Reklamasi Ilegal Di Nias Masih Berlanjut, KIARA Bersama Nelayan Dusun II Desa Miga: Bukti Tidak Tegasnya Pemerintah Kepada Perusak Lingkungan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Reklamasi Ilegal Di Nias Masih Berlanjut, KIARA Bersama Nelayan Dusun II Desa Miga: Bukti Tidak Tegasnya Pemerintah Kepada Perusak Lingkungan

 

 

Jakarta, 9 Mei 2025 – Akhir Maret 2025, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menerima pengaduan dari perwakilan Warga Desa Miga, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Pulau Nias. Pengaduan tersebut merupakan respon warga atas penimbunan atau reklamasi laut yang dilakukan di perairan pesisir Dusun II Desa Miga. Dari penuturan perwakilan warga, aktivitas tersebut diduga telah dilakukan sejak 19 Maret 2025 dengan dugaan luasan penimbunan perairan laut seluas 900 m². Warga menduga bahwa pemilik lahan lokasi reklamasi laut adalah Saudara Bp. Ama Yuru Harefa. Diduga bahwa aktivitas penimbunan atau reklamasi perairan laut tersebut dilakukan bersama pemilik alat berat (1 unit Excavator Merk Hitachi). Hingga hari ini perwakilan warga belum mengetahui secara pasti siapa pemilik alat berat tersebut. Perwakilan warga menyebutkan bahwa reklamasi/penimbunan laut diduga telah dilakukan sejak 19 Maret 2025 dengan dugaan penimbunan perairan laut seluas 1000 m².

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa pada tanggal 14 April 2025 KIARA bersama Nelayan Dusun II Desa Miga, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Pulau Nias secara langsung telah mengirimkan surat desakan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang juga ditembuskan ke beberapa instansi Pemerintahan terkait yang dapat menindak tegas kegiatan reklamasi tersebut. “Hingga saat ini perwakilan warga Dusun II Desa Miga menyatakan kepada kami bahwa reklamasi masih berlangsung. KIARA melihat bahwa reklamasi/penimbunan laut ini masih terjadi di Nias karena tidak adanya keseriusan maupun tindakan tegas dari Menteri Kelautan dan Perikanan maupun dari pihak yang berwenang kepada pelaku. Perairan yang direklamasi memiliki ekosistem karang dan ekosistem lainnya yang seharusnya dilindungi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Kementerian Lingkungan Hidup. Ironinya, kedua kementerian itu tidak pernah ke lapangan untuk melakukan verifikasi, penindakan dengan disertai upaya hukum yang tegas!” jelas Susan.

 

Salah seorang perwakilan nelayan dari Desa Miga, Syukur Halawa menyebutkan bahwa aktivitas reklamasi/penimbunan laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga telah ditolak tegas oleh warga Dusun II Desa Miga, telah dilaporkan dan juga telah diketahui oleh aparat desa, Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Gunungsitoli, Walikota Gunungsitoli hingga DPRD Kota Gunungsitoli, bahkan juga aparat keamanan dari tingkat kecamatan hingga kota di Kota Gunungsitoli. “Padahal tanggal 02 April 2025, Pemerintah Kota Gunungsitoli telah menanggapi pengaduan penolakan dari Warga Desa Miga melalui Asisten Pemkot Gunungsitoli. Asisten Pemkot Gunungsitoli menyampaikan hasil keputusan bersama dengan pihak terkait adalah menghentikan kegiatan reklamasi karena tidak memiliki izin dari Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ironinya, keputusan tersebut tidak ditanggapi oleh pemilik Lahan dan hingga saat ini aktivitas penimbunan masih terus berlangsung dan tidak ada tindakan tegas kepada pemilik lahan maupun para pihak yang melakukan reklamasi/ penimbunan laut. Padahal aktivitas reklamasi/ penimbunan pantai tersebut telah mengganggu kami nelayan kecil dan diduga telah merusak ekosistem karang yang ada di dalam perairan kami,” jelas Syukur Halawa.

 

Syukur Halawa menambahkan bahwa “kami sebagai warga yang menolak reklamasi menyatakan kecewa karna tahapan dari pemberian teguran hingga peringatan terlalu lama. Reklamasi harus berhenti. Warga meminta Pemkot dan tim terpadu untuk memasang spanduk di lokasi reklamasi yang menyatakan bahwa reklamasi dihentikan karena belum memiliki izin dan akan merusak lingkungan. Nelayan di Desa Miga memiliki kearifan lokal bahwasannya terumbu karang maupun karang-karang lainnya di di perairan laut pesisir laut adalah tempatnya ikan-ikan mencari makan dan berlindung. Dengan maraknya reklamasi beberapa tahun ini membuat nelayan makin resah karena nelayan di desa Miga banyak yang menangkap ikan dan dipinggiran perairan tersebut karena mereka nelayan yang dengan perahu dayung. Apa yang bisa dilakukan pemerintah terhadap kami nelayan kecil ini? Apakah melindungi kami atau mau mengusir kami?” tanya Syukur Halawa.

 

KIARA bersama perwakilan warga Dusun II Desa Miga mencatat bahwa aktivitas penimbunan/reklamasi laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga adalah tindakan pengerusakan sumber daya laut dan bertentangan dengan semangat perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan kemudian kembali ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Secara lebih rinci, berikut peraturan perundang-undangan lainnya yang secara tegas melarang aktivitas penimbunan/reklamasi laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga: Pertama, Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan: a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan”.

 

Kedua, Pasal 35 huruf c, d, h, dan l Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; dan l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

 

Ketiga, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019-2039 hanya memberikan alokasi ruang di Kec. Gunungsitoli sebagai zona perikanan tangkap pelagis dan zona pelabuhan, bukan aktivitas penimbunan/reklamasi, dan Keempat, Pasal 84 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019-2039 yang menyebutkan bahwa: “Dalam pemanfaatan WP3K, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan: a. Kegiatan pemanfaatan ruang di WP3K yang tidak sesuai dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan; dan g. Kegiatan reklamasi di WP3K tanpa izin”.

 

Sekjen KIARA, Susan Herawati menambahkan bahwa aktivitas reklamasi/ penimbunan laut tersebut akan sangat berdampak terhadap lingkungan dan juga nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan ruang laut tersebut baik sebagai ruang tangkap maupun tempat tambat perahu mereka. “Jumlah nelayan di pesisir Kota Gunungsitoli adalah 1.884 jiwa, dan mereka yang akan terdampak langsung akibat reklamasi ini. Selain itu, keberlanjutan terumbu karang di wilayah perairan akan berpotensi hancur karena tertimbun material reklamasi. Nelayan di pesisir Kota Gunungsitoli merupakan salah satu aktor berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan di Pulau Nias. Produksi perikanan di Pulau Nias Total produksi perikanan laut nelayan Kota Gunungsitoli sebesar 7.068 ton di tahun 2023. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi Menteri Kelautan dan Perikanan karena ketidaktegasan terhadap aktivitas reklamasi akan secara langsung menjadi preseden buruk penindakan para perusak lingkungan. Menteri Kelautan dan Perikanan maupun Menteri Lingkungan Hidup harus turun dan melakukan penindakan tegas terhadap pelaku. Hal ini untuk meminimalisir potensi kerusakan yang semakin meluas dan akan berdampak terhadap hasil produksi perikanan laut nelayan yang juga berdampak pada perekonomian nelayan lokal dan keberlanjutan ekosistem perairan di wilayah tersebut!” pungkas Susan.(*)

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502