KABAR BAHARI : NEO-EKSTRAKTIVISME DAN PERLAWANAN MASYARAKAT PESISIR

Pembangunan yang terjadi di Indonesia membutuhkan material seperti pasir, batu dll. Material untuk pembangunan inilah yang menjadi masalah baru. Dalam edisi Kabar Bahari kali ini, KIARA mencoba untuk memberikan gambaran bagaimana pembangunan di Indonesia berujung pada perampasan ruang yang dialami oleh nelayan dan perempuan nelayan Indonesia. KIARA berusaha menggambarkan bagaimana pembangunan di Indonesia sering kali berujung pada perampasan ruang yang dialami oleh nelayan dan perempuan nelayan. KIARA menyerukan kepada mereka, para penjaga laut sejati, untuk kembali melaut, lantang bersuara dan melawan kesewenangan juga ketidakadilan atas nama pembangunan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif. Jangan biarkan laut kalian terampas lagi.

KIARA ingin memanggil nelayan dan perempuan nelayan sebagai penguasa laut Indonesia untuk kembali berlawan
menolak pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif yang ada di Indonesia. KIARA percaya, tata kelola ruang laut harus menjadikan nelayan dan perempuan nelayan sebagai ‘tuan dan puan’ di lautnya sendiri.
KIARA yakin bahwa pengelolaan ruang laut harus menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai “tuan dan puan” di lautan mereka sendiri. Mereka adalah pemilik sah yang memahami setiap arus dan ombak, yang hidup selaras dengan alam laut yang kaya dan mempesona.

Selamat Membaca, Tetap berlawan!
Selamat membaca dan mari tetap berdiri tegak untuk keadilan perikanan.

 

Catatan Akhir Tahun 2019 “MENAKAR KEKECEWAAN MENALAR KESEJAHTERAAN” Kekecewaan Masyarakat Bahari Pada Kinerja Buruk Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia

Dalam pidatonya Presiden Jokowi telah menyebutkan ‘Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar’. Tetapi di dalam praktiknya, dia seringkali mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan bahkan meminggirkan masyarakat pesisir dari ruang hidup mereka.
Dalam satu tahun terakhir (2019) kinerja Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi perlu diketahui oleh publik luas, khususnya yang terkait dengan pengaturan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang menjadi ruang hidup masyarakat pesisir. Apalagi Jokowi memiliki agenda besar untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ironinya, poros maritim dunia diartikulasi menjadi model perampasan ruang hidup baru. Sampai saat ini masyarakat tak pernah tahu sejauh mana capaian poros maritim dunia yang pernah menjadi janji Jokowi pada tahun 2014 lalu. Dalam hal kebijakan pengaturan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, kinerja Jokowi patut dipertanyakan karena tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.

KIARA bersama masyarakat pesisir lainnya menuntut Presiden Jokowi untuk membongkar aturan- aturan yang meminggirkan kehidupan mereka, khususnya PP No. 32 tahun 2019. Pusat Data dan Informasi KIARA juga mencatat, pada tanggal 6 Mei 2019 lalu Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Tujuan disusunnya PP ini untuk mengakomodasi kepentingan pembangunan infrastruktur skala besar dalam tata ruang laut nasional. Sementara itu aspek keberlanjutan lingkungan dan ruang hidup masyarakat pesisir diletakkan setelah kepentingan infrastruktur. Di dalam PP ini, khususnya Pasal 21 Ayat 4 disebutkan: Rencana pola ruang laut wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan prinsip skala prioritas arahan pemanfaatan ruang laut dengan urutan kepentingan:
a. kedaulatan wilayah dan pertahanan dan keamanan negara;
b. keselamatan di laut;
c. infrastruktur strategis dan/atau kegiatan yang bernilai strategis nasional;
d. pelindungan lingkungan laut;
e. ruang penghidupan nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudi daya ikan kecil.
Perlindungan lingkungan laut dan ruang penghidupan nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudi daya ikan kecil, diletakkan setelah kepentingan infrastruktur strategis dan/atau kegiatan yang bernilai strategis nasional. PP ini jelas-jelas tidak memihak kepada kepentingan masyarakat.

Dalam Pidato Kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, di Kompleks Parlemen Jakarta, pada Jum’at (16/08/2019), Presiden Jokowi
seharusnya tak hanya terkait dengan hal-hal makro, tetapi juga harus menyampaikan kinerjanya yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Sangat disayangkan, pidato kenegaraan ini hanya membahas persoalanpersoalan makro. Namun minus pembahasan terkait kebijakan yang terkait langsung dengan masyarakat. Kekecewaan masyarakat bahari pada kebijakan bahari Jokowi patut diajukan sebagai respon konstruktif bagi upaya kritis memajukan kesejahteraan nelayan Indonesia. Beberapa point kritik oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai respon politik kebijakan telah dialamatkan. Dalam catatan tahunan ini kami meringkas beberapa kritik kebijakan tersebut.

 

 

Download CATAHU 2019 pada link berikut :

KIARA – CATAHU 2019

Catatan Akhir Tahun 2018 “PROYEKSI KELAUTAN DAN PERIKANAN 2019 TAHUN PERAMPASAN DAN PEMISKINAN MASYARAKAT BAHARI INDONESIA”

Tahun 2018, produksi perikanan dunia mencapai 170.9 juta ton yang terdiri dari 90.9 juta ton dari perikanan tangkap dan 80.0 juta ton dari perikanan budidaya. Sebelumnya, di tahun 2016 total produksi perikanan dunia hanya mencapai 167.2 juta ton, terdiri dari 93.4 juta ton perikanan tangkap dan 73.8 juta ton perikanan budidaya. Artinya dalam rentang waktu 2 tahun terjadi peningkatan produksi lebih dari 3 juta ton.
Namun, yang menjadi catatan adalah produksi perikanan tangkap mengalami penurunan lebih dari 3 juta ton, sedangkan perikanan budidaya mengalami peningkatan lebih dari 7 juta ton.
Dengan total populasi dunia saat ini sebanyak 7,4 milar jiwa, sektor perikanan tetap menempati
sektor yang sangat strategis. Setidaknya 151,2 juta ton produksi perikanan telah dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Adapun konsumsi rata-rata perikanan dunia tercatat sebanyak 20 kg/kapita/tahun. Sementara itu, sebanyak 19,7 juta ton produksi perikanan digunakan untuk kebutuhan non-konsumsi manusia atau untuk kepentingan konsumsi hewan dan lain sebagainya. Data ini menunjukkan bahwa ikan tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga hewan sangat membutuhkannya.

Sebagai bagian penting dari masyarakat perikanan dunia, Indonesia memiliki peran penting, karena merupakan produsen perikanan terbesar dengan produksi perikanan tangkap sebanyak 6,109,783 ton. Angka produksi perikanan ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang tercatat sebanyak 6.016.525 ton. Peningkatan produksi perikanan tangkap tercatat sebanyak 93,258 ton dari tahun sebelumnya. Dalam konteks perikanan budidaya, Indonesia berhasil memproduksi 4.950.000 ton perikanan budidaya. Angka ini mengalami
peningkatan dari sebelumnya yang hanya mencapai 4.343.000 ton. Di dalam logika dagang, tingginya produksi perikanan Indonesia seharusnya memberikan manfaat secara ekonomi bagi 8.077.719 rumah tangga perikanan (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat
pesisir) yang hidup di 12.827 desa pesisir di Indonesia. Namun faktanya, sampai saat ini, setelah empat tahun berlalu (2014-2018) Pemerintahan Jokowi-JK, kehidupan mereka masih jauh dari kata layak karena masih
harus bergulat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, rumah tangga perikanan atau masyarakat pesisir di Indonesia harus terus menghadapi sejumlah tantangan pembangunan yang tidak berpihak terhadap kehidupan mereka. Diantara tantangan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir adalah perampasan ruang
laut yang massif terjadi di seluruh Indonesia.

Sepanjang tahun 2018, KIARA merekam dinamika isu kelautan dan perikanan yang diwarnai dengan kian jauhnya akses nelayan untuk hidup berdaulat, mandiri dan sejahtera akibat ketidakberpihakan pemerintah dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kesungguhan pemerintah untuk melibatkan nelayan dalam perumusan kebijakan.
Pada akhirnya nelayan terpasung hak-hak konstitusionalnya melalui kebijakan negara yang kontraproduktif seperti reklamasi, tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil, kriminalisasi serta kekerasan terhadap nelayan dan perempuan nelayan, praktik perampasan ruang hidup nelayan melalui konservasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan minimnya perlindungan dan pemberdayaan untuk masyarakat bahari di Indonesia.

Di awal tahun 2019, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menyampaikan Temuan Kelautan dan Perikanan sebagai evaluasi dan proyeksi bagi negeri bahari dalam menjalankan mandatnya sebagai negeri bahari. Catatan ini berangkat dari analisa kebijakan KIARA sepanjang tahun 2018 di tengah mimpi bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Catatan ini dihimpun dengan tujuan untuk memberikan pandangan, kontrol, koreksi, dan perbaikan bagi kualitas kebijakan publik bagi pemerintah yang ditujukan untuk kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.

 

Download CATAHU 2018 pada link berikut :

KIARA – CATAHU 2018