Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Terbitnya Sertipikat HGB dan HM di Laut Desa Kohod Dengan Skema Pencatutan Nama, KIARA: Terangnya Proses Mal-administrasi Berimplikasi Pidana, Minim dan Lemahnya Penindakan serta Penegakan Hukum di 100 Hari Presiden Prabowo!

 

Jakarta, 28 Januari 2025 – Terbitnya hak atas tanah di perairan laut yang telah dipasang pagar bambu dengan jenis Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang adalah proses mal-administrasi dengan implikasi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh aparatur desa maupun kantor pertanahan Kabupaten Tangerang. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan perhitungan denda Rp 18 juta per kilometer atas pelanggaran pemagaran laut tersebut. KKP berdalih bahwa perhitungan denda tersebut mengacu dan didasarkan pada perhitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa perhitungan tersebut semakin menunjukkan bahwa sikap KKP tidak serius dalam menindak pelaku perusakan perairan laut dengan cara pemagaran bambu di laut. “Saat ini KKP telah menetapkan denda 18 juta per kilometer terhadap pemasangan pagar bambu yang terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, ironisnya pasca KKP menyegel pagar laut di 9 Januari 2025 hingga sampai saat ini tidak ada pengungkapan siapa dalang dan juga aktor intelektual dari pagar laut tersebut. Padahal terdapat pihak-pihak yang diduga pelaku baik aktor lapangan maupun aktor intelektualnya telah diketahui masyarakat lokal. Bahkan siapa aktor yang akan diuntungkan dari seluruh proses ini, maka akan mengerucut kepada aktor intelektualnya,” tegas Susan.

Susan menambahkan bahwa bukti lain ketidakseriusan KKP adalah penetapan denda yang hanya menggunakan satu instrumen PP No. 85/2021 dalam penghitungan denda atas kerugian negara dari adanya pemasangan pagar laut tersebut. “KKP telah menetapkan denda sebesar Rp 18 juta per kilometer, denda tersebut jauh lebih ringan dan murah dari pada harga bambu tersebut. Hal seperti inilah yang membuat pelaku perusakan laut, pesisir maupun pulau kecil tidak jera dan tidak menimbulkan efek menakutkan bagi pelaku tersebut serta pelaku lainnya. Jika dikalkulasikan denda Rp 18 juta per km dengan total panjang pagar laut adalah ±31 km, maka total denda yang akan dibebankan hanya Rp 558 juta. Jelas denda tersebut tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan yang ditaksir Ombudsman RI sebesar Rp 7,7 miliar per bulan. Sehingga secara tidak langsung KKP menegaskan kepada seluruh korporasi bahwa KKP tidak akan menindak tegas dan tidak akan mengungkap pelaku perusak laut, pesisir dan pulau kecil. Lebih jauh jika perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil rusak tidak menjadi persoalan serius, karena negara akan mendapat PNBP dari dendanya. Hari ini yang menjadi pertanyaan di publik adalah apakah KKP maupun menterinya diduga terlibat dalam pemagaran laut ini?” tanya Susan.

Selain ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri KP dalam mengungkap dan menindak pelaku pemagaran laut, ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap aktor pelaku baik ditingkat pemerintah desa maupun aktor pelaku di kantor pertanahan Kab. Tangerang yang telah menerbitkan Sertipikat HM (SHM) dan Sertipikat HGB (SHGB) di perairan laut Kab. Tangerang. “Telah terang dan jelas bahwa SHM dan SHGB ini terdapat di Desa Kohod dan diduga melibatkan aparatur desa setempat serta Kantor Pertanahan Tangerang, hingga sertipikat tersebut diterbitkan. Atas terbitnya SHM dan HGB tersebut, seharusnya pihak penegak hukum baik Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, bahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di ATR/BPN dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas hal tersebut. Bahkan sudah ada pengakuan dari warga yang namanya dicatut sebagai salah satu pemilik dari sertipikat hak atas tanah di laut tersebut. Pencatutan nama adalah kejahatan serius dan harus diungkap dan ditindak oleh penegak hukum, karena hal tersebut merupakan tindakan pidana. Akan tetapi hingga sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait siapa pihak pelaku penerbitan SHM dan SHGB ini. Proses ini harus dibuka ke publik sehingga transparan dan tidak ada pihak yang diduga dilindungi atas kejahatan hukum ini,” tegas Susan.

Dari beberapa kasus yang KIARA dampingi, KKP diduga melegitimasi kegiatan ekstraktif dan eksploitatif oleh korporasi di laut melalui penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau PKKPRL. Ironisnya, lewat PKKPRL, perusahaan yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang laut dengan aktifitas ekstraktif serta eksploitatif hanya dikenakan sebatas sanksi administratif. Dengan kata lain, rangkaian penerapan kebijakan dari pemberlakuan sanksi administratif dan penerbitan PKKPRL untuk pelanggar Pasal 35 UU No. UU No 27/2007 Jo UU No. 1/2014 yang diubah terakhir UU No. 6/2023 (Omnibus Law) telah melegalkan hal yang ilegal. Sekali lagi, artinya Menteri KKP berpihak kepada para pelaku pengerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil.

KIARA melihat ketidakseriusan dan ketidaktegasan baik dalam konteks pengungkapan pelaku dan penentuan dasar denda pemagaran laut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga ketidakseriusan dan ketidaktegasan Menteri ATR/BPN dalam mengungkap dan menindak aktor aparat desa dan aktor di kantor pertanahan Kab. Tangerang menjadi catatan tidak kompetennya Menteri KKP dan ATR/BPN hingga catatan merah buruknya penegakan hukum di 100 hari Presiden Prabowo,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

 

Jakarta, 26 Januari 2025 – Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari. Dalam kunjungan Kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup. Ironis nya, pasca kepulangan kedua kementerian tersebut, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa di tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta pertemuan atau audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspon oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.

 “KIARA melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari. Bahkan kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, yang menyatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari tapi tidak pernah direspon oleh KKP. “Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng. Saat ini warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut kami di gugusan Pulau Pari ini. Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” jelas Asmania.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektar area (ha) sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 ha yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci dapat dilihat melalui Tabel sebagai berikut:

Tabel Pertambahan Luas Daratan dan Degradasi Mangrove di Pulau Biawak

Tahun

Luas Daratan

(Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

2016

0,47

0,66

2024

1,37

0,45

Perubahan Luas

0,9

– 0,21

Sumber: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif & KIARA (2025)

Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.

KIARA dan FP3 menilai pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal yang serupa di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara saat PT GKP menimbun Pantai dan laut untuk membangun Terminal Khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun Provinsi.

Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27/2007 yang hingga saat ini masih berlaku. Sayangnya, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27/2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam pasal 75 UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1/2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. 

Tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut. “KIARA melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu. Ini menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi penting bagi Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP. Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia. Sudah saatnya Presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

 

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

HGB & SHM Telah Terbit Dalam Pagar Laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan Legalisasi Privatisasi Laut Oleh ATR/BPN dan KKP

 

Jakarta, 21 Januari 2025 – Pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 Kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.

Pasca terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.

Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata disebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan juga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementerian ATR/BPN telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai ± 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian sebagai berikut:

Aktor Jumlah HGB
PT Intan Agung Makmur 234 bidang
PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang
Perorangan (data belum dibuka ATR/BPN) 9 bidang

Sumber: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2025)

Dari hasil penelusuran KIARA pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas ±515,77 ha atau lebih dari 5 juta meter persegi. Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ± 1 juta meter persegi  luas bidang tanah tersertifikat di atas laut. Proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ada dugaan kuat bahwa pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut tersebut. “Dari penelusuan yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Susan.

Selain itu, Susan menambahkan bahwa hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. “Temuan KIARA di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” tegas Susan.

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan KIARA bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod, sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan. Penelusuran tersebut dilakukan sejak tahun 1985 hingga 2024, sehingga penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa adanya HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945. KIARA menyebutkan bahwa atas pembatalan HP3, maka: 1)  sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi; 2) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi; 3) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar; dan 4) Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.

KIARA menilai bahwa Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan berupa HGB dan SHM di atas laut. “Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang dimasa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.

KIARA melihat bahwa saat ini HP3 tersebut bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat. Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” tegas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pemagaran Laut di Kabupaten Tangerang, KIARA: Bentuk Pembiaran dan Tidak Adanya Penindakan Serius oleh KKP!

 

 

Jakarta, 10 Januari 2025 – Mengawali tahun 2025, publik dihebohkan dengan adanya pagar diduga sepanjang 30,16 km yang terletak di perairan laut di Kabupaten Tangerang. Pagar yang diduga sepanjang 30,16 km di Kab. Tangerang tersebut melintas di 6 Kecamatan yaitu, Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Telukanaga. Pemagaran laut ini dilakukan dengan menggunakan bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir. Merespon pemagaran laut di Kab. Tangerang tersebut, berbagai Kementerian dan Lembaga negara terkait telah menyatakan ketidaktahuan dan tidak adanya izin yang mereka keluarkan berkaitan dengan pemagaran laut tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA – Susan Herawati – menyatakan bahwa pemasangan pagar sepanjang 30,16 km yang mencakup 6 kecamatan di Kab. Tangerang tersebut merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut, di mana wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan. “KIARA melihat ini adalah bentuk awal dari perampasan ruang laut. Jika di check melalui Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten – atau yang disebut sebagai Perda RTRW Banten yang terintegrasi – status pemanfaatan zona ini beberapa diantaranya adalah perikanan tangkap, dan perikanan budidaya. Akan tetapi, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari Masyarakat Pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan kecil dan tradisional, serta pembudidaya ikan kecil, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara,” tegas Susan.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan KIARA, disebutkan bahwa informasi tentang pemagaran laut tersebut telah diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten sejak 14 Agustus 2024 lalu. Hingga pada 4-5 September 2024 Tim DKP bersama Polisi Khusus (Polsus) dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meninjau lokasi perairan pemagaran laut[1]. “Sehingga dari rentang waktu bulan Agustus atau September 2024 hingga Januari 2025, KKP telah mengatahui adanya pemagaran laut tersebut, akan tetapi tidak ada tindakan yang serius dan tegas yang dilakukan KKP hingga akhirnya isu ini tersebar di publik pada awal tahun 2025. Ini membuktikan bahwa KKP telah melakukan pembiaran terjadinya pemagaran laut di Kabupaten Tangerang,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa terdapat 4.463 jiwa nelayan yang hidup dan memanfaatkan perairan laut di 6 kecamatan tersebut akan terdampak dari adanya pemagaran laut di wilayah perairan Kab. Tangerang. Pemasangan pagar ini menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta, bahkan ada dugaan bahwa pemagaran laut ini diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2. “Bahkan tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta dan secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (seperti memanen kerang) yang ada di Teluk Jakarta. Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” jelas Susan.

Pemagaran laut tersebut menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh KKP. Hal ini menciptakan adanya batas dan ja rak antara KKP dengan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia. Padahal pelibatan partisipasi masyarakat pesisir (khususnya nelayan) adalah bentuk pemberdayaan nelayan serta memperkuat peran serta masyarakat yang merupakan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Pemagaran laut ini menjadi tanda dan momentum bagi Kementerian dan Lembaga negara terkait, khususnya KKP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut harus dilakukan karena: 1) tidak adanya perlindungan khusus bagi wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan kecil yang ada di Indonesia; 2) tidak adanya pelibatan partisipasi dari nelayan kecil dan tradisional sebagai aktor utama dari penjaga lautnya, padahal hal ini merupakan bentuk pemberdayaan serta memperkuat peran serta masyarakat sebagaimana diamatkan dalam tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU 27/2007; serta 3) evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang melegitimasi perusakan laut, privatisasi laut dan juga perampasan ruang laut, seperti Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang melegitimasi perampasan ruang laut!” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] Tempo. 2025. Pemagaran Laut di Tangerang: Ini Kronologinya hingga Disegel atas Perintah Presiden Prabowo. Artikel berita Bisnis Tempo.co 10 Januari 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/pemagaran-laut-di-tangerang-ini-kronologinya-hingga-disegel-atas-perintah-presiden-prabowo-1192140