Posts

Masyarakat Pesisir Berbagi Inspirasi dan Semangat Melalui Festival Bahari Jateng 2024

Workhop " Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir"

Talksow Interaktif sesi pertama di Festival Bahari Jateng 2024 membahas keadaan sistem pangan laut dan upaya mewujudkan kedaulatan pangan Selasa, 10 Desember 2024 (Dok: Adinan).

Mungkin tidak banyak yang mengetahui pesisir Jawa Tengah (Jateng) yang membentang dari Brebes di bagian barat hingga Rembang di timur merupakan rumah bagi berbagai ekosistem penting, seperti mangrove, muara, tambak, dan pantai, serta banyak komunitas nelayan kecil yang menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya laut.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikatan (KKP), Jateng juga memiliki sekitar 1.420 desa pesisir di mana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada sektor perikanan dan kelautan. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 640 desa nelayan tradisional. Namun kini menurut data berbagai penelitian ada 60-80% wilayah pesisirnya telah terdampak aspek krisis iklim, dan dihantam berbagai aturan pembangunan yang tidak pro-keadilan ekologi dan keadilan iklim. Dampaknya sangat signifikan, nelayan kecil, perempuan nelayan, dan masyarakat yang hidup di luar laut menghadapi tantangan besar. Penurunan hasil tangkapan ikan, abrasi pantai, hingga konflik lahan akibat proyek pembangunan adalah sebagian dari masalah yang sering mereka hadapi kini.

Adalah Festival Bahari Jateng 2024 kemudian dihadirkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Unika Soegijapranata, BSB City, Kota Semarang, Jateng. Dengan menggagas tema “Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir”, festival ini ingin menunjukkan solusi atas isu pesisir kepada masyarakat luas.

Urgensi isu yang diangkat berkaitan dengan dampak pembangunan dari masyarakat maupun pemerintah terhadap kehidupan pesisir. Dampak pembangunan di wilayah pesisir membuat masyarakat pesisir dan nelayan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan sendiri. Sehingga perlu adanya wadah untuk merangkul masyarakat pesisir dalam menyuarakan isu dan mendiskusikan solusi.

Oleh karena itu Festival Bahari Jateng 2024 berupaya menjawab keresahan tersebut dengan mengadakan Talkshow sebagai wadah untuk menampung dan memecahkan isu yang dialami. Juga, Pameran Pangan Hasil Laut yang menampilkan berbagai olahan pangan hasil laut dan Workshop Pangan Laut. Kegiatan ini menjadi fasilitas masyarakat pesisir dan nelayan untuk menggaungkan hasil pangan laut dan sebagai media untuk menyebarkan informasi luas kepada masyarakat terkait isu-isu yang belum tmenjadi populer di khalayak umum. Hal tersebut mengundang antusias masyarakat pesisir untuk datang dan menyampaikan isu-isu alami mereka.

“Saya sangat senang sekali adanya kegiatan ini. Selain kami bisa memperkenalkan produk-produk dari pesisir, kami juga ingin menyampaikan terkait penambangan pasir laut, karena kami nelayan sangat terancam,” ungkap Mak Tri Ismuyati dari PPNI Jepara, Senin (09/12/1014). 

Selain menjadi peserta pameran, para pengunjung juga diharapkan dapat mengetahui isu-isu yang dirasakan masyarakat pesisir maupun nelayan dan bagaimana hasil pangan masyarakat pesisir maupun nelayan.  

“Saya harap pada festival ini, masyarakat dapat mengenal isu-isu laut yang dialami masyarakat nelayan dan pesisir. Juga mengetahu potensi yang dimiliki masyarakat pesisir seperti petani rumput laut dan pekerja wisata karimunjawa,” Harapan Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa (09/12/2024).

Sebagai pejuang lingkungan, Daniel juga mejelaskan bahwa Festival Bahari Jateng 2024 ini dapat menjadi alternatif untuk mendialogkan solusi persoalan lingkungan khususnya pada masyarakat pesisir.

“Festival ini adalah ajang yang sangat bagus bagi masyarakat pesisir dan kepulauan di Jawa Tengah untuk tidak hanya bersuara, tapi juga untuk saling memberi telinga dan hati bagi permasalahan satu sama lain serta untuk berjejaring, bersinergi, dan bekerja sama”.

Pemilihan cakupan Jawa Tengah oleh KIARA sebagai penyelanggara Festival Bahari Jateng 2024 bukan tanpa sebab, melainkan karena fokus KIARA dua tahun terakhir ini adalah wilayah Jawa Tengah.

“Alasan Penyelenggaraan di Jawa Tengah karena KIARA sedang gencar mendampingi komunitas di Jawa Tengah dua tahun ini bersama FOCUS. Proyek Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan dan Keberlanjutan Iklim (FOCUS) yang bertujuan membangun pengelolaan pesisir terpadu untuk sistem pangan berkelanjutan bagi komunitas nelayan termasuk perempuan di Jawa Tengah, khususnya di 5 kabupaten yaitu Semarang, Demak, Kendal, Jepara dan Batang. Selain KIARA ada Humanis, Walhi, dan PKSPL IPB yang terlibat di dalamnya,” jelas Erwin Suryana, Sekretariat Nasional KIARA pada Senin (09/12/2024).

 

Penulis: Sabrina Gita Salsabella

Redaktur : Musfarayani

Festival Bahari 2024 Gaungkan Suara Keadilan Iklim Masyarakat Pesisir

Dua kapal nelayan kecil yang sedang melaut. (Dok: KIARA)

Mungkin untuk sebagian besar masyarakat Jawa Tengah yang tinggal melahap panganan laut di meja makan, tidak pernah berpikir betapa sulitnya para nelayan yang menyediakan panganan protein hewani laut ini dalam mendapatkannya. Selain mereka berada di garda terdepan menghadapi krisis iklim, juga harus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka di pesisir mengingat kondisinya kini mulai carut marut, terutama sejak dikeluarkannya sejumlah aturan yang justru memperpendek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem pesisir dan kehiduapan masyarakat pesisir.

Karena itu, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), merasa perlu mengingatkan masyarakat luas untuk memberikan dukungan dan solidaritas perjuangan masyarakt pesisir yang kini kehidupannya terancam, dengan menggelar kembali acara “Festival Bahari” yang dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian Kampus Unika Soegijapranata BSB City, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pada Selasa 10 Desember – 11 Desember 2024. Festival ini terakhir digelar pada tahun 2014 di Jakarta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan, di wilayah Jawa Tengah ada sekitar 1.420 desa pesisir (termasuk 640 desa nelayan)—memiliki kontribusi signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan provinsi. Meskipun desa-desa nelayan hanya mencakup sebagian kecil populasi (diperkirakan sekitar 10-15% dari total penduduk Jateng), keberadaan mereka memiliki peran strategis bagi Jawa Tengah.

Contoh saja, tambah Susan, para nelayan Jateng ini telah menyediakan kebutuhan protein bagi jutaan orang di Jawa Tengah dan daerah lainnya. Perikanan tangkap dan budidaya di pesisir memberikan pasokan ikan, udang, dan hasil laut lainnya yang menjadi bagian penting dari konsumsi lokal hingga ekspor.

“Apabila desa nelayan terancam oleh krisis iklim, dan ditambah aturan yang tidak pro-ekologi dan keadilan iklim, pasokan pangan laut Jateng bisa terganggu, yang berdampak langsung pada harga pasar dan ketersediaan makanan. Jadi jangan kalian berpikir kehidupan mereka tidak berdampak pada kalian, tapi sebaliknya tanpa mereka kalian mungkin akan kesulitan mendapatkan makanan laut yang baik dan sehat. Bukan itu saja mungkin generasi penerus kalian akan sulit menikmati keindahan laut, karena makin ke sini ekosistem pesisir kita, terutama di Jawa Tengah makin rusak,” jelas KIARA.

Karena itu Festival Bahari 2024 yang digelar ini, tandas Susan lagi bukan sekadar perayaan. Lebih dari itu menjadi “suara bahari” komunitas pesisir tentang arti penting keberadaan mereka yang selama ini sering diabaikan dan juga menyerukan tentang arti penting menjaga kedaulatan bahari Indonesia.

Sayangnya, Susan menjelaskan bahwa di wilayah pesisir Jawa Tengah, seperti Kendal, Demak, dan Jepara, para nelayan kecil menghadapi konflik yang tak terhindarkan dengan proyek-proyek besar. Penurunan jumlah ikan akibat perubahan ekosistem laut telah membuat mereka beradaptasi dengan cara-cara baru.

Salah satu contoh “kecil” adalah upaya adaptasi ini adalah mengolah hasil laut menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Beberapa diantaranya dengan mendorong kelompok perempuan untuk bisa mengolah produk ikan menjadi abon dan keripik dari pelatihan yang diadakan KIARA. Cara ini jauh lebih pragmatis dalam membantu perempuan pesisir di Jateng untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan, meski musim tangkapan sedang sulit

Apa yang membuat Festival Bahari 2024 kali ini istimewa adalah kolaborasi lintas sektor. KIARA bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan mahasiswa untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan. Misalnya, workshop pengemasan pangan laut membantu komunitas pesisir meningkatkan kualitas dan daya saing produk mereka di pasar.

Selain bazar dan workshop, festival ini juga diramaikan dengan lomba menggambar anak-anak bertema laut. Bagi Susan, ini adalah cara untuk melibatkan generasi muda dalam mencintai laut dan lingkungan. “Mereka adalah masa depan kita. Jika mereka paham pentingnya menjaga laut, maka harapan untuk keberlanjutan itu akan tetap hidup,” katanya.

Di sela-sela aktivitas festival, sebuah film dokumenter berjudul Mother of the Sea diputar, menampilkan perjuangan perempuan pesisir dalam mendapatkan pengakuan. Diskusi hangat pun mengalir, membahas bagaimana perempuan nelayan sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam pengelolaan sumber daya laut. Festival ini juga akan diramaikan para seniman pesisir dari Panggung Suara Pesisir, tempat nelayan dan masyarakat pesisir berbagi kisah.

“Jadi komunitas pesisir bukan korban perubahan, tetapi pelaku utama dalam adaptasi dan solusi. Suara mereka harus didengar, karena mereka menjaga apa yang menjadi napas kita semua—laut,” tandas Susan.

Di tengah arus perubahan, suara pesisir tak boleh hilang. Karena di balik setiap gelombang, ada kehidupan yang terus berjuang.

Penulis: Dimas Saputra
Editor: Musfarayani