Festival Bahari 2024 Gaungkan Suara Keadilan Iklim Masyarakat Pesisir
Mungkin untuk sebagian besar masyarakat Jawa Tengah yang tinggal melahap panganan laut di meja makan, tidak pernah berpikir betapa sulitnya para nelayan yang menyediakan panganan protein hewani laut ini dalam mendapatkannya. Selain mereka berada di garda terdepan menghadapi krisis iklim, juga harus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka di pesisir mengingat kondisinya kini mulai carut marut, terutama sejak dikeluarkannya sejumlah aturan yang justru memperpendek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem pesisir dan kehiduapan masyarakat pesisir.
Karena itu, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), merasa perlu mengingatkan masyarakat luas untuk memberikan dukungan dan solidaritas perjuangan masyarakt pesisir yang kini kehidupannya terancam, dengan menggelar kembali acara “Festival Bahari” yang dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian Kampus Unika Soegijapranata BSB City, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pada Selasa 10 Desember – 11 Desember 2024. Festival ini terakhir digelar pada tahun 2014 di Jakarta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan, di wilayah Jawa Tengah ada sekitar 1.420 desa pesisir (termasuk 640 desa nelayan)—memiliki kontribusi signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan provinsi. Meskipun desa-desa nelayan hanya mencakup sebagian kecil populasi (diperkirakan sekitar 10-15% dari total penduduk Jateng), keberadaan mereka memiliki peran strategis bagi Jawa Tengah.
Contoh saja, tambah Susan, para nelayan Jateng ini telah menyediakan kebutuhan protein bagi jutaan orang di Jawa Tengah dan daerah lainnya. Perikanan tangkap dan budidaya di pesisir memberikan pasokan ikan, udang, dan hasil laut lainnya yang menjadi bagian penting dari konsumsi lokal hingga ekspor.
“Apabila desa nelayan terancam oleh krisis iklim, dan ditambah aturan yang tidak pro-ekologi dan keadilan iklim, pasokan pangan laut Jateng bisa terganggu, yang berdampak langsung pada harga pasar dan ketersediaan makanan. Jadi jangan kalian berpikir kehidupan mereka tidak berdampak pada kalian, tapi sebaliknya tanpa mereka kalian mungkin akan kesulitan mendapatkan makanan laut yang baik dan sehat. Bukan itu saja mungkin generasi penerus kalian akan sulit menikmati keindahan laut, karena makin ke sini ekosistem pesisir kita, terutama di Jawa Tengah makin rusak,” jelas KIARA.
Karena itu Festival Bahari 2024 yang digelar ini, tandas Susan lagi bukan sekadar perayaan. Lebih dari itu menjadi “suara bahari” komunitas pesisir tentang arti penting keberadaan mereka yang selama ini sering diabaikan dan juga menyerukan tentang arti penting menjaga kedaulatan bahari Indonesia.
Sayangnya, Susan menjelaskan bahwa di wilayah pesisir Jawa Tengah, seperti Kendal, Demak, dan Jepara, para nelayan kecil menghadapi konflik yang tak terhindarkan dengan proyek-proyek besar. Penurunan jumlah ikan akibat perubahan ekosistem laut telah membuat mereka beradaptasi dengan cara-cara baru.
Salah satu contoh “kecil” adalah upaya adaptasi ini adalah mengolah hasil laut menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Beberapa diantaranya dengan mendorong kelompok perempuan untuk bisa mengolah produk ikan menjadi abon dan keripik dari pelatihan yang diadakan KIARA. Cara ini jauh lebih pragmatis dalam membantu perempuan pesisir di Jateng untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan, meski musim tangkapan sedang sulit
Apa yang membuat Festival Bahari 2024 kali ini istimewa adalah kolaborasi lintas sektor. KIARA bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan mahasiswa untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan. Misalnya, workshop pengemasan pangan laut membantu komunitas pesisir meningkatkan kualitas dan daya saing produk mereka di pasar.
Selain bazar dan workshop, festival ini juga diramaikan dengan lomba menggambar anak-anak bertema laut. Bagi Susan, ini adalah cara untuk melibatkan generasi muda dalam mencintai laut dan lingkungan. “Mereka adalah masa depan kita. Jika mereka paham pentingnya menjaga laut, maka harapan untuk keberlanjutan itu akan tetap hidup,” katanya.
Di sela-sela aktivitas festival, sebuah film dokumenter berjudul Mother of the Sea diputar, menampilkan perjuangan perempuan pesisir dalam mendapatkan pengakuan. Diskusi hangat pun mengalir, membahas bagaimana perempuan nelayan sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam pengelolaan sumber daya laut. Festival ini juga akan diramaikan para seniman pesisir dari Panggung Suara Pesisir, tempat nelayan dan masyarakat pesisir berbagi kisah.
“Jadi komunitas pesisir bukan korban perubahan, tetapi pelaku utama dalam adaptasi dan solusi. Suara mereka harus didengar, karena mereka menjaga apa yang menjadi napas kita semua—laut,” tandas Susan.
Di tengah arus perubahan, suara pesisir tak boleh hilang. Karena di balik setiap gelombang, ada kehidupan yang terus berjuang.
Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani