Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Penyidikan Kasus Korupsi Impor Garam di Mulai,

KIARA: Sudah Saatnya Kejaksaan Agung Kupas Tuntas Semua yang Terlibat!

 

 

Jakarta, 21 Oktober 2022 – Pada akhir bulan September hingga awal Oktober, Kejaksaan Agung melalui Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penentuan kuota, pemberian persetujuan, pelaksanaan, dan pengawasan impor garam periode 2016-2022. Tim Penyidik Jampidsus hingga kini telah memeriksa berbagai pihak, beberapa diantaranya adalah Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan Perikanan), Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepala Biro Hukum Kementerian Perdagangan, Direktur Industri Kimia Kementerian Perindustrian, Direktur PT Wings Food, Direktur PT Artha Karya Utama, PT Cheil Jadang Indonesia dan PT Langgeng Makmur Persada.

 

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa penyidikan yang tengah dilakukan Jampidsus menjelaskan bahwa persoalan indikasi korupsi impor garam merupakan kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama, baik oleh kementerian/lembaga negara bersama pihak swasta. “Ini merupakan fenomena gunung es yang harus segera dibongkar dan ditindak serius. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa tata kelola garam di Indonesia yang di setting untuk menguntungkan produksi garam Industri”, ungkapnya.

 

Menurut Susan, mantan menteri yang menjabat pada periode 2016-2022 harus segera diperiksa, diantaranya adalah KKP bersama Kementerian Perdagangan, Kementrian Perindustrian dan Kemenko Perekonomian. “Seluruh kementerian/lembaga terkait harus diperiksa secara menyeluruh. Salah satu adalah Airlangga Hartonto karena pada periode 2016-2019 menjabat sebagai Menteri Perindustrian. Selain itu patut diperiksa adalah Enggartiasto Lukita dan pejabat yang menggatikannya sebagai Menteri Perdagangan pada periode 2016-2022. Tentu pemeriksaan tersebut untuk mendapatkan perspektif yang menyeluruh dan seimbang serta Jampidsus dapat memperkuat pembuktian adanya indikasi korupsi di tata kelola garam nasional”, tutur Susan.

 

Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa terdapat 21 perusahaan importir garam yang mendapat kuota persetujuan impor garam industri sebesar 3.770.346 ton atau dengan nilai sebesar Rp. 2.054.310.721.560. “Langkah impor garam industri yang dilakukan oleh kementerian terkait tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan stok garam lokal dan potensi panen raya garam oleh petambak garam yang tersebar di berbagai penjuru di Indonesia. Pengabaian akan stok garam lokal dan potensi yang akan dihasilkan oleh petambak garam lokal merupakan satu langkah yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh Kementerian terkait. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah belum berposisi untuk memberdayakan hasil produksi petambak garam sebagaimana yang diamatkan dalam UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam”, tegas Susan.

 

“KIARA menghormati dan mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus korupsi impor garam, terutama saat ini isu publik sudah mulai lupa akan tata kelola garam nasional yang mengutamakan garam industri. Akibat pengutamaan impor garam industri, terjadi penumpukan pada produksi garam oleh petambak garam lokal yang tidak terserap oleh pasar. Tentu hal tersebut sangat merugikan petambak garam lokal/UMKM lokal. Jika kembali melihat pada tahun 2019, pemeritah Indonesia menetapkan kuota impor garam sebesar 2,7 ton. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dan memberikan pukulan telak terutama akan adanya panen raya garam rakyat yang akan dilakukan oleh petambak garam, khususnya di Cirebon Jawa Barat pada saat itu” jelas Susan.

 

Pada tahun 2019, KIARA telah mengkritisi tata kelola garam nasional yang terindikasi semakin dihancurkan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. KIARA melihat bahwa terdapat dua (2) pasal (Pasal 5 ayat (3), dan Pasal 6) yang merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. Impor garam juga semakin dipermudah dengan disahkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pada pasal 37 ayat 1 UU Cipta Kerja disebut bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. Lalu, pasal ini dijabarkan dalam PP No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan  Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam.

 

KIARA juga melihat bahwa PP No. 9 Tahun 2018, UU Cipta Kerja, dan PP No. 27 Tahun 2021 terutama terkait substansi impor garam sangat bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016. Menurut Susan, di dalam UU 7 Tahun 2016 telah mengatur persolaan tata garam nasional secara komprehensif, mulai dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. “Namun Pemerintah pusat

 

 

justru tidak menjadikan UU ini sebagai pedoman, malah membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat,” ungkapnya

 

Kasus korupsi impor garam akan menambah catatan merah dalam buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Beberapa kasus korupsi yang melihatkan Kementerian/Lembaga Negara bersama swasta adalah sebagai berikut: 1). Tahun 2016, kasus grand corruption reklamasi Teluk Jakarta; 2). Tahun 2019, OTT Perum Perindo kasus suap jual beli kuota ikan salem, dan kasus suap izin reklamasi Gubernur Kepulauan Riau; 3). Tahun 2020, kasus korupsi ekspor lobster

oleh Menteri KKP Edhy Prabowo; dan 4). Tahun 2021, kasus korupsi penerbitan surat utang jangka menengah atau Medium Term Notes (MTN) Perum Perindo.

 

“Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengutamakan hasil produksi dari masyarakat/komunitas lokal, terutama nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, sehingga terwujudnya mandat dari UU No. 7 Tahun 2016. Atas mandat UU No. 7 Tahun 2016 juga KIARA bersama komunitas petambak garam lokal meminta Kejaksaan Agung untuk menindak dengan tegas dan transparan kepada publik terkait kasus korupsi impor garam yang telah terjadi,” pungkas Susan. (*)

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Hari Nusantara 2022. KIARA: Ironi Bangsa Bahari, Pemerintah Obral Murah Pulau-Pulau di Indonesia

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Hari Nusantara 2022.

KIARA: Ironi Bangsa Bahari, Pemerintah Obral Murah Pulau-Pulau di Indonesia

 

 

Jakarta, 13 Desember 2022 –Indonesia memperingati hari nusantara setiap tanggal 13 Desember dan menjadikan hari ini sebagai momentum kemenangan bangsa dan kedaulatan bangsa atas ruang hidupnya (baca: laut). Namun, ironi bangsa bahari terus menciderai makna dari hari nusantara itu sendiri dengan maraknya penjualan pulau-pulau di Indonesia.

 

Pada 23 November 2022, publik dunia disuguhkan dengan berita dilelangnya Gugus Kepulauan Widi, yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Lelang tersebut akan dilakukan secara online di Sotheby’s Concierge Auctions. Penawar diharuskan melakukan deposit sebesar US$ 100.000 untuk membuktikan keseriusan. Website Sotheby’s berbasis di Amerika Serikat dan fokus pada penjualan serta bisnis tanah dan properti.

 

Kepulauan Widi dengan luas 130,16 km² dikelola oleh PT Leadership Island Indonesia (PT LII). Dasar hukum pengelolaan Kepulauan Widi adalah nota kesepahaman antara Gubernur Maluku Utara (KH. Abdul Gani Kasuba), Bupati Halmahera Selatan (Muhammad Kasuba), serta perwakilan PT LII (Natalia Nari Cahterine, CEO) yang ditandatangani di 2015. Nota kesepahaman 3 belah pihak tersebut berisi bahwa PT LII diberikan hak untuk mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun, dan setelah itu akan ditinjau kembali.

 

Modus operandi yang digunakan dalam penjualan Kepulauan Widi tersebut adalah PT LII akan melakukan pelelangan akuisisi sahamnya secara online melalui situs Sotheby’s Concierge Auctions. Sehingga pemegang saham baru hasil akuisisi dapat langsung mengelola gugus Kepulauan Widi secara penuh.

 

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa praktik penjualan pulau seperti yang terjadi di Kepulauan Widi merupakan bentuk pengkhianatan kepada konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan salah satu aturan turunannya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA).

 

“Sudah jelas disebutkan dalam UUD 1945, di Pasal 33 ayat (3) bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan negara harus mempergunakannya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Artinya, tujuan pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam konteks ini kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran individual satu orang atau sekelompok orang. Sangat mengecewakan bagi seluruh nelayan jika korporasi bisa mengelola pulau-pulau kecil hanya berdasarkan nota kesepahaman, sedangkan nelayan lokal bersama masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil masih dihalang-halangi untuk mendapatkan hak atas tanahnya,” tegas Susan.

 

Susan menambahkan bahwa di dalam UU Pokok Agraria juga disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, dan hak pakai atas tanah di Indonesia. “UU PA dengan semangat nasionalisme jelas memandatkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang memiliki hak milik dan hak pakai di seluruh tanah dan kepulauan Indonesia. Hal itu juga dipertegas dalam UU No. 1 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Susan.

 

KIARA juga mengecam aktor-aktor yang terlibat sehingga terciptanya nota kesepahaman dan yang memberikan ruang kepada PT LII untuk mengelola Gugus Kepulauan Widi secara privat. “KIARA juga mengecam pertemuan awal Desember yang dilakukan oleh  Direktorat Toponimi dan Batas Daerah Kemendagri yang memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dengan PT. Leadership Islands Indonesia (LII), di Kota Ternate yang menghasilkan Nota Kesepahaman  yang ditandatangani oleh Pemprov Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan dan PT. LII, berisi kesepakatan untuk mempedomani dan mencermati tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak terkait pengembangan dan pengelolaan pariwisata di kawasan cagar alam Kepulauan Widi,” tegas Susan.

 

KIARA mencatat bahwa gugus perairan Kepulauan Widi merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional yang berada di Kabupaten Halmahera Selatan. “Karakteristik nelayan tradisional adalah memanfaatkan wilayah perairan di pulau-pulau kecil untuk melakukan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan serta menangkap ikan sesuai dengan kebutuhannya saja. Dan menggunakan daratan pulau-pulau kecil untuk beristirahat, memperbaiki alat tangkap dan berlindung ketika gelombang tinggi sewaktu melaut. Sudah jelas pemanfaatan ruang nyatanya telah ada di perairan Kepulauan Widi untuk melakukan penangkapan ikan dan hal tersebut sesuai Perda No. 2 Tahun 2018,” jelas Susan.

 

KIARA berharap Pemerintah Pusat untuk memberantas dan menindak tegas penjualan pulau-pulau kecil dengan berbagai modus operandi seperti yang dilakukan oleh PT LII. “KIARA berharap tidak terjadi lagi privatisasi yang berkedok ecotourism seperti yang terjadi di Pulau Pari – Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Pulau Sangiang – Banten dan kasus yang terakhir Kepulauan Widi. Pemerintah harus menjalankan mandat dari konstitusi UUD 1945, UU PA, UU PWP3K serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 untuk mengedepankan hak atas pengelolaan ruang di pesisir dan pulau-pulau kecil kepada nelayan tradisional, masyarakat lokal, tradisional dan adat,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Perwakilan Warga Masalembu Audiensi Dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur : Segera Tuntaskan Permasalahan Nelayan Di Masalembu 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

 Perwakilan Warga Masalembu Audiensi Dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur : Segera Tuntaskan Permasalahan Nelayan Di Masalembu 

 

Jakarta, 7 Desember 2022 – Pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2022 beberapa perwakilan nelayan Masalembu Bersama YLBHI-LBH Surabaya, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Ketua Persatuan Nelayan Masalembu (PNM)  melakukan rapat koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa timur terkait beberapa persoalan nelayan yang ada di Pulau Masalembu. Rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, juga dihadiri oleh beberapa instansi, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, Polairud Polda Jatim, Danlantamal V Surabaya, Danlanal Batuporon, dan Pertamina wilayah Jawa Timur.

 

Moh. Zehri sebagai Ketua Kelompok Nelayan Rawatan Samudera menyampaikan dua permasalahan yang dihadapi oleh nelayan Masalembu, Pertama terkait dengan Keamanan laut. Konflik alat tangkap ikan nelayan Masalembu dengan Nelayan diluar Masalembu sudah terjadi mulai sejak tahun 1980-an,  dampak konflik tersebut sampai terjadi Pembacokan  hingga Pembakaran kapal.   Tahun 2021 dan 2022, Nelayan Masalembu  melaporkan dua kapal yang beroperasi di wilayah perairan Masalembu kepada Polairud Sumenep. Namun masih saja banyak kapal cantrang yang beroperasi di perairan Masalembu, dan itupun jaraknya sangat dekat, yakni ada yang 7 mil, 8 mil, bahkan pernah ada yang melakukan penangkapan ikan disekitar 4 mil. Selain masih maraknya alat tangkap ikan yang menggunakan cantrang, ada juga sebagian nelayan Masalembu yang diduga menggunakan potas, jika ini terus dibiarkan begitu saja, tentu ini akan sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat Masalembu yang mayoritas nelayan, juga terhadap kerberlanjutan eskosistem laut. Permasalahan kedua, sulitnya nelayan untuk mendapatkan BBM bersubsidi meskipun di Pulau Masalembu ada dua Agen Premium Minyak dan Solar (APMS). Haerul Umam salah satu warga Masalembu yang juga turut hadir menyampaikan bahwa, terkait konflik dengan nelayan luar, sebenarnya ini bukan permasalahan yang baru muncul, akan tetapi ini permasalahan lama yang belum terselesaikan. Oleh sebab itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur dan beberapa instansi terkait harus melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencari solusinya agar konflik nelayan di masa lalu tidak terulang kembali. Terkait permasalahan BBM, Haerul Umam menjelaskan bahwa praktek yang terjadi saat ini di Masalembu, Konsumen untuk Solar dibatasi 10 liter per orang, dan per hari hanya untuk 15 orang, sedangkan jumlah nelayan di Masalembu sangat banyak dan kebutuhan nelayan untuk melaut banyak yang diatas 10 liter, misalnya ada yang 15 liter, 20 liter, bahkan ada yang 25 liter. Jika setiap hari APMS menjual kepada 15 orang, dan setiap orang hanya 10 liter, maka dalam sebulan APMS hanya menjual Solar sebanyak 4500 liter, padahal di APMS 5669402 kuota solar dari Pertamina sebanyak 160.000 liter. Pertanyaan kami, kemana sisa jumlah solar yang ada di APMS? Kemudian jika dibatasi semacam itu, maka ini secara tidak langsung memaksa konsumen untuk membeli diluar APMS dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga subsidi, yakni Rp. 9000 untuk harga eceran di luar APMS, bahkan di Pulau Karamian ada yang menjual dengan harga Rp. 12.000. Selain susahnya akses nelayan atas BBM bersubsidi, beberapa bulan terahir ini nelayan juga dihadapkan dengan kelangkaan BBM jenis solar, terkadang ada sebagian nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak ada solar. Kelangkaan BBM jenis Solar kami duga karena banyaknya BBM yang dibawa keluar Pulau Masalembu oleh beberapa oknum dan dijual kepada kapal-kapal besar, seperti cantrang, porse sein dan kapal lainnya. Oleh sebab itu, kami mendesak jika ada penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk segera ditindak tegas.

 

Ada dua poin penting hasil dari rapat koordinasi ini. Pertama, di usulkan agar di Pulau Masalembu di adakan Pos Kemanan Laut yang terdiri dari Polair, TNI AL, dan DKP dengan tujuan agar memudahkan masyarakat untuk melapor, dan juga melakukan patroli serta penegakan hukum yang ada di laut Masalembu. Kedua, pihak DKP akan menghitung berapa jumlah kebutuhan nelayan Masalembu, kemudian akan berkoordinasi dengan Pertamina agar kebutuhan nelayan atas BBM bisa terpenuhi.

 

Pihak Pertamina yang juga hadir dalam rapat koordinasi tersebut menyampaikan bahwa untuk solusi jangka pendek terkait kebutuhan nelayan atas BBM, nelayan bisa langsung menebus BBM ke Pertamina, nanti BBMnya akan dikirim bersamaan dengan BBM milik APMS, dan secara teknis akan dibahas segera dalam rapat selanjutnya.

 

Narahubung :

  1. Haerul Umam : 081334151020
  2. Zehri : 085235379955
  3. KIARA : 085710170502