Penjualan Pulau Kecil Kembali Terjadi, KIARA: Privatisasi Pulau-Pulau Kecil di Negara Kepulauan Indonesia!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Penjualan Pulau Kecil Kembali Terjadi, KIARA: Privatisasi Pulau-Pulau Kecil di Negara Kepulauan Indonesia!

 

Jakarta, 26 Juni 2025 – Empat bulan menjelang genapnya 1 tahun Pemerintahan Prabowo Subianto, publik dihebohkan dengan pulau-pulau kecil Indonesia yang kembali dijual. Praktik penjualan pulau tersebut kembali muncul di website yang juga pernah menjual berbagai pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, Pulau di Sumba dan beberapa wilayah lainnya melalui website www.privateislandonline.com yang merupakan situs jual beli yang dikelola perusahaan yang berkantor di Kanada. Selain itu, KIARA  juga mencatat bahwa juga pernah terdapat upaya melelang gugus Kepulauan Widi, di Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang dilakukan oleh PT Leadership Island Indonesia (LII) di situs lelang asing Sotheby’s Concierge Auctions yang merupakan situs lelang yang berbasis di New York, Amerika Serikat, yang berlangsung pada tanggal 8-14 Desember 2022.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa upaya penjualan pulau kecil oleh berbagai oknum perseorangan maupun kelompok atau perusahaan adalah bentuk privatisasi pulau-pulau kecil di Negara Kepulauan. “Penjualan pulau-pulau kecil termasuk sebagai upaya privatisasi yang menjadi ironi dan sejarah buruk di negara kepulauan. Keberulangan terjadinya praktik penjualan pulau-pulau ini membuktikan bahwa hingga sampai saat ini tidak ada upaya penegakan hukum yang transparan bagi pelaku penjualan pulau. Isu ini akan menghilang dengan sendirinya tanpa ada upaya penegakan hukum yang serius dari pemerintah, bahkan pemerintah tidak dapat mengungkap dan menjelaskan kepada publik terkait oknum-oknum pelaku penjualan pulau ini,” tegas Susan.

KIARA mencatat bahwa pulau-pulau yang dijual di bulan Juni 2025 tersebut terdiri dari empat pulau yang terdiri dari Pulau Ritan, Pulau Tokongsendok, Pulau Mala dan Pulau Nakok yang berlokasi di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Panjang di NTB, sebagian Pulau Sumba NTT, dan Pulau Seliu di Bangka Belitung. Selain menjual pulau di Indonesia, website www.privateislandonline.com juga memberikan opsi peminjaman (rent) pulau-pulau kecil di Indonesia, di mana hingga 25 Juni 2025, KIARA masih menemukan 3 pulau yang statusnya island for rent, yaitu Pulau Macan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta (https://www.privateislandsonline.com/islands-for-rent/asia/indonesia/macan-island), Pulau Joyo di Bintan, Kepulauan Riau (https://www.privateislandsonline.com/islands-for-rent/asia/indonesia/pulau-joyo), dan Pulau Pangkil di Bintan, Kepulauan Riau (https://www.privateislandsonline.com/islands-for-rent/asia/indonesia/pulau-pangkil-kecil-island-resort). Beberapa pulau-pulau kecil seperti Pulau Macan di Kepulauan Seribu, Pulau Joyo dan Pulau Pangkil di Kepulauan Bintan juga pernah dicoba dipinjamkan melalui website yang sama, dan hal ini terulang kembali di Juni 2025.

Susan menambahkan bahwa “hingga Juni 2025, KIARA mencatat terdapat 254 pulau kecil yang telah diprivatisasi untuk berbagai kepentingan, baik diperjual-belikan, ditambang, konservasi, pariwisata, pulau pribadi, budidaya dan. Berbagai aktor baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang diduga telah melakukan praktik privatisasi pulau kecil, baik oknum yang dulu di pemerintahan, pengusaha, individu lokal lain, maupun perusahaan-perusahaan yang bergerak di berbagai sektor seperti properti. Dampak privatisasi pulau dan/atau perairan di sekitarnya adalah perampasan hak nelayan untuk melintas dan mengakses laut, untuk mengelola pulau-pulau kecil yang selama ini dianggap kosong akan tetapi telah dikelola oleh nelayan tradisional, serta hilangnya akses ke pulau kecil untuk berlindung di pulau-pulau kecil disekitarnya ketika terjadi badai di laut,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa hingga tahun 2024 terdapat 17.830 pulau-pulau kecil yang telah memiliki nama dan koordinat serta tersebar di Indonesia[1], baik pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan dengan negara lain maupun pulau kecil yang berada di perairan teritorial Indonesia. Sedangkan terdapat ribuan pulau-pulau kecil lainnya yang belum dicatatkan nama resmi serta titik koordinatnya. “Pulau-pulau kecil di Indonesia, khususnya yang berlokasi di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara lain memiliki peran dan fungsi yang sangat krusial bagi pengukuran luas kedaulatan teritorial Indonesia. Jika pulau-pulau kecil yang menjadi titik pangkal pengukuran teritorial Indonesia telah hilang atau dimiliki asing, maka luas teritorial laut Indonesia juga berpotensi akan berkurang. Ini yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi pemerintah untuk mengubah perspektif bahwa pulau-pulau yang secara masyarakat tidak ada masyarakat, bukan pulau kosong yang tidak dimanfaatkan dan dikelola oleh nelayan. Beragam pemanfaatan pulau-pulau tersebut yang digunakan nelayan sebagai tempat berlindung ketika terjadi badai di laut, tempat nelayan untuk mengeringkan ikan, hingga perairan laut disekitar pulau tersebut digunakan sebagai area penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Ketidaktahuan dan ketidakingintahuan akan praktik-praktik dan pengetahuan kebudayaan ini yang selama ini menjadi gap yang seharusnya dibenahi oleh Pemerintah baik pusat maupun daerah!” pungkas Susan.(*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

[1] Badan Informasi Geospasial, 2024. Selengkapnya dapat diakses melalui https://sipulau.big.go.id/news/11

Our struggle against Ocean Grabbing and for Food Sovereignty: We will not compromise! WFFP’s position on the UN Ocean Conference.

Our struggle against Ocean Grabbing and for Food Sovereignty: We will not
compromise! WFFP’s position on the UN Ocean Conference.

WFFP statement on the third UN Ocean Conference in Nice, France, 2025.
Date 18 March, 2025

28 years ago, we founded the World Forum of Fisher Peoples (WFFP), a mass-based
fisher people’s organisation. We formed WFFP to fight for the customary and human
rights of the more than 10 million fisher peoples, encompassing diverse groups of
traditional fishermen and fisherwomen, women and men seafood collectors and gatherers
from 52 countries.

The so-called development projects rolled out by corporations, financiers and
governments all over the world, are increasingly expropriating our fisher peoples from our
territories and denying our customary rights. The rise of authoritarianism and fascism is
resulting in the militarisation, criminalisation and violence against our peoples. When
protesting against the so-called development projects in many countries we are arrested
and beaten up. Our Human Rights and environmental defenders are at increasing risk of
being criminalised, arrested, threatened and murdered.

The 30by30 agenda – fortress conservation – is pushed through from the top with big
Environmental Organizations and Transnational Corporations as powerful agents. These
players are successfully developing plans and policies together with our governments.
This is backed by philanthropic foundations operating at massive budgets which often
exceeds the national budgets for the fisheries departments in our countries. This form of
state capture is a reality across the world. Governments are passing reforms that
criminalize and target our traditional fishing ways of life, framing them as responsible for
environmental destruction, while ignoring that fisher communities are part of a legacy of
fishing traditions that are inseparable from the oceans, waters and coasts. This is being
pushed while completely disregarding the real drivers of environmental destruction, the
climate catastrophe, and expropriation of fisher peoples from their territories and
resources.

In Belize, for example, The Nature Conservancy played a key role in brokering the Debt
for-Nature-Swap. This restructuring of Sovereign Debt was negotiated behind closed
doors without any public debate and it was only later we learned the government of Belize
committed to developing a Marine Spatial Plan and implement plans to meet the 30by30
target. This not only contradicts all the promises of participation in decision making and
the principles of the UN Guidelines on Sustainable Small-scale Fisheries (SSF
Guidelines). It facilitates a dangerous destabilization of our democracies!

We reiterate – as so many times before – our commitment to taking forward the
implementation of the SSF-guidelines, and to fight for food sovereignty as the solution to
healthy food based on our customary rights, cultures, knowledge and traditions.

We pledge our support to the United Nations that is firmly rooted in the values that
form the basis of the UN Charter: peace, justice, respect, human rights, tolerance and
solidarity. To uphold these values, each country should draw more consistently from
parliaments, sub-national governments, civil society as well as the executive branch of
government in democratic country-led governance on which the UN is founded.

We remain committed towards working with the UN Committee on World Food Security
(CFS), the Food and Agricultural Organisation (FAO) and the Committee on Fisheries
(COFI) in order to advance the key principles of the SSF guidelines and our food
sovereignty agenda. We will also continue to work with the UN institutions and
organisations on Human Rights, including the Human Rights Council and the Human
Rights Treaty Bodies. These UN institutions resemble democratically structured UN
bodies where we are recognised as human rights holders and have a real opportunity to
participate in decision making processes.

WFFP will not participate in the third UN Ocean Conference!
No organisation will represent WFFP at the UN Ocean Conference. Instead WFFP will
organise a counter conference to raise our voice and advance our own solutions.

The UN Ocean Conference is not a permanent institution. It is a periodic high-level event
decided upon by the UN General Assembly. This is fundamentally different from the FAO,
for example, which is a specialised UN agency with a permanent institutional structure,
dedicated staff, budget, and mandate to implement decisions. The UN Ocean Conference
is led by two co-hosting countries and supported by the UN Department of Economic and
Social Affairs (DESA), the UN Secretary-General’s Special Envoy for the Ocean and
others. The agenda is shaped by these players with inputs from UN member states, civil
society and private sector actors. The preparatory process involves a series of stakeholder
meetings which are dominated by resource powerful actors and to which we – in practical
terms – are denied access to.

The UN Ocean Conference does not lead to any binding agreement by our governments.
Instead, it delivers a negotiated declaration. The declarations of the previous UN Ocean
Conferences counters several of our political positions (www.wffp-web.org/declaration
wffp-8th-general-assembly-20-november-2024-brasilia-brazil-2/). More worrying is the
culture it builds in relation to the voluntary commitments made by governments,
corporations, and civil society at the UN Ocean Conferences. The shift in focus towards
voluntary commitments, dilutes the agency and democratic practices upheld by the UN
bodies (e.g. FAO, CFS).

The UN Ocean Conference is advancing false solutions such as ‘blue foods’ or ‘aquatic
foods’, to promote policy reforms, deregulation and investments in aquaculture, which is
no other than the industrial factory farming of aquatic food. Our experiences with
aquaculture, in particular shrimp farming, are disastrous with increasing pollution (even
from certified producers), destruction of our livelihoods, ecologies and erosion of our
customary rights. In some countries our people are arrested, beaten up and murdered when
resisting destructive practices.

Similarly, the 30by30 agenda is expropriating our people from our territories. While we
are promised jobs and growth, our experiences are more criminalization, loss of territories,
erosion of our local food systems, and violating fundamental rights to life and livelihoods.
In expanding fortress conservation regimes, the 30by30 agenda is subjecting our fisher
peoples to armed violence, harassment and violence from law enforcement agencies,
increasing the militarization of our lands and waters. The loss of lives and livelihoods,
unevenly affects our women, youth, Indigenous peoples, racialized, lower caste people.
Conservation should not be at the expense of the lives of our fisher peoples. Conservation
should not dispossess and displace our peoples from our traditional territories, ecologies
and resources. There is no conservation at the expense of the lives of our fisher peoples!

Instead of adding legitimacy to undemocratic processes and false solutions promoted by
the UN Ocean Conference, we will organise an Ocean Water and Fisher Peoples
Conference.

We assert our sovereignty and customary rights, reimagining our future within the oceans,
waters and coasts. Together we mobilise for the protection of our territories and rights as
fisher peoples!

We set the agenda; we show the solutions!

The WFFP Coordinating Committee

Pertambangan Nikel & Hilirisasi Nikel, KIARA: Pulau dan Laut Indonesia Dirusak Demi Nikel

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Pertambangan Nikel & Hilirisasi Nikel,

KIARA: Pulau dan Laut Indonesia Dirusak Demi Nikel

 

Jakarta, 19 Juni 2025 – Hilirisasi nikel menjadi program yang dijalankan pemerintah sejak periode Presiden Joko Widodo. Program hilirisasi juga menjadi salah satu dari program prioritas Prabowo Gibran yang dituangkan dalam Visi, Misi, dan Program Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 H. Prabowo Subianto Gibran Rakabuming Raka. Hal tersebut semakin dikonkritkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029. Akan tetapi, program hilirisasi nikel tidak disertai dengan program dan agenda prioritas untuk perlindungan nelayan tradisional dan keberlanjutan ekosistem laut yang pasti akan menjadi korban dari program tersebut.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa program hilirisasi nikel merupakan program yang sangat melekat dengan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, karena kandungan nikel Indonesia dominan terkandung di wilayah tersebut. “Kementerian ESDM tahun 2019 mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Cadangan nikel dunia mencapai 139.419.000 ton, sedangkan cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton atau menjadi negara yang menyimpan 52% cadangan nikel dunia,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa U.S. Geological Survey (2025) mencatat bahwa total produksi nikel Indonesia sejak 2019 hingga 2024 adalah berkisar 8.381.000 ton. Sedangkan sejak 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia telah merupakan 50% persen dari produksi nikel dunia. Tingginya produksi nikel Indonesia merupakan konsekuensi program hilirisasi nikel pemerintah sebagai bagian langsung dari tingginya kandungan atau deposit nikel Indonesia. Di Indonesia provinsi yang dibebankan IUP nikel terbesar per september 2020 adalah Sulawesi Tenggara dengan total 154 IUP/1 Kontrak Karya (KK), Sulawesi Tengah dengan total 85 IUP yang didukung oleh Kawasan Industri Morowali (IMIP), Kawasan Industri Konawe, serta Maluku Utara dengan total 44 IUP/1 KK yang didukung oleh Kawasan Industri Weda atau IWIP.

Perusahaan Nikel Menggugat Perlindungan Pulau-Pulau Kecil

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pertambangan nikel merupakan aktivitas yang dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut terdapat dalam Pasal 35 huruf (k) UU PWP3K. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 57 P/HUM/2022 menyatakan bahwa aktivitas pertambangan termasuk dalam “abnormally dangerous activity” yang seharusnya dilarang untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh   makhluk   hidup   di   atasnya,   baik   flora,  fauna,   maupun manusianya. Bahkan juga mengancam kehidupan sekitar. Pernyataan tersebut merupakan bagian dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam membatalkan pasal-pasal yang mengakomodir pertambangan nikel di Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan karena bertentangan dengan .

Merespon hal tersebut, PT GKP yang merupakan perusahaan pertambangan nikel yang memiliki IUP dan telah melakukan penambangan nikel di pulau kecil, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara,  mengajukan permohonan Pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. PT GKP berdalih bahwa mereka terancam harus menghentikan kegiatannya dan berpotensi mengalami kerugian konstitusional dan kerugian secara ekonomi. Selain itu, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) jika ditafsirkan sebagai larangan terhadap pertambangan, maka juga merupakan perlakuan diskriminatif terhadap industri pertambangan pada umumnya dan perusahaan-perusahaan tambang di Kab. Konawe Kepulauan.

Akan tetapi, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian pasal larangan pertambangan tersebut. Hal tersebut menjadi penanda bahwa perusahaan pertambangan nikel telah mencoba memperlemah upaya perlindungan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Hal ini juga menjadi penanda bahwa pulau-pulau kecil harus bebas dari segala jenis aktivitas yang termasuk abnormally dangerous activity, khususnya pertambangan mineral dan sumber daya alam lainnya.

Dampak Tambang Nikel di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KIARA mencatat bahwa pertambangan nikel di pesisir dan pulau-pulau kecil berdampak pada berbagai hal, yaitu: 1) pencemaran air sungai; 2) perubahan warna perairan laut; 3) berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional; 4) hilangnya akses masyarakat pesisir dan pulau kecil atas ruang hidupnya seperti kebun, dan mata air; 5) relokasi; hingga 6) kriminalisasi.

Salah satu contoh pulau kecil yang dibebankan IUP Nikel dan telah beroperasi adalah Pulau Wawonii. Dampak pertambangan nikel yang dirasakan warga Pulau Wawonii adalah sumber mata air yang mengalir ke rumah-rumah warga menjadi keruh dan bercampur dengan lumpur yang menyebabkan krisis air bersih yang dialami warga selama hampir tiga pekan.[1] Selain itu, kebun-kebun warga dijadikan sebagai jalan hauling pertambangan yang berakibat hilangnya sebagian lahan-lahan produktif warga. Bahkan kriminalisasi juga dialami warga yang menolak hadirnya perusahaan tambang nikel, yaitu PT GKP, yang ada di Pulau Wawonii[2].

Penelitian yang dilakukan Nexus3 Foundation yang berjudul “Dampak Lanjutan dari Aktivitas Industri Nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Indonesia[3] menyebutkan bahwa dampak ekspansi pertambangan dan proses industri nikel di Teluk Weda Maluku Utara berdampak pada sedimen sungai ake jira dan ake sagea yang diklasifikasikan sebagai tercemar berat dan kadar kromiumnya dapat mengancam kehidupan akuatik. Bahkan, ikan dari Teluk Weda ditemukan mengandung arsenik dan merkuri, di mana kadar arsenik meningkat 20 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. “Ironinya temuan Nexus menyebutkan bahwa 22 individu (47%) yang dilakukan sampling memiliki kadar merkuri di atas batas aman 9 µg/L, dan 15 individu (32%) memiliki kadar arsenik yang melebihi batas 12 µg/L. Hasil ini diperoleh dari sampel darah 46 responden masyarakat, dengan kadar yang lebih tinggi ditemukan pada warga yang bukan pekerja IWIP. Ini seharusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam mengevaluasi IUP seluruh pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil karena yang menjadi korban dari pertambangan adalah masyarakat lokal dan keberlanjutan flora dan fauna yang ada didalamnya. Ini juga seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak menerbitkan IUP dan perizinan pertambangan lainnya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia,” pungkas Susan.(*)

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] https://mongabay.co.id/2023/05/26/nestapa-warga-wawonii-kala-air-bersih-tercemar/

[2] https://betahita.id/news/detail/9777/29-warga-wawonii-dikriminalisasi-karena-menolak-tambang-nikel.html?v=1705622535

[3] https://www.nexus3foundation.org/wp-content/uploads/2025/05/REV_ID_REPORT-NICKEL_FINAL-2.pdf

Megaproyek Giant Sea Wall Dilanjutkan, KIARA: Solusi Palsu Minim Kajian, di Tengah Ancaman Dampak Krisis Iklim

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Megaproyek Giant Sea Wall Dilanjutkan,

KIARA: Solusi Palsu Minim Kajian, di Tengah Ancaman Dampak Krisis Iklim

Jakarta, 18 Juni 2025 – Pembahasan megaproyek Giant Sea Wall (GSW) kembali digulirkan Presiden Prabowo Subianto. Hal tersebut disampaikan Presiden Prabowo diacara International Conference on Infrastructure (ICI/ Konferensi Infrastruktur Internasional) 2025 di Jakarta. Dalam konferensi tersebut, Presiden Prabowo menyebutkan bahwa anggaran yang diperlukan oleh pemerintah untuk megaproyek Giant Sea Wall mencapai US$ 80 miliar. Jika dirupiahkan, kebutuhan anggaran tersebut berkisar Rp 1.280 triliun – Rp 1.300 triliun. Jumlah kebutuhan anggaran untuk megaproyek Giant Sea Wall tersebut mencapai sekitar 48% dari jumlah Belanja Pemerintah Pusat yaitu sebesar Rp 2.701,4 triliun[1].

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa megaproyek Giant Sea Wall telah menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo bahkan ketika masih menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia. “Salah satu titik awalnya dapat dilihat dalam seminar nasional yang berjudul Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall) yang diselenggarakan yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Universitas Pertahanan pada tanggal 10 Januari 2024, Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan menyebutkan bahwa pembangunan Giant Sea Wall dapat menjadi jawaban atas fenomena kenaikan permukaan laut, hilangnya tanah, dan sekaligus juga menjadi jawaban atas kualitas hidup.[2] Kemudian megaproyek GSW ini kembali dilanjutkan ketika Prabowo terpilih menjadi Presiden Indonesia,” jelas Susan.

KIARA mencatat bahwa Presiden Prabowo semakin menkonkritkan rencana Giant Sea Wall melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029. Dalam Lampiran I Perpres Nomor 12 Tahun 2025, yang memasukkan Giant Sea Wall Pantai Utara Jawa sebagai salah satu daftar baru dalam daftar indikasi Proyek Strategis Nasional 2025-2029. Dalam Perpres tersebut, Giant Sea Wall berlokasi di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dengan pelaksananya oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa percepatan persiapan Giant Sea Wall sebagai bentuk pengamanan terpadu wilayah perkotaan yang terintegrasi dengan rencana pengembangan kawasan.

Akan tetapi, percepatan megaproyek Giant Sea Wall tersebut tidak didukung dengan kajian-kajian ilmiah terutama dalam konteks dua hal, yaitu: 1) bagaimana dampak pembangunan Giant Sea Wall terhadap akses dan ruang tangkap nelayan tradisional disepanjang pantura; 2) bagaimana dampak pembangunan Giant Sea Wall terhadap sumber daya perikanan dan ekosistem esensial wilayah laut disepanjang pantura; dan 3) apakah pembangunan Giant Sea Wall akan mengatasi permasalahan penurunan muka tanah pesisir pantura dan meningkatnya intensitas banjir rob di pesisir pantura. Kajian-kajian ilmiah tersebut sesuai dengan prinsip penting dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu precautionary principle atau prinsip kehati-hatian di mana menekankan pada bagaimana melakukan pencegahan dini agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pembangunan Giant Sea Wall, serta mengatur mengenai langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan Giant Sea Wall,” jelas Susan.

Susan menambahkan bahwa precautionary principle sejalan dengan asas keberlanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 pada Pasal 3 huruf a, di mana dalam asas keberlanjutan diterapkan agar pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. “Disepanjang pantura yang akan dibebankan megaproyek Giant Sea Wall yang terbentang di pesisir Kabupaten Tangerang hingga Kabupaten Gresik, terdapat sekitar 189.377 jiwa nelayan tradisional yang hidup dan memanfaatkan wilayah perairan tersebut. Giant Sea Wall berpotensi berdampak buruk terhadap lingkungan, bahkan berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible), dan menyebabkan kerugian baik materiil maupun immateriil. Akan tetapi jika proyek GSW tersebut tetap dipaksakan, maka konsekuensinya adalah rusaknya ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, punahnya keanekaragaman hayati, serta hilangnya mata pencaharian dari masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional yang hidup di pantura, bahkan ekosistem pesisir pantura tidak dapat dipulihkan kembali. Puncaknya adalah hancurnya wilayah pesisir pantai utara jawa dan semakin cepatnya penurunan muka tanah di pantai utara jawa!” pungkas Susan.(*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

[1] https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/c4cc1854-96f4-42f4-95b8-94cf49a46f10/Informasi-APBN-Tahun-Anggaran-2025.pdf?ext=.pdf

[2] https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/5586/mengulas-tuntas-giant-sea-wall-menko-airlangga-ungkap-pentingnya-gsw-bagi-perlindungan-perekonomian-dan-kelangsungan-hidup-50-juta-penduduk-pantai-utara-jawa

Pencabutan IPPKH PT Gema Kreasi Perdana (GKP): Kemenangan Rakyat Pulau Kecil Wawonii

Siaran Pers

Pencabutan IPPKH PT Gema Kreasi Perdana (GKP): Kemenangan Rakyat Pulau Kecil Wawonii

 

Jakarta, 17 Juni 2025—Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap maraknya pertambangan di pulau-pulau kecil—seperti polemik tambang di wilayah Raja Ampat, dan protes keras atas ekspansi tambang di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia—datang satu kabar baik dari Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.

Setelah lebih dari satu dekade perjuangan tanpa henti, warga Pulau Kecil Wawonii akhirnya memenangkan salah satu babak penting dalam perlawanan mereka. Pada 16 Juni 2025, Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), bagian dari Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK), secara resmi menerima Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 264 Tahun 2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014, yang sebelumnya memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada PT Gema Kreasi Perdana (GKP)—anak usaha Harita Group—untuk operasi tambang nikel di Pulau Wawonii.

Keputusan ini mencabut izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 707,10 hektare di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. SK tersebut ditetapkan pada 19 Mei 2025, lengkap dengan lampiran peta wilayah. Dengan demikian, secara hukum, anak usaha Harita Grup ini tidak lagi memiliki dasar legal untuk beraktivitas di kawasan hutan Pulau Wawonii.

Kemenangan Hukum: Bukti Negara-Korporasi Salah

Pencabutan IPPKH ini merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat Pulau Kecil Wawonii dalam menolak perampasan ruang hidup yang dibungkus atas nama investasi tambang nikel. Selama bertahun-tahun, warga—terutama perempuan petani dan nelayan—menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan tekanan, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga perusakan kebun, pencemaran lingkungan, dan rusaknya sumber air bersih yang diduga kuat sebagai akibat langsung dari aktivitas pertambangan PT GKP yang difasilitasi negara melalui perizinan.

Dalam hal kriminalisasi, sedikitnya 44 warga Wawonii telah dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan yang cenderung mengada-ada dan represif. Tuduhan tersebut mencakup:

  • Pencemaran nama baik, menggunakan pasal karet dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE);
  • Menghalangi aktivitas tambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
  • Tuduhan dalam KUHP, seperti:
    • Pasal 351 tentang penganiayaan,
    • Pasal 338 jo Pasal 53 ayat (1) tentang percobaan pembunuhan,
    • Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan.

Dari seluruh korban kriminalisasi tersebut, dua warga bahkan dipenjara dengan tuduhan berat: penganiayaan dan percobaan pembunuhan berencana—tuduhan yang sangat janggal dan mengada-ada. Tiga warga lainnya dikurung selama berminggu-minggu dan baru dibebaskan setelah menyetujui pelepasan lahan mereka kepada perusahaan.

Dengan demikian, pencabutan IPPKH ini tidak bisa dimaknai sekadar sebagai koreksi administratif, melainkan bentuk pengakuan negara atas pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan yang telah lama terjadi. Ini adalah langkah korektif terhadap praktik perampasan ruang hidup rakyat yang selama ini dilanggengkan oleh negara melalui instrumen hukum yang menyimpang dari keadilan.

Pertambangan di Pulau Kecil: Ilegal dan Merusak

Kasus Wawonii memperlihatkan dengan jelas bahwa praktik pertambangan di pulau kecil hampir selalu berujung pada:

  • Konflik horizontal dan kriminalisasi warga,
  • Kehancuran ekologis permanen,
  • Dan marginalisasi sosial-ekonomi masyarakat lokal.

Padahal, Pulau Wawonii—seperti pulau kecil lainnya—dilindungi oleh hukum, sebagaimana tercantum dalam:

  • UU No. 27 Tahun 2007 Pasal 23 dan 35 huruf (k), jo
  • UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), serta
  • UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020), yang menyatakan:

“Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

 

Deretan Kemenangan Hukum Rakyat

Lima tahun terakhir telah menunjukkan bahwa perlawanan masyarakat terhadap tambang di pulau kecil mampu menghasilkan kemenangan hukum. Beberapa preseden penting:

  1. Putusan MA No. 205 K/TUN/2016
    • Masyarakat Pulau Bangka (Sulawesi Utara) menang gugatan terhadap izin tambang bijih besi PT MMP.
  2. Putusan MA No. 57 P/HUM/2022
    • Menghapus seluruh areal tambang di kawasan APL seluas 41 hektare di Wawonii.
  3. Putusan MA No. 14 P/HUM/2023
    • Menghapus seluruh areal tambang di kawasan hutan Wawonii seluas 2.047 hektare.
    • Kini, Kabupaten Konawe Kepulauan adalah kabupaten nol tambang—baik di APL maupun kawasan hutan.
  4. Putusan Kasasi MA No. 403 K/TUN/TF/2024
    • Membatalkan IPPKH PT GKP seluas 707,10 hektare.
  5. Putusan PK MA No. 15 PK/TUN/2024
    • Warga Sangihe menang terhadap izin pertambangan emas di wilayah seluas 42.000 hektare.
  6. Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023
    • Menolak gugatan PT GKP yang ingin menjadikan kawasan pulau kecil sebagai wilayah tambang.
    • MK menegaskan: larangan tambang di pulau kecil adalah mutlak.

Hukum Berlaku: PK Tidak Menunda Pencabutan IPPKH

Penting untuk dipahami bahwa SK Menteri Kehutanan No. 264 Tahun 2025 merupakan keputusan administratif final yang berlaku serta-merta, meskipun PT GKP telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

  • PK tidak memiliki kekuatan menunda atau membatalkan kebijakan administratif, apalagi yang didasarkan pada putusan hukum yang telah inkracht.
  • Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang membatalkan SK tersebut, maka IPPKH telah resmi dicabut.
  • Segala aktivitas tambang oleh PT GKP di kawasan hutan menjadi ilegal.
  • Bahkan dalam SK tersebut, pada poin Ketujuh angka 4, ditegaskan bahwa: “Apabila terjadi pelanggaran pidana, PT GKP tidak dibebaskan dari sanksi pidana.”

Tuntutan: Pulau Kecil Bukan untuk Tambang

Kami menyerukan kepada negara untuk:

  1. Tidak berhenti pada pencabutan IPPKH. Semua izin tambang milik PT GKP, termasuk IUP Operasi Produksi, harus dicabut total.
  2. Memulihkan hak-hak warga, menghentikan kriminalisasi, dan memberikan jaminan bahwa tidak akan ada lagi pertambangan di pulau kecil mana pun di Indonesia.
  3. Menjadikan pencabutan IPPKH ini sebagai preseden kebijakan nasional, bahwa pulau kecil adalah ruang hidup yang tidak boleh dikorbankan untuk industri ekstraktif.

Pulau kecil bukan untuk tambang. Ia adalah identitas, ruang hidup, sumber pangan, masa depan, serta penyangga ekosistem laut dan darat yang harus dilindungi secara mutlak.

 

Narahubung:

Muh Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM, +62 821-5647-0477

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62-857-1017-0502

 

Ekspansi Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua, KIARA: Penghancuran Surga dan Keindahan Terakhir Pulau Kecil Yang Dilegitimasi Menteri ESDM

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Ekspansi Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua, KIARA: Penghancuran Surga dan Keindahan Terakhir Pulau Kecil Yang Dilegitimasi Menteri ESDM

 

Jakarta, 10 Juni 2025 – Saat ini, pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur sedang terancam oleh industri pertambangan nikel. Narasi yang digunakan oleh pemerintah adalah hilirisasi dengan kemasan nasionalisme. Bahkan, ironisnya gugusan pulau kecil yang selama ini menjadi daya tarik pariwisata perairan laut Indonesia ke mancanegara, yaitu Papua Barat malah menjadi area pertambangan nikel yang sedang diintensifkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ini menjadi ironi di negeri kepulauan, di mana pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi, kini ditambang dengan dalih hilirisasi negeri. “Dunia baru saja melewati hari laut sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2025 yang mengusung tema Keajaiban: Menopang Apa Yang Menopang Kita. Bagi masyarakat bahari yang didalamnya terdapat masyarakat pulau kecil dan nelayan tradisional, laut dan pulaunya adalah penopang hidup mereka selama ini. Akan tetapi, pasca semakin masifnya kebijakan hilirisasi yang difokuskan pemerintah atas nama transisi energi, sejalan dengan potensi kehancuran dan pengusiran masyarakat bahari dari pulau-pulau kecilnya atas nama hilirisasi. Kabupaten Raja Ampat sebagai pesona dan daya tarik keindahan dunia bawah laut Indonesia Timur, kini dalam ancaman cengkraman industri pertambangan nikel,” jelas Susan. 

 

Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), KIARA mencatat per 10 Juni 2025, terdapat 5 izin usaha pertambangan (IUP) yang dibebankan kepada pulau-pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat untuk pertambangan mineral yaitu nikel. Secara lebih rinci, dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:

 

Lokasi Nama Perusahaan Tambang Jumlah Masyarakat
Kel. Gag, Waigeo Barat PT Gag Nikel 238
Kel. Selpele, Waigeo Barat PT Kawei Sejahtera Mining 495
Kel. Manyaifun, Waigeo Barat PT Mulia Raymond Perkasa 744
Kel. Kapairi, Supin PT Anugerah Surya Pratama 273 
Kel. Yenser, Waigeo Timur PT Nurham 435

Sumber Data: ESDM, Kemendagri (2025)

 

Naiknya Produksi Nikel, Menurunnya Perlindungan Masyarakat Bahari

KIARA mencatat bahwa dalam konteks produksi nikel, Indonesia menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Secara lebih rinci, berikut data produksi nikel Indonesia dibandingkan dengan produksi nikel dunia:

 

Tahun Produksi Nikel Global 

Dengan Indonesia

Produksi Nikel Indonesia
2019 2.700.000 800.000
2020 2.510.000 771.000
2021 2.700.000 1.000.000
2022 3.270.000 1.580.000
2023 3.600.000 2.030.000
2024* 3,700,000 2.200.000

Keterangan: *: estimasi

Sumber: U.S. Geological Survey, 2025 (diolah KIARA)

 

Berdasarkan data tersebut di atas, total produksi nikel Indonesia sejak 2019 hingga 2024 adalah berkisar 8.381.000 ton. Sedangkan sejak 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia telah merupakan 50% persen dari produksi nikel dunia. Ini membuktikan keseriusan pemerintah dalam memberikan IUP kepada perusahaan untuk memproduksi nikel Indonesia, tapi disisi lain, ini membuktikan juga ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi masyarakat bahari dan keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil Indonesia. “Masifnya pertambangan nikel Indonesia tidak sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal khususnya yang hidup di wilayah-wilayah yang menjadi lokasi pertambangan. Realita yang harus dihadapi masyarakat bahari yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat adalah semakin masifnya pertambangan nikel di Indonesia, sejalan dengan semakin masifnya konflik dan perampasan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sejalan dengan perampasan ruang, maka potensi kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya juga semakin tinggi. Bahkan, laporan dari berbagai nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pertambangan nikel menyatakan bahwa pasca masuk dan beroperasinya tambang nikel, wilayah mangrove, lamun, dan terumbu karang mereka dialihfungsikan menjadi dermaga atau pelabuhan untuk pengangkutan ore nikel keluar dari pulau kecil mereka. Dampak lainnya adalah semakin sulitnya nelayan tradisional untuk mengakses dan mendapatkan ikan sebagai sumber utama pendapatan mereka. Menteri ESDM yang memberikan izin usaha pertambangan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil bersama nelayan tradisional yang menerima dan menderita karena kehancuran permanen akibat pertambangan nikel.” jelas Susan.

 

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pertambangan nikel merupakan aktivitas yang dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut terdapat dalam Pasal 35 huruf (k) UU PWP3K. Akan tetapi, larangan pertambangan mineral di pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 35 huruf (k) tidak menjadi perhatian serius bagi Kementerian/Lembaga terkait dalam memberikan izin usaha pertambangan nikel. Sehingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih masif dibebankan pertambangan padahal aktivitas pertambangan termasuk dalam “abnormally dangerous activity” yang seharusnya dilarang untuk dilakukan.

 

Bahkan di sepanjang tahun 2024, pemerintah memberikan karpet merah melalui kemudahan perizinan pertambangan dengan skema hilirisasi produktivitas pertambangan. Hal tersebut sejalan dengan semakin masifnya penjualan kendaraan listrik. Ironisnya, pemerintah justru memberikan subsidi untuk pembelian berbagai kendaraan listrik seperti mobil listrik sebesar 80 juta dan motor listrik sebesar 8 juta. Selain subsidi harga pembelian kendaraan listrik, apresiasi lain yang diberikan pemerintah adalah menerapkan kebijakan bebas pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan listrik berbasis baterai melalui Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia No. 6 Tahun 2023 Tentang Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Alat Berat Tahun 2023. 

 

Meningkatnya produktivitas dan penjualan kendaraan listrik, berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan pesisir, laut, dan pulau kecil yang berdampak terhadap hancurnya kondisi sosial-ekologi di wilayah yang dibebankan izin pertambangan. Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa standing position pemerintah bukan pada perlindungan dan pemenuhan HAM dan hak warga negara, tetapi pada peningkatan dan perputaran ekonomi negara dan kepastian hukum bagi korporasi,” pungkas Susan.(*) 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502