Novita Ika Putri: Kampus hendaknya membumi dan ikut mencari solusi Krisis Iklim

“Saya lahir dan besar di Tanah Mas, Semarang Utara. Jadi saya termasuk warga pesisir. Waktu kecil, dampak krisis iklim ini sebenarnya sudah alami. Karena setiap banjir rob atau banjir biasa datang pasti menggenangi rumah dan jalan sekitar. Saya senang sekali kalo banjir datang karena saya bisa berenang dan yang paling saya suka libur sekolah. Namanya juga anak-anak tidak paham apa yang dialami dan terjadi,” ujar Novita Ika Putri, pada saat sesi “sharing” masyarakat pesisir dalam Festival Bahari Jawa Tengah, di Kampus Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Rabu , 11/12.

Pernyataan tersebut disambut tawa sekitar 60-an peserta masyarakat pesisir Jateng, yang kebanyakan adalah para ibu. Karena sebelumnya telah ada beberapa “curhatan” mereka tentang beratnya menjadi warga pesisir belakangan terakhir ini dengan segala dampak carut marut yang lebih disebabkan oleh aturan kebijakan yang tidak pro-keadilan iklim.

Namun, Novita segera menambahkan bahwa itu adalah cara berpikirnya saat masa kanak-kanak lebih dulu. Karena kini, banjir rob dan banjir yang hadir setiap tahun ke tanah kelahirannya tidak lagi menyenangkan. Bahkan kondisinya semakin buruk. Dia sendiri pun harus mengintai rumahnya setiap tahun.

“Saking tingginya banjir, hingga genteng rumah saya tampak pendek. Jadi, masalah-masalah pesisir ini secara pribadi dekat dengan saya,” tandasnya.

Karena itu dia mendapatkan pendekatan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) untuk berkolaborasi memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir Jateng yang terdampak- terutama dalam meningkatkan kapasista pengolahan makanan laut, sesuai dengan bidangnya, dia langsung menyambut dengan baik.

Melalui Project Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainbility (FOCUS), harapan tersebut dapat dilaksanakan secara lebih maksimal. Festival Bahari Jateng 2024 menjadi salah satu pengemasan gerakan perubahan pada permasalahan pesisir. 

“Sebelumnya kami bertemu KIARA, yang terlibat dalam proyek fokus, hingga ada omongan untuk membuat Festival Bahari Jateng untuk pemberdayaan pesisir laut yang idenya dari KIARA dan tempatnya di sini,” ujarnya saat ditemui di sela acara festival, Rabu (11/12).

Dalam Festival, kampusnya menyediakan tempat bagi delapan kelompok perempuan pesisir Jateng bisa menjajakan olahan ikan/makanan lautnya di area lobi kampus. Dia juga mengerahkan mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan Talk Show yang bernilai dan mungkin pembahasannya tidak pernah mereka temui di ruang kelas kuliah, karena membahas tentang krisis iklim di Jateng dengan menampilkan narasumber yang berkualitas, dan kritis. Dia juga memimpin langsung Workshop Pengemasan Pengolahan Makanan Laut bagi para peserta Festival.

“Kami sempat mendalami budaya masyarakat pesisir. Mengunjungi dan menginap di rumah mereka juga. Kami juga melihat pemahaman dan pengetahuan mereka dalam mengelola makanan lautnya. Dalam workshop kami saling transfer ilmu tentang pengolahan makanan laut. Secara teori dan praktik pengolahan makanan yang berstandar, dan cara pengemasan, serta pemasaranaannya kami ada ilmu dan pengalamannya jadi ini yang kami bagikan kepada merek, mudah-mudahan bisa berguna jika para ibu mau mengembangkan pasarnya lebih luas dengan lebih baik,” jelasnya.

Melalui kegiatan ini, perempuan 34 tahun ini, mengajak siswanya untuk mulai melihat keadaan sebenarnya yang dialami masyarakat. Hal tersebut, guna menyempurnakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi acuannya. Juga sebagai penanaman sikap peduli terhadap sesama.

Perempuan kelahiran Semarang Utara 5 November 1990 ini memang memahami dunia makanan makanan yang ia tekuni sejak S1 Tekonologi Pangan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (UNIKA). Dia bahkan mendalami pengolahan limbah industri pangan yang ia geluti pada S2 hingga S3 di luar negeri. Dia pun melanjutkan Strata 2 nya di MS in Food Science , Cornell University, Ithaca, USA, 2016. Kemudian melanjutkan PhD in Bioscience Engineering , KU Leuven, Belgia. Pada kelulusan Strata 3 tahun 2023, Novi mencetuskan untuk fokus pada pengolahan pangan yang berwawasan lingkungan. Ini adalah langkah awal untuk berdampak pada masyarakat melalui cakupannya. Kemudia mulai menggerakkan mereka untuk merealisasikan penelitian yang sudah dilakukan kepada masyarakat terdampak.

“Harapannya setelah ini saya bisa melihat buah dari apa yang saya ajarkan, karena secara pribadi saya ingin memberdayakan masyarakat pesisir,” harapnya.

Ia Juga menyadari bahwa apa yang ia dapatkan adalah berkat dari Tuhan dan harus dikembalikan dan disalurkan pada orang lain.

“Jadi kalau bisa kota asal berkembang dengan apa yang saya dapatkan dari luar itu seperti berkat saya bisa kuliah ke luar negeri dan harus kembali berkat itu kepada orang lain,” tutupnya.

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/ Musfarayani

Redaktur : Musfarayani

 

 

Darwati Melaut,

Siti Darwati awalnya hanya seorang ibu rumah tangga yang biasa saja. Dia mengurus kerumahtanggaan di rumah dan mengurus ketiga anaknya sehari-hari. Dia juga membantu suami yang bekerja sebagai penangkap ikan di laut atau nelayan, dengan mempersiapkan bekal, dan membantu anggota alat-alat menangkap usai suami melaut.

Namun hidup menjadi nelayan di kampung pesisir di Dukuh Tambakpulo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Jateng), tidak mudah lagi seperti dahulu kala. Seiring dengan perkembangan pembangunan hingga merambah ke wilayah ekosistem pesisir utama, dan perubahan ruang termasuk mangrove yang semakin berkurang. Membuat para nelayan di wilayah tersebut harus semakin jauh melaut untuk mendapatkan ikan. Hal ini mempegaruhi pendapatan nelayan. Termasuk suami Darwati yang semakin merasa “berat” melaut, terlebih dia juga harus membayar Anak Buah Kapal (ABK). Karena melaut sangat berat jika dilakukan sendirian jika dia ingin mendapatkan ikan lebih banyak.

Melihat kondisi tersebut, dia bergerak ingin membantu suaminya. Sejauh ini, penghasilan utama dalam keluarganya adalah tangkapan hasil ikan di laut. Dia menawarkan diri ke suaminya untuk menjadi “ABK”, guna mengurangi biaya upah ABK ini. Sehingga biaya tersebut bisa digunakan untuk membeli bahan bakar dan keperluan lainnya.

“Kalau mencari ABK atau dibagian sama ABK itu buat sehari-hari tidak cukup. Awal-awal memulai jadi ABK tidak mudah sama sekali. Selain kami malu jika diketahui tetangga atau keluarga karena perempuan ikut melaut, saya juga harus belajar cepat di laut menjadi ABK. Semula saya hanya memperhatikan suami mengemudikan kapal, menangkap ikan, lalu praktik. Ternyata tidak susah,” ungkapnya.

Jadilah dia kemudian menjadi perempuan nelayan. Namun untuk menunjukkan dirinya “sebagai nelayan” kepada publik desanya juga tidak mudah. Suami terutama merasa malu karena menyertakan istrinya di perahu. Kadang-kadang mereka berangkat dengan Darwati yang bersembunyi. Baru di laut dia bisa bebas. Darwati dan suami mulai melaut saat dini hari hingga siang hari. Setiap hari ia jalani dengan harapan mengantongi banyak ikan saat dibawa pulang dan bisa dijual,

“Saya melaut mulai jam 02.00 malam hingga jam 10.00 siang,” jawabnya saat ditanyai Tim Media KIARA, di sela acara Festival Bahari Jateng, pada Rabu (11/12).

Namun menjadi perempuan nelayan, Darwati sebenarnya bekerja lebih keras. Dia harus bangun lebih dahulu dari semuanya. Menyiapkan semua bekal untuk melaut termasuk kebutuhan anak-anaknya sekolah. Namun di laut, dia dan suaminya menjalani peran “setara” karena melakukan tugas yang beresiko dan sama beratnya dengan suaminya. Sebagai “ABK” pribadi seorang suami yang tidak bergaji, Darwati mengemudikan perahu secara bergantian dengan suaminya, dia juga menjala ikan, atau menaruh nyawa yang jatuh dari kapal yang terhempas ombak, dan bersaing dengan kapal-kapal besar yang terkadang menangkap ikan dengan “trawl”.

Meski bekerja sama beresiko dan berbahay seperti suaminya, status Darwati hanya diakui di KTP sebagai: Ibu Rumah Tangga, bukan sebagai nelayan. Karena “status pekerjaan”, di KTP ini pula yang menghalanginya mendapatkan kartu asuransi nelayan yang saat itu didistribusikan dan menjadi program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti kepada para nelayan. Ternyata di Demak, para ibu yang beralih menjadi nelayan bukan hanya Darwati, pada saat itu. Ada sekitar 33 perempuan nelayan di Demak lainya. Ya, para perempuan, yang mengemudikan kapal, dan menjala ikan di laut dengan segala risiko seperti yang dilakukan para nelayan laki-laki pada umumnya. Namun aparat desa menolaknya, karena menganggap perempuan tidak berprofesi seperti itu, mereka hanya membantu suami. Atas perjuangan panjang bersama KIARA dan Persaudaran Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), dengan bantuan sejumlah media dari Jakarta dan Jateng, akhirnya desa menyetujui perubahan status KTP mereka dari Ibu Rumah Tangga menjadi “Nelayan.” Sayangnya paska Susi tidak menjadi menteri lagi kartu asuransi ini kembali mandek.

Kisah perjuangan ibu dua anak ini sampai ke telinga pemerintah hingga mendapatkan respon. Mereka mendapatkan bantuan Jaring yaitu Glinet Kakap. Namun, bantuan tersebut kurang bermanfaat karena jaring yang dipakai mereka berbeda yaitu Glinet untuk rajungan. Selain pemerintah, respons lain datang dari lingkungan tempat tinggal.

Meskipun Darwati tidak dapat mencapai cita-citanya menjadi guru, setidaknya kini dia tetap bisa mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya. Dia tidak membiarkan anak-anaknya hidup dalam kesusahan. Dia percaya, dengan pendidikan yang baik anak-anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Karena itu dia dan suami bekerja keras menjadi nelayan demi mengupayakan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Harapan keluarga kecil ini adalah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.

Darwati menjabarkan penghasilan pekerjaannya menjadi nelayan sebenarnya jika dihitung secara matematika tidak cukup. Penghasilan mereka perharinyaa tidak menyebutkan, bisa Rp 100.000 atau paling banyak Rp 500.000. Penghasilan tersebut diakui masih kurang untuk menyambung hidup.

“Terkadang dapat banyak, kadang ga dapat apa-apa, kadang dapat 100k. Untuk perbekalan anak sekolah, sangu sekolah, atau perbekalan solar, atau makanan atau apa. Kan masih kurang,” pengakuannya.

Belum lagi dalam pekerjaan menjadi nelayan selain mendapatkan tantangan alam diterjang ombak dan cuaca buruk, terkadang mereka harus berhadapan dengan kapal-kapal pukat harimau yang menangkap ikan hingga merusak rumah-rumah ikan di laut. Kekhawatiran Mak Darwati tidak hanya pada kerugiannya sendiri, namun bagaimana kehidupan eskosistem laut yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini.

 “Alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu sudah banyak. Karena alat-alat yang tidak ramah lingkungan itu dapat ikan kecil-kecil membuang sia-sia. Karena ikan itu tidak laku. Gak laku atau gak laku dijual,” ujarnya.

Pukat Harimau juga menjadi trauma tersendiri bagi Mak Darwati, pasalnya semua harta dirampas oleh Pukat Harimau,

“Dulu pernah kena pukat, saya punya jaring 60 tinting. Itu ilangnya 50 tinting. Kalau di kalikan atau di jumlah 1 tinting nya itu 300k x 50 udah berapa, 15 jt mbak. Itu harta saya, pukat ngga tanggung jawab sama sekali. Itu mbak, saya pulang menangis mbak. Nggak bisa ikan sama sekali, jaringnya udh hilang, gak bisa ganti, gak bisa ikan. Saya pulang tu nangis sama suami saya. Karena apa saya bilang kaya gini, harta saya kok hilang di ambil sia-sia,”tandasnya.

Penulis: Sabrina Gita Salsabella/Musfarayani

Redaktur : Musfarayani