Nama dan Peristiwa

Kisah Mak Tri : Merawat Laut, Memberdayakan Perempuan

Tri Ismuyati Menjadi Pembicara di Festival Bahari 2024 (Dok: Adinan)

Tri Ismuyati, perempuan yang kerap disapa Mak Tri tumbuh besar di wilayah pesisir  tepatnya Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Saat ini ia berkesibukan sebagai petani tambak. Sebelum mengelola tambak Mak Tri beraktivitas, memasarkan dan membuat olahan hasil tangkapan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan. Tapi semenjak merendahnya hasil tangkapan ikan laut, akhirnya Mak Tri dan suaminya banting setir dengan berbudidaya ikan bandeng dan mujair, yang dikelola di kolam buatan atau yang biasa disebut tambak. Setiap empat bulan sekali ikan-ikan itu dipanen, lalu di distribusikan ke pasar-pasar terdekat, hasil penjualan itu yang dipakai Mak Tri dan suami mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dilakukan semenjak hasil laut tidak memungkinkan untuk menjadi tumpuan perekonomian keluarga Mak Tri.

 

Rendahnya hasil tangkapan ikan di laut tidak hanya dialami oleh suami Mak Tri saja, beberapa nelayan di Bandungharjo mengalami nasib serupa. Hal ini membuat beberapa nelayan beralih profesi menjadi petani tambak, sebagian masih bertahan sebagai nelayan.

Mak Tri menjelaskan penyebab minimnya ikan yang diperoleh nelayan, dikarenakan rusaknya habitat ikan di wilayah pesisir Jepara terkhususnya Bandungharjo. Hal ini diakibatkan adanya aktivitas-aktivitas ekstraktif dan eksploitatif yang merusak dan mencemari laut.

 

Pada  2012, warga pesisir Bandungharjo dihadapkan dengan aktivitas pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Desa Bandungharjo oleh CV Guci Mas Nusantara (GMN). Ada 14 hektare (ha) wilayah konsesi yang diberikan pemerintah. Sejak itu kehidupan Mak Tri dan warga pesisir wilayah ini tidak sama seperti dahulu. Mereka merasakan perubahan-perubahan seperti abrasi pantai yang terjadi setiap tahun dan perairan dekat pantai yang semakin mengeruh, bahkan sudah mendekat ke perkampungan. Hal ini berdampak pada pasokan air bersih, yang digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan domestik. Selain itu, ikan-ikan bermigrasi ke arah tengah menuju perairan yang lebih dalam. Tentu hal ini berdampak pada penurunan jumlah tangkapan ikan nelayan-nelayan tradisional Bandungharjo. Melihat kondisi tersebut, bersama masyarakat Desa Bandungharjo, Mak Tri turut terlibat dalam aksi penolakan terhadap operasi tambang itu yang mengakibatkan kriminalisasi 15 orang nelayan. Terdapat 13 laki-laki beserta dua perempuan teman seperjuangan Mak Tri dalam mengorganisr ibu-ibu di pesisr Bandungharjo.

 

“Nah pada waktu itu diambilnya pasir besi, berdampak rusaknya daerah pesisir yang diakibatkan abrasi, karena masyarakat Bandungharjo meyakini pasir besi sebagai pemfilter air asin dari laut. Air itu biasanya dimanfaatkan untuk makan, minum, masak, dan mandi. Tambang pasir juga berdampak pada tangkapan laut warga.  Pada waktu itu, penolakan tambang pasir sampai berujung pembakaran alat berat, yang mengakibatkan 13 pria dan dua perempuan di tahan,” ungkap Mak Tri  pada hari Minggu (15/12/2024)

 

Berkat perjuangan dan kegigigan Mak Tri dan warga pesisir Bandungharjo, mereka pun berhasil mengusir aktivitas tambang pasir pada 2013. Namun tak serta merta permasalahan yang dialami masyarakat Bandungharjo turut sirna. Belum selesai dampak yang diakibatkan tambang pasir besi, Mak Tri dan masyarakat Bandungharjo dihadapkan permasalahan limbah-limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B. PLTU beroperasi sejak 2006 dibangun di atas lahan seluas 150 hektar, terletak di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Jepara. Di tahun tersebut hanya terdapat dua unit mesin pembangkit listrik, tapi sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2022 mengalamai penambahan. Keseluruhan terdapat enam unit mesin pembangkit di PLTU Tanjung Jati B, total daya mencapai 4.664 Mega Watt (MW). Kebutuhan batu bara untuk bahan bakar, mencapai 7,5 juta ton per tahun. Hal ini mengakibatkan jumlah limbah yang diproduksi pun meningkat.

 

Meski tidak berlokasi di Bandungharjo, tapi lokasi aktivitas PLTU merupakan jalur nelayan Bandungharjo dalam menjala ikan. Kapal-kapal yang mengangkut batu bara sebagai bahan bakar utama aktivitas PLTU, terkadang jatuh ke laut  di wilayah yang terdapat aktivitas nelayan. Hal ini menyebabkan jaring yang dipakai untuk menangkap ikan rusak, selain itu batu bara yang jatuh menyebabkan terumbu karang yang menjadi habitat ikan rusak.  Akhirnya berdampak rendahnya hasil tangkapan nelayan.

 

“Pengangkutan batu bara mengakibatkan jaring-jaring nelayan rusak mas karena pada jatuh kelaut,” jelasnya.

 

Berhimpun Untuk Menghadapi Hal yang Tidak Mungkin

 

Menyadari ancaman yang datang silih berganti, Mak Tri dan teman-teman perempuan di Bandungharjo berinisiatif untuk membentuk kelompok Perempuan Nelayan Udang Sari.  Disela-sela kesibukannya merawat ikan di tambak. Mak tri turut aktif di organisasi Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dengan kelompoknya Udang Sari.  Kelompok ini merupakan wadah bagi perempuan nelayan Desa Bandungharjo untuk berorganisasi, bersolidaritas, berupaya meningkatkan taraf ekonomi perempuan nelayan.

 

Ia menyampaikan dibentuknya kelompok Nelayan Udang Sari, sebagai upaya mengatasi permasalahan makin sulitnya mencari ikan dilaut. Melalui organisasi ini, Mak Tri bersama perempuan nelayan lainnya aktif dalam mengelola sumber pangan dan menjaga wilayah pesisir Desa Bandungharjo. Mereka mengolah dan memasarkan produk hasil laut dengan mengolah dan memasarkan produk hasil laut, seperti abon ikan, krispi udang, dan produk lainnya.

 

Mak Tri menambahkan jika hanya mengandalkan hasil nelayan yang tidak pasti, masyarakat-masyarakat pesisir akan mengalami keterpurukan ekonomi. Dengan adanya kelompok ini ibu-ibu di wilayah pesisir, bisa menciptakan alternatif lain guna membantu perekonomian keluarga, yang selama ini bertumpu pada hasil melaut suami.

Ia melihat sendiri bagaimana teman-temannya banyak terjerat oleh pinjaman keliling karena kondisi perekonomian yang memburuk. Sementara itu, kebutuhan sehari-hari semakin meningkat, termasuk kebutuhan pangan.

 

“Nelayan itu kerjaannya satu saja kalau lingkungannya sudah rusak , gak memungkinkan para nelayan berangkat bekerja. Apalagi belakangan ini  perubahan cuaca nggak memungkinkan untuk menangkap ikan. Akhirnya yang merasakan dampaknya ibuk-ibuk, karena kalau suaminya pergi melaut dapat ikan diberikan ke istrinya, kalau nggak dapat ya cari sendiri. Makanya di sini banyak yang terjerat utang,” terangnya.

 

Aktivitas yang dilakukan kelompok Udang Sari selain membangun wacana kemandirian bagi perempuan di Bandungharjo. Mereka juga turut terlibat dalam merawat lingkungan di pesisir di tahun 2015 Mak Tri dan kelompok Udang Sari melakukan aktivitas penghijauan di kawasan pesisir Bandungharjo, seperti pohon cemara dan pohon waru. Hingga hari ini, pohon-pohon itu telah tumbuh besar dan rindang. Pantai Cemara Kasih—tempat pohon itu hidup—kini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat wisata. Hal ini tentu berdampak, pada peningkatan perekonomian warga. 

 

Lebih lanjut pada tahun 2023, bersama 10 orang perempuan nelayan lainnya, Mak Tri menjalankan koperasi usaha bersama dengan mengolah dan memasarkan produk hasil laut, seperti bandeng presto, otak-otak bandeng, terasi udang, petis, dan produk olahan lainnya. Koperasi ini diberikan nama Berkah Laut, Mak Tri menceritakan kenapa diambil  nama tersebut sebagai bentuk penegasan bahwasanya masyarakat hidup dari hasil laut, jadi jangan sampai sumber penghidupan itu dirusak. Sampai saat ini, perlahan-perlahan anggota di dalamnya memiliki tabungan atas usaha mereka bersama.

Penulis : Yasin Fajar A

Editor : Musfarayani

Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land

Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land

Written by : Budi Laksana, General Secretary of Indonesia Fisherfolk Union (SNI)

 

For Indonesia’s coastal communities, food sovereignty defines many aspects such as sustainable practices that have been managed from generation to generation, access for fisherfolk to marine and fisheries resources, including the right for fisherfolk to access and control a healthy and clean ocean (free from pollution) and much more. Unfortunately, although fisherfolk’s contribution to the food value chain is indispensable, they continue to be assumed as a marginalized community and are almost never involved in the decision-making process.

Since 1990, we, as fisherfolk, have been catching crabs to fulfill our daily needs. Fisherfolk normally sells crabs to the local market. Many people say that crab is a delicious food, but for fisherfolk like me who catch the crab, this “commodity” represents our food sovereignty, as it was once consumed by us. However, this situation changed a long time ago, as the crab market grew and altered the pattern of food consumption in fisherfolk households.

The American market has a high demand for crab,  which encouraged seafood businesses to invest in crab canning production. When I was a child, my parents still cooked crab for their children. But as the demand from the American market increased, we as fisherfolk were pushed to catch more crab to fulfill the needs of the processing company in my area in Central Java. We used to be independent fisherfolk, but now I feel more like a laborer for the processing company and its market demand.

Through the Indonesia Fisherfolk Union (BAHASA NAME, SNI), I try my best to ensure that fisherfolk in Central Java can return to the food sovereignty era before industrial crab processing took over I initiated a cooperative for fisherfolk to reduce their dependency on middlemen or loan shark.

While we are fighting to regain our food sovereignty by building a strong fisherfolk organization and a cooperative, our government released a regulation related to Measured Fishing or Penangkapan Ikan Terukur. This regulation was framed as a sustainability agenda, but it treats traditional fisherfolk the same as industrial fishing. Under Measured Fishing, the government will use marine spatial planning, e.g. zoning fisherfolk capture areas and forcing us to compete with industrial fishing. The government also asked us to pay taxes before going to sea. We opposed d this regulation by organizing protests against the government.

For us, food sovereignty means not only about our fishing areas but also about how fisherfolk can decide their own territories and manage ocean resources based on the knowledge passed down through generations. We see the WTO agenda as a threat to our sovereignty. WTO is a capitalist form that discusses the future of fisherfolk without our presence or input.

We also recognize that tenure rights are a critical aspect of achieving food sovereignty for fisherfolk. At this moment, I call on WFFP to stand firmly with the fisherfolk movement. WFFP must maintain the consistency of the fisherfolk movement, especially in key international forums. Do not compromise with the neoliberalism agenda.

 

Budi as a Fisher explaining the catch

Budi is a fisherman from Indramayu, West Java. He catches mud crab (Scylla spp), known locally as Rajungan using crab traps (bubu). Indramayu’s coastal communities are predominantly artisanal fisherfolk operating boats under 10GT. Budi highlights the role of a large processing company in his hometown and dreams of establishing a cooperative-owned crab processing company. He recognizes the unfair mechanisms in these companies and the inequalities in the value chain, which have left fisherfolk and women workers in crab processing facilities trapped in poverty.

Usually, Budi prepares his crab traps with small fish, places them in the sea, and retrieves them later depending on weather and sea conditions. His challenges include addressing the stigma of poverty and instabilities associated with fisherfolk, which discourages youth from continuing this livelihood, often opting to become migrant workers instead. .  then he will go to the sea by using his boat and he will leave it. In the next day or the afternoon (depending on the situation of wind and wave) he will go back to the sea and check for the crab trap. He was an artisanal fisherman who had a boat under 10GT. The main challenge that Budi mentions also about the regeneration of fisherfolk, the stigma attached to fisherfolk as slump and poor has an impact on the young people’s mindset that choose to be a migrant worker rather than become fisherfolk.

To address these challenges, Budi initiated two fisherwomen cooperatives in Indramayu and Cirebon, West Java, including one called Nyi Mas Kumambang. He strongly believes in the resilience of fisherwomen, seeing them as pivotal to achieving fisherfolk welfare and sovereignty for their families and communities.

 

 

Text in Bahasa

Kedaulatan Pangan Sebagai Sarana Mempertahankan Laut, Sungai, dan Daratan

Ditulis oleh : Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia 

 

Bagi masyarakat pesisir Indonesia, kedaulatan pangan mencakup banyak hal, seperti praktik berkelanjutan yang telah dikelola secara turun-temurun, akses nelayan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk hak nelayan untuk mengakses dan menguasai laut yang sehat dan bersih (bebas dari pencemaran), dan masih banyak lagi. Sayangnya, meskipun kontribusi nelayan terhadap rantai nilai pangan sangat penting, mereka masih dianggap sebagai masyarakat yang terpinggirkan dan hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Sejak tahun 1990, kami sebagai nelayan telah menangkap kepiting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nelayan biasanya menjual kepiting ke pasar lokal. Banyak orang mengatakan bahwa kepiting adalah makanan yang lezat, tetapi bagi nelayan seperti saya yang menangkap kepiting, “komoditas” ini merupakan representasi kedaulatan pangan kami, karena kepiting pernah dikonsumsi oleh kami. Namun, situasi ini berubah sejak lama, seiring dengan berkembangnya pasar kepiting dan mengubah pola konsumsi pangan di rumah tangga nelayan.

Pasar Amerika memiliki permintaan kepiting yang tinggi, yang mendorong para pelaku usaha makanan laut untuk berinvestasi dalam produksi pengalengan kepiting. Ketika saya masih kecil, orang tua saya masih memasak kepiting untuk anak-anak mereka. Namun seiring meningkatnya permintaan dari pasar Amerika, kami sebagai nelayan terdorong untuk menangkap lebih banyak kepiting untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pengolahan di daerah saya di Jawa Tengah. Kami dulunya adalah nelayan mandiri, tetapi sekarang saya lebih merasa seperti buruh bagi perusahaan pengolahan dan permintaan pasarnya.

Melalui Serikat Nelayan Indonesia (SNI), saya berusaha semaksimal mungkin agar nelayan di Jawa Tengah dapat kembali ke era kedaulatan pangan sebelum industri pengolahan kepiting mengambil alih. Saya menggagas koperasi bagi nelayan untuk mengurangi ketergantungan mereka pada tengkulak atau rentenir. Sementara kita berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan pangan kita dengan membangun organisasi nelayan yang kuat dan koperasi, pemerintah kita mengeluarkan peraturan terkait Penangkapan Ikan Terukur. Peraturan ini dibingkai sebagai agenda keberlanjutan, tetapi memperlakukan nelayan tradisional sama dengan penangkapan ikan industri. Di bawah Penangkapan Ikan Terukur, pemerintah akan menggunakan perencanaan tata ruang laut, misalnya zonasi wilayah penangkapan nelayan dan memaksa kita untuk bersaing dengan penangkapan ikan industri. Pemerintah juga meminta kita untuk membayar pajak sebelum melaut. Kami menentang peraturan ini dengan mengorganisir protes terhadap pemerintah.

Bagi kami, kedaulatan pangan tidak hanya tentang wilayah penangkapan ikan kami, tetapi juga tentang bagaimana nelayan dapat menentukan wilayah mereka sendiri dan mengelola sumber daya laut berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kami melihat agenda WTO sebagai ancaman terhadap kedaulatan kami. WTO adalah bentuk kapitalis yang membahas masa depan nelayan tanpa kehadiran atau masukan kami.

Kami juga menyadari bahwa hak tenurial merupakan aspek penting dalam mencapai kedaulatan pangan bagi nelayan. Saat ini, saya menyerukan kepada WFFP untuk berdiri teguh bersama gerakan nelayan. WFFP harus menjaga konsistensi gerakan nelayan, terutama di forum-forum internasional utama. Jangan berkompromi dengan agenda neoliberalisme.

 

Budi sebagai Nelayan menjelaskan hasil tangkapannya

Budi adalah seorang nelayan dari Indramayu, Jawa Barat. Ia menangkap kepiting bakau (Scylla spp), yang dikenal secara lokal sebagai Rajungan, menggunakan perangkap kepiting (bubu). Masyarakat pesisir Indramayu sebagian besar adalah nelayan tradisional yang mengoperasikan perahu di bawah 10GT. Budi menyoroti peran perusahaan pengolahan besar di kampung halamannya dan bermimpi mendirikan perusahaan pengolahan kepiting milik koperasi. Ia menyadari adanya mekanisme yang tidak adil di perusahaan-perusahaan ini dan ketimpangan dalam rantai nilai, yang menyebabkan nelayan dan pekerja perempuan di fasilitas pengolahan kepiting terperangkap dalam kemiskinan. Biasanya, Budi menyiapkan perangkap kepitingnya dengan ikan-ikan kecil, menaruhnya di laut, dan mengambilnya nanti tergantung pada cuaca dan kondisi laut. Tantangannya termasuk mengatasi stigma kemiskinan dan ketidakstabilan yang terkait dengan nelayan, yang membuat kaum muda enggan melanjutkan mata pencaharian ini, sering kali memilih menjadi pekerja migran. . kemudian ia akan pergi ke laut dengan menggunakan perahunya dan ia akan meninggalkannya. Keesokan harinya atau sore harinya (tergantung pada situasi angin dan ombak) ia akan kembali ke laut dan memeriksa perangkap kepiting. Ia adalah seorang nelayan tradisional yang memiliki perahu di bawah 10GT. Tantangan utama yang disebutkan Budi juga terkait regenerasi nelayan, yakni stigma yang melekat pada nelayan sebagai kaum terpuruk dan miskin berdampak pada pola pikir anak muda yang memilih menjadi TKI ketimbang menjadi nelayan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Budi menggagas dua koperasi nelayan perempuan di Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, salah satunya bernama Nyi Mas Kumambang. Ia sangat yakin dengan ketahanan nelayan perempuan, karena mereka memegang peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan dan kedaulatan bagi keluarga serta masyarakat.

 

Edited by :
Susan Herawati, General Secretaray of KIARA
Jones, SNEHA
Yifang Slot Tang, FIAN International

Siti Khodijah: Melangkah Menuju Kemandirian

Hidup dalam kegelapan, tanpa fasilitas listrik dari negara telah dijalani oleh 40.000 masyarakat pembudidaya udang di Bumi Dipasena selama 4 tahun lamanya. Beberapa petambak pernah membuat lelucon satir tentang kondisi petambak di Bumi Dipasena, di mana petambaklah yang bergantung pada udang dalam kehidupan sehari-hari, bukan udang yang bergantung pada manusia. Jika udang membutuhkan udara, barulah genset-genset dinyalakan dan para perempuan pembudidaya merasa bisa menikmati kehidupan.

Tanpa listrik, petambak di Bumi Dipasena terus melakukan ‘gerilya’ kemandirian dan kesejahteraan yang didorong secara swadaya. Mulai dari mengembangkan pola kemitraan yang adil dan lebih ‘memanusiakan manusia’ hingga memastikan fasilitas umum petambak, seperti ambulans.

Pada saat bersamaan, negara terus mendorong hasil produksi udang di tingkat nasional, yaitu 785.900 ton di tahun 2015. Tumpuan terbesar berada di Bumi Dipasena, di mana hasil produksi perbulan mencapai 20-30 ton per bulan. Besarnya produksi yang didorong, tentu akan berdampak bagi kehidupan perempuan. Namun, sudah sejauh mana negara memfasilitasi kebutuhan perempuan pembudidaya?

Dalam siklus berbudidaya, perempuan pembudidaya memiliki peran penting. Perempuan pembudidaya dapat bekerja selama 15 jam perhari, mulai dari mengurus kebutuhan keluarga, seperti memasak, mencuci baju, dan merapikan rumah. Sedangkan berkaitan dengan kegiatan berbudidaya, perempuan pembudidaya berkontribusi dalam memberikan pakan udang, memastikan kesehatan udang, hingga membantu ketika panen udang. Hal inilah yang muncul dan disepakati oleh peserta dalam Pelatihan Pengenalan Mangrove yang diadakan pada Mei 2015 di Sekretariat P3UW, Bumi Dipasena, Lampung.

Salah satu yang hadir adalah seorang perempuan dari Desa Bumi Dipasena Jaya, Siti Khotijah. Seorang perempuan yang hingga hari ini terus berjuang mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena.

Kenangan Perahu Cadik

Sewaktu kecil, Siti Khotijah sering mendengar ayahnya bercerita tentang Perahu Cadik. Perahu yang sering dijumpai di perairan Madura dan merupakan salah satu simbol pesisir yang hari ini nyaris hilang.

“Bapak asli Madura, sedangkan ibu lahir di Lampung, tapi keturunan Jawa. Dulu waktu kecil sering mendengar cerita tentang perahu cadik. Katanya perahu itu ada sayap-sayapnya,” kenang Siti Khotijah.

Berdasarkan cerita dari bapaknya, perahu cadik merupakan salah satu upaya masyarakat dalam merancang kapal yang sesuai dengan kondisi alam sehingga nelayan tetap bisa melaut sekalipun ombak sedang tinggi. Sayap-sayap yang dimaksud oleh Siti Khotijah adalah bambu-bambu di samping kiri dan kanan sebagai penyeimbang. Kenangan inilah yang membuat Siti Khotijah selalu dekat dengan hal-hal yang berbau pesisir.

Di sisi lain, filosofi hidupnya menjadi seperti perahu cadik. Seberapa besar ombak yang dihadapi oleh Siti Khotijah, tidak akan menyurutkan perjuangan Siti Khotijah.

Siti Khotijah adalah anak ke-9 dari 11 bersaudara. Sedari kecil Siti Khotijah tidak pernah lelah berjuang untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak sedikit, di umur 8 tahun, Siti Khotijah sudah mulai membantu ibunya berjualan atau mengurus rumah.

“Banyak anak, banyak pengeluaran. Jadi kami harus bantu ibu dan bapak, dari situlah saya memahami kalau pendidikan itu mahal sekali. Tapi patut untuk diperjuangkan,” kata Siti Khotijah.

Namun, dengan kondisi keuangan yang tidak lagi memungkinkan, Siti Khotijah harus mengalah. Ia memberikan peluang pendidikan kepada adik-adiknya, karena itulah Siti Khotijah hanya mampu mengendapkan impiannya untuk merasakan duduk di bangku kuliah.

Belajar Hingga ke Negeri Cina

Menikah dengan salah satu petambak menjadi salah satu alasan Siti Khotijah pindah ke Bumi Dipasena. Ia dikaruniai dua orang anak, satu laki-laki dan perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Siti Khotijah berjualan jajanan untuk anak-anak di sekolah. Jika sedang libur sekolah, maka ia beralih profesi sementara: berjualan sayur keliling desa.

Kegigihan Siti Khotijah pun terlihat sewaktu mengikuti beragam pelatihan yang diinisiasi oleh KIARA. Salah satunya adalah Pelatihan Gender dan Pengenalan Mangrove. Siti Khotijah memperlihatkan antusiasme dalam belajar dan memperkaya dirinya dengan ilmu.

“Pertama kali diperkenalkan mengenai organisasi, saya yakin PPNI adalah wadah yang baik untuk terlibat aktif dan belajar di dalamnya,” jelas Siti Khotijah.

Selain itu, Siti Khotijah pun terpilih menjadi Koordinator Baret PPNI-P3UW Lampung. Hal ini pun mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan di Bumi Dipasena dan salah satunya adalah anggota Dewan Presidium PPNI, Erna Leka.

Semangat Siti Khotijah pun semakin menggebu, setelah terpilih menjadi Koordinator, ia mulai gencar memperkenalkan PPNI di daerahnya. Bahkan ia pernah diundang secara khusus untuk menjelaskan apa saja program PPNI dan bagaimana keterlibatannya selama ini di tingkat nasional.

“Saya belajar betul, bagaimana saya bisa berbicara dengan baik di depan umum, bagaimana saya mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan, dan bagaimana saya belajar agar diri saya tidak cepat puas dengan ilmu yang saya miliki hari ini,” ujar Siti Khotijah.

Beberapa kali Siti Khotijah mendapatkan kesempatan baik untuk belajar dengan perempuan-perempuan nelayan lainnya, seperti hadir di dalam South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival yang diadakan pada tanggal 29-30 Desember 2015. Dalam kesempatan tersebut, Siti Khotijah bisa bertemu dengan perempuan nelayan dari Malaysia, Kamboja, dan Filipina.

Membangun Kemandirian

Hari ini, Siti Khotijah masih terus memproduksi kerupuk udang. Pasca mengikuti studi banding di Sidoarjo, Siti Khotijah mulai mengkreasikan kerupuk udangnya dengan inovasi kemasan yang lebih menarik. Selain itu, kreasi produk pun mulai dikembangkan, salah satunya adalah membuat kemplang.

Namun, Siti Khotijah sadar, perjuangannya bukan sekadar berkutat di dalam aktivitas ekonomi. Siti Khotijah mulai paham bahwa ada negara sebagai payung besar bangsa ini dalam memastikan kesejahteraan dan kemandirian rakyatnya. Ia mulai berani melakukan pendekatan kepada aktor-aktor strategis yang dapat mewujudkan mimpinya, salah satunya adalah Bupati Tulang Bawang.

Perjalanan Siti Khotijah masih panjang, mimpi terbesarnya bersama PPNI adalah menolak anggapan buruk tentang perempuan yang selama ini hanya berkutat di ranjang, dapur, dan sumur. Perempuan terdidik akan menghasilkan 3 sampai 4 generasi yang hebat.

“Karena itu, saya berjuang dan belajar terus, kemandirian memang tidak bisa diraih instan. Tapi bukannya tidak mungkin untuk diraih. Terpenting, perempuan harus menjadi hebat,” tutup Siti Khotijah.*** (SH)

Ratna Sari Keliat: Mengharmonisasikan Manusia dan Hutan Mangrove

Masyarakat pesisir di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah melewati jalan panjang menolak ekspansi perkebunan sawit di atas hutan mangrove seluas 1.200 hektar. Perkebunan sawit membuat pendapatan nelayan menurun drastis dan merampas akses nelayan terhadap sumber penghidupan.

Sejak tahun 2012, KIARA bersama dengan KNTI Kabupaten Langkat berjuang mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula. Perjalanan panjang membuahkan hasil, seluas 1.200 hektar lahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit kembali difungsikan sebagai hutan mangrove oleh nelayan di Langkat, Sumatera Utara. Sedikitnya 400 hektar lahan telah ditanami ratusan ribu mangrove, baik secara swadaya maupun mendapat bantuan dari pihak-pihak lain.

Hingga hari ini, penanaman secara berkala terus dilakukan bersama dengan nelayan dan perempuan nelayan di Kabupaten Langkat. Menariknya, perempuan nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya Kabupaten Langkat.

Perempuan Penggerak

Suhu di Langkat, Sumatera Utara, mencapai 33 derajat celcius, panasnya udara tidak menghentikan langkah Ratna Sari Keliat untuk menaiki sampan menuju Desa Perlis. Sepanjang mata memandang, pohon mangrove berjajar rapi. Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta) terlihat dari kejauhan, konon sewaktu alih fungsi hutan mangrove terjadi, burung Kuntul Kecil ini seperti hilang ditelan bumi.

Ratna Sari Keliat, perempuan kelahiran Desa Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah hidup dekat dengan pesisir. Kehidupan nelayan dan dinamika yang dihadapi menjadi salah satu faktor yang menggerakkan hatinya untuk berjuang bersama nelayan.

Dulu, saya sering mendengar nelayan mengeluh. Hasil tangkapan sulit, bahkan pernah ada yang hanya mendapatkan Rp 15.000 perhari. Dari situ saya sendiri sadar nelayan itu membutuhkan keberadaan hutan mangrove, mangrove pun butuh pengelolaan yang arif oleh manusia,” ujar Ratna.

Di sisi lain, Ratna terus menyaksikan banyaknya nelayan yang beralih profesi menjadi tukang ojek ataupun merantau ke Jakarta dan sampai ke negeri orang. Sebelum ada konversi hutan mangrove, lebih dari 10 orang warga menjadi pencari madu lebah. Namun, setelah hutan mangrove dibabat habis, para pencari lebah kehilangan mata pencaharian.

Kesadaran mulai tumbuh di hati Ratna, ia mulai merasakan apa yang dirasakan oleh nelayan dan perempuan nelayan. Sejak tahun 2015, Ratna mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ia terus berupaya memastikan masyarakat terdidik dan memiliki pendapatan yang lebih pasti.

Sewaktu mangrove ditebang, kami menangis. Habislah hidup kalau terus dibabat pohonnya, dari situ saya mulai berpikir bagaimana caranya mendorong nelayan untuk mandiri dan sejahtera. Kebetulan saya menjadi penghubung saat itu,” kata Ratna.

Berjejaring

Pada tahun 2015, Ratna menginisiasi dua kelompok perempuan nelayan yang bergabung di bawah payung PPNI, yaitu Tani Abadi Mangrove di Lubuk Kertang dan Mutiara Bahari di Perlis. Menginisiasi gerakan perempuan nelayan bukan perkara mudah, namun tantangan membangun kelompok yang baik diimbangi dengan upaya membangun komunikasi yang baik antara anggota adalah kebahagiaan tersendiri.

Kelompok yang dibina oleh Ratna digerakkan untuk terlibat aktif dalam mendorong kemandirian melalui pelatihan-pelatihan. Salah satunya adalah pelatihan mengolah mangrove bersama dengan Muara Tanjung/PPNI Serdang Bedagai dengan difasilitasi oleh KIARA dan Dompet Dhuafa.

Pasca, pelatihan kelompok perempuan nelayan yang dibina oleh Ratna mulai diakui dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan fasilitas kapal dari Pemerintah Daerah untuk kelompok nelayan. Di sisi lain, perempuan nelayan mendapatkan fasilitas alat produksi.

Ini salah satu bentuk upaya membantu saudara dan saudari saya, terlalu sering saya mendengar nelayan mengeluh kesulitan mendapatkan penghasilan. Ketika mereka mendapatkan fasilitas APBN/APBD, saya senang sekali,” cerita Ratna membanggakan capaian masyarakat.

Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang adil menjadi harapan bagi 2,2 juta nelayan Indonesia. Ratna Sari Keliat pun mengharapkan implementasi UU tersebut dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan yang ada di Langkat. Tak terkecuali bagi perempuan nelayan.

Mendorong Kemandirian

Ratna sadar jika ia bukan seorang nelayan, namun kepeduliannya  mendorong dirinya untuk terlibat dalam mewujudkan cita-cita kemandirian perempuan nelayan. Saat ini, setidaknya lebih 5 produk mulai diproduksi oleh perempuan nelayan di Langkat. Dari produk yang dihasilkan, perempuan nelayan mulai mendapatkan pendapatan yang cukup.

Hari ini, perempuan menjadi lebih mandiri, mereka memiliki pendapatan tambahan dan cukup untuk jajan anak-anak. Selain itu, perempuan nelayan di sini sudah memiliki posisi yang lebih baik dalam diskusi-diskusi pengambilan keputusan di kampung,” tambah Ratna.

Burung Kuntul Kecil yang sudah mulai datang ke hutan mangrove, menjadi penanda ekosistem di Langkat berangsur pulih. Ratna selalu percaya, mangrove dan manusia memiliki hubungan erat. Manusia menjaga pesisir dan sumber daya pesisir akan memberikan kebaikan kepada masyarakat. Hari ini, Ratna masih memiliki mimpi besar untuk perempuan nelayan. Ia berharap perempuan nelayan dapat diakui oleh negara, yang artinya perempuan memiliki posisi politis yang dilindungi oleh negara.

Perempuan nelayan sudah berkontribusi banyak dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsa, mencerdaskan generasi muda, dan menjaga pesisir menjadi lestari, maka selayaknyalah perempuan nelayan diakui oleh negara,” harap Ratna Sari Keliat.*** (SH)

Norng Limheang: Pemimpin Perempuan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dari Kamboja

Dalam adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur, laut bak seorang ibu. Laut yang diumpakan seorang ibu selalu menjaga anak-anaknya, memberikan makanan terbaik, dan memastikan anak-anaknya tumbuh menjadi generasi cerdas dengan mengonsumsi ikan. Relasi satu-kesatuan antara manusia dan laut tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sama halnya kehidupan Norng Limheang, perempuan nelayan dari Kamboja.

Di dalam “South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival” yang dilaksanakan pada tanggal 29-30 Desember 2015 di Jakarta, Norng Limheang terbang dari negaranya dan turut bergabung dengan perempuan nelayan dari Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Kehadirannya bukan hanya untuk menjalin persaudaraan antara sesama perempuan nelayan, ia juga ingin belajar bagaimana perempuan nelayan terus mendorong kemandirian dan kesejahteraan bagi keluarga-keluarganya.

Dari Desa Nesat

Norng Limheang berusia 43 tahun. Ia memang tidak terlalu tinggi, namun dari postur tubuhnya terlihat ia terbiasa bekerja keras. Norng berasal dari sebuah desa pesisir, kampung Nesat, Chroy Svay Commune, Kabupaten Sre Ambel, Provinsi Koh Kong, Kamboja.

Awalnya Norng hanya perempuan nelayan biasa, hidupnya terus berkelindan dengan hal-hal yang berbau pesisir. Dari pagi ia sudah sibuk mengurus kebutuhan melaut, mengurus anak, dan menjual hasil tangkapan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu kesadaran pentingnya untuk beroganisasi pun tumbuh.

Sebagai perempuan pesisir, awalnya ia tidak memiliki keberanian untuk membagi ide dan gagasannya. Bahkan untuk bercerita di depan kawan-kawannya pun ia masih kesulitan dan malu. Namun, kegigihannya untuk mewujudkan mimpi, ia mulai mendorong dirinya untuk berani bertindak dan berbicara di dalam forum-forum strategis.

Norng berpikir, perempuan nelayan sebaiknya berorganisasi. Jika kita bermimpi tentang sesuatu hal yang besar, maka kita perlu banyak tangan untuk mendorong mimpi itu menjadi kenyataan. Hal tersebutlah yang menggerakkan Norng untuk mulai berorganisasi pada tahun 2005.

Norng terlibat aktif dalam segala aktivitas yang mendorong kehidupan nelayan lebih mandiri dan sejahtera. Salah satunya adalah keterlibatannya dalam pengembangan masyarakat berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir. Norng menjadi salah satu aktor kunci dalam merehabilitasi sungai yang berada di tempat tinggalnya.

Dalam hatinya, Norng selalu percaya perubahan harus dibuat hari ini. Sembari berburu dengan waktu, perubahan di tingkat masyarakat harus didorong dengan komitmen bersama-sama masyarakat. Gerakan tidak boleh sepotong-potong, Norng merangkul semua orang untuk bergerak aktif dan memiliki komitmen bersama untuk bersama-sama meraih kehidupan yang lebih baik demi generasi masa depan.

Berjuang

Ada stigma buruk yang hingga saat ini sulit dilepaskan dari nelayan di seluruh Asia Tenggara. Nelayan identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan kumuh. Stigma buruk itulah yang ingin Norng lawan, nelayan tidak semuanya bodoh.

Norng dan masyarakat di Kamboja hingga hari ini masih menghadapi permasalahan pendapatan keluarga nelayan. Perubahan iklim membuat nelayan sulit melaut dan pendapatan menurun drastis.
Di saat bersamaan, perempuan kurang memiliki kesempatan berorganisasi. Untuk itulah, Norng mendorong adanya kesempatan yang adil bagi perempuan nelayan.

Norng terlihat seperti perempuan biasa, namun komitmennya dan keberaniannya memimpin masyarakat patut diacungi jempol. Norng mampu menggerakkan komunitas menjaga pesisirnya dari ancaman pengrusakan.
Pada tahun 2008 merupakan awal mula seorang Norng Limheang bertemu dengan Fisheries Action Coalition Team (FACT). Diawali dengan sebuah program yang dilaksanakan di Chroy Svay Commune. Dalam mengembangkan program bersama FACT, peran Norng sangat penting. Hal ini dikarenakan Norng terlibat aktif sejak awal dan terus berbagi ide dan pengetahuan yang dimilikinya. Norng terus meningkatkan kapasitasnya bersama dengan komunitas melalui pelatihan-pelatihan bersama dengan komunitas lain dan pemerintah.

Norng percaya, mengawali gerakan perubahan bukan sekadar wacana. Artinya, butuh upaya konkrit dan perkuat jaringan. Norng bukan hanya memperkuat komunitas, ia pun terus bergandengan tangan untuk mengelola dan menjaga pesisir. Norng yakin bahwa apa yang dilakukannya hari ini mampu memberi kebaikan pada perempuan nelayan dan generasi penerusnya.*** (SH)

Siti Hajar binti Abdul Aziz: Pionir Gerakan Perempuan Nelayan di Malaysia

Perempuan dari Suku Lio, di Kabupaten Ende telah secara turun-temurun berperan sebagai penyimpan hasil panen dan penjaga lumbung (lesu usu wuni kai kebo bela), serta pengelola dapur (tau jila lika banga waja).

Perempuan dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara, telah puluhan tahun berjibaku melakukan penyelamatan mangrove secara swadaya. Lebih dari 10.000 batang mangrove ditanam untuk menjaga pesisir dan memastikan perekonomian keluarga nelayan tetap terpenuhi.

Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan bukan sekadar menjamin kebutuhan gizi keluarganya. Mereka juga berperan memastikan lingkungan dan ekosistem laut tetap lestari.
Di pesisir, perempuan nelayan berperan bukan hanya menjaga lingkungannya tetap terjaga, mereka juga berjwuang memberdayakan perempuan agar tetap mandiri dan sejahtera. Nyatanya, perjuangan memandirikan dan menyejahterakan perempuan nelayan pun dilakukan oleh perempuan nelayan dari Malaysia. Perempuan itu telah berbuat banyak untuk masyarakat pesisir di tempatnya, perjuangannya pun bukan tanpa arah, ia terus memastikan bagaimana perempuan bisa berdikari.

Ide organisasi

Namanya Siti Hajar binti Abdul Aziz, usianya beranjak 31 tahun dan berasal dari Malaysia. Suaminya adalah seorang nelayan dan bergabung di dalam kelompok Inshore Fishermen Welfare Association atau PIFWA. Kehidupan Siti Hajar pun kian dekat dengan pesisir.

“Di tempat saya, banyak juga perempuan ikut pergi melaut, jadi perempuan nelayan memang menjadi bagian penting di dalam kehidupan keluarga,” ungkap Siti Hajar binti Abdul Aziz.

Beranjak 10 tahun pernikahan Siti Hajar, ia mulai gundah melihat bagaimana kehidupan nelayan di daerahnya. Belajar dari pengalaman suaminya dalam berorganisasi, Siti Hajar mulai memahami jika perempuan pun semestinya turut berorganisasi. Ia mengibaratkan organisasi sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan.

Tekad Siti Hajar untuk mendirikan dan terlibat dalam kelompok perempuan nelayan kian kuat. Pasalnya Siti Hajar terus menghadapi kesulitan yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya. Cuaca buruk, angin kencang yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut secara otomatis membuat pendapatan nelayan turun drastis.

Nelayan di daerahnya pun harus berhadapan dengan maraknya pencemaran dan penangkapan ikan berlebih yang secara langsung membuat stok ikan semakin menurun. Di saat bersamaan, penggunaan trawl pun masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya.

Kondisi nelayan pun diperburuk dengan minimnya infrastruktur bagi nelayan, contohnya fasilitas dermaga yang kurang baik. Penurunan sumber pendapatan kian dirasa perempuan nelayan, karena seringkali suami mereka pulang tanpa hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Memperjuangkan hak

Belajar dari kondisi yang dihadapi, baik oleh nelayan maupun perempuan nelayan, Siti Hajar binti Abdul Aziz turut terlibat ketika PIFWANITA diinisiasi pada tahun 2013. PIFWANITA merupakan kelompok perempuan di bawah Inshore Fishermen Welfare Association – PIFWA.

PIFWANITA beranggotakan 40 orang perempuan dan Siti Hajar merupakan ketua terpilih pertama. Mimpi besar PIFWANITA adalah mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan yang mandiri dan sejahtera.

Perempuan nelayan harus kuat dan bergerak, mereka punya peran besar dan seharusnya didukung oleh semua unsur, seperti pemerintah, CSO, dan lembaga lainnya,” tambah Siti Hajar.

PIFWANITA memiliki beberapa program untuk menyejahterakan perempuan nelayan, di antaranya kampanye, pemberdayaan potensi pesisir berupa mangrove untuk diubah menjadi salah satu ekonomi alternatif keluarga nelayan. Selain itu, PIFWANITA juga terus menyuarakan penyelamatan pesisir dan lingkungan melalui penanaman mangrove.

Siti Hajar pun tidak lupa merangkul generasi muda untuk bergerak bersamanya menjaga pesisir, hal ini terlihat dari salah satu upaya PIFWANITA yang melakukan pendidikan kepada anak-anak dan generasi muda.

Sedari kecil anak-anak harus tahu manfaat pesisir, jika dewasa nanti mereka bisa mencintai pesisir dan terus menjaga keberlanjutannya,” jelas Siti Hajar.

Percaya

Siti Hajar selalu percaya satu hal, perempuan dan alam memiliki relasi integral atau tidak terpisah. Perempuan nelayan memiliki peran penting menjaga pesisirnya tetap lestari, namun pada saat bersamaan potensi yang dimliki oleh alam sepatutnya digunakan secara arif oleh nelayan.

Bersama dengan PIFWANITA, Siti Hajar mulai melirik segala bentuk produk berbahan dasar mangrove. Hal ini berdasarkan dari potensi yang dimiliki dan manfaat mangrove yang beragam. Siti Hajar mengolah mangrove menjadi kue, obat, teh dan lain-lain.

Kami sering diundang oleh pemerintah untuk menunjukkan produk-produk kami,” ucap Siti Hajar senang menceritakan pengalamannya.

Melalui Siti Hajarlah, pengetahuan manfaat mangrove terus digulirkan kepada khalayak umum di Malaysia. Mangrove yang selama ini hanya identik dengan tumbuhan yang tumbuh di pesisir ternyata memiliki beragam fungsi yang bisa dimaksimalkan. Di sisi lain, Siti Hajar dan PIFWANITA mulai mengembangkan pengolahan kerajinan tangan berbahan dasar kerang.

Siti Hajar pun secara intensif membangun komunikasi dengan Sahabat Alam Malaysia (SAM), anggota SEAFish for Justice, agar gerakan perempuan nelayan kian terorganisir.

Banyak rekan-rekan jaringan yang membantu PIFWANITA menjadi besar dan kuat, di antaranya kawan-kawan SAM dan masih banyak lagi. Karena peran jaringan itu penting sekali,” pesan Siti Hajar.

Gerakan perempuan nelayan melalui PIFWANITA didorong menjadi gerakan indepeden di mana perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh perempuan nelayan yang menjadi anggota. Namun, untuk mengembangkan sayap, Siti Hajar pun turut melibatkan instansi pemerintah, seperti Dinas Perikanan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kehutanan.

Siti Hajar pun menjadi peserta aktif pada South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival dengan tema “Women and Community Based Coastal Resource Management” yang diselenggarakan oleh KIARA dan SEAFish for Justice pada 29- 30 Desember 2015 di Jakarta.

Siti Hajar percaya perempuan nelayan merupakan agen perubahan di pesisir. Untuk itulah, selayaknya perempuan diakui oleh negara dan menjadi prioritas dalam program pemerintah. Siti Hajar pun percaya, perempuan nelayan adalah sosok yang kuat, mandiri dan selalu berjuang untuk kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)

Murnihati: Dari Lombok Timur untuk Perempuan Indonesia

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
-Alinea Kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945-

Negara memegang mandat penting, yakni menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Pengharapan yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi mimpi rakyat Indonesia: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Cita-cita besar bangsa ini nyatanya harus terbentur dengan pola perampasan ruang hidup yang masih terus terjadi hingga hari ini. Seperti yang terjadi di Gili Sunut, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 keluarga nelayan harus tergusur karena investasi pulau kecil. Ironinya, investasi pulau kecil tersebut dimiliki oleh PT Blue Ocean Resort dari Singapura.

Nelayan kian rentan dengan pemiskinan terstruktur yang dilakukan oleh negara. Hal ini diperburuk dengan adanya kebijakan pro-asing yang menempatkan nelayan dalam kemiskinan.

Berangkat dari kegelisahan yang dihadapi oleh nelayan, seorang perempuan nelayan dari Dusun Jor mulai menggerakkan perempuan di kampungnya untuk mendorong kemandirian nelayan. Kegelisahan yang dipendam merubah dirinya menjadi perempuan yang mampu mendorong perempuan lainnya untuk mulai mengukir kreativitas melawan kemiskinan.

Perempuan sejahtera

Namanya Murnihati, artinya seorang perempuan yang memiliki hati yang baik, murni, seperti mutiara. Murnihati terlahir di desa pesisir, sejauh matanya memandang, ia sering melihat bagaimana kehidupan nelayan lekat dengan kemiskinan.

Ayah bekerja sebagai penjual ikan, jadi tahu bagaimana nelayan suka cerita kehidupan sehari-hari. BBM mahal dan tangkapan susah,” ujar Murnihati.

Murnihati menikah dengan seorang nelayan dan memiliki 4 orang anak perempuan yang jelita. Pengharapannya kian besar seiring dengan buah cintanya yang beranjak dewasa, Murnihati ingin anak-anaknya memiliki hidup yang lebih baik dan sejahtera.

Murnihati kian gelisah, perannya sebagai perempuan nelayan hingga hari ini belum diakui oleh negara. Padahal, perempuan nelayan terlibat aktif dan menjadi aktor penting di dalam aktivitas perikanan skala kecil.

Di dalam perikanan budidaya, misalnya, perempuan nelayan terlibat dari mulai tebar benur, memberi pakan, hingga panen. Di perikanan tangkap, perempuan nelayan terlibat dari mulai suaminya bersiap pergi melaut hingga membantu mengolah atau menjual hasil tangkapan.

Bekerja selama 18 jam perhari itu hal biasa buat kami, tapi ketika bicara siapa kami, kami sering merasa kebingungan. Kami perempuan nelayan, pejuang protein bangsa yang belum diakui Negara hingga detik ini,” tambah Murnihati.

Kesadaran Murnihati tumbuh semenjak ia terlibat pada tahun 2001 dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di tingkat desa. Ia mulai aktif mengajak ibu-ibu nelayan untuk melakukan perubahan, baik untuk dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.

Ambil peran

Murnihati menginisiasi kelompok perempuan nelayan yang diberi nama “Kelompok Pesisir Samudra” dan menggerakkan “Koperasi Nelayan Cemerlang” yang beranggotakan 39 orang. Selain itu, ia juga mendorong perempuan nelayan untuk menciptakan produk, seperti Terasi dan Kerupuk dari Rumput Laut.
Murnihati menyadari geraknya mendorong kesejahteraan perempuan nelayan tidak bisa dilakukan sendiri. Ia butuh ruang yang lebih untuk bergerak, maka pada tahun 2012 Murnihati mulai terlibat di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).

Kami ini ibarat ikan yang setiap hari bertumbuh besar, kami butuh ruang yang lebih besar. Untuk itu, kami bergabung dengan PPNI,” jelas Murnihati.

Bagi Murnihati, PPNI menjadi wadah untuk berbagi informasi, memperkuat gerakan dan berbagi suka cita laiknya seorang saudari.

Kami berbagi cerita sedih, cerita gembira, semua dilakukan bersama. Itulah kenapa saya senang betul jika bertemu dengan kawan-kawan PPNI lainnya,” ceritanya.

Murnihati menggerakan perempuan dari pintu ke pintu, menceritakan pengalamannya dengan PPNI dan menuai banyak sekali respon dari perempuan nelayan di tempatnya.

Kalau kita hanya duduk dan menunggu perubahan, itu tidak mungkin terjadi. Tapi kita harus bangkit, mengetuk mereka satu-satu biar bergerak bersama,” ungkap Murnihati.

Murnihati sadar betul, gerakan perempuan yang ada hingga hari ini masih terbilang lambat. Hal ini dikarenakan ruang yang lebih banyak diperuntukkan kepada laki-laki. Untuk itu, Murnihati tanpa kenal lelah terus mengetuk perempuan nelayan untuk bergerak.

Murnihati bersama dengan PPNI dan KIARA terus mendorong negara untuk mengakui perempuan nelayan dan memastikan perlindungan serta pemberdayaan seusai dengan kebutuhan.

Gerakan perubahan dan kreasi terus diukir oleh perempuan nelayan, sekalipun mereka belum diakui oleh negara. Murnihati terus mengetuk pintu-pintu perempuan nelayan untuk bergerak dan melakukan perubahan, kiranya, kapan negara ini mulai tergerak mengakui perempuan nelayan?*** (SH)

Erna Leka: Melawan Kegelapan di Bumi Dipasena

Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, masih terus menanti hujan, sudah 4 bulan para pembudidaya menunggu dengan sabar. Salinitas air melonjak tinggi. Inilah fenomena di balik terancam gagalnya panen udang di Bumi Dipasena.

Di saat yang sama, penyakit white spot atau dalam istilah lokal disebut telek putih memberi dampak menurunnya pendapatan pembudidaya udang di Bumi Dipasena.

Di sektor perikanan tangkap, perempuan nelayan bekerja selama 17 jam perhari. Sementara itu, di sektor perikanan budidaya, perempuan bekerja hingga 15 jam perhari. Mulai dari mengerjakan segala kebutuhan rumah tangga, memberi pakan, membersihkan lingkungan sekitar tambak, hingga panen.

Erna Leka, perempuan kelahiran Palembang adalah istri pembudidaya. Ia dan suaminya, Ainul Mukhlis masih berjuang untuk kehidupan yang lebih terang.

Gelap gulita

Pukul 18.00 WIB, Erna Leka mesti menyalakan genset agar udang-udang yang dibudidayakan di tambaknya terus tumbuh sehat. Sejak PT. Aruna Wijaya Sakti mematikan akses listrik di Bumi Dipasena, sejak itulah keluarga-keluarga pembudidaya ‘menikmati’ kegelapan.

“Kami adalah warga negara Republik Indonesia dan dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Namun belum menikmati terangnya kampung dan mudahnya budidaya udang seperti yang dirasakan oleh warga negara lainnya,” ujar Erna sambil tersenyum.

Erna Leka adalah perempuan pejuang pangan dari Bumi Dipasena. Suaminya bekerja sebagai pembudidaya udang dan dipercaya sebagai Sekretaris P3UW (Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Windu Wilayah Lampung). Sewaktu kecil, Erna tidak pernah bermimpi hidupnya akan dipenuhi dengan perjuangan. Selayaknya anak perempuan yang dibesarkan di keluarga pekerja, ia bermimpi bisa mempunyai keluarga kecil yang bahagia.

Mimpinya ya jadi istri solehah, berjuang untuk keluarga, ya kalau sekarang jadi seperti ini saya juga bingung ya kenapa bisa begini,” kenangnya.

Pernikahannya dengan Ainul Mukhlis atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Tanjung, telah membawa Erna Leka hijrah dari Palembang ke Lampung. Sepanjang mata memandang, hanya tanah kosong yang ditatapnya ketika pertama kali tiba di Kampung Bumi Dipasena.

Jarak satu rumah ke rumah lainnya itu jauh-jauh. Awalnya sepi banget, dipikir gimana kami hidup ini. Tapi kita percaya sedang berusaha, kerja, ya ibadah. Jadi rasa sepi itu lama-lama berkurang dan kami seperti menemukan keluarga baru,” ucap Erna Leka gembira.

Perusahaan yang pertama kali bekerjasama dengan pembudidaya di Rawajitu Timur adalah PT. Dipasena Citra Darmaja. Bisnis udang terbesar se-Asia Tenggara mulai dibangun sejak tahun 1988. Setahun kemudian mulai beroperasi pertambakan dengan pola Tambak Inti Rakyat.

Pola Tambak Inti Rakyat merupakan pola kemitraan yang digunakan di Bumi Dipasena selama bertahun-tahun, di mana pembudidaya sebagai plasma dan perusahaan sebagai Inti. Kurang lebih 9.000 pembudidaya menggarap 16.500 hektare lahan bekas rawa.

Namun, tidak selamanya hubungan antara para pembudidaya Bumi Dipasena dengan perusahaan berjalan harmonis. Skema inti plasma yang diterapkan di Bumi Dipasena malah menjerumuskan para pembudidaya pada Deadly Bondage Slavery atau Perbudakan yang Mengikat dan Mematikan. Pembudidaya udang Bumi Dipasena tidak dapat menentukan sendiri harga jual udangnya, tidak diperbolehkan menonton televisi dengan siaran tertentu, tidak diperbolehkan keluar-masuk Bumi Dipasena tanpa persetujuan perusahaan.

Setelah PT. Dipasena Citra Darmaja, pembudidaya bekerjasama dengan PT. Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan PT. Central Proteinaprima. Perilaku perusahaan ini tidak jauh berbeda dengan pendahulunya.

Puncaknya tahun 2011, listrik kami dimatikan oleh perusahaan. Kami hidup gelap-gelapan, udang kami mati, rugi, sampai ada yang kena setrum,” tambah Erna.

Keadaan di Bumi Dipasena kian sulit, kemarau panjang di tahun 2015 membuat stok air bersih semakin berkurang. Mereka yang bergantung pada air hujan mulai berhemat. Tempat penampung air untuk wadah air hujan kian menyusut tiap harinya. Namun, jika mereka ingin mendapatkan air bersih, mereka harus membeli air dari Gunung Tiga dengan harga 1 kempu (1.000 liter) dengan harga Rp150.000. Air sebanyak 1.000 liter hanya dapat digunakan selama 3 hari jika satu keluarga memiliki 2-3 orang anak.

Gotong-royong

Di tengah permasalahan yang terjadi di Bumi Dipasena, perempuan pembudidaya memiliki peran penting. Ketika para pembudidaya berjuang, perempuan pembudidaya menjadi penyokong utama dalam kegiatan berbudidaya.
Mulai dari membantu memberi pakan, membersihkan lingkungan sekeliling tambak dari rumput liar, hingga saat panen. Kontribusi perempuan pembudidaya dalam menjalankan roda budidaya udang di Bumi Dipasena merupakan satu-kesatuan dengan perjuangan P3UW. Perempuan menjadi jantung dalam gerakan mandiri bagi para pembudidaya udang di Bumi Dipasena.

Ibarat kendaraan, P3UW (Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Windu Wilayah Lampung) adalah organisasi penting bagi perjuangan pembudidaya di Bumi Dipasena. P3UW adalah corong perjuangan, hingga akhirnya kemandirian diraih pasca ‘bercerai’ dari perusahaan.

Ibu-ibu pembudidaya dan anak-anak itu selalu mau berada di garis depan kalau ada kegiatan aksi waktu itu, karena kami tahu semua harus diperjuangkan dengan terhormat,” cerita Erna Leka.

P3UW dan para pembudidaya di Bumi Dipasena tidak pernah berjuang sendiri, Erna Leka percaya itu.

Berjuang Bersama

Erna Leka mulai terlibat dalam kegiatan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia  (PPNI) sejak tahun 2013. Perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena menjadi bagian gerakan perempuan nelayan di Indonesia.

Kami berdiri bersama dengan perempuan nelayan yang tergabung di dalam PPNI, sama-sama mendorong pemerintah untuk mengakui keberadaan kami,” urai Erna Leka.

Erna Leka sadar, belum ada satu kebijakan pun yang mengakui keberadaan dan peran perempuan pembudidaya. Di dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan belum memberikan pengakuan.

Sebenarnya, diakui atau tidak diakui, kami tetap ada dan memenuhi kebutuhan pangan bangsa. Tapi kami sadar, itu hak kami, untuk diakui oleh negara dan difasilitasi setelah kami berjuang untuk bangsa ini,” harap Erna Leka.

Gelapnya malam tanpa penerangan di Bumi Dipasena hingga hari ini masih terjadi. Erna Leka masih berharap, para pemimpin tidak gelap mata terhadap nasib mereka.

Sanitasi dan adanya penerangan merupakan mimpi perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena. Namun, jika ditanya mimpi besar perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena, ia menjawab, “Negara mau mengakui perempuan nelayan dan memastikan perempuan nelayan dilindungi dan diberdayakan”.

Mengutip penulis Rusia, Leo Tolstoy, Tuhan maha tahu segalanya, tapi Ia menunggu. Perjuangan perempuan pembudidaya di Bumi Dipasena adalah proses panjang yang harus dilewati dan disyukuri.*** (SH)

Diana F. Takumansang: Kami Butuh Laut yang Bersih, Bukan Tambang!

“”Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed (Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, tapi tidak untuk setiap keserakahan manusia)”
Mahatma Gandhi

Di tahun 2013, gerakan Save Bangka Island menjadi ramai. Pasalnya Kaka, vokalis grup band Slank menyerukan pada masyarakat untuk bergabung menandatangani penolakan terhadap proyek tambang yang terjadi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara.

Seruan Kaka Slank berkaitan dengan fakta bahwa hanya ada 1% terumbu karang yang menutupi dunia. Terumbu karang menjadi hal paling intergral dalam kehidupan nelayan tradisional Indonesia. Terumbu karang adalah tempat bagi ikan untuk hidup. Artinya, jika terumbu karang dirusak, nelayan akan mengalami kerugian, yakni menurunnya hasil tangkapan ikan dan pendapatan.

Pulau Bangka di Sulawesi Utara contohnya. Terumbu karang yang indah bukan hanya menjadi rumah bagi ikan, tapi juga menjadi salah satu destinasi wisata penyelaman terkenal, yaitu Taman Nasional Bunaken dan Selat Lembeh.
Bagi masyarakat, Pulau Bangka adalah payung kehidupan. Banyaknya hewan endemik, seperti Tarsius, Kuskus, Rusa dan Duyung yang hidup di Pulau Bangka dan menjadi indikator keselarasan antara manusia dan alam.

Pulau Bangka terletak di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Indonesia, dengan luas 4.800 hektar, meliputi tiga desa, yaitu Lihunu, Kahuku dan Libas. Tambang yang masuk ke Pulau Bangka bukan hanya merusak segitiga emas keanekaragaman hayati, tetapi tambang juga akan merampas sejarah masyarakat Pulau Bangka yang sejak turun-menurun menjadi nelayan.

Pulau Bangka telah menghidupi anak cucu dan negara ini dengan protein yang baik. Hari ini, nelayan di Pulau Bangka harus berhadapan dengan mesin-mesin berat dan ketidakadilan pengelolaan pesisir Indonesia. Ibarat seorang ibu, laut Pulau Bangka seharusnya dijaga dan disirami kasih, bukan dikeruk dan dirusak dengan tambang. Alih-alih wacana tambang untuk meningkatkan PAD, nyatanya tambang hanya membuat nelayan terasing di kampungnya sendiri.

Perkasa di Bangka

Seorang perempuan bernama Diana F. Takumansang menjadi cahaya bagi gerakan masyarakat menolak tambang. Ia adalah seorang perempuan yang terlahir dan besar di Pulau Bangka. Hidup dan matinya sudah tertanam di atas tanah dan laut Pulau Bangka.

Diana hanyalah seorang ibu rumah tangga, suaminya adalah seorang nelayan. Awalnya Diana berpikir ia akan menghabiskan waktunya untuk terus menjadi istri nelayan. Namun, warga desa mulai resah ketika alat berat masuk ke desa mereka.

Tidak pernah ada diskusi terkait rencana tambang PT. Mikgro Metal Perdana (MMP). Kabar yang beredar bahwa alat berat seperti bor adalah milik Dinas Pekerjaan Umum. Namun, masyarakat mulai curiga. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak dilibatkan dalam proses diskusi, pun tidak pernah ada sosilisasi.

Kami tidak pernah diajak diskusi. Tidak ada orang kasih tahu akan ada tambang di pulau ini, kami bingung. Kalau memang dari Pekerjaan Umum, kenapa tidak ada sosialisasi? Nah, pernah satu hari kami lempari itu perahu yang angkut alat berat,. Kami takut, tapi kami lebih takut diusir dari tempat kami,” ujar Diana.

Diana menolak keras masuknya alat bor ke Desa Kahuku. Hal ini dikarenakan alat berat tersebut akan beroperasi di laut, bukan di darat. Artinya, ekosistem di laut terancam, nelayan pun turut terancam kehilangan penghasilannya.

Laut untuk nelayan

Diana yang dulunya hanya seorang istri nelayan akhirnya mulai tergerak hatinya untuk berjuang melawan tambang. Bekerjasama dengan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), WALHI, dan aktivis lingkungan, seperti Jull Takaliuang dan Didi Koleangan, Diana mulai menggerakkan perempuan untuk terlibat dalam upaya penolakan tambang.

Pernah suatu hari, masyarakat sudah geram dengan aparat. Mereka itu dinilai sudah jahat sekali terhadap masyarakat dan membela perusahaan tambang itu. Saya gerakkan ibu-ibu untuk mengejar aparat itu. Kami semua buka baju dan kami mau ambil baju aparat itu semua. Karena kami nilai mereka tidak pantas pakai baju itu, karena mereka tidak berpihak kepada kami, rakyat Indonesia,” cerita Diana geram.

Laut pun diibaratkan pakaian bagi masyarakat Pulau Bangka, maka aktivitas tambang yang merusak sama saja dengan upaya merusak pakaian masyarakat dan membiarkan mereka telanjang di tanah dan airnya sendiri.
Diana yang dulu hanyalah seorang istri nelayan mulai berani menggerakkan perempuan untuk menolak perusahaan PT. Mikgro Metal Perdana (MMP). Pertemuan guna membahas kondisi dan situasi yang terjadi Pulau Bangka sering diadakan oleh Diana.

Perjuangan Diana dan warga desa di Pulau Bangka terus dilakukan hingga hari ini. Hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar pun seakan “dikangkangi” oleh PT. Mikgro Metal Perdana (MMP). Aktivitas pertambangan masih terjadi, sekalipun Pengadilan telah memenangkan gugatan masyarakat di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

Pemerintah daerah seperti putri tidur. Mereka tidur lelap bersama uang dari tambang. Padahal kalau lihat laut kita hari ini, ampun, rusak semua. Suami kami jadi menurun pendapatannya,” imbuh Diana.

Perjuangan masyarakat Pulau Bangka adalah perjuangan bangsa ini untuk lepas dari tambang. Perjuangan panjang untuk menghadirkan kedaulatan di tanah dan air negeri ini. Diana hanya satu dari jutaan orang yang menolak tambang. Selayaknya negara tidak menutup mata terhadap praktek pengrusakan wilayah pesisir dan kehidupan masyarakatnya.***

Kasuso: Kampung Nelayan di Bulukumba

“Hidup adalah perjalanan membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
— Iwan Setyawan (Ibuk)

Sejauh mata memandang, biru lautan menjadi pesona tersendiri. Debur ombak perlahan memecah kesunyian Kampung Kasuso. Beriringan, bunyi perempuan membenturkan alat tenunnya dan suara derit ayunan yang digoyang perlahan oleh ibu.

Kampung Kasuso terletak di wilayah administrasi Desa Darubiah, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Butuh 33 kilometer dari Bulukumba menuju Bira, kemudian dilanjutkan menuju Kampung Kasuso setelah melewati penurunan panjang (daerah Lahongka).

Tidak ada catatan sejarah tentang kampung Kasuso, hanya cerita dari mulut ke mulut yang terus diceritakan turun-menurun.  Kata Kasuso berasal dari dua suku kata ‘Ka’ dan ‘Suso’. Kata ‘Ka’ artinya kepal, besar atau ketua, sedangkan ‘Suso’ artinya Kerang, dua kata inilah kemudian digabungkan dan memiliki arti kerang besar yang menempel di batu besar. Di sisi lain, penamaan kampung Kasuso diduga karena di kampung tersebut banyak Suso (sejenis siput/biri-biri laut).

Kampung Kasuso lebih dikenal sebagai kampung pesisir Bulukumba di mana mayoritas masyarakatnya adalah nelayan ikan terbang atau disebut Juku’ Tuing-Tuing. Ikan terbang bukan hanya jadi simbol salah satu televisi swasta nasional, tapi ikan terbang ini pun sangat digemari karena telur ikan berharga cukup mahal. Namun, ikan terbang kini sulit didapatkan, maraknya penangkapan ikan terbang dengan kapal besar menyebabkan jumlah ikan terbang menurut drastis dalam 3 tahun terakhir.

Kampung Perempuan

Pagi di ufuk timur, setelah merapihkan keperluan anak-anaknya, si ibu turun ke kolong rumah dan mulai disibukkan mengatur benang-benang di alat tenunnya. Sarung sutera berbagai corak menjadi salah satu tumpuan ekonomi perempuan di kampung Kasuso. Sarung-sarung yang dihasilkan kemudian dipasarkan keluar kampung Kasuso, bahkan hingga ke wilayah Sulawesi Selatan. Tidak jarang para pedagang atau pelaut yang singgah ke kampung Kasuso membawa sarung-sarung tersebut.

Menariknya, lelaki sulit ditemukan di kampung ini. Mayoritas kaum adam meninggalkan keluarganya untuk melaut hingga bertahun-tahun. Seperti yang dituturkan Subaeni, 29 tahun “Suami saya pergi kerja di laut sewaktu anak masih bayi, dia pulang lagi setelah anak sudah masuk TK”. Subaeni harus rela ditinggal suami yang bekerja sebagai ABK (anak buah kapal) agar anak-anaknya bisa sekolah.

Hal serupa terjadi pada Junaedah, 40 tahun yang ditinggal suaminya melaut selama 25 tahun. Kini ia sudah punya tiga orang anak dan beberapa cucu. Dua orang anak laki-lakinya yang sudah dewasa kini menjadi anak buah kapal dan keluar dari kampungnya. Kini suami Junaedah menjajaki usaha baru, yaitu menjadi juragan kapal kayu yang memiliki anak buah 13 orang ABK dan berkerja mengangkut barang-barang seperti semen ke daerah seperti Timika, Papua dan pulau lainnya.

Bisa dibayangkan dengan beban ganda yang dijalani perempuan Kasuso, mereka terus menenun dengan harapan penghidupan yang lebih baik. Ketika suami bertahun-tahun tidak pulang, maka perempuanlah yang bertanggung jawab menjalankan roda perekonomian keluarga.

Dari tenun kami bergantung hidup, dari orang yang singgah dan membawa tenun kami bergantung hidup, dan dari laut kami bergantung hidup agar laut selalu menjaga suami-suami kami dan membawa mereka kembali pulang,” ujar Junaedah.

Setali tiga uang, di Lembata, Nusa Tenggara Timur, banyak lelaki yang keluar dari kampungnya dan memutuskan menjadi TKI. Perempuan banyak ditinggal di kampungnya karena perempuan lebih mampu bekerja ganda, yaitu mengurus rumah, mengurus kebun sekaligus menjual ikan.

Tanah yang gersang dan sulitnya air bersih membuat masyarakat kesulitan menggarap tanah mereka. Di saat yang bersamaan, kapal-kapal besar acapkali datang dan melakukan pemboman. Bahkan melalui riset KIARA menyebutkan tutupan mangrove sudah rusak 40% dan tutupan karang hanya tinggal 20% akibat dari maraknya pengeboman di Laut Lembata.

Tidak jauh berbeda dengan perempuan di Kampung Kasuso, perempuan di Lembata pun harus berjuang untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarganya.

Penggerak

Pada tahun 2010, KIARA bersama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) dan JPKP (Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir) menginisiasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Hal ini berdasarkan besarnya peran perempuan dalam sektor perikanan.

Perempuan nelayan bukan hanya sekadar istri dari nelayan, namun mereka yang terlibat, baik pra dan pasca melaut. Dimulai dari menyiapkan bekal untuk melaut, menyiapkan keperluan melaut, menjual hasil tangkapan suami, atau pun mengolah hasil tangkapan. Besarnya peran perempuan nelayan dapat dilihat dari jam kerja perhari, yaitu 17 jam, seperti yang terjadi di kampung Kasuso, perempuan bukan hanya menenun, namun juga terkadang menjual ikan.

Di saat bersamaan, perempuan nelayan menjadi penentu gizi keluarga. Secara tidak langsung, tangan perempuanlah yang menjadi penentu bagaimana generasi penerus akan mendapatkan gizi baik untuk pertumbuhan mereka.
Besarnya peran nelayan dalam memenuhi kebutuhan protein bangsa tidak bisa dipisahkan dari besarnya kontribusi perempuan nelayan yang terlibat baik pra dan pasca melaut. Perempuan nelayan memiliki jam kerja selama 17 jam sehari, dimulai dari memenuhi kebutuhan keluarga, mempersiapkan bekal suami melaut, hingga menjual hasil tangkapan suami. Roda perekonomian keluarga nelayan disokong 48% oleh perempuan nelayan.

PPNI menjadi wadah bagi perempuan nelayan di banyak kampung pesisir Indonesia, dan menjadi suara bahwa perempuan nelayan hari ini telah berdikari. Kehadiran mereka ada dan menjadi bagian integral dari rantai nilai sektor perikanan.

Selayaknya, perempuan nelayan didukung penuh oleh negara, untuk menjadi tangguh, mandiri dan sejahtera. *** (SH)