Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pasca Kunjungan Dua Kementerian ke Pulau Pari, Tidak Ada Tindakan Hukum Serius Kepada Korporasi Yang Merusak dan Berupaya Memprivatisasi Pulau di Gugusan Pulau Pari

 

Jakarta, 26 Januari 2025 – Pada tanggal 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berkunjung ke Gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di Gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada tanggal 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan Kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang datang ke Pulau Pari. Dalam kunjungan Kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup. Ironis nya, pasca kepulangan kedua kementerian tersebut, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2025, pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa di tahun 2023 dan 2024, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari telah menyurati KKP dan telah meminta pertemuan atau audiensi ke KKP, akan tetapi tidak pernah direspon oleh KKP. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan KKP.

 “KIARA melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari. Bahkan kondisi terbaru, perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan oleh atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” tegas Susan.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, yang menyatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari tapi tidak pernah direspon oleh KKP. “Berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari. Mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gudus Lempeng. Saat ini warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut kami di gugusan Pulau Pari ini. Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” jelas Asmania.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektar area (ha) sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 ha yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci dapat dilihat melalui Tabel sebagai berikut:

Tabel Pertambahan Luas Daratan dan Degradasi Mangrove di Pulau Biawak

Tahun

Luas Daratan

(Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

2016

0,47

0,66

2024

1,37

0,45

Perubahan Luas

0,9

– 0,21

Sumber: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif & KIARA (2025)

Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.

KIARA dan FP3 menilai pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh eskavator di Gudus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal yang serupa di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara saat PT GKP menimbun Pantai dan laut untuk membangun Terminal Khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun Provinsi.

Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27/2007 yang hingga saat ini masih berlaku. Sayangnya, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27/2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam pasal 75 UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1/2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. 

Tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut. “KIARA melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu. Ini menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi penting bagi Presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP. Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia. Sudah saatnya Presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” tutup Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502