Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land
Food Sovereignty as a Means to Defend Oceans, Rivers and Land
Written by : Budi Laksana, General Secretary of Indonesia Fisherfolk Union (SNI)
For Indonesia’s coastal communities, food sovereignty defines many aspects such as sustainable practices that have been managed from generation to generation, access for fisherfolk to marine and fisheries resources, including the right for fisherfolk to access and control a healthy and clean ocean (free from pollution) and much more. Unfortunately, although fisherfolk’s contribution to the food value chain is indispensable, they continue to be assumed as a marginalized community and are almost never involved in the decision-making process.
Since 1990, we, as fisherfolk, have been catching crabs to fulfill our daily needs. Fisherfolk normally sells crabs to the local market. Many people say that crab is a delicious food, but for fisherfolk like me who catch the crab, this “commodity” represents our food sovereignty, as it was once consumed by us. However, this situation changed a long time ago, as the crab market grew and altered the pattern of food consumption in fisherfolk households.
The American market has a high demand for crab, which encouraged seafood businesses to invest in crab canning production. When I was a child, my parents still cooked crab for their children. But as the demand from the American market increased, we as fisherfolk were pushed to catch more crab to fulfill the needs of the processing company in my area in Central Java. We used to be independent fisherfolk, but now I feel more like a laborer for the processing company and its market demand.
Through the Indonesia Fisherfolk Union (BAHASA NAME, SNI), I try my best to ensure that fisherfolk in Central Java can return to the food sovereignty era before industrial crab processing took over I initiated a cooperative for fisherfolk to reduce their dependency on middlemen or loan shark.
While we are fighting to regain our food sovereignty by building a strong fisherfolk organization and a cooperative, our government released a regulation related to Measured Fishing or Penangkapan Ikan Terukur. This regulation was framed as a sustainability agenda, but it treats traditional fisherfolk the same as industrial fishing. Under Measured Fishing, the government will use marine spatial planning, e.g. zoning fisherfolk capture areas and forcing us to compete with industrial fishing. The government also asked us to pay taxes before going to sea. We opposed d this regulation by organizing protests against the government.
For us, food sovereignty means not only about our fishing areas but also about how fisherfolk can decide their own territories and manage ocean resources based on the knowledge passed down through generations. We see the WTO agenda as a threat to our sovereignty. WTO is a capitalist form that discusses the future of fisherfolk without our presence or input.
We also recognize that tenure rights are a critical aspect of achieving food sovereignty for fisherfolk. At this moment, I call on WFFP to stand firmly with the fisherfolk movement. WFFP must maintain the consistency of the fisherfolk movement, especially in key international forums. Do not compromise with the neoliberalism agenda.
Budi as a Fisher explaining the catch
Budi is a fisherman from Indramayu, West Java. He catches mud crab (Scylla spp), known locally as Rajungan using crab traps (bubu). Indramayu’s coastal communities are predominantly artisanal fisherfolk operating boats under 10GT. Budi highlights the role of a large processing company in his hometown and dreams of establishing a cooperative-owned crab processing company. He recognizes the unfair mechanisms in these companies and the inequalities in the value chain, which have left fisherfolk and women workers in crab processing facilities trapped in poverty.
Usually, Budi prepares his crab traps with small fish, places them in the sea, and retrieves them later depending on weather and sea conditions. His challenges include addressing the stigma of poverty and instabilities associated with fisherfolk, which discourages youth from continuing this livelihood, often opting to become migrant workers instead. . then he will go to the sea by using his boat and he will leave it. In the next day or the afternoon (depending on the situation of wind and wave) he will go back to the sea and check for the crab trap. He was an artisanal fisherman who had a boat under 10GT. The main challenge that Budi mentions also about the regeneration of fisherfolk, the stigma attached to fisherfolk as slump and poor has an impact on the young people’s mindset that choose to be a migrant worker rather than become fisherfolk.
To address these challenges, Budi initiated two fisherwomen cooperatives in Indramayu and Cirebon, West Java, including one called Nyi Mas Kumambang. He strongly believes in the resilience of fisherwomen, seeing them as pivotal to achieving fisherfolk welfare and sovereignty for their families and communities.
Text in Bahasa
Kedaulatan Pangan Sebagai Sarana Mempertahankan Laut, Sungai, dan Daratan
Ditulis oleh : Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia
Bagi masyarakat pesisir Indonesia, kedaulatan pangan mencakup banyak hal, seperti praktik berkelanjutan yang telah dikelola secara turun-temurun, akses nelayan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk hak nelayan untuk mengakses dan menguasai laut yang sehat dan bersih (bebas dari pencemaran), dan masih banyak lagi. Sayangnya, meskipun kontribusi nelayan terhadap rantai nilai pangan sangat penting, mereka masih dianggap sebagai masyarakat yang terpinggirkan dan hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Sejak tahun 1990, kami sebagai nelayan telah menangkap kepiting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nelayan biasanya menjual kepiting ke pasar lokal. Banyak orang mengatakan bahwa kepiting adalah makanan yang lezat, tetapi bagi nelayan seperti saya yang menangkap kepiting, “komoditas” ini merupakan representasi kedaulatan pangan kami, karena kepiting pernah dikonsumsi oleh kami. Namun, situasi ini berubah sejak lama, seiring dengan berkembangnya pasar kepiting dan mengubah pola konsumsi pangan di rumah tangga nelayan.
Pasar Amerika memiliki permintaan kepiting yang tinggi, yang mendorong para pelaku usaha makanan laut untuk berinvestasi dalam produksi pengalengan kepiting. Ketika saya masih kecil, orang tua saya masih memasak kepiting untuk anak-anak mereka. Namun seiring meningkatnya permintaan dari pasar Amerika, kami sebagai nelayan terdorong untuk menangkap lebih banyak kepiting untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pengolahan di daerah saya di Jawa Tengah. Kami dulunya adalah nelayan mandiri, tetapi sekarang saya lebih merasa seperti buruh bagi perusahaan pengolahan dan permintaan pasarnya.
Melalui Serikat Nelayan Indonesia (SNI), saya berusaha semaksimal mungkin agar nelayan di Jawa Tengah dapat kembali ke era kedaulatan pangan sebelum industri pengolahan kepiting mengambil alih. Saya menggagas koperasi bagi nelayan untuk mengurangi ketergantungan mereka pada tengkulak atau rentenir. Sementara kita berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan pangan kita dengan membangun organisasi nelayan yang kuat dan koperasi, pemerintah kita mengeluarkan peraturan terkait Penangkapan Ikan Terukur. Peraturan ini dibingkai sebagai agenda keberlanjutan, tetapi memperlakukan nelayan tradisional sama dengan penangkapan ikan industri. Di bawah Penangkapan Ikan Terukur, pemerintah akan menggunakan perencanaan tata ruang laut, misalnya zonasi wilayah penangkapan nelayan dan memaksa kita untuk bersaing dengan penangkapan ikan industri. Pemerintah juga meminta kita untuk membayar pajak sebelum melaut. Kami menentang peraturan ini dengan mengorganisir protes terhadap pemerintah.
Bagi kami, kedaulatan pangan tidak hanya tentang wilayah penangkapan ikan kami, tetapi juga tentang bagaimana nelayan dapat menentukan wilayah mereka sendiri dan mengelola sumber daya laut berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kami melihat agenda WTO sebagai ancaman terhadap kedaulatan kami. WTO adalah bentuk kapitalis yang membahas masa depan nelayan tanpa kehadiran atau masukan kami.
Kami juga menyadari bahwa hak tenurial merupakan aspek penting dalam mencapai kedaulatan pangan bagi nelayan. Saat ini, saya menyerukan kepada WFFP untuk berdiri teguh bersama gerakan nelayan. WFFP harus menjaga konsistensi gerakan nelayan, terutama di forum-forum internasional utama. Jangan berkompromi dengan agenda neoliberalisme.
Budi sebagai Nelayan menjelaskan hasil tangkapannya
Budi adalah seorang nelayan dari Indramayu, Jawa Barat. Ia menangkap kepiting bakau (Scylla spp), yang dikenal secara lokal sebagai Rajungan, menggunakan perangkap kepiting (bubu). Masyarakat pesisir Indramayu sebagian besar adalah nelayan tradisional yang mengoperasikan perahu di bawah 10GT. Budi menyoroti peran perusahaan pengolahan besar di kampung halamannya dan bermimpi mendirikan perusahaan pengolahan kepiting milik koperasi. Ia menyadari adanya mekanisme yang tidak adil di perusahaan-perusahaan ini dan ketimpangan dalam rantai nilai, yang menyebabkan nelayan dan pekerja perempuan di fasilitas pengolahan kepiting terperangkap dalam kemiskinan. Biasanya, Budi menyiapkan perangkap kepitingnya dengan ikan-ikan kecil, menaruhnya di laut, dan mengambilnya nanti tergantung pada cuaca dan kondisi laut. Tantangannya termasuk mengatasi stigma kemiskinan dan ketidakstabilan yang terkait dengan nelayan, yang membuat kaum muda enggan melanjutkan mata pencaharian ini, sering kali memilih menjadi pekerja migran. . kemudian ia akan pergi ke laut dengan menggunakan perahunya dan ia akan meninggalkannya. Keesokan harinya atau sore harinya (tergantung pada situasi angin dan ombak) ia akan kembali ke laut dan memeriksa perangkap kepiting. Ia adalah seorang nelayan tradisional yang memiliki perahu di bawah 10GT. Tantangan utama yang disebutkan Budi juga terkait regenerasi nelayan, yakni stigma yang melekat pada nelayan sebagai kaum terpuruk dan miskin berdampak pada pola pikir anak muda yang memilih menjadi TKI ketimbang menjadi nelayan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Budi menggagas dua koperasi nelayan perempuan di Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, salah satunya bernama Nyi Mas Kumambang. Ia sangat yakin dengan ketahanan nelayan perempuan, karena mereka memegang peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan dan kedaulatan bagi keluarga serta masyarakat.