikan, lalu praktik. Ternyata tidak susah,” ungkapnya.

Jadilah dia kemudian menjadi perempuan nelayan. Namun untuk menunjukkan dirinya “sebagai nelayan” kepada publik desanya juga tidak mudah. Suami terutama merasa malu karena menyertakan istrinya di perahu. Kadang-kadang mereka berangkat dengan Darwati yang bersembunyi. Baru di laut dia bisa bebas. Darwati dan suami mulai melaut saat dini hari hingga siang hari. Setiap hari ia jalani dengan harapan mengantongi banyak ikan saat dibawa pulang dan bisa dijual,

“Saya melaut mulai jam 02.00 malam hingga jam 10.00 siang,” jawabnya saat ditanyai Tim Media KIARA, di sela acara Festival Bahari Jateng, pada Rabu (11/12).

Namun menjadi perempuan nelayan, Darwati sebenarnya bekerja lebih keras. Dia harus bangun lebih dahulu dari semuanya. Menyiapkan semua bekal untuk melaut termasuk kebutuhan anak-anaknya sekolah. Namun di laut, dia dan suaminya menjalani peran “setara” karena melakukan tugas yang beresiko dan sama beratnya dengan suaminya. Sebagai “ABK” pribadi seorang suami yang tidak bergaji, Darwati mengemudikan perahu secara bergantian dengan suaminya, dia juga menjala ikan, atau menaruh nyawa yang jatuh dari kapal yang terhempas ombak, dan bersaing dengan kapal-kapal besar yang terkadang menangkap ikan dengan “trawl”.

Meski bekerja sama beresiko dan berbahay seperti suaminya, status Darwati hanya diakui di KTP sebagai: Ibu Rumah Tangga, bukan sebagai nelayan. Karena “status pekerjaan”, di KTP ini pula yang menghalanginya mendapatkan kartu asuransi nelayan yang saat itu didistribusikan dan menjadi program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti kepada para nelayan. Ternyata di Demak, para ibu yang beralih menjadi nelayan bukan hanya Darwati, pada saat itu. Ada sekitar 33 perempuan nelayan di Demak lainya. Ya, para perempuan, yang mengemudikan kapal, dan menjala ikan di laut dengan segala risiko seperti yang dilakukan para nelayan laki-laki pada umumnya. Namun aparat desa menolaknya, karena menganggap perempuan tidak berprofesi seperti itu, mereka hanya membantu suami. Atas perjuangan panjang bersama KIARA dan Persaudaran Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), dengan bantuan sejumlah media dari Jakarta dan Jateng, akhirnya desa menyetujui perubahan status KTP mereka dari Ibu Rumah Tangga menjadi “Nelayan.” Sayangnya paska Susi tidak menjadi menteri lagi kartu asuransi ini kembali mandek.

Kisah perjuangan ibu dua anak ini sampai ke telinga pemerintah hingga mendapatkan respon. Mereka mendapatkan bantuan Jaring yaitu Glinet Kakap. Namun, bantuan tersebut kurang bermanfaat karena jaring yang dipakai mereka berbeda yaitu Glinet untuk rajungan. Selain pemerintah, respons lain datang dari lingkungan tempat tinggal.

Meskipun Darwati tidak dapat mencapai cita-citanya menjadi guru, setidaknya kini dia tetap bisa mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya. Dia tidak membiarkan anak-anaknya hidup dalam kesusahan. Dia percaya, dengan pendidikan yang baik anak-anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Karena itu dia dan suami bekerja keras menjadi nelayan demi mengupayakan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Harapan keluarga kecil ini adalah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.

Darwati menjabarkan penghasilan pekerjaannya menjadi nelayan sebenarnya jika dihitung secara matematika tidak cukup. Penghasilan mereka perharinyaa tidak menyebutkan, bisa Rp 100.000 atau paling banyak Rp 500.000. Penghasilan tersebut diakui masih kurang untuk menyambung hidup.

“Terkadang dapat banyak, kadang ga dapat apa-apa, kadang dapat 100k. Untuk perbekalan anak sekolah, sangu sekolah, atau perbekalan solar, atau makanan atau apa. Kan masih kurang,” pengakuannya.

Belum lagi dalam pekerjaan menjadi nelayan selain mendapatkan tantangan alam diterjang ombak dan cuaca buruk, terkadang mereka harus berhadapan dengan kapal-kapal pukat harimau yang menangkap ikan hingga merusak rumah-rumah ikan di laut. Kekhawatiran Mak Darwati tidak hanya pada kerugiannya sendiri, namun bagaimana kehidupan eskosistem laut yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini.

 “Alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu sudah banyak. Karena alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu dapat ikan kecil-kecil membuang sia-sia. Karena ikan itu tidak laku. Gak laku atau gak laku dijual,” ujarnya.

Pukat Harimau juga menjadi trauma tersendiri bagi Mak Darwati, pasalnya semua harta dirampas oleh Pukat Harimau,

“Dulu pernah kena pukat, saya punya jaring 60 tinting. Itu ilangnya 50 tinting. Kalau di kalikan atau di jumlah 1 tinting nya itu 300k x 50 udah berapa, 15 jt mbak. Itu harta saya, pukat ngga tanggung jawab sama sekali. Itu mbak, saya pulang menangis mbak. Nggak bisa ikan sama sekali, jaringnya udh hilang, gak bisa ganti, gak bisa ikan. Saya pulang tu nangis sama suami saya. Karena apa saya bilang kaya gini, harta saya kok hilang di ambil sia-sia,”tandasnya.

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/Musfarayani

Redaktur : Musfarayani

Berlayar dari Bugis ke Karimunjawa untuk Suatu Misi

 

Foto Bang Jeck di Festival Bahari 2024 (Dokumentasi: Adinan)

Foto Bang Jeck dalam Festival Bahari 2024 (Dokementasi: Adinan)

 

 

 

 

Bernama lengkap Bambang Zakaria (56) atau kerap disapa dengan panggilan Bang Jack ini merupakan pegiat lingkungan yang berasal dari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Namanya cukup dikenal ketika dirinya turut serta dalam menyuarakan dampak dari pencemaran limbah tambak udang ilegal di Karimunjawa. Kasus ini sempat menimpa rekan satu perjuangannya yaitu Daniel Frits Maurits, sesama pegiat lingkungan yang dikriminalisasi atas tuduhan penyebaran informasi kebencian untuk kelompok masyarakat tertentu pada Kamis, 4 April 2024 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jepara.

Dalam perjalanannya mengawal kasus tambak udang ilegal di Karimunjawa, Jawa Tengah, sosok Bang Jack sangat memiliki pengaruh. Terutama ketika dirinya melakukan orasi di dalam rapat kerja Komisi II DPR RI di Kantor BPN Jawa Tengah, Kota Semarang pada Jumat (29/9/2023). Dilansir dari keterangan Tribun Jateng.com, Bang Jack mengatakan bahwa rumput laut yang dulu menjadi sandaran ekonomi warga telah hancur karena limbah tambak udang vaname. Lalu, apa yang melandasi pria yang aktif dalam Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR) tersebut?

Sosok Bang Jack memiliki darah keturunan asal Bugis yang kental dengan kisah hidup nenek moyangnya sebagai seorang pelayar. Di Karimunjawa, ia merupakan keturunan keempat dari orang Bugis yang melakukan babat alas di wilayah ini. Babatan alas yang telah dilakukan oleh orang-orang Bugis di Karimunjawa diketahui sejak tahun 1940-an, bahkan sebelum itu sudah dilakukan. Hal ini ditandai dengan adanya Lakaya, dusun yang berdiri di tengah telaga.

“Saya ini keturunan orang Bugis yang keempat dari babat alas Karimun. Orang Bugis itu dulu berlayar ke sini untuk membuka suatu kehidupan. Ya, sekitar tahun 40-anlah menjelang kemerdekaan. Di situ ada Lakaya,” terangnya pada hari Rabu (11/12/2024).

Di samping itu, Bang Jack menceritakan bahwa para leluhurnya dulu membuka kehidupan di Karimunjawa untuk suatu misi. Kewajiban melanjutkan misi dari para leluhurnya yaitu untuk menjaga laut. Menurutnya bagi seorang pelayar lautan itu serupa ibu kandung sendiri. Laut memberikan kehidupan, perlindungan, dan rezeki sehingga menjaganya adalah bentuk rasa syukur dan penghormatan.

“Bagi seorang pelayar, lautan adalah ibu sejati kami,” tegas Bang Jack.

Meneruskan Pesan Para Leluhur

Misi yang diwariskan oleh para leluhurnya inilah yang melatarbelakangi Bang Jack untuk melakukan pengawalan terhadap isu-isu lingkungan di Karimunjawa, Jawa Tengah. Ia mengemban amanah yang harus diteruskan untuk anak-cucunya kelak. Meskipun, ia menyangkal bahwa dirinya sendiri bukan seorang aktivis lingkungan. Siapa pun yang telah merenggut ruang hidup warga Karimunjawa bukan karena bencana alam harus dilawan.

“Kata orang juga bahwa saya adalah seorang aktivis lingkungan. Padahal saya hanya memegang pesan leluhur kami. Kami di sana cari makan dari darat dan laut. Nah, kalau ada yang merusak itu sebagai generasi penerus, mosok mau sampai sini aja? Kan malu sama leluhur kami. Ya, kami lawan!” Tegasnya.

Beberapa pengawalan isu lingkungan yang telah dilakukan oleh Bang amenuai banyak dampak positif bagi nelayan Karimunjawa. Salah satunya, ketika terjadi penangkapan ikan oleh nelayan asing dengan menggunakan bahan peledak dan racun. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem laut di Karimunjawa. Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut semakin parah, tindakan preventif pun juga dilakukan. Bersama rekan-rekannya, Bang Jack melalukan edukasi juga kepada para nelayan di sana.

“Pertama, dulu yang tangkap ikan secara ugal-ugalan menggunakan bom dan racun. Benda-benda ini berasal dari luar, bukan dari kami. Mereka itu yang mengajari kami. Andaikan karang bisa dimakan, ya kami makan. Itu alhamdulillah sudah berkurang.”

Satu persoalan selesai bukan berarti persoalan lain tidak ada. Seusai berhasil menangani satu isu, Bang Jack dihadapkan lagi oleh persoalan kapal tongkang batu bara yang memasuki zona tangkap para nelayan. Singgahnya kapal ini di Karimunjawa telah merusak banyak terumbu karang. Rusaknya terumbu karang membuat ikan-ikan yang berada di sekitar zona tangkap bermigrasi ke tempat lain sehingga mempersulit para nelayan.

Semakin kompleks sebuah persoalan membuat Bang Jack harus berurusan dengan pemangku kebijakan. Sebab, pemangku kebijakan seperti pemerintah memiliki peran di balik berlabuhnya kapal tongkang batu bara di Karimunjawa. Secara tidak langsung kapal tersebut berlindung di bawah naungan para pemangku kebijakan.

“Terus nggak lama kemudian, Karimunjawa itu disinggahi oleh kapal tongkang batu bara. Ini juga merusak. Kalau begini ini itu sudah berurusan sama pemangku kebijakan. Soalnya mereka juga berlindung, makanya kami awasi. Saya juga laporin ini ke mana-mana agar ada yang mengatur zona labuhnya,” tukasnya.

Bang Jack tidak hanya menyoroti perihal dampak kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kapal tongkang batu bara saja. Tetapi, ia juga melihat dampak lain dari batu baru yang terkena rembesan air hujan. Aliran air yang keluar dari rembesan batu bara mengakibatkan laut berwarna hitam pekat dan tercemar.

“Ya, karena bukan hanya dampak tabraknya saja. Tapi batu baranya juga yang kalau turun hujan itu kan airnya mengalir sampai ke laut. Itu yang tidak dihitung oleh mereka, teman-teman Balai Taman Nasional. Itu mencemari biodata-biodata laut yang ada. Airnya menghitam itu!”

Berdasarkan dengan hasil rundingan dengan para pemangku kebijakan. Muncullah sebuah regulasi baru yang mengatur agar kapal tongkang batu bara tidak masuk ke kawasan tangkap nelayan. Meskipun dalam aturan sudah tertera, beberapa dari mereka masih ada yang ingkar secara sembunyi-bunyi. Hingga pada akhirnya, persoalan lingkungan di Karimunjawa pun merambat hingga ke kasus pencemaran limbah dari tambak udang terhadap rumput laut. Bang Jack merasa bahwa kasus ini merupakan kasus terberat yang pernah dialami oleh dirinya. Menurutnya banyak orang yang terlibat dalam kasus ini, mulai dari warga sendiri dan para pemangku kebijakan.

“Wah, itu alot sekali. Sebab, pemangku kebijakan membiarkan dan masyarakat diracuni oleh uang. Kami berteriak pun dibiarkan. Ya, akhirnya kami hanya bisa berteriak lewat sosial media. Kerusakannya sungguh luar biasa. Masyarakat kami dirusak, sosial-ekonomi, dan alam kami juga.”

Menyoal Dampak Perubahan Iklim Terhadap Nelayan Karimunjawa

Nelayan-nelayan di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya menghadapi persoalan lingkungan saja, tetapi juga dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim membawa perubahan pola terhadap musim tangkap. Menurut Bang Jack para nelayan di sana terkena dampak dan sudah tidak bisa memprediksikan hasil tangkap setiap pergi melaut.

“Itu kita kena dampak. Kami Sudah tidak bisa melakukan hitung-hitung lagi, itu sudah meleset,” ujarnya.

Dahulu para nelayan di Karimunjawa masih bisa memperhitungkan musim, kapan mereka harus pergi menangkap ikan dan kapan harus kembali. Di tambah lagi dengan pola ombak yang bisa bertambah besar sewaktu-waktu. Hal ini tentu mengancam keselamatan nelayan ketika pergi melaut. Di samping itu juga, ombak yang besar dapat mempengaruhi daya tangkap ikan bagi para nelayan.

“Patokan kami ya itu. Setelah perubahan cuaca yang tidak menentu ini kami bingung. Meskipun begitu, kami tetap melaut dengan kapal yang sudah dirancang dengan ketahanan ombak.”

Terjadinya perubahan iklim tidak membuat para nelayan patah arang. Mereka tetap pergi melaut dengan kapal yang sudah dirancang ketahanannya. Sebab, nelayan di Karimunjawa juga tidak ingin kalah saing dengan nelayan asing yang sudah menggunakan alat tangkap lebih canggih dari mereka. Menurut Bang Jack pemicu lain berkurangnya daya tangkap nelayan di Karimunjawa ini  karena para nelayan asing .

“Mereka berasal dari Jakarta, Tegal, Rembang, dan lain sebagainya menggunakan alat-alat canggih. Tapi kami tetap melaut dan tidak ingin diam,” tegas Bang Jack.

Penulis : Radit Bayu Anggoro

Editor : Musfarayani

Upaya Berdaulat Pangan, Siasat Bumbu Kuning dan Sambel Kerang Dalam Mengambil Peran

Workshop Hari Pertama “Mengolah dan Mengkemas Hasil Laut” (Doc: Tegar)

Bertempat di Laboratorium Dasar Food Tech, Soegijapranata Catholic University, terdapat momen menarik, ruangan yang biasanya dipakai untuk praktek mahasiswa. Pada hari Selasa (10/12/2024), nampak berbeda dengan hadirnya ibu-ibu yang sudah siap untuk memulai praktek memasak. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa bumbu-bumbu dapur serta peralatan masak, yang berada di depan mereka.

Tukar “ilmu memasak” terjadi antara “chef” perempuan pesisir Jawa Tengah dengan mahasiswa. Dengan apron yang sudah melekat serta peralatan yang lebih proper dari ibu-ibu pesisir, Dr. A. Rika Pratiwi, M.Si., beserta mahasiswa teknologi pangan sharing cara mengolah hasil laut berdasarkan keilmuan yang digeluti.

Workshop kali ini terkait “Pengemasan Hasil Produk”, dengan produk olahan ikan kembung yang dibumbu kuning serta kerang yang di tongseng dengan sambal. Sebelum masuk dalam praktek memasak Rika menjelaskan ke ibu-ibu, dalam mengolah makanan kebersihan bahan pangan wajib diperhatikan. Sebab, bahan makanan yang diolah dengan cara tidak higenis akan memunculkan mikrobakteri yang mengakibatkan proses pembusukan menjadi lebih cepat. Dibandingkan dengan ikan yang diolah secara higienis. Rika turut menambahkan ketika makanan yang sedari awal tidak higienis dikemas, akan cepat membusuk.

Setelah sedikit pemaparan, ibu-ibu mulai mengolah ikan kembung dan kerang. Memulai dengan mencuci bersih ikan serta kerang, melalui air yang mengalir dari wastafel. Dalam memasak ibu-ibu nampak terampil dalam mengolah bumbu-bumbu dapur, tak sedikitpun raut wajah yang menunjukan kebingungan. Suasana sedikit buyar yang awalnya ibu-ibu fokus pada masing-masing olahan, satu persatu orang yang di dalam ruangan mulai bersin ketika bumbu dapur di tongseng dengan minyak yang panas. Bau rempah-rempah yang begitu kuat, menusuk ke hidung.

Mengolah hasil laut dengan rempah-rempah, biasa dilakukan ibu-ibu di wilayah pesisir hal ini disampaikan Nurika salah satu perempuan pesisir yang datang dari Tambakpolo, Demak. Ini bukan suatu hal yang baru buat Nurika, dia sudah terbiasa mengolah hasil laut dengan bumbu kuning, suatu hal yang baru bagi dia mengolah kerang dengan tongseng pakai sambel, karena biasanya kerang dia olah pakai kecap. Selain itu hal baru yang diperoleh dalam pelatihan ini, sebelumnya Nurika terbiasa masak dengan bumbu yang dikira-kira, tapi dalam kepelatihan ini ia menyadari takaran yang tepat berpengaruh pada kualitas makanan.

Tak disangka ikan kembung bumbu kuning serta sambal kerang sudah matang, baunya sungguh menggoda. Momen yang paling ditunggu ialah mencicipi, ternyata kepelatihan tidak berhenti disitu saja, makanan yang sudah matang selanjutnya akan dikemas. Workshop kali ini juga mengajarkan ibu-ibu pesisir cara mengemas produk dengan prosedur yang tepat.

Workshop pengemasan yang diberikan berupa kepelatihan vacuum bag, hal ini tentu pengalaman baru bagi mereka. Karena sebelumnya ibu-ibu di pesisir belum memprioritaskan olahan yang biasa dimasak sehari-hari untuk produk yang diperjual belikan. Sembari di dampingi mahasiswa, olahan yang sudah jadi mulai dikemas dimasukkan ke kemasan. Untuk sambal kerang dimasukkan di botol kecil, atasnya dilapisi alumunium foil setelah itu ditutup. Sedangkan untuk ikan bumbu kuning dikemas dalam plastik vacuum, kemudian di press menggunakan mesin. Ibu-ibu nampak antusias, dengan senda gurau melakukan proses pengkemasan olahan yang sudah mereka masak.

Disela-sela kepelatihan Rika menjelaskan, alasannya memilih ikan kembung bumbu kuning dan sambal kerang untuk kepelatihan, bukannya hal itu sudah dikuasai ibu-ibu tanpa perlu mengikuti workshop. Ia beranggapan ikan dan kerang merupakan hal yang dekat dengan perempuan yang hidup di wilayah pesisir. Hal yang lekat sehari-hari inilah yang potensial untuk dikembangkang guna membangun kemandirian dalam sektor perekonomian. “Produk seperti sambal kerang atau ikan bumbu kuning dapat dikemas dan dijual, bahkan ke luar daerah,” kata Rika. Ini menjadi peluang bagi ibu-ibu pesisir untuk menciptakan alternatif penghasilan, terutama saat suami mereka tidak bisa melaut karena cuaca buruk.

Lebih jauh, Rika menekankan bahwa inovasi sederhana seperti ini dapat mengatasi masalah pemborosan hasil laut. “Daripada membuang ikan yang tidak terjual, mereka bisa mengolahnya menjadi produk bernilai jual,” tambahnya.

Perubahan iklim telah membawa tantangan besar bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan laporan Bappenas, nilai ekonomi yang hilang akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai Rp81,53 triliun antara 2020 hingga 2024. Dengan ikan bermigrasi ke perairan yang lebih dalam, nelayan tradisional yang menggunakan peralatan sederhana menghadapi penurunan hasil tangkapan hingga 30% di beberapa wilayah.

Namun, melalui program seperti workshop ini, ada secercah harapan. Para perempuan pesisir kini memiliki keterampilan baru untuk mengolah hasil laut menjadi produk yang tidak hanya bergizi, tetapi juga bernilai ekonomis. Sambal kerang dan ikan bumbu kuning yang dihasilkan bukan sekadar makanan, melainkan simbol kemandirian dan ketangguhan mereka di tengah tantangan zaman.

“Saya yakin, dengan pelatihan seperti ini, perempuan pesisir bisa lebih berdaya,” tutur Ibu Rika di akhir acara. Dengan wajah penuh harapan, ibu-ibu peserta pelatihan keluar ruangan, membawa pulang masakan mereka yang sudah dikemas. 

Penulis: Yasin Fajar

Editor : Musfarayani

Jawa Tengah Segera Tenggelam, Akankah Pemerintah Hanya Diam

Talksow Interaktif sesi kedua di Festival Bahari Jateng 2024 membahas “Menghadapi Perubahan Iklim dan Upaya Penguatan Sistem Pangan” Rabu, 11 Desember 2024
(Dok: Adinan).

Kejadian alam atau persoalan lingkungan sudah mempunyai kedekatan tersendiri bagi beberapa daerah salah satunya Provinsi Jawa Tengah, persoalan lingkungan di Jawa Tengah dalam catatan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Semarang terdapat 139 persoalan lingkungan, lebih dari setengahnya 101 bencana banjir dan longsor serta 9 persoalan kekeringan. Namun perlu kita ketahui krisis iklim yang terjadi bukan semata-mata kejadian alam yang alamiah, tetapi ada sebab-sebab lokal yang harus diminta pertanggunga jawabannya.

Hal tersebut disinggung dan diperbincangkan secara lebih mendalam oleh pemateri pada talkshow Festival Bahari 2024 yang bertajuk “Menghadapi Perubahan Iklim dan Upaya Penguatan Sistem Pangan Lokal” di Soegijapranata Chatolic University (SCU), BSB City, Kota Semarang, pada Rabu 11/12.

“Sebenernya krisis iklim itu dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti, hujan yang tidak nentu, kemarau panjang, cuaca yang semakin, yang menjadi persoalan apakah itu diidentifikasikan sebagai krisis iklim atau hanya kondisi alamiah. Hal tersebut tentunya bukan terjadinya secara alamiah begitu saja, tetapi adanya percepatan-percepatan dan tindakan-tindakan dari negara dan pemilik modal yang memperparah kondisi itu,” ucap Cornelius Gea dari LBH Semarang.

Sependapat dengan Widi Handayani dari Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan SCU, dengan antusiasnya Widi bercerita ketika ia berkunjung ke museum Sangiran bahwa memang perubahan iklim itu bukan terjadi secara natural tetapi terjadi secara organic. Adapun dampaknya untuk sektor perikanan yaitu, kematian kerang, terjadinya migrasi ikan, dan berdampak pada penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim.

“Penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim, terutama dengan adanya peningkatan suhu di laut. Dampaknya pada biota laut seperti kematian kerang dan terjadinya migrasi ikan, tentu ini akan menimbulkan kesulitan untuk nelayan tradisional khususnya,” kata Widi.

Kebijakan Pemerintah Tak Lagi Melirik Krisis Iklim
Anggota Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Abdurrahman Sandriyanie menjelaskan, kebijakan-kebijakan atau regulasi pemerintah mengenai persoalan iklim seringkali lebih menuju ke arah infrastruktur dibanding perubahan iklim itu sendiri.

“Sekitar 45 regulasi yang membahas tentang iklim lebih banyak ke infrastruktur dan kita belum mempunyai satu payung yang menurut kita efektif. Sementara, regulasi yang kita punya masih tahap teknikalisasi hanya sebatas pengertian. Proyek-proyek yang mengatasnamakan iklim, tetapi malah menghancurkan pengetahuan masyarakat tentang iklim tersebut serta banyaknya proyek-proyek PSN yang merampas ruang hidup masyarakat,” jelas Abdur.

Hal itu ditambahkan oleh Susan Herawati Sekretaris Jendral KIARA, ia berpendapat bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan jalan beriringan bersama masyarakat kecil termasuk warga pesisir. Mereka akan bersama kita jika kita sudah mencapai yang mereka inginkan, dengan pola-pola mereka yang mengatasnamakan iklim, lingkungan, pasti tidak lepas dari perampasan ruang secara halus maupun paksa dan adapun penanggulangan yang dilakukan namun tidak efektif.

“Untuk melakukan gerakan jangan menunggu dari pihak pemerintah, mau sampai Firaun bangkit pun mereka tidak akan tergerak. Pemerintah itu akan datang kalau kita itu sukses, mereka mau terbangun ketika organisasi itu sudah besar, saya percaya bahwa sistem perlawanan harus masuk ke dalam politik, masalahnya di Indonesia ini butu modal dan pastinya mahal. Parahnya lagi, setiap ganti pemerintah terus ganti pemikiran,” ungkap Susan.

Upaya Masyarakat di Balik Krisis Iklim
Ditengah-tengah penyampaian materi Cornelius Gea juga menambahkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang terdampak mempunyai cara atau pengetahuannya sendiri dalam bertahan dan beradaptasi ditengah-tengah perubahan iklim, namun seringkali hal itu tidak dilirik oleh pemerintah negara bahkan terabaikan begitu saja.

“Sebenernya masyarakat kampung,masyarakat lokal, mereka mempunyai pengetahuan sendiri untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap krisis iklim ini. Sayangnya itu gak pernah dipakai sebagai pengetahuan penting bagi negara untuk menciptakan solusi-solusi yang ketika menghadapi krisis iklim,” tambah Cornelius.

Talkshow ini pun tak lepas dari keterlibatan masyarakat pesisir maupun para nelayan, Festival Bahari mengundang warga terdampak sekaligus aktivis perempuan yang sudah cukup lama bahkan sejak kecil merasakan perubahan-perubahan keadaan laut yaitu Mas’nuah yang aktif di Organisasi Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari atau Persaudaraan Nelayan Indonesia.

Ia menekankan agar masyarakat pesisir menguatkan pengorganisasian dan perekonomian, dengan organisasi yang kuat serta jaringan-jaringan yang luas dapat membantu masyarakat dalam menghadapi konflik yang dihadapi serta ekonomi yang cukup juga terhindar dari penyuapan dari pihak yang merugikan masyarakat.

“Kemandirian menjadi kunci utama dalam sebuah gerakan, membentuk organisasi kalau tidak diimbangi dengan ekonomi yang baik itu juga otomatis gerakannya tidak akan hidup, dan tentunya organisasi yang kuat agar memperkuat juga prinsip solidaritas kita serta perbanyak jejaring. Apalagi kita dihadapkan ancaman, tantangan tambang, akramasi, dan lain sebagainya, maka saya selalu ingat bahwa dalam pergerakan jangan sampai kita lapar agar tidak gampang dibayar,” kata Mas’unah dengan nada yang menggebu-gebu.

Susan Herawati dalam hali ini menegaskan agar pemerintah tidak perlu susah payah memikirkan dan memberi solusi kepada masyarakat jika tidak ada keterlibatan masyarakat dan pada akhirnya, mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.

“Mereka berbicara tentang umat dengan solusi yang tidak wise sebenarnya, apa pun solusi yang digulirkan untuk menghadapi krisis iklim itu semuanya palsu. Tidak berbasis pada pengetahuan lokal. Misalnya, banjir kok solusinya tanggul laut, tol laut, dan lain sebagainya, masyarakat lebih tahu cara menyelamatkan dirinya sendiri, jadi jangan ajari mereka, tapi tanyalah mereka,” tegas Susan.

Dapat kita garis bawahi bahwa upaya dalam krisis iklim ini perlu adanya keterlibatan masyarakat pesisi ataupun masyarakat terdampak dalam penanganan krisis iklim. Tentunya tidak lepas dari akademisi dan LSM sebagai penyambung lidah yang mempunyai jiwa kritis, memiliki perspektif lebih untuk mendukung warga yang menjadi korban iklim atau perampasan ruang tidak lebih membaca kebijakan-kebijakan diatas kertas saja.

Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani

Masyarakat Pesisir Berbagi Inspirasi dan Semangat Melalui Festival Bahari Jateng 2024

Workhop " Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir"

Talksow Interaktif sesi pertama di Festival Bahari Jateng 2024 membahas keadaan sistem pangan laut dan upaya mewujudkan kedaulatan pangan Selasa, 10 Desember 2024 (Dok: Adinan).

Mungkin tidak banyak yang mengetahui pesisir Jawa Tengah (Jateng) yang membentang dari Brebes di bagian barat hingga Rembang di timur merupakan rumah bagi berbagai ekosistem penting, seperti mangrove, muara, tambak, dan pantai, serta banyak komunitas nelayan kecil yang menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya laut.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikatan (KKP), Jateng juga memiliki sekitar 1.420 desa pesisir di mana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada sektor perikanan dan kelautan. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 640 desa nelayan tradisional. Namun kini menurut data berbagai penelitian ada 60-80% wilayah pesisirnya telah terdampak aspek krisis iklim, dan dihantam berbagai aturan pembangunan yang tidak pro-keadilan ekologi dan keadilan iklim. Dampaknya sangat signifikan, nelayan kecil, perempuan nelayan, dan masyarakat yang hidup di luar laut menghadapi tantangan besar. Penurunan hasil tangkapan ikan, abrasi pantai, hingga konflik lahan akibat proyek pembangunan adalah sebagian dari masalah yang sering mereka hadapi kini.

Adalah Festival Bahari Jateng 2024 kemudian dihadirkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Jateng. Dengan menggagas tema “Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir”, festival ini ingin menunjukkan solusi atas isu pesisir kepada masyarakat luas.

Urgensi isu yang diangkat berkaitan dengan dampak pembangunan dari masyarakat maupun pemerintah terhadap kehidupan pesisir. Dampak pembangunan di wilayah pesisir membuat masyarakat pesisir dan nelayan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan sendiri. Sehingga perlu adanya wadah untuk merangkul masyarakat pesisir dalam menyuarakan isu dan mendiskusikan solusi.

Oleh karena itu Festival Bahari Jateng 2024 berupaya menjawab keresahan tersebut dengan mengadakan Talkshow sebagai wadah untuk menampung dan memecahkan isu yang dialami. Juga, Pameran Pangan Hasil Laut yang menampilkan berbagai olahan pangan hasil laut dan Workshop Pangan Laut. Kegiatan ini menjadi fasilitas masyarakat pesisir dan nelayan untuk menggaungkan hasil pangan laut dan sebagai media untuk menyebarkan informasi luas kepada masyarakat terkait isu-isu yang belum tmenjadi populer di khalayak umum. Hal tersebut mengundang antusias masyarakat pesisir untuk datang dan menyampaikan isu-isu alami mereka.

“Saya sangat senang sekali adanya kegiatan ini. Selain kami bisa memperkenalkan produk-produk dari pesisir, kami juga ingin menyampaikan terkait penambangan pasir laut, karena kami nelayan sangat terancam,” ungkap Mak Tri Ismuyati dari PPNI Jepara, Senin (09/12/1014). 

Selain menjadi peserta pameran, para pengunjung juga diharapkan dapat mengetahui isu-isu yang dirasakan masyarakat pesisir maupun nelayan dan bagaimana hasil pangan masyarakat pesisir maupun nelayan.  

“Saya harap pada festival ini, masyarakat dapat mengenal isu-isu laut yang dialami masyarakat nelayan dan pesisir. Juga mengetahu potensi yang dimiliki masyarakat pesisir seperti petani rumput laut dan pekerja wisata karimunjawa,” Harapan Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa (09/12/2024).

Sebagai pejuang lingkungan, Daniel juga mejelaskan bahwa Festival Bahari Jateng 2024 ini dapat menjadi alternatif untuk mendialogkan solusi persoalan lingkungan khususnya pada masyarakat pesisir.

“Festival ini adalah ajang yang sangat bagus bagi masyarakat pesisir dan kepulauan di Jawa Tengah untuk tidak hanya bersuara, tapi juga untuk saling memberi telinga dan hati bagi permasalahan satu sama lain serta untuk berjejaring, bersinergi, dan bekerja sama”.

Pemilihan cakupan Jawa Tengah oleh KIARA sebagai penyelanggara Festival Bahari Jateng 2024 bukan tanpa sebab, melainkan karena fokus KIARA dua tahun terakhir ini adalah wilayah Jawa Tengah.

“Alasan Penyelenggaraan di Jawa Tengah karena KIARA sedang gencar mendampingi komunitas di Jawa Tengah dua tahun ini bersama FOCUS. Proyek Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan dan Keberlanjutan Iklim (FOCUS) yang bertujuan membangun pengelolaan pesisir terpadu untuk sistem pangan berkelanjutan bagi komunitas nelayan termasuk perempuan di Jawa Tengah, khususnya di 5 kabupaten yaitu Semarang, Demak, Kendal, Jepara dan Batang. Selain KIARA ada Humanis, Walhi, dan PKSPL IPB yang terlibat di dalamnya,” jelas Erwin Suryana, Sekretariat Nasional KIARA pada Senin (09/12/2024).

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella

Redaktur : Musfarayani

Festival Bahari 2024 Gaungkan Suara Keadilan Iklim Masyarakat Pesisir

Dua kapal nelayan kecil yang sedang melaut. (Dok: KIARA)

Mungkin untuk sebagian besar masyarakat Jawa Tengah yang tinggal melahap panganan laut di meja makan, tidak pernah berpikir betapa sulitnya para nelayan yang menyediakan panganan protein hewani laut ini dalam mendapatkannya. Selain mereka berada di garda terdepan menghadapi krisis iklim, juga harus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka di pesisir mengingat kondisinya kini mulai carut marut, terutama sejak dikeluarkannya sejumlah aturan yang justru memperpendek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem pesisir dan kehiduapan masyarakat pesisir.

Karena itu, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), merasa perlu mengingatkan masyarakat luas untuk memberikan dukungan dan solidaritas perjuangan masyarakt pesisir yang kini kehidupannya terancam, dengan menggelar kembali acara “Festival Bahari” yang dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian Kampus Unika Soegijapranata BSB City, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pada Selasa 10 Desember – 11 Desember 2024. Festival ini terakhir digelar pada tahun 2014 di Jakarta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan, di wilayah Jawa Tengah ada sekitar 1.420 desa pesisir (termasuk 640 desa nelayan)—memiliki kontribusi signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan provinsi. Meskipun desa-desa nelayan hanya mencakup sebagian kecil populasi (diperkirakan sekitar 10-15% dari total penduduk Jateng), keberadaan mereka memiliki peran strategis bagi Jawa Tengah.

Contoh saja, tambah Susan, para nelayan Jateng ini telah menyediakan kebutuhan protein bagi jutaan orang di Jawa Tengah dan daerah lainnya. Perikanan tangkap dan budidaya di pesisir memberikan pasokan ikan, udang, dan hasil laut lainnya yang menjadi bagian penting dari konsumsi lokal hingga ekspor.

“Apabila desa nelayan terancam oleh krisis iklim, dan ditambah aturan yang tidak pro-ekologi dan keadilan iklim, pasokan pangan laut Jateng bisa terganggu, yang berdampak langsung pada harga pasar dan ketersediaan makanan. Jadi jangan kalian berpikir kehidupan mereka tidak berdampak pada kalian, tapi sebaliknya tanpa mereka kalian mungkin akan kesulitan mendapatkan makanan laut yang baik dan sehat. Bukan itu saja mungkin generasi penerus kalian akan sulit menikmati keindahan laut, karena makin ke sini ekosistem pesisir kita, terutama di Jawa Tengah makin rusak,” jelas KIARA.

Karena itu Festival Bahari 2024 yang digelar ini, tandas Susan lagi bukan sekadar perayaan. Lebih dari itu menjadi “suara bahari” komunitas pesisir tentang arti penting keberadaan mereka yang selama ini sering diabaikan dan juga menyerukan tentang arti penting menjaga kedaulatan bahari Indonesia.

Sayangnya, Susan menjelaskan bahwa di wilayah pesisir Jawa Tengah, seperti Kendal, Demak, dan Jepara, para nelayan kecil menghadapi konflik yang tak terhindarkan dengan proyek-proyek besar. Penurunan jumlah ikan akibat perubahan ekosistem laut telah membuat mereka beradaptasi dengan cara-cara baru.

Salah satu contoh “kecil” adalah upaya adaptasi ini adalah mengolah hasil laut menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Beberapa diantaranya dengan mendorong kelompok perempuan untuk bisa mengolah produk ikan menjadi abon dan keripik dari pelatihan yang diadakan KIARA. Cara ini jauh lebih pragmatis dalam membantu perempuan pesisir di Jateng untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan, meski musim tangkapan sedang sulit

Apa yang membuat Festival Bahari 2024 kali ini istimewa adalah kolaborasi lintas sektor. KIARA bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan mahasiswa untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan. Misalnya, workshop pengemasan pangan laut membantu komunitas pesisir meningkatkan kualitas dan daya saing produk mereka di pasar.

Selain bazar dan workshop, festival ini juga diramaikan dengan lomba menggambar anak-anak bertema laut. Bagi Susan, ini adalah cara untuk melibatkan generasi muda dalam mencintai laut dan lingkungan. “Mereka adalah masa depan kita. Jika mereka paham pentingnya menjaga laut, maka harapan untuk keberlanjutan itu akan tetap hidup,” katanya.

Di sela-sela aktivitas festival, sebuah film dokumenter berjudul Mother of the Sea diputar, menampilkan perjuangan perempuan pesisir dalam mendapatkan pengakuan. Diskusi hangat pun mengalir, membahas bagaimana perempuan nelayan sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam pengelolaan sumber daya laut. Festival ini juga akan diramaikan para seniman pesisir dari Panggung Suara Pesisir, tempat nelayan dan masyarakat pesisir berbagi kisah.

“Jadi komunitas pesisir bukan korban perubahan, tetapi pelaku utama dalam adaptasi dan solusi. Suara mereka harus didengar, karena mereka menjaga apa yang menjadi napas kita semua—laut,” tandas Susan.

Di tengah arus perubahan, suara pesisir tak boleh hilang. Karena di balik setiap gelombang, ada kehidupan yang terus berjuang.

Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani