Murnihati: Dari Lombok Timur untuk Perempuan Indonesia
‘Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur‘
-Alinea Kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945-
Negara memegang mandat penting, yakni menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Pengharapan yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi mimpi rakyat Indonesia: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Cita-cita besar bangsa ini nyatanya harus terbentur dengan pola perampasan ruang hidup yang masih terus terjadi hingga hari ini. Seperti yang terjadi di Gili Sunut, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 keluarga nelayan harus tergusur karena investasi pulau kecil. Ironinya, investasi pulau kecil tersebut dimiliki oleh PT Blue Ocean Resort dari Singapura.
Nelayan kian rentan dengan pemiskinan terstruktur yang dilakukan oleh negara. Hal ini diperburuk dengan adanya kebijakan pro-asing yang menempatkan nelayan dalam kemiskinan.
Berangkat dari kegelisahan yang dihadapi oleh nelayan, seorang perempuan nelayan dari Dusun Jor mulai menggerakkan perempuan di kampungnya untuk mendorong kemandirian nelayan. Kegelisahan yang dipendam merubah dirinya menjadi perempuan yang mampu mendorong perempuan lainnya untuk mulai mengukir kreativitas melawan kemiskinan.
Perempuan sejahtera
Namanya Murnihati, artinya seorang perempuan yang memiliki hati yang baik, murni, seperti mutiara. Murnihati terlahir di desa pesisir, sejauh matanya memandang, ia sering melihat bagaimana kehidupan nelayan lekat dengan kemiskinan.
“Ayah bekerja sebagai penjual ikan, jadi tahu bagaimana nelayan suka cerita kehidupan sehari-hari. BBM mahal dan tangkapan susah,” ujar Murnihati.
Murnihati menikah dengan seorang nelayan dan memiliki 4 orang anak perempuan yang jelita. Pengharapannya kian besar seiring dengan buah cintanya yang beranjak dewasa, Murnihati ingin anak-anaknya memiliki hidup yang lebih baik dan sejahtera.
Murnihati kian gelisah, perannya sebagai perempuan nelayan hingga hari ini belum diakui oleh negara. Padahal, perempuan nelayan terlibat aktif dan menjadi aktor penting di dalam aktivitas perikanan skala kecil.
Di dalam perikanan budidaya, misalnya, perempuan nelayan terlibat dari mulai tebar benur, memberi pakan, hingga panen. Di perikanan tangkap, perempuan nelayan terlibat dari mulai suaminya bersiap pergi melaut hingga membantu mengolah atau menjual hasil tangkapan.
“Bekerja selama 18 jam perhari itu hal biasa buat kami, tapi ketika bicara siapa kami, kami sering merasa kebingungan. Kami perempuan nelayan, pejuang protein bangsa yang belum diakui Negara hingga detik ini,” tambah Murnihati.
Kesadaran Murnihati tumbuh semenjak ia terlibat pada tahun 2001 dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di tingkat desa. Ia mulai aktif mengajak ibu-ibu nelayan untuk melakukan perubahan, baik untuk dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.
Ambil peran
Murnihati menginisiasi kelompok perempuan nelayan yang diberi nama “Kelompok Pesisir Samudra” dan menggerakkan “Koperasi Nelayan Cemerlang” yang beranggotakan 39 orang. Selain itu, ia juga mendorong perempuan nelayan untuk menciptakan produk, seperti Terasi dan Kerupuk dari Rumput Laut.
Murnihati menyadari geraknya mendorong kesejahteraan perempuan nelayan tidak bisa dilakukan sendiri. Ia butuh ruang yang lebih untuk bergerak, maka pada tahun 2012 Murnihati mulai terlibat di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).
“Kami ini ibarat ikan yang setiap hari bertumbuh besar, kami butuh ruang yang lebih besar. Untuk itu, kami bergabung dengan PPNI,” jelas Murnihati.
Bagi Murnihati, PPNI menjadi wadah untuk berbagi informasi, memperkuat gerakan dan berbagi suka cita laiknya seorang saudari.
“Kami berbagi cerita sedih, cerita gembira, semua dilakukan bersama. Itulah kenapa saya senang betul jika bertemu dengan kawan-kawan PPNI lainnya,” ceritanya.
Murnihati menggerakan perempuan dari pintu ke pintu, menceritakan pengalamannya dengan PPNI dan menuai banyak sekali respon dari perempuan nelayan di tempatnya.
“Kalau kita hanya duduk dan menunggu perubahan, itu tidak mungkin terjadi. Tapi kita harus bangkit, mengetuk mereka satu-satu biar bergerak bersama,” ungkap Murnihati.
Murnihati sadar betul, gerakan perempuan yang ada hingga hari ini masih terbilang lambat. Hal ini dikarenakan ruang yang lebih banyak diperuntukkan kepada laki-laki. Untuk itu, Murnihati tanpa kenal lelah terus mengetuk perempuan nelayan untuk bergerak.
Murnihati bersama dengan PPNI dan KIARA terus mendorong negara untuk mengakui perempuan nelayan dan memastikan perlindungan serta pemberdayaan seusai dengan kebutuhan.
Gerakan perubahan dan kreasi terus diukir oleh perempuan nelayan, sekalipun mereka belum diakui oleh negara. Murnihati terus mengetuk pintu-pintu perempuan nelayan untuk bergerak dan melakukan perubahan, kiranya, kapan negara ini mulai tergerak mengakui perempuan nelayan?*** (SH)