Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar!  

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

 

KIARA: Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar!

 

  Jakarta, 6 Desember 2022 – Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Vietnam telah menyelenggarakan pertemuan/perundingan teknis tentang Penetapan Batas Wilayah ZEE Indonesia-Vietnam. Pertemuan tersebut dilakukan pada 24-25 November 2022 di Hanoi, Vietnam. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan ke-16, dalam rentang waktu 12 tahun terakhir (pertemuan pertama tahun 2010).

Menanggapi perundingan tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus menjadikan momentum perundingan tersebut sebagai penegasan tanpa toleransi Pemerintah Indonesia terhadap luas teritorial lautnya. Penegasan tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan mengikuti dasar-dasar penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif yang telah ditetapkan dalam hukum laut internasional yaitu United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

“Perundingan Laut Natuna Utara harus membuktikan Indonesia berdaulat penuh atas lautnya, sebagaimana juga telah diatur dalam Hukum Laut Internasional, UNCLOS 1982. Klaim kepemilikan Vietnam atas kawasan laut di perairan Natuna Utara tidak berdasar dan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Hal tersebut karena Vietnam bukan merupakan negara kepulauan, melainkan Indonesialah yang merupakan negara kepulauan. Merujuk aturan UNCLOS 1982, pemerintah Indonesia berhak untuk mengklaim kawasan perairan ZEE sepanjang 200 mil dari garis pantai yang ada di Kepulauan Natuna.,” tegas Susan Herawati.

Kepulauan Natuna merupakan salah satu kepulauan terluar Indonesia yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau dan memiliki 157 pulau-pulau kecil. Kepulauan Natuna didominasi oleh kawasan laut, sehingga memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang sangat melimpah, bahkan memiliki potensi cadangan sumber daya minyak dan gas. KIARA mencatat bahwa pada 2020, produksi perikanan tangkap di perairan Natuna sebesar 120.583,29 ton. Data dan Informasi KIARA 2022 mencatat bahwa perairan laut Natuna Utara dimanfaatkan oleh 5.590 rumah tangga perikanan tangkap lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya perikanan ada di perairan laut Kabupaten Natuna. Sedangkan jumlah alat produksi yang mereka gunakan adalah sebanyak 4.417 unit, yang terdiri dari: 1) perahu tanpa motor sebanyak 1.141 unit; 2) perahu motor tempel sebanyak 294 unit; dan 3) kapal motor sebanyak 2.982 unit.

“KIARA mencatat bahwa sumber daya perikanan belum dimanfaatkan secara merata karena jumlah kapal penangkap ikan tidak berbanding lurus dengan jumlah keluarga nelayan. Total alat produksi nelayan penangkap ikan di perairan natuna adalah sebanyak 4.417 unit perahu. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap keluarga nelayan memiliki paling sedikit satu alat produksi, berupa perahu penangkap ikan. Sehingga nelayan dapat berdaulat dan memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan Natuna, khususnya perairan Natuna Utara,” desak Susan.

Salah satu poin krusial dalam pertemuan teknis tentang Penetapan Batas Wilayah ZEE Indonesia-Vietnam adalah pertimbangan Indonesia untuk memberikan konsesi laut kepada Vietnam. KIARA menyatakan kekecewaan diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam hal menjaga kedaulatan teritorial laut Indonesia yang dilindungi UNCLOS 1982. KIARA memberikan 2 catatan utama. Pertama, jika pemerintah Indonesia memberikan konsesi laut kepada Vietnam, hal ini jelas bahwa pemerintah memberikan karpet merah kepada Vietnam yang selama ini melakukan praktik pencurian ikan dan IUU Fishing di perairan Indonesia. Pemberian konsesi akan merugikan nelayan lokal dan Indonesia akan kehilangan ruang dan klaim atas sumber daya alam yang terkandung dalam konsesi tersebut.

 

Kedua, pemberian konsesi akan mempersempit luas kedaulatan Indonesia terhadap teritorial lautnya, dan memperluas teritorial laut Vietnam. “KIARA menilai pemerintah Indonesia harus bersikap tegas, terhadap pemerintah Vietnam atas kedaulatan teritorial Indonesia. Sikap tegas lainnya adalah dengan memperkuat pertahanan dan melakukan pengamanan batas-batas wilayah pulau terluar, salah satunya dengan menindak tegas aktivitas pencurian ikan oleh asing,” tegas Susan.

Sumber daya perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di Perairan Natuna dan Anambas masih kaya akan sumber daya perikanan dan kelautan. “Sangat penting kehadiran negara untuk menguatkan dan memberdayakan nelayan lokal yang ada di Kabupaten Natuna dan Anambas sebagai bentuk perlindungan negara dengan memaksimalkan peran monitoring dan control oleh nelayan lokal. Hal ini juga sejalan dengan upaya untuk memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, terutama pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal nelayan Vietnam di teritorial Indonesia. Pemerintah Indonesia juga harus tegas dalam diplomasi yang dilakukan karena kedaulatan teritorial laut Indonesia tidak untuk ditawar!” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut


Jakarta, 1 Maret 2022 –
Pada tahun 2021 Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), baik turunan dari UndangUndang Cipta Kerja maupun bukan turunannya. Salah satunya adalah PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

PP No. 5 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, sedangkan PP No. 85 Tahun 2021 bukan aturan UU Cipta Kerja, melainkan aturan pengganti dari PP No. 75 Tahun 2015. Lahirnya PP No. 85 Tahun 2021 sejalan dengan agenda dan target Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. KKP menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan hingga
tahun 2024 sebesar Rp 12 triliun.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, lahirnya kedua peraturan pemerintah tersebut telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak, terutama nelayan kecil dan tradisional. “Di dalam kedua peraturan pemerintah tersebut terdapat substansi yang akan mengancam keberlanjutan ekologi dan kesatuan ekosistem yang hidup di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain mengancam keberlangsungan ekologi, juga akan berdampak terhadap perekonomian dan relasi antara masyarakat (nelayan) dengan ruang lautnya,” ungkapnya.

“Kami menilai, akan terjadi masif permasalahan yang timbul akibat lahirnya kedua peraturan pemerintah ini. Permasalahan terutama adalah legalitas pertambangan pasir laut yang akan memberikan dampak kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup nelayan kecil dan tradisional,” tambah Susan.

Susan melanjutkan, di dalam PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pada Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas: g. pelaksanaan reklamasi, dan, j. pemanfaatan pasir laut.” Substansi yang sama dapat ditemukan di dalam PP No. 85 Tahun 2021 Pasal (1) menyebutkan bahwa “Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan meliputi penerimaan dari: perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.” Di dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa “kegiatan pemanfaatan pasir laut dihitung berdasarkan perkalian antara persentase dengan volume dan harga
patokan.”

“Jika PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 85 Tahun 2021 dikaitkan dalam konteks pertambangan pasir laut, maka kedua PP ini akan memberikan legalitas untuk
berbagai pihak melakukan pertambangan pasir laut asalkan negara mendapatkan PNBP sesuai yang ditetapkan pemerintah. Lebih jauh lagi, pada masa yang akan datang, kedua PP ini akan mendorong dan semakin memperparah eksploitasi pasir laut di berbagai perairan laut di Indonesia,” imbuh Susan.

Pertambangan Pasir Laut untuk Siapa?


KIARA mencatat bahwa proyek pertambangan pasir laut di berbagai daerah masif dilakukan untuk mendukung dan men-supply kebutuhan pasir bagi proyek reklamasi. Hingga tahun 2018, Pusat data dan informasi KIARA mencatat terdapat 41 wilayah pesisir yang tengah dan telah di reklamasi. Proyek reklamasi tersebar dari Pulau Sumatera hingga ke Pulau Papua. Total luasan wilayah reklamasi sebesar 79.348,9 hektar dan jumlah nelayan yang terdampak sebesar 747.363 jiwa.

Salah satu contohnya yang masih berproses adalah perampasan ruang akibat tambang pasir di Perairan Spermonde untuk kepentingan pembangunan proyek Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 hektare dengan cara direklamasi. Pertambangan pasir laut tersebut dilakukan perusahaan pengeruk pasir laut asal Belanda, Royal Boskalis. Selain berdampak terhadap pencemaran lingkungan, gelombang laut yang menjadi tinggi, menurunnya pendapatan nelayan, juga terjadi kriminalisasi terhadap warga yang menolak pertambangan pasir laut tersebut.

Susan menyatakan bahwa dari berbagai permasalahan yang terjadi akibat pertambangan pasir di wilayah perairan laut dan pulau-pulau, negara hadir memfasilitasi perampasan ruang dan pengrusakan lingkungan melalui skema perizinan administrasi. “Alih-alih melindungi lingkungan dan masyarakatnya, negara justru melepaskan tanggung jawab untuk menjaga ekologi laut tetap lestari. Hal ini tercermin dari penerapan PNBP di tambang pasir laut”, ungkapnya.

Susan menegaskan bahwa pertambangan pasir laut melanggar UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 Pasal 35 huruf (i) serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. “Putusan ini secara jelas menyatakan bahwa nelayan dan perempuan nelayan sebagai masyarakat bahari Indonesia yang memiliki hak konstitusional. Negara harus menjalankan mandat putusan MK untuk melindungi nelayan, bukan mengeluarkan regulasi yang melegitimasi eksploitasi sumber daya alam dan perusakan laut hanya demi PNBP dari pertambangan pasir laut,” tegas Susan.

Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

KIARA: 7 Orang Masyarakat Pesisir Pantai Minanga, Manado Ditahan Polisi, Penimbunan Pantai Membunuh

 Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: 7 Orang Masyarakat Pesisir Pantai Minanga, Manado Ditahan Polisi, Penimbunan Pantai Membunuh

 

Jakarta, 15 Januari 2023 – Penimbunan pantai dan perairan Minanga, Kota Manado yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian bagi warga masih terus berlanjut. Berbagai upaya hukum yang telah ditempuh  warga tidak mendapatkan perhatian yang serius untuk menghentikan penimbunan pantai, terakhir adalah pengaduan ke Komnas Ham yang kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan ke pantai Minanga pada 19 Desember 2022. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara terus mendengungkan adanya kucuran investasi untuk pariwisata berupa perhotelan senilai 2 trilyun rupiah jika penimbunan pantai ini berhasil dilakukan.  Penimbunan pantai Minanga dilakukan oleh PT. TJ Silfanus untuk menyiapkan lahan bagi pembangunan Hotel Westin. Jaringan usaha hotel ini merupakan anak usaha dari grup jaringan usaha perhotelan internasional yaitu Starwood Hotels and Resorts Worldwide, Inc yang merupakan anak usaha Marriott International Inc sejak diakuisisi tahun 2015. Selain Westin dan tentunya Marriott, Perusahaan jaringan perhotelan ini menaungi berbagai jaringan hotel di antaranya, Sheraton, St. Regis, Le Meridien, Four Point, dan beberapa hotel lainnya.

Merespon perkembangan penimbunan yang tak kunjung  dihentikan, pada hari Sabtu 14 Januari 2023, warga di sekitar pantai Minanga yang merupakan masyarakat adat Bantik pada pukul 07.00 WIT bergerak ke area reklamasi untuk menghentikan aktivitas penimbunan. Penghentian ini dilakukan warga dengan memasang baliho yang bertuliskan Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sebagai simbol perlawanan warga atas reklamasi di pantai Minanga. Pemasangan dilakukan pada batas antara lahan pantai dan area yang sementara akan ditimbun. Adu mulut kemudian terjadi antara warga dengan aparat  di antara batas simbol perlawanan tersebut. Polisi menegaskan bahwa reklamasi di Minanga sudah berizin dan meminta warga agar tidak melakukan tindakan yang merugikan.

Warga menjelaskan bahwa reklamasi yang dilakukan sudah merugikan kehidupan warga dan proses hukum sudah ditempuh kepada instansi-instansi terkait bahkan terakhir ada kunjungan dari Komnas Ham di pantai Minanga. Namun aparat polisi yang diwakili oleh Kabag Ops menegaskan jika warga harus menempuh tindakan hukum melalui proses pengadilan. Warga tidak mau untuk mengikuti saran tersebut karena sudah banyak tahap yang warga lakukan untuk menghentikan aktivitas penimbunan.

Adu argumen berakhir saat mulai masuk waktu sholat dzuhur. Warga kemudian sholat di area reklamasi, dan setelah itu bersiap melanjutkan aktivitas yang telah direncanakan berdasarkan tujuan yang telah disepakati. Setelah waktu sholat dzuhur berakhir terlihat aparat kepolisian mengerahkan pasukan dengan perkiraan sekitar 80-an personil yang dibantu Satpol-PP sekitar 100 personil untuk menghadapi warga.

Setelah aparat polisi telah berada di lapangan dan memasuki lahan reklamasi, kemudian ada komando dari pimpinan operasi untuk menahan warga yang melawan dalam usaha penangkapan yang dilakukan oleh aparat. Situasi ini membuat warga mulai memanas, karena Resmob mulai mencoba menangkap beberapa orang warga. Ada sekitar 7 orang yang ditangkap dan dibawa ke Polresta Manado. Satu orang pingsan karena ditangkap dan dicekik oleh Resmob namun berhasil dicegah oleh warga. Hingga saat ini beberapa warga akan menuju ke polres untuk menemani para korban penangkapan. Hingga press release ini dikeluarkan warga yang ditahan masih belum dibebaskan oleh Polresta Manado.

Menyikapi peristiwa bentrokan antara warga yang berupaya menghentikan penimbunan di pantai Minanga  dengan aparat terutama kepolisian, Sekjen KIARA Susan Herawati menyatakan bahwa, “penimbunan atau reklamasi sudah selayaknya dihentikan sesuai tuntutan warga. Telah terdapat temuan yang memperlihatkan adanya dugaan kerusakan lingkungan terutama terumbu karang akibat dari penimbunan yang telah dilakukan”. Lebih jauh Susan Herawati juga mendesak pihak kepolisian untuk bertindak proporsional terhadap warga yang melakukan aksi dan segera melepaskan warga yang ditahan mengingat dalam Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Untuk itu KIARA menyatakan:

  • Para pihak terkait dalam hal ini KLHK dan KKP untuk menindaklanjuti laporan dan permintaan warga untuk menghentikan penimbunan pantai dan perairan Minanga Kota Manado dan tidak memberikan ijin dan atau persetujuan apapun terkait dengan penimbunan pantai Minanga.
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara cq Gubernur Sulawesi Utara untuk tidak hanya berpihak pada investor tetapi juga melihat keberlanjutan penghidupan masyarakat dan lingkungan di sekitar pantai Minanga dengan meninjau ulang dan menghentikan penimbunan pantai Minanga untuk kepentingan investasi pariwisata.
  • Menuntut aparat kepolisan untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghadapi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang selama ini telah mereka kelola dan manfaatkan serta membebaskan warga yang masih ditahan.

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!  

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: Perppu Cipta Kerja Mengulang Cacatnya Omnibus Law, Merampas Hak Masyarakat Bahari!

 

Jakarta, 13 Januari 2023 – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan Pemerintah Pusat menjelang penutupan akhir tahun, tepatnya 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja menjadi salah kado terburuk dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi tanda bahaya bahwa putusan MK tentang cacat formil dan inkonstitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja (UU CK) dapat diabaikan dengan membentuk perppu baru.

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden telah bertentangan dan mengkhianati amanat konstitusi UUD 1945. Perppu Cipta Kerja hanya akan menciptakan ketimpangan yang semakin nyata dengan mengutamakan investasi dari pada menyejahterakan dan melindungi hak-hak masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.

 

“Bagi masyarakat bahari, putusan MK yang menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat menjadi tanda bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan fatal karena UU CK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari. Akan tetapi, hari ini ancaman tersebut kembali dihidupkan Presiden dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja,” tegas Susan.

 

Susan menambahkan bahwa dalam catatan KIARA, isi Perppu Cipta Kerja akan menggusur ruang produksi masyarakat bahari, menghancurkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga meningkatkan kerentanan kriminalisasi terhadap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan pengolahan hasil perikanan.

 

Menurut KIARA, terdapat kecacatan Perppu Cipta Kerja baik secara prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (perppu) maupun secara substansial. Secara substansial kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari, yaitu sebagai berikut: Pertama, Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat; Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010;  Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.

 

Keempat, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang menjadikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang disetiap provinsi dan dapat mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama kebijakan strategis nasional. Kelima, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan karpet merah kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Hal ini tentu dapat berdampak pada kembalinya privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.

 

Keenam, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 51 dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi. Kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif, tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya. Ketujuh, Perppu Cipta Kerja akan memaksa setiap orang yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016. Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar.  Serta kedelapan, Perppu Cipta Kerja kembali memberikan karpet merah untuk masuknya investasi perikanan asing sehingga dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia

 

“KIARA mengajak seluruh lapisan elemen masyarakat untuk terus melakukan perlawanan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Perppu ini secara jelas dan terang-terangan hanya akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing. Prioritas penyelamatan bagi ekologi pesisir, kelautan perikanan dan pulau-pulau kecil serta perlindungan kepada masyarakat bahari yang ada di dalamnya menjadi hal yang diprioritaskan setelah dilindungi dan dijaminnya investasi oleh korporasi. Tak ada ruang negosiasi selain melakukan perlawanan bagi pelaku kejahatan lingkungan di Indonesia,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T. KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

PNBP Perikanan Tangkap KKP 1,2 T,

KIARA: Nelayan dan Perempuan Nelayan Tradisional Belum Berdaulat dan Sejahtera.

 

Jakarta, 5 Januari 2023 – Pada akhir Desember 2022, tepatnya 26 Desember, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) KKP mencapai Rp.1,79 triliun. Nilai tersebut terdiri dari Rp.1,1 triliun dari sumber daya perikanan, Rp.611,8 miliar dari non-SDA, dan Rp.44,3 miliar dari Badan Layanan Umum (BLU). Khususnya, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP menyebut bahwa capaian PNBP sektor perikanan tangkap sebesar Rp.1,26 triliun.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa klaim keberhasilan peningkatan PNBP Perikanan Tangkap KKP tersebut harus disertai dengan keterbukaan data yang digunakan secara detail, terutama nilai produksi perikanan tangkap laut serta jenis armada kapal yang digunakan, apakah kapal di bawah 10 GT, antara 10 sampai 30 GT dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi, atau di atas 30 GT dengan kewenangan pemerintah pusat.

“Transparansi data secara terbuka, rinci dan menyeluruh sangat dibutuhkan oleh seluruh pihak untuk memberikan input kepada KKP, terutama dalam hal PNBP sektor KKP. Berapa volume dan nilai produktivitasnya serta aktor pelakunya? Sehingga data tersebut terbuka dan tranparan kepada publik, bukan data sementara maupun data sangat sementara,” ungkap Susan.

Selanjutnya, Susan menyampaikan kepada KKP untuk tidak terjebak dalam euforia PNBP karena hasil akhir dari PNBP tersebut harus kembali kepada nelayan tradisional untuk pemberdayaan dan perlindungan nelayan. “Data yang diungkapkan oleh Dirjen DJPT, jika ditelaah dan dilihat dari Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III, kami melihat bahwa terdapat perbedaan. Berdasarkan Laporan Kinerja DJPT Triwulan I-III tersebut, total realisasi jumlah produksi perikanan tangkap di laut sebesar 5,69 juta ton, sedangkan data yang disampaikan oleh Dirjen Perikanan Tangkap sebesar 5,96 juta ton. Hal tersebut perlu dikoreksi oleh DJPT KKP sehingga tidak ada kekeliruan data yang diterima masyarakat,” tegas Susan.

KIARA masih menyoroti berbagai kendala yang dialami oleh nelayan tradisional dalam melakukan produktivitasnya serta klaim keberhasilan PNBP. Pertama, nelayan masih kesulitan dalam akses BBM. Akses tersebut dalam hal ketersedian BBM di pesisir dan pulau-pulau kecil hingga kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan kenaikan harga ikan yang dijual ole nelayan.

Kedua, nelayan masih berjuang dalam mempertahankan ruang produksinya dari industri ekstraktif yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa contoh diantaranya adalah privatisasi pulau tengah yang berdampak dilarangnya nelayan untuk melintas dan melakukan aktivitas produksinya di perairan Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari. Privatisasi Pulau Pari dan Pulau Sangiang oleh korporasi industri pariwisata. Masuk dan beraktivitasnya cantrang di wilayah perairan tradisional nelayan Pulau Masalembu yang merusak ruang produksi nelayan tradisional Masalembu, alih fungsi perairan tangkap nelayan menjadi pelabuhan pertambangan nikel di Desa Sukarela Jaya, Pulau Wawonii, serta berbagai hal lainnya yang belum tereskpos ke publik.

Ketiga, krisis dan bencana iklim yang tengah dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Banjir rob tengah terjadi di Teluk Jakarta, pantai utara jawa (pantura), pulau-pulau kecil NTT (Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Timor dan Pulau Rote), pesisir Pallameang Kab. Pinrang Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.

Keempat, KKP hanya fokus terhadap upaya peningkatan PNBP di sektor perikanan dan kelautan, sedangkan pertumbuhan perekonomian nelayan tradisional masih belum dirasakan oleh nelayan itu sendiri. “Jika melihat data jumlah kapal yang beroperasi di Indonesia, didominasi oleh nelayan tradisional dan kecil hingga kapal di bawah 30 GT, seharusnya pemerintah memprioritaskan pertumbuhan dan peningkatan perekonomian nelayan tradisional dan kecil, bukan memberikan karpet merah terhadap investasi dan ekstraksi sumber daya perikanan kepada korporasi perikanan tangkap,” jelas Susan.

“Peningkatan perekonomian masyarakat bahari khususnya nelayan tradisional melalui perlindungan ekologi dan ruang produksi nelayan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas serta alat produksi nelayan seharusnya menjadi fokus utama yang diprioritaskan KKP. Tidak mengutamakan investasi yang akan mengeruk dan meminggirkan nelayan tradisional atas nama peningkatan PNBP. Pemerintah sudah saatnya kembali menjalankan mandat konstitusi terutama untuk menyejahterakan nelayan sebagai rightholder dan tuan atas laut dan pulaunya,” pungkas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502