Kisah Mak Tri : Merawat Laut, Memberdayakan Perempuan

Tri Ismuyati Menjadi Pembicara di Festival Bahari 2024 (Dok: Adinan)

Tri Ismuyati, perempuan yang kerap disapa Mak Tri tumbuh besar di wilayah pesisir  tepatnya Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Saat ini ia berkesibukan sebagai petani tambak. Sebelum mengelola tambak Mak Tri beraktivitas, memasarkan dan membuat olahan hasil tangkapan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan. Tapi semenjak merendahnya hasil tangkapan ikan laut, akhirnya Mak Tri dan suaminya banting setir dengan berbudidaya ikan bandeng dan mujair, yang dikelola di kolam buatan atau yang biasa disebut tambak. Setiap empat bulan sekali ikan-ikan itu dipanen, lalu di distribusikan ke pasar-pasar terdekat, hasil penjualan itu yang dipakai Mak Tri dan suami mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dilakukan semenjak hasil laut tidak memungkinkan untuk menjadi tumpuan perekonomian keluarga Mak Tri.

 

Rendahnya hasil tangkapan ikan di laut tidak hanya dialami oleh suami Mak Tri saja, beberapa nelayan di Bandungharjo mengalami nasib serupa. Hal ini membuat beberapa nelayan beralih profesi menjadi petani tambak, sebagian masih bertahan sebagai nelayan.

Mak Tri menjelaskan penyebab minimnya ikan yang diperoleh nelayan, dikarenakan rusaknya habitat ikan di wilayah pesisir Jepara terkhususnya Bandungharjo. Hal ini diakibatkan adanya aktivitas-aktivitas ekstraktif dan eksploitatif yang merusak dan mencemari laut.

 

Pada  2012, warga pesisir Bandungharjo dihadapkan dengan aktivitas pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Desa Bandungharjo oleh CV Guci Mas Nusantara (GMN). Ada 14 hektare (ha) wilayah konsesi yang diberikan pemerintah. Sejak itu kehidupan Mak Tri dan warga pesisir wilayah ini tidak sama seperti dahulu. Mereka merasakan perubahan-perubahan seperti abrasi pantai yang terjadi setiap tahun dan perairan dekat pantai yang semakin mengeruh, bahkan sudah mendekat ke perkampungan. Hal ini berdampak pada pasokan air bersih, yang digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan domestik. Selain itu, ikan-ikan bermigrasi ke arah tengah menuju perairan yang lebih dalam. Tentu hal ini berdampak pada penurunan jumlah tangkapan ikan nelayan-nelayan tradisional Bandungharjo. Melihat kondisi tersebut, bersama masyarakat Desa Bandungharjo, Mak Tri turut terlibat dalam aksi penolakan terhadap operasi tambang itu yang mengakibatkan kriminalisasi 15 orang nelayan. Terdapat 13 laki-laki beserta dua perempuan teman seperjuangan Mak Tri dalam mengorganisr ibu-ibu di pesisr Bandungharjo.

 

“Nah pada waktu itu diambilnya pasir besi, berdampak rusaknya daerah pesisir yang diakibatkan abrasi, karena masyarakat Bandungharjo meyakini pasir besi sebagai pemfilter air asin dari laut. Air itu biasanya dimanfaatkan untuk makan, minum, masak, dan mandi. Tambang pasir juga berdampak pada tangkapan laut warga.  Pada waktu itu, penolakan tambang pasir sampai berujung pembakaran alat berat, yang mengakibatkan 13 pria dan dua perempuan di tahan,” ungkap Mak Tri  pada hari Minggu (15/12/2024)

 

Berkat perjuangan dan kegigigan Mak Tri dan warga pesisir Bandungharjo, mereka pun berhasil mengusir aktivitas tambang pasir pada 2013. Namun tak serta merta permasalahan yang dialami masyarakat Bandungharjo turut sirna. Belum selesai dampak yang diakibatkan tambang pasir besi, Mak Tri dan masyarakat Bandungharjo dihadapkan permasalahan limbah-limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B. PLTU beroperasi sejak 2006 dibangun di atas lahan seluas 150 hektar, terletak di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Jepara. Di tahun tersebut hanya terdapat dua unit mesin pembangkit listrik, tapi sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2022 mengalamai penambahan. Keseluruhan terdapat enam unit mesin pembangkit di PLTU Tanjung Jati B, total daya mencapai 4.664 Mega Watt (MW). Kebutuhan batu bara untuk bahan bakar, mencapai 7,5 juta ton per tahun. Hal ini mengakibatkan jumlah limbah yang diproduksi pun meningkat.

 

Meski tidak berlokasi di Bandungharjo, tapi lokasi aktivitas PLTU merupakan jalur nelayan Bandungharjo dalam menjala ikan. Kapal-kapal yang mengangkut batu bara sebagai bahan bakar utama aktivitas PLTU, terkadang jatuh ke laut  di wilayah yang terdapat aktivitas nelayan. Hal ini menyebabkan jaring yang dipakai untuk menangkap ikan rusak, selain itu batu bara yang jatuh menyebabkan terumbu karang yang menjadi habitat ikan rusak.  Akhirnya berdampak rendahnya hasil tangkapan nelayan.

 

“Pengangkutan batu bara mengakibatkan jaring-jaring nelayan rusak mas karena pada jatuh kelaut,” jelasnya.

 

Berhimpun Untuk Menghadapi Hal yang Tidak Mungkin

 

Menyadari ancaman yang datang silih berganti, Mak Tri dan teman-teman perempuan di Bandungharjo berinisiatif untuk membentuk kelompok Perempuan Nelayan Udang Sari.  Disela-sela kesibukannya merawat ikan di tambak. Mak tri turut aktif di organisasi Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dengan kelompoknya Udang Sari.  Kelompok ini merupakan wadah bagi perempuan nelayan Desa Bandungharjo untuk berorganisasi, bersolidaritas, berupaya meningkatkan taraf ekonomi perempuan nelayan.

 

Ia menyampaikan dibentuknya kelompok Nelayan Udang Sari, sebagai upaya mengatasi permasalahan makin sulitnya mencari ikan dilaut. Melalui organisasi ini, Mak Tri bersama perempuan nelayan lainnya aktif dalam mengelola sumber pangan dan menjaga wilayah pesisir Desa Bandungharjo. Mereka mengolah dan memasarkan produk hasil laut dengan mengolah dan memasarkan produk hasil laut, seperti abon ikan, krispi udang, dan produk lainnya.

 

Mak Tri menambahkan jika hanya mengandalkan hasil nelayan yang tidak pasti, masyarakat-masyarakat pesisir akan mengalami keterpurukan ekonomi. Dengan adanya kelompok ini ibu-ibu di wilayah pesisir, bisa menciptakan alternatif lain guna membantu perekonomian keluarga, yang selama ini bertumpu pada hasil melaut suami.

Ia melihat sendiri bagaimana teman-temannya banyak terjerat oleh pinjaman keliling karena kondisi perekonomian yang memburuk. Sementara itu, kebutuhan sehari-hari semakin meningkat, termasuk kebutuhan pangan.

 

“Nelayan itu kerjaannya satu saja kalau lingkungannya sudah rusak , gak memungkinkan para nelayan berangkat bekerja. Apalagi belakangan ini  perubahan cuaca nggak memungkinkan untuk menangkap ikan. Akhirnya yang merasakan dampaknya ibuk-ibuk, karena kalau suaminya pergi melaut dapat ikan diberikan ke istrinya, kalau nggak dapat ya cari sendiri. Makanya di sini banyak yang terjerat utang,” terangnya.

 

Aktivitas yang dilakukan kelompok Udang Sari selain membangun wacana kemandirian bagi perempuan di Bandungharjo. Mereka juga turut terlibat dalam merawat lingkungan di pesisir di tahun 2015 Mak Tri dan kelompok Udang Sari melakukan aktivitas penghijauan di kawasan pesisir Bandungharjo, seperti pohon cemara dan pohon waru. Hingga hari ini, pohon-pohon itu telah tumbuh besar dan rindang. Pantai Cemara Kasih—tempat pohon itu hidup—kini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat wisata. Hal ini tentu berdampak, pada peningkatan perekonomian warga. 

 

Lebih lanjut pada tahun 2023, bersama 10 orang perempuan nelayan lainnya, Mak Tri menjalankan koperasi usaha bersama dengan mengolah dan memasarkan produk hasil laut, seperti bandeng presto, otak-otak bandeng, terasi udang, petis, dan produk olahan lainnya. Koperasi ini diberikan nama Berkah Laut, Mak Tri menceritakan kenapa diambil  nama tersebut sebagai bentuk penegasan bahwasanya masyarakat hidup dari hasil laut, jadi jangan sampai sumber penghidupan itu dirusak. Sampai saat ini, perlahan-perlahan anggota di dalamnya memiliki tabungan atas usaha mereka bersama.

Penulis : Yasin Fajar A

Editor : Musfarayani

Berlayar dari Bugis ke Karimunjawa untuk Suatu Misi

 

Foto Bang Jeck di Festival Bahari 2024 (Dokumentasi: Adinan)

Foto Bang Jeck dalam Festival Bahari 2024 (Dokementasi: Adinan)

 

 

 

 

Bernama lengkap Bambang Zakaria (56) atau kerap disapa dengan panggilan Bang Jack ini merupakan pegiat lingkungan yang berasal dari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Namanya cukup dikenal ketika dirinya turut serta dalam menyuarakan dampak dari pencemaran limbah tambak udang ilegal di Karimunjawa. Kasus ini sempat menimpa rekan satu perjuangannya yaitu Daniel Frits Maurits, sesama pegiat lingkungan yang dikriminalisasi atas tuduhan penyebaran informasi kebencian untuk kelompok masyarakat tertentu pada Kamis, 4 April 2024 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jepara.

Dalam perjalanannya mengawal kasus tambak udang ilegal di Karimunjawa, Jawa Tengah, sosok Bang Jack sangat memiliki pengaruh. Terutama ketika dirinya melakukan orasi di dalam rapat kerja Komisi II DPR RI di Kantor BPN Jawa Tengah, Kota Semarang pada Jumat (29/9/2023). Dilansir dari keterangan Tribun Jateng.com, Bang Jack mengatakan bahwa rumput laut yang dulu menjadi sandaran ekonomi warga telah hancur karena limbah tambak udang vaname. Lalu, apa yang melandasi pria yang aktif dalam Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR) tersebut?

Sosok Bang Jack memiliki darah keturunan asal Bugis yang kental dengan kisah hidup nenek moyangnya sebagai seorang pelayar. Di Karimunjawa, ia merupakan keturunan keempat dari orang Bugis yang melakukan babat alas di wilayah ini. Babatan alas yang telah dilakukan oleh orang-orang Bugis di Karimunjawa diketahui sejak tahun 1940-an, bahkan sebelum itu sudah dilakukan. Hal ini ditandai dengan adanya Lakaya, dusun yang berdiri di tengah telaga.

“Saya ini keturunan orang Bugis yang keempat dari babat alas Karimun. Orang Bugis itu dulu berlayar ke sini untuk membuka suatu kehidupan. Ya, sekitar tahun 40-anlah menjelang kemerdekaan. Di situ ada Lakaya,” terangnya pada hari Rabu (11/12/2024).

Di samping itu, Bang Jack menceritakan bahwa para leluhurnya dulu membuka kehidupan di Karimunjawa untuk suatu misi. Kewajiban melanjutkan misi dari para leluhurnya yaitu untuk menjaga laut. Menurutnya bagi seorang pelayar lautan itu serupa ibu kandung sendiri. Laut memberikan kehidupan, perlindungan, dan rezeki sehingga menjaganya adalah bentuk rasa syukur dan penghormatan.

“Bagi seorang pelayar, lautan adalah ibu sejati kami,” tegas Bang Jack.

Meneruskan Pesan Para Leluhur

Misi yang diwariskan oleh para leluhurnya inilah yang melatarbelakangi Bang Jack untuk melakukan pengawalan terhadap isu-isu lingkungan di Karimunjawa, Jawa Tengah. Ia mengemban amanah yang harus diteruskan untuk anak-cucunya kelak. Meskipun, ia menyangkal bahwa dirinya sendiri bukan seorang aktivis lingkungan. Siapa pun yang telah merenggut ruang hidup warga Karimunjawa bukan karena bencana alam harus dilawan.

“Kata orang juga bahwa saya adalah seorang aktivis lingkungan. Padahal saya hanya memegang pesan leluhur kami. Kami di sana cari makan dari darat dan laut. Nah, kalau ada yang merusak itu sebagai generasi penerus, mosok mau sampai sini aja? Kan malu sama leluhur kami. Ya, kami lawan!” Tegasnya.

Beberapa pengawalan isu lingkungan yang telah dilakukan oleh Bang amenuai banyak dampak positif bagi nelayan Karimunjawa. Salah satunya, ketika terjadi penangkapan ikan oleh nelayan asing dengan menggunakan bahan peledak dan racun. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem laut di Karimunjawa. Untuk mencegah kerusakan ekosistem laut semakin parah, tindakan preventif pun juga dilakukan. Bersama rekan-rekannya, Bang Jack melalukan edukasi juga kepada para nelayan di sana.

“Pertama, dulu yang tangkap ikan secara ugal-ugalan menggunakan bom dan racun. Benda-benda ini berasal dari luar, bukan dari kami. Mereka itu yang mengajari kami. Andaikan karang bisa dimakan, ya kami makan. Itu alhamdulillah sudah berkurang.”

Satu persoalan selesai bukan berarti persoalan lain tidak ada. Seusai berhasil menangani satu isu, Bang Jack dihadapkan lagi oleh persoalan kapal tongkang batu bara yang memasuki zona tangkap para nelayan. Singgahnya kapal ini di Karimunjawa telah merusak banyak terumbu karang. Rusaknya terumbu karang membuat ikan-ikan yang berada di sekitar zona tangkap bermigrasi ke tempat lain sehingga mempersulit para nelayan.

Semakin kompleks sebuah persoalan membuat Bang Jack harus berurusan dengan pemangku kebijakan. Sebab, pemangku kebijakan seperti pemerintah memiliki peran di balik berlabuhnya kapal tongkang batu bara di Karimunjawa. Secara tidak langsung kapal tersebut berlindung di bawah naungan para pemangku kebijakan.

“Terus nggak lama kemudian, Karimunjawa itu disinggahi oleh kapal tongkang batu bara. Ini juga merusak. Kalau begini ini itu sudah berurusan sama pemangku kebijakan. Soalnya mereka juga berlindung, makanya kami awasi. Saya juga laporin ini ke mana-mana agar ada yang mengatur zona labuhnya,” tukasnya.

Bang Jack tidak hanya menyoroti perihal dampak kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kapal tongkang batu bara saja. Tetapi, ia juga melihat dampak lain dari batu baru yang terkena rembesan air hujan. Aliran air yang keluar dari rembesan batu bara mengakibatkan laut berwarna hitam pekat dan tercemar.

“Ya, karena bukan hanya dampak tabraknya saja. Tapi batu baranya juga yang kalau turun hujan itu kan airnya mengalir sampai ke laut. Itu yang tidak dihitung oleh mereka, teman-teman Balai Taman Nasional. Itu mencemari biodata-biodata laut yang ada. Airnya menghitam itu!”

Berdasarkan dengan hasil rundingan dengan para pemangku kebijakan. Muncullah sebuah regulasi baru yang mengatur agar kapal tongkang batu bara tidak masuk ke kawasan tangkap nelayan. Meskipun dalam aturan sudah tertera, beberapa dari mereka masih ada yang ingkar secara sembunyi-bunyi. Hingga pada akhirnya, persoalan lingkungan di Karimunjawa pun merambat hingga ke kasus pencemaran limbah dari tambak udang terhadap rumput laut. Bang Jack merasa bahwa kasus ini merupakan kasus terberat yang pernah dialami oleh dirinya. Menurutnya banyak orang yang terlibat dalam kasus ini, mulai dari warga sendiri dan para pemangku kebijakan.

“Wah, itu alot sekali. Sebab, pemangku kebijakan membiarkan dan masyarakat diracuni oleh uang. Kami berteriak pun dibiarkan. Ya, akhirnya kami hanya bisa berteriak lewat sosial media. Kerusakannya sungguh luar biasa. Masyarakat kami dirusak, sosial-ekonomi, dan alam kami juga.”

Menyoal Dampak Perubahan Iklim Terhadap Nelayan Karimunjawa

Nelayan-nelayan di Kepulauan Karimunjawa tidak hanya menghadapi persoalan lingkungan saja, tetapi juga dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim membawa perubahan pola terhadap musim tangkap. Menurut Bang Jack para nelayan di sana terkena dampak dan sudah tidak bisa memprediksikan hasil tangkap setiap pergi melaut.

“Itu kita kena dampak. Kami Sudah tidak bisa melakukan hitung-hitung lagi, itu sudah meleset,” ujarnya.

Dahulu para nelayan di Karimunjawa masih bisa memperhitungkan musim, kapan mereka harus pergi menangkap ikan dan kapan harus kembali. Di tambah lagi dengan pola ombak yang bisa bertambah besar sewaktu-waktu. Hal ini tentu mengancam keselamatan nelayan ketika pergi melaut. Di samping itu juga, ombak yang besar dapat mempengaruhi daya tangkap ikan bagi para nelayan.

“Patokan kami ya itu. Setelah perubahan cuaca yang tidak menentu ini kami bingung. Meskipun begitu, kami tetap melaut dengan kapal yang sudah dirancang dengan ketahanan ombak.”

Terjadinya perubahan iklim tidak membuat para nelayan patah arang. Mereka tetap pergi melaut dengan kapal yang sudah dirancang ketahanannya. Sebab, nelayan di Karimunjawa juga tidak ingin kalah saing dengan nelayan asing yang sudah menggunakan alat tangkap lebih canggih dari mereka. Menurut Bang Jack pemicu lain berkurangnya daya tangkap nelayan di Karimunjawa ini  karena para nelayan asing .

“Mereka berasal dari Jakarta, Tegal, Rembang, dan lain sebagainya menggunakan alat-alat canggih. Tapi kami tetap melaut dan tidak ingin diam,” tegas Bang Jack.

Penulis : Radit Bayu Anggoro

Editor : Musfarayani