Upaya Berdaulat Pangan, Siasat Bumbu Kuning dan Sambel Kerang Dalam Mengambil Peran

Workshop Hari Pertama “Mengolah dan Mengkemas Hasil Laut” (Doc: Tegar)

Bertempat di Laboratorium Dasar Food Tech, Soegijapranata Catholic University, terdapat momen menarik, ruangan yang biasanya dipakai untuk praktek mahasiswa. Pada hari Selasa (10/12/2024), nampak berbeda dengan hadirnya ibu-ibu yang sudah siap untuk memulai praktek memasak. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa bumbu-bumbu dapur serta peralatan masak, yang berada di depan mereka.

Tukar “ilmu memasak” terjadi antara “chef” perempuan pesisir Jawa Tengah dengan mahasiswa. Dengan apron yang sudah melekat serta peralatan yang lebih proper dari ibu-ibu pesisir, Dr. A. Rika Pratiwi, M.Si., beserta mahasiswa teknologi pangan sharing cara mengolah hasil laut berdasarkan keilmuan yang digeluti.

Workshop kali ini terkait “Pengemasan Hasil Produk”, dengan produk olahan ikan kembung yang dibumbu kuning serta kerang yang di tongseng dengan sambal. Sebelum masuk dalam praktek memasak Rika menjelaskan ke ibu-ibu, dalam mengolah makanan kebersihan bahan pangan wajib diperhatikan. Sebab, bahan makanan yang diolah dengan cara tidak higenis akan memunculkan mikrobakteri yang mengakibatkan proses pembusukan menjadi lebih cepat. Dibandingkan dengan ikan yang diolah secara higienis. Rika turut menambahkan ketika makanan yang sedari awal tidak higienis dikemas, akan cepat membusuk.

Setelah sedikit pemaparan, ibu-ibu mulai mengolah ikan kembung dan kerang. Memulai dengan mencuci bersih ikan serta kerang, melalui air yang mengalir dari wastafel. Dalam memasak ibu-ibu nampak terampil dalam mengolah bumbu-bumbu dapur, tak sedikitpun raut wajah yang menunjukan kebingungan. Suasana sedikit buyar yang awalnya ibu-ibu fokus pada masing-masing olahan, satu persatu orang yang di dalam ruangan mulai bersin ketika bumbu dapur di tongseng dengan minyak yang panas. Bau rempah-rempah yang begitu kuat, menusuk ke hidung.

Mengolah hasil laut dengan rempah-rempah, biasa dilakukan ibu-ibu di wilayah pesisir hal ini disampaikan Nurika salah satu perempuan pesisir yang datang dari Tambakpolo, Demak. Ini bukan suatu hal yang baru buat Nurika, dia sudah terbiasa mengolah hasil laut dengan bumbu kuning, suatu hal yang baru bagi dia mengolah kerang dengan tongseng pakai sambel, karena biasanya kerang dia olah pakai kecap. Selain itu hal baru yang diperoleh dalam pelatihan ini, sebelumnya Nurika terbiasa masak dengan bumbu yang dikira-kira, tapi dalam kepelatihan ini ia menyadari takaran yang tepat berpengaruh pada kualitas makanan.

Tak disangka ikan kembung bumbu kuning serta sambal kerang sudah matang, baunya sungguh menggoda. Momen yang paling ditunggu ialah mencicipi, ternyata kepelatihan tidak berhenti disitu saja, makanan yang sudah matang selanjutnya akan dikemas. Workshop kali ini juga mengajarkan ibu-ibu pesisir cara mengemas produk dengan prosedur yang tepat.

Workshop pengemasan yang diberikan berupa kepelatihan vacuum bag, hal ini tentu pengalaman baru bagi mereka. Karena sebelumnya ibu-ibu di pesisir belum memprioritaskan olahan yang biasa dimasak sehari-hari untuk produk yang diperjual belikan. Sembari di dampingi mahasiswa, olahan yang sudah jadi mulai dikemas dimasukkan ke kemasan. Untuk sambal kerang dimasukkan di botol kecil, atasnya dilapisi alumunium foil setelah itu ditutup. Sedangkan untuk ikan bumbu kuning dikemas dalam plastik vacuum, kemudian di press menggunakan mesin. Ibu-ibu nampak antusias, dengan senda gurau melakukan proses pengkemasan olahan yang sudah mereka masak.

Disela-sela kepelatihan Rika menjelaskan, alasannya memilih ikan kembung bumbu kuning dan sambal kerang untuk kepelatihan, bukannya hal itu sudah dikuasai ibu-ibu tanpa perlu mengikuti workshop. Ia beranggapan ikan dan kerang merupakan hal yang dekat dengan perempuan yang hidup di wilayah pesisir. Hal yang lekat sehari-hari inilah yang potensial untuk dikembangkang guna membangun kemandirian dalam sektor perekonomian. “Produk seperti sambal kerang atau ikan bumbu kuning dapat dikemas dan dijual, bahkan ke luar daerah,” kata Rika. Ini menjadi peluang bagi ibu-ibu pesisir untuk menciptakan alternatif penghasilan, terutama saat suami mereka tidak bisa melaut karena cuaca buruk.

Lebih jauh, Rika menekankan bahwa inovasi sederhana seperti ini dapat mengatasi masalah pemborosan hasil laut. “Daripada membuang ikan yang tidak terjual, mereka bisa mengolahnya menjadi produk bernilai jual,” tambahnya.

Perubahan iklim telah membawa tantangan besar bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan laporan Bappenas, nilai ekonomi yang hilang akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai Rp81,53 triliun antara 2020 hingga 2024. Dengan ikan bermigrasi ke perairan yang lebih dalam, nelayan tradisional yang menggunakan peralatan sederhana menghadapi penurunan hasil tangkapan hingga 30% di beberapa wilayah.

Namun, melalui program seperti workshop ini, ada secercah harapan. Para perempuan pesisir kini memiliki keterampilan baru untuk mengolah hasil laut menjadi produk yang tidak hanya bergizi, tetapi juga bernilai ekonomis. Sambal kerang dan ikan bumbu kuning yang dihasilkan bukan sekadar makanan, melainkan simbol kemandirian dan ketangguhan mereka di tengah tantangan zaman.

“Saya yakin, dengan pelatihan seperti ini, perempuan pesisir bisa lebih berdaya,” tutur Ibu Rika di akhir acara. Dengan wajah penuh harapan, ibu-ibu peserta pelatihan keluar ruangan, membawa pulang masakan mereka yang sudah dikemas. 

Penulis: Yasin Fajar

Editor : Musfarayani

Jawa Tengah Segera Tenggelam, Akankah Pemerintah Hanya Diam

Talksow Interaktif sesi kedua di Festival Bahari Jateng 2024 membahas “Menghadapi Perubahan Iklim dan Upaya Penguatan Sistem Pangan” Rabu, 11 Desember 2024
(Dok: Adinan).

Kejadian alam atau persoalan lingkungan sudah mempunyai kedekatan tersendiri bagi beberapa daerah salah satunya Provinsi Jawa Tengah, persoalan lingkungan di Jawa Tengah dalam catatan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Semarang terdapat 139 persoalan lingkungan, lebih dari setengahnya 101 bencana banjir dan longsor serta 9 persoalan kekeringan. Namun perlu kita ketahui krisis iklim yang terjadi bukan semata-mata kejadian alam yang alamiah, tetapi ada sebab-sebab lokal yang harus diminta pertanggunga jawabannya.

Hal tersebut disinggung dan diperbincangkan secara lebih mendalam oleh pemateri pada talkshow Festival Bahari 2024 yang bertajuk “Menghadapi Perubahan Iklim dan Upaya Penguatan Sistem Pangan Lokal” di Soegijapranata Chatolic University (SCU), BSB City, Kota Semarang, pada Rabu 11/12.

“Sebenernya krisis iklim itu dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti, hujan yang tidak nentu, kemarau panjang, cuaca yang semakin, yang menjadi persoalan apakah itu diidentifikasikan sebagai krisis iklim atau hanya kondisi alamiah. Hal tersebut tentunya bukan terjadinya secara alamiah begitu saja, tetapi adanya percepatan-percepatan dan tindakan-tindakan dari negara dan pemilik modal yang memperparah kondisi itu,” ucap Cornelius Gea dari LBH Semarang.

Sependapat dengan Widi Handayani dari Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan SCU, dengan antusiasnya Widi bercerita ketika ia berkunjung ke museum Sangiran bahwa memang perubahan iklim itu bukan terjadi secara natural tetapi terjadi secara organic. Adapun dampaknya untuk sektor perikanan yaitu, kematian kerang, terjadinya migrasi ikan, dan berdampak pada penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim.

“Penurunan ekspor diakibatkan oleh perubahan iklim, terutama dengan adanya peningkatan suhu di laut. Dampaknya pada biota laut seperti kematian kerang dan terjadinya migrasi ikan, tentu ini akan menimbulkan kesulitan untuk nelayan tradisional khususnya,” kata Widi.

Kebijakan Pemerintah Tak Lagi Melirik Krisis Iklim
Anggota Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Abdurrahman Sandriyanie menjelaskan, kebijakan-kebijakan atau regulasi pemerintah mengenai persoalan iklim seringkali lebih menuju ke arah infrastruktur dibanding perubahan iklim itu sendiri.

“Sekitar 45 regulasi yang membahas tentang iklim lebih banyak ke infrastruktur dan kita belum mempunyai satu payung yang menurut kita efektif. Sementara, regulasi yang kita punya masih tahap teknikalisasi hanya sebatas pengertian. Proyek-proyek yang mengatasnamakan iklim, tetapi malah menghancurkan pengetahuan masyarakat tentang iklim tersebut serta banyaknya proyek-proyek PSN yang merampas ruang hidup masyarakat,” jelas Abdur.

Hal itu ditambahkan oleh Susan Herawati Sekretaris Jendral KIARA, ia berpendapat bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan jalan beriringan bersama masyarakat kecil termasuk warga pesisir. Mereka akan bersama kita jika kita sudah mencapai yang mereka inginkan, dengan pola-pola mereka yang mengatasnamakan iklim, lingkungan, pasti tidak lepas dari perampasan ruang secara halus maupun paksa dan adapun penanggulangan yang dilakukan namun tidak efektif.

“Untuk melakukan gerakan jangan menunggu dari pihak pemerintah, mau sampai Firaun bangkit pun mereka tidak akan tergerak. Pemerintah itu akan datang kalau kita itu sukses, mereka mau terbangun ketika organisasi itu sudah besar, saya percaya bahwa sistem perlawanan harus masuk ke dalam politik, masalahnya di Indonesia ini butu modal dan pastinya mahal. Parahnya lagi, setiap ganti pemerintah terus ganti pemikiran,” ungkap Susan.

Upaya Masyarakat di Balik Krisis Iklim
Ditengah-tengah penyampaian materi Cornelius Gea juga menambahkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang terdampak mempunyai cara atau pengetahuannya sendiri dalam bertahan dan beradaptasi ditengah-tengah perubahan iklim, namun seringkali hal itu tidak dilirik oleh pemerintah negara bahkan terabaikan begitu saja.

“Sebenernya masyarakat kampung,masyarakat lokal, mereka mempunyai pengetahuan sendiri untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap krisis iklim ini. Sayangnya itu gak pernah dipakai sebagai pengetahuan penting bagi negara untuk menciptakan solusi-solusi yang ketika menghadapi krisis iklim,” tambah Cornelius.

Talkshow ini pun tak lepas dari keterlibatan masyarakat pesisir maupun para nelayan, Festival Bahari mengundang warga terdampak sekaligus aktivis perempuan yang sudah cukup lama bahkan sejak kecil merasakan perubahan-perubahan keadaan laut yaitu Mas’nuah yang aktif di Organisasi Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari atau Persaudaraan Nelayan Indonesia.

Ia menekankan agar masyarakat pesisir menguatkan pengorganisasian dan perekonomian, dengan organisasi yang kuat serta jaringan-jaringan yang luas dapat membantu masyarakat dalam menghadapi konflik yang dihadapi serta ekonomi yang cukup juga terhindar dari penyuapan dari pihak yang merugikan masyarakat.

“Kemandirian menjadi kunci utama dalam sebuah gerakan, membentuk organisasi kalau tidak diimbangi dengan ekonomi yang baik itu juga otomatis gerakannya tidak akan hidup, dan tentunya organisasi yang kuat agar memperkuat juga prinsip solidaritas kita serta perbanyak jejaring. Apalagi kita dihadapkan ancaman, tantangan tambang, akramasi, dan lain sebagainya, maka saya selalu ingat bahwa dalam pergerakan jangan sampai kita lapar agar tidak gampang dibayar,” kata Mas’unah dengan nada yang menggebu-gebu.

Susan Herawati dalam hali ini menegaskan agar pemerintah tidak perlu susah payah memikirkan dan memberi solusi kepada masyarakat jika tidak ada keterlibatan masyarakat dan pada akhirnya, mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.

“Mereka berbicara tentang umat dengan solusi yang tidak wise sebenarnya, apa pun solusi yang digulirkan untuk menghadapi krisis iklim itu semuanya palsu. Tidak berbasis pada pengetahuan lokal. Misalnya, banjir kok solusinya tanggul laut, tol laut, dan lain sebagainya, masyarakat lebih tahu cara menyelamatkan dirinya sendiri, jadi jangan ajari mereka, tapi tanyalah mereka,” tegas Susan.

Dapat kita garis bawahi bahwa upaya dalam krisis iklim ini perlu adanya keterlibatan masyarakat pesisi ataupun masyarakat terdampak dalam penanganan krisis iklim. Tentunya tidak lepas dari akademisi dan LSM sebagai penyambung lidah yang mempunyai jiwa kritis, memiliki perspektif lebih untuk mendukung warga yang menjadi korban iklim atau perampasan ruang tidak lebih membaca kebijakan-kebijakan diatas kertas saja.

Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani