KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!
Jakarta, 13 Januari 2023 – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan Pemerintah Pusat menjelang penutupan akhir tahun, tepatnya 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja menjadi salah kado terburuk dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi tanda bahaya bahwa putusan MK tentang cacat formil dan inkonstitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja (UU CK) dapat diabaikan dengan membentuk perppu baru.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden telah bertentangan dan mengkhianati amanat konstitusi UUD 1945. Perppu Cipta Kerja hanya akan menciptakan ketimpangan yang semakin nyata dengan mengutamakan investasi dari pada menyejahterakan dan melindungi hak-hak masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.
“Bagi masyarakat bahari, putusan MK yang menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat menjadi tanda bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan fatal karena UU CK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari. Akan tetapi, hari ini ancaman tersebut kembali dihidupkan Presiden dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja,” tegas Susan.
Susan menambahkan bahwa dalam catatan KIARA, isi Perppu Cipta Kerja akan menggusur ruang produksi masyarakat bahari, menghancurkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga meningkatkan kerentanan kriminalisasi terhadap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan pengolahan hasil perikanan.
Menurut KIARA, terdapat kecacatan Perppu Cipta Kerja baik secara prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (perppu) maupun secara substansial. Secara substansial kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari, yaitu sebagai berikut: Pertama, Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat; Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010; Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.
Keempat, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang menjadikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang disetiap provinsi dan dapat mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama kebijakan strategis nasional. Kelima, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan karpet merah kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Hal ini tentu dapat berdampak pada kembalinya privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.
Keenam, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 51 dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi. Kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif, tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya. Ketujuh, Perppu Cipta Kerja akan memaksa setiap orang yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016. Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar. Serta kedelapan, Perppu Cipta Kerja kembali memberikan karpet merah untuk masuknya investasi perikanan asing sehingga dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia
“KIARA mengajak seluruh lapisan elemen masyarakat untuk terus melakukan perlawanan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Perppu ini secara jelas dan terang-terangan hanya akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing. Prioritas penyelamatan bagi ekologi pesisir, kelautan perikanan dan pulau-pulau kecil serta perlindungan kepada masyarakat bahari yang ada di dalamnya menjadi hal yang diprioritaskan setelah dilindungi dan dijaminnya investasi oleh korporasi. Tak ada ruang negosiasi selain melakukan perlawanan bagi pelaku kejahatan lingkungan di Indonesia,” pungkas Susan. (*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502