Ekspansi Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua, KIARA: Penghancuran Surga dan Keindahan Terakhir Pulau Kecil Yang Dilegitimasi Menteri ESDM
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Ekspansi Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua, KIARA: Penghancuran Surga dan Keindahan Terakhir Pulau Kecil Yang Dilegitimasi Menteri ESDM
Jakarta, 10 Juni 2025 – Saat ini, pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur sedang terancam oleh industri pertambangan nikel. Narasi yang digunakan oleh pemerintah adalah hilirisasi dengan kemasan nasionalisme. Bahkan, ironisnya gugusan pulau kecil yang selama ini menjadi daya tarik pariwisata perairan laut Indonesia ke mancanegara, yaitu Papua Barat malah menjadi area pertambangan nikel yang sedang diintensifkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa ini menjadi ironi di negeri kepulauan, di mana pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi, kini ditambang dengan dalih hilirisasi negeri. “Dunia baru saja melewati hari laut sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2025 yang mengusung tema Keajaiban: Menopang Apa Yang Menopang Kita. Bagi masyarakat bahari yang didalamnya terdapat masyarakat pulau kecil dan nelayan tradisional, laut dan pulaunya adalah penopang hidup mereka selama ini. Akan tetapi, pasca semakin masifnya kebijakan hilirisasi yang difokuskan pemerintah atas nama transisi energi, sejalan dengan potensi kehancuran dan pengusiran masyarakat bahari dari pulau-pulau kecilnya atas nama hilirisasi. Kabupaten Raja Ampat sebagai pesona dan daya tarik keindahan dunia bawah laut Indonesia Timur, kini dalam ancaman cengkraman industri pertambangan nikel,” jelas Susan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), KIARA mencatat per 10 Juni 2025, terdapat 5 izin usaha pertambangan (IUP) yang dibebankan kepada pulau-pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat untuk pertambangan mineral yaitu nikel. Secara lebih rinci, dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:
Lokasi | Nama Perusahaan Tambang | Jumlah Masyarakat |
Kel. Gag, Waigeo Barat | PT Gag Nikel | 238 |
Kel. Selpele, Waigeo Barat | PT Kawei Sejahtera Mining | 495 |
Kel. Manyaifun, Waigeo Barat | PT Mulia Raymond Perkasa | 744 |
Kel. Kapairi, Supin | PT Anugerah Surya Pratama | 273 |
Kel. Yenser, Waigeo Timur | PT Nurham | 435 |
Sumber Data: ESDM, Kemendagri (2025)
Naiknya Produksi Nikel, Menurunnya Perlindungan Masyarakat Bahari
KIARA mencatat bahwa dalam konteks produksi nikel, Indonesia menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Secara lebih rinci, berikut data produksi nikel Indonesia dibandingkan dengan produksi nikel dunia:
Tahun | Produksi Nikel Global
Dengan Indonesia |
Produksi Nikel Indonesia |
2019 | 2.700.000 | 800.000 |
2020 | 2.510.000 | 771.000 |
2021 | 2.700.000 | 1.000.000 |
2022 | 3.270.000 | 1.580.000 |
2023 | 3.600.000 | 2.030.000 |
2024* | 3,700,000 | 2.200.000 |
Keterangan: *: estimasi
Sumber: U.S. Geological Survey, 2025 (diolah KIARA)
Berdasarkan data tersebut di atas, total produksi nikel Indonesia sejak 2019 hingga 2024 adalah berkisar 8.381.000 ton. Sedangkan sejak 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia telah merupakan 50% persen dari produksi nikel dunia. Ini membuktikan keseriusan pemerintah dalam memberikan IUP kepada perusahaan untuk memproduksi nikel Indonesia, tapi disisi lain, ini membuktikan juga ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi masyarakat bahari dan keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil Indonesia. “Masifnya pertambangan nikel Indonesia tidak sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal khususnya yang hidup di wilayah-wilayah yang menjadi lokasi pertambangan. Realita yang harus dihadapi masyarakat bahari yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat adalah semakin masifnya pertambangan nikel di Indonesia, sejalan dengan semakin masifnya konflik dan perampasan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sejalan dengan perampasan ruang, maka potensi kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya juga semakin tinggi. Bahkan, laporan dari berbagai nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pertambangan nikel menyatakan bahwa pasca masuk dan beroperasinya tambang nikel, wilayah mangrove, lamun, dan terumbu karang mereka dialihfungsikan menjadi dermaga atau pelabuhan untuk pengangkutan ore nikel keluar dari pulau kecil mereka. Dampak lainnya adalah semakin sulitnya nelayan tradisional untuk mengakses dan mendapatkan ikan sebagai sumber utama pendapatan mereka. Menteri ESDM yang memberikan izin usaha pertambangan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil bersama nelayan tradisional yang menerima dan menderita karena kehancuran permanen akibat pertambangan nikel.” jelas Susan.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pertambangan nikel merupakan aktivitas yang dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut terdapat dalam Pasal 35 huruf (k) UU PWP3K. Akan tetapi, larangan pertambangan mineral di pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 35 huruf (k) tidak menjadi perhatian serius bagi Kementerian/Lembaga terkait dalam memberikan izin usaha pertambangan nikel. Sehingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih masif dibebankan pertambangan padahal aktivitas pertambangan termasuk dalam “abnormally dangerous activity” yang seharusnya dilarang untuk dilakukan.
Bahkan di sepanjang tahun 2024, pemerintah memberikan karpet merah melalui kemudahan perizinan pertambangan dengan skema hilirisasi produktivitas pertambangan. Hal tersebut sejalan dengan semakin masifnya penjualan kendaraan listrik. Ironisnya, pemerintah justru memberikan subsidi untuk pembelian berbagai kendaraan listrik seperti mobil listrik sebesar 80 juta dan motor listrik sebesar 8 juta. Selain subsidi harga pembelian kendaraan listrik, apresiasi lain yang diberikan pemerintah adalah menerapkan kebijakan bebas pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan listrik berbasis baterai melalui Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia No. 6 Tahun 2023 Tentang Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Alat Berat Tahun 2023.
“Meningkatnya produktivitas dan penjualan kendaraan listrik, berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan pesisir, laut, dan pulau kecil yang berdampak terhadap hancurnya kondisi sosial-ekologi di wilayah yang dibebankan izin pertambangan. Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa standing position pemerintah bukan pada perlindungan dan pemenuhan HAM dan hak warga negara, tetapi pada peningkatan dan perputaran ekonomi negara dan kepastian hukum bagi korporasi,” pungkas Susan.(*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502